PAST
PINTU
LANGIT
Angkasa seperti terbelah dua. Semu
kemerahan di ufuk timur, sementara sisanya masih biru tua dengan menyisakan
jejak-jejak malam dan kawanan bintang. Bulan bertengger di tepi langit, bersiap
jatuh ditelan fajar.
Gura-gurat kemerahan terlukis indah di
cakrawala, terus menggiring sisa-sisa malam untuk beranjak pergi. Kilauan embun
turun perlahan dari langit yang berhiaskan garis-garis cahaya keperakan. Sebuah
awal hari yang dingin dan senyap.
Dua bocah lelaki bersaudara berlari
sambil terus memekik memecah kesenyapan pagi ini. Jalanan begitu sepi,
menyisakan deru napas mereka yang terdengar satu-satu. Mereka berbelok dari
trotoar ke jalan-jalan tikus kota Lembang, menyusurinya sampai habis, lalu
saling menarik lengan satu sama lain ketika menerobos kawanan ilalang di ujung
jalan. Susul menyusul mereka berusaha mencapai bukit di tengah padang rumput
luas di balik semak ilalang itu. Mereka mendaki bukit. Si sulung tersenyum,
lalu memperlambat langkahnya. Si bungsu berseru gembira saat tangannya
menyentuh pohon randu itu lebih dahulu dari kakaknya.
“Aku menang, Kak!” Seru si bungsu.
Si sulung terkekeh di sela-sela
napasnya yang masih berkejaran. Si bungsu berjalan mengitari pohon sebelum
akhirnya duduk di samping kakaknya yang telah bersandar di pohon. Mereka kini
terdiam menghadap timur.
Fajar tampak mulai merekah, menyinari
sebagian bumi. Sebagian cahaya merahnya melebur diantara langit pagi dan
membuat langit tampak ungu temaram.
“Aku benar, kan, di sini langit terlihat
berbeda,” ucap si sulung sambil menyeka keringat yang mengalir di wajahnya.
Si bungsu mengangguk. “Tempat ini
ajaib!”
“Lihat, bulan masih kelihatan!” Si sulung
menunjuk ke salah satu bagian langit. Sebuah lingkaran putih, meski samar,
masih terlihat diantara ungunya langit.
“Langitnya ungu, kayak senja kemarin,”
komentar si bungsu, mengingat kejadian kemarin, ketika pertama kalinya mereka
menemukan tempat ini.
Mereka berdua masih ingat, saat itu
senja hampir bergulir sedangkan mereka masih betah bermain di tengah padang
ilalang. Si sulung berhasil melewati kawanan ilalang yang tingginya melebihi
tubuhnya dan mendapati sebuah padang rumput di sana. Langit tampak ungu lembut.
Dia memanggil adiknya yang tertinggal di belakang.
Tampak langit berwarna ungu saat matahari
beringsut tenggelam. Mereka duduk dan menikmati pemandangan itu hingga lupa
waktu. Malam telah menggantung. Langit yang pekat nampak bercahaya karena bulan
menyala perak, bagaikan mutiara yang bertengger bersama ribuan kerlip bintang.
Di tempat ini, hanya di tempat ini, langit benar-benar terlihat luas seakan tak
bertepi.
Si bungsu bahkan tak mau pergi walau
dia sudah menguap beberapa kali. Hingga dia dijanjikan akan kemari lagi esok
pagi dan berlomba siapa yang paling cepat mencapai tempat ini.
“Kita namai apa tempat ini, Kak?” tanya
si bungsu tiba-tiba, sambil menerawang jauh ke arah perkebunan teh di kaki
bukit.
Si sulung memiringkan kepalanya,
berpikir. “Pintu langit!” ucapnya tegas.
Si bungsu menoleh ke kakaknya,
memperlihatkan sebelah alisnya yang terangkat. “Pintu langit?”
“Pintu langit yang membuat kita lebih
dekat dengan langit.”
“Dekat apanya, Kak? Langit masih jauh.”
“Kapan-kapan aku jelaskan, ya?” si
sulung menatap adiknya, lalu tersenyum.
“Pintu langit ini cuma punya kita,
orang lain nggak boleh ke sini.”
Sang kakak mengangkat sebelah alisnya.
“Mama sama Papa juga nggak boleh?”
“Nggak boleh.”
“Masa keindahan ini cuma kita yang
liat? Jahat dong?”
“Yaudah deh nanti sore kita ajak Mama
sama Papa ke sini.”
“Terus siapa lagi?”
Si bungsu nampak berpikir. “Hmm yaudah
suatu hari nanti kita bawa pacar ke sini.”
“Pacar?”
“Ya, calon istri juga boleh.”
Si sulung terkekeh geli mendapati
adiknya sudah berpikir terlalu jauh.
Matahari semakin naik semakin intens
menyinari bumi. Kicau burung yang semula ramai bersahut-sahutan kini mulai
tertindih deru suara kendaraan. Kabut pagi telah menguap sempurna membentuk
bentangan awan tipis pada langit yang biru cerah.
Si bungsu masih duduk di atas
rerumputan. Kulit kuningnya berkilauan disorot cahaya mentari pagi. Sedang si
sulung kini berdiri di sisi lain bukit sambil mengibas-kibaskan kausnya –
merasa kepanasan. Tak lama kemudian dia beranjak mendekati adiknya.
“Brian, ayo pulang, sudah siang!” ajak
si sulung.
