January 05, 2013

Pintu Langit - 5








PAST
PINTU LANGIT

Angkasa seperti terbelah dua. Semu kemerahan di ufuk timur, sementara sisanya masih biru tua dengan menyisakan jejak-jejak malam dan kawanan bintang. Bulan bertengger di tepi langit, bersiap jatuh ditelan fajar.
Gura-gurat kemerahan terlukis indah di cakrawala, terus menggiring sisa-sisa malam untuk beranjak pergi. Kilauan embun turun perlahan dari langit yang berhiaskan garis-garis cahaya keperakan. Sebuah awal hari yang dingin dan senyap.
Dua bocah lelaki bersaudara berlari sambil terus memekik memecah kesenyapan pagi ini. Jalanan begitu sepi, menyisakan deru napas mereka yang terdengar satu-satu. Mereka berbelok dari trotoar ke jalan-jalan tikus kota Lembang, menyusurinya sampai habis, lalu saling menarik lengan satu sama lain ketika menerobos kawanan ilalang di ujung jalan. Susul menyusul mereka berusaha mencapai bukit di tengah padang rumput luas di balik semak ilalang itu. Mereka mendaki bukit. Si sulung tersenyum, lalu memperlambat langkahnya. Si bungsu berseru gembira saat tangannya menyentuh pohon randu itu lebih dahulu dari kakaknya.
“Aku menang, Kak!” Seru si bungsu.
Si sulung terkekeh di sela-sela napasnya yang masih berkejaran. Si bungsu berjalan mengitari pohon sebelum akhirnya duduk di samping kakaknya yang telah bersandar di pohon. Mereka kini terdiam menghadap timur.
Fajar tampak mulai merekah, menyinari sebagian bumi. Sebagian cahaya merahnya melebur diantara langit pagi dan membuat langit tampak ungu temaram.
“Aku benar, kan, di sini langit terlihat berbeda,” ucap si sulung sambil menyeka keringat yang mengalir di wajahnya.