Brian, si bungsu itu menggeleng.
“Ayo lah!” bujuknya lagi. Adiknya tetap
menggeleng.
“Siapa cepat sampai di rumah akan dapat
nasi goreng bikinan Mama!” seru sulung seraya berlari.
Mendengar hal itu, Brian sontak
berdiri. “Kak Andro curang!” teriaknya sambil berlari menyusul kakaknya.
Mereka hanya berlari hingga semak
perdu. Selebihnya mereka hanya berjalan karena kaki mereka mulai terasa lelah.
Jalanan sudah terlihat ramai. Dengan berjalan mereka perlu waktu hingga sepuluh
menit untuk sampai ke rumah.
Rumah mereka sepi, sama seperti
rumah-rumah pada umumnya di minggu pagi. Tetapi ada yang berbeda, pintu depan
terbuka. Beberapa tetangga terlihat berkumpul di ruang tamu. Brian masuk dengan
menyeruak orang-orang di depannya. Kakinya terasa sangat lemas melihat tubuh
yang terbujur kaku di tengah-tengah mereka. Seorang lelaki yang berlinangan air
mata tiba-tiba merengkuh Andro dan Brian dari belakang.
“Andro, Brian, dari mana saja kalian?”
“Papa...” Brian tak mampu berkata-kata.
Dia memandang kosong jenazah di tengah ruangan. Mata itu tertutup sempurna dan
bibirnya membentuk sebuah lengkung tipis yang hampir tak terlihat.
Andro mulai menangis. Brian memandang
sekitar. Entah apa yang membuat orang-orang di sini menangis dan menundukkan
kepala. Namun satu yang dia tahu, raga di tengah ruangan itu adalah ibunya.
*
Atmosfer
kegamangan masih tersisa di kediaman keluarga Aditama. Aroma kehilangan masih
sangat terasa. Delapan hari berlalu sejak kepergian sang nyonya rumah.
Aktivitas anggota keluarga lain berjalan seperti dahulu. Hanya saja tugas rumah
tangga sekarang diserahkan sepenuhnya pada pembantu rumah tangga mereka.
Sore yang itu, Andro mengajak adiknya
pergi ke pintu langit. Sudah delapan hari mereka tak pergi ke sana. Mereka
meninggalkan rumah tanpa pamit kepada Papa mereka yang terlihat sibuk dengan
pekerjaannya.
Sesampainya di sana mereka disambut
oleh langit yang bersemu jingga. Andro memandang teduh semburat cahaya
kemerahan diantara rimbun pohon karet di dekat bukit. Sementara adiknya
mengoceh tak jelas, bertanya ini-itu namun tak didengarkannya sama sekali. Cakram
kuning cerah yang dipandangnya perlahan hilang ditelan malam.
“Kak, setelah terbenam, mataharinya
kemana sih?”
Andro menoleh. Itu satu-satunya kalimat
Brian yang terdengar olehnya. Dia tersenyum. “Dia pergi ke bagian bumi lain,”
jawabnya singkat.
“Kalau... Mama?” tanya Brian ragu-ragu.
Andro terhenyak, diam. Ditatapnya mata
Brian dalam-dalam. Mata yang sama seperti matanya, kata mamanya. “Brian kangen
Mama?”
Brian tidak menjawab. Hening.
“Kakak kangen Mama,” Andro memeluk
lututnya. Seketika dia teringat bulan lalu nilai ulangan metematikanya merah
dan papanya memarahinya habis-habisan. Namun Mama dengan penuh kasih sayang
menyemangatinya untuk berusaha lebih keras di ulangan minggu berikutnya. Dan
ulangan selanjutnya tepat setelah kepergian Mama. Bisa ditebak, dia mendapat
nilai jelek lagi. Kertas ulangan itu kini sudah teronggok di tong sampah
kamarnya. Entah jadi apa dia jika Papanya mengetahui soal itu.
“Kita gagal bawa Mama ke sini,” lirih
Brian, tubuhnya bersandar di batang pohon randu. Tangisnya pecah.
Andro lagi-lagi tersenyum. “Tapi Mama
udah di surga, mungkin surga itu di langit,” Andro memandang langit kemerahan.
“Dan kita sekarang ada di pintu langit.”
“Jadi, kita bisa ketemu Mama, Kak?”
Brian menerawang.
“Suatu hari nanti...” Andro berujar
pelan.
Semilir angin menerbangkan ratusan
jentik halus dandelion dari padang rumput. Melewati dua bocah laki-laki di atas
bukit, lalu naik perlahan-lahan membawa pesan kerinduan. Berharap langit mampu
menyampaikan.
“Ayo pulang, Kak,” ajak Brian.
Andro memandangnya heran sebab biasanya
dia lah yang mengajak Brian pulang. Tapi langit belum sempurna gelap,
sebenarnya dia tak ingin pergi secepat itu. Namun adiknya tengah melangkah
menuruni bukit menuju jalan pulang. Dengan berat hati, Andro mengikutinya.
Sepuluh menit kemudian, seperti
biasanya, mereka telah sampai di rumah. Papa sedang berkemas di kamarnya. Saat
kedua putranya bertanya untuk apa Papa berkemas, Papa malah menyuruh mereka
kembali ke kamar mereka masing-masing dan turut berkemas. Sebuah kalimat yang
meluncur dari mulut papanya membuat hati kakak-beradik itu mencelos.
“Kita akan pindah ke Bandung besok.”
*
(bersambung)