Si bungsu mengangguk. “Tempat ini ajaib!”
“Lihat, bulan masih kelihatan!” Si sulung menunjuk ke salah satu bagian langit. Sebuah lingkaran putih, meski samar, masih terlihat diantara ungunya langit.
“Langitnya ungu, kayak senja kemarin,” komentar si bungsu, mengingat kejadian kemarin, ketika pertama kalinya mereka menemukan tempat ini.
Mereka berdua masih ingat, saat itu senja hampir bergulir sedangkan mereka masih betah bermain di tengah padang ilalang. Si sulung berhasil melewati kawanan ilalang yang tingginya melebihi tubuhnya dan mendapati sebuah padang rumput di sana. Langit tampak ungu lembut. Dia memanggil adiknya yang tertinggal di belakang.
Tampak langit berwarna ungu saat matahari beringsut tenggelam. Mereka duduk dan menikmati pemandangan itu hingga lupa waktu. Malam telah menggantung. Langit yang pekat nampak bercahaya karena bulan menyala perak, bagaikan mutiara yang bertengger bersama ribuan kerlip bintang. Di tempat ini, hanya di tempat ini, langit benar-benar terlihat luas seakan tak bertepi.
Si bungsu bahkan tak mau pergi walau dia sudah menguap beberapa kali. Hingga dia dijanjikan akan kemari lagi esok pagi dan berlomba siapa yang paling cepat mencapai tempat ini.
“Kita namai apa tempat ini, Kak?” tanya si bungsu tiba-tiba, sambil menerawang jauh ke arah perkebunan teh di kaki bukit.
Si sulung memiringkan kepalanya, berpikir. “Pintu langit!” ucapnya tegas.
Si bungsu menoleh ke kakaknya, memperlihatkan sebelah alisnya yang terangkat. “Pintu langit?”
“Pintu langit yang membuat kita lebih dekat dengan langit.”
“Dekat apanya, Kak? Langit masih jauh.”
“Kapan-kapan aku jelaskan, ya?” si sulung menatap adiknya, lalu tersenyum.
“Pintu langit ini cuma punya kita, orang lain nggak boleh ke sini.”
Sang kakak mengangkat sebelah alisnya. “Mama sama Papa juga nggak boleh?”
“Nggak boleh.”
“Masa keindahan ini cuma kita yang liat? Jahat dong?”
“Yaudah deh nanti sore kita ajak Mama sama Papa ke sini.”
“Terus siapa lagi?”
Si bungsu nampak berpikir. “Hmm yaudah suatu hari nanti kita bawa pacar ke sini.”
“Pacar?”
“Ya, calon istri juga boleh.”
Si sulung terkekeh geli mendapati adiknya sudah berpikir terlalu jauh.
Matahari semakin naik semakin intens menyinari bumi. Kicau burung yang semula ramai bersahut-sahutan kini mulai tertindih deru suara kendaraan. Kabut pagi telah menguap sempurna membentuk bentangan awan tipis pada langit yang biru cerah.
Si bungsu masih duduk di atas rerumputan. Kulit kuningnya berkilauan disorot cahaya mentari pagi. Sedang si sulung kini berdiri di sisi lain bukit sambil mengibas-kibaskan kausnya – merasa kepanasan. Tak lama kemudian dia beranjak mendekati adiknya.
“Brian, ayo pulang, sudah siang!” ajak si sulung.
Brian, si bungsu itu menggeleng.
“Ayo lah!” bujuknya lagi. Adiknya tetap menggeleng.
“Siapa cepat sampai di rumah akan dapat nasi goreng bikinan Mama!” seru sulung seraya berlari.
Mendengar hal itu, Brian sontak berdiri. “Kak Andro curang!” teriaknya sambil berlari menyusul kakaknya.
Mereka hanya berlari hingga semak perdu. Selebihnya mereka hanya berjalan karena kaki mereka mulai terasa lelah. Jalanan sudah terlihat ramai. Dengan berjalan mereka perlu waktu hingga sepuluh menit untuk sampai ke rumah.
Rumah mereka sepi, sama seperti rumah-rumah pada umumnya di minggu pagi. Tetapi ada yang berbeda, pintu depan terbuka. Beberapa tetangga terlihat berkumpul di ruang tamu. Brian masuk dengan menyeruak orang-orang di depannya. Kakinya terasa sangat lemas melihat tubuh yang terbujur kaku di tengah-tengah mereka. Seorang lelaki yang berlinangan air mata tiba-tiba merengkuh Andro dan Brian dari belakang.
“Andro, Brian, dari mana saja kalian?”
“Papa...” Brian tak mampu berkata-kata. Dia memandang kosong jenazah di tengah ruangan. Mata itu tertutup sempurna dan bibirnya membentuk sebuah lengkung tipis yang hampir tak terlihat.
Andro mulai menangis. Brian memandang sekitar. Entah apa yang membuat orang-orang di sini menangis dan menundukkan kepala. Namun satu yang dia tahu, raga di tengah ruangan itu adalah ibunya.
*
   Atmosfer kegamangan masih tersisa di kediaman keluarga Aditama. Aroma kehilangan masih sangat terasa. Delapan hari berlalu sejak kepergian sang nyonya rumah. Aktivitas anggota keluarga lain berjalan seperti dahulu. Hanya saja tugas rumah tangga sekarang diserahkan sepenuhnya pada pembantu rumah tangga mereka.
Sore yang itu, Andro mengajak adiknya pergi ke pintu langit. Sudah delapan hari mereka tak pergi ke sana. Mereka meninggalkan rumah tanpa pamit kepada Papa mereka yang terlihat sibuk dengan pekerjaannya.
Sesampainya di sana mereka disambut oleh langit yang bersemu jingga. Andro memandang teduh semburat cahaya kemerahan diantara rimbun pohon karet di dekat bukit. Sementara adiknya mengoceh tak jelas, bertanya ini-itu namun tak didengarkannya sama sekali. Cakram kuning cerah yang dipandangnya perlahan hilang ditelan malam.
“Kak, setelah terbenam, mataharinya kemana sih?”
Andro menoleh. Itu satu-satunya kalimat Brian yang terdengar olehnya. Dia tersenyum. “Dia pergi ke bagian bumi lain,” jawabnya singkat.
“Kalau... Mama?” tanya Brian ragu-ragu.
Andro terhenyak, diam. Ditatapnya mata Brian dalam-dalam. Mata yang sama seperti matanya, kata mamanya. “Brian kangen Mama?”
Brian tidak menjawab. Hening.
“Kakak kangen Mama,” Andro memeluk lututnya. Seketika dia teringat bulan lalu nilai ulangan metematikanya merah dan papanya memarahinya habis-habisan. Namun Mama dengan penuh kasih sayang menyemangatinya untuk berusaha lebih keras di ulangan minggu berikutnya. Dan ulangan selanjutnya tepat setelah kepergian Mama. Bisa ditebak, dia mendapat nilai jelek lagi. Kertas ulangan itu kini sudah teronggok di tong sampah kamarnya. Entah jadi apa dia jika Papanya mengetahui soal itu.
“Kita gagal bawa Mama ke sini,” lirih Brian, tubuhnya bersandar di batang pohon randu. Tangisnya pecah.
Andro lagi-lagi tersenyum. “Tapi Mama udah di surga, mungkin surga itu di langit,” Andro memandang langit kemerahan. “Dan kita sekarang ada di pintu langit.”
“Jadi, kita bisa ketemu Mama, Kak?” Brian menerawang.
“Suatu hari nanti...” Andro berujar pelan.
Semilir angin menerbangkan ratusan jentik halus dandelion dari padang rumput. Melewati dua bocah laki-laki di atas bukit, lalu naik perlahan-lahan membawa pesan kerinduan. Berharap langit mampu menyampaikan.
“Ayo pulang, Kak,” ajak Brian.
Andro memandangnya heran sebab biasanya dia lah yang mengajak Brian pulang. Tapi langit belum sempurna gelap, sebenarnya dia tak ingin pergi secepat itu. Namun adiknya tengah melangkah menuruni bukit menuju jalan pulang. Dengan berat hati, Andro mengikutinya.
Sepuluh menit kemudian, seperti biasanya, mereka telah sampai di rumah. Papa sedang berkemas di kamarnya. Saat kedua putranya bertanya untuk apa Papa berkemas, Papa malah menyuruh mereka kembali ke kamar mereka masing-masing dan turut berkemas. Sebuah kalimat yang meluncur dari mulut papanya membuat hati kakak-beradik itu mencelos.
“Kita akan pindah ke Bandung besok.”
*

(bersambung)