PRESENT
LUKA LAMA
Dinginnya pagi masih menyelimuti jalanan saat sebuah
metromini berhenti tepat di sebuah halte dekat area SMA Bakti Mulia. Dengan
hati-hati Luna turun dari metromini yang sesak oleh penumpang. Dia nampak
bergegas memasuki area sekolah.
Sementara tanpa dia ketahui,
di depan pos satpam, Raka telah siap menanti kedatangannya.
“Luna, tolong aku!” Ucap Raka tiba-tiba, sedikit
berteriak.
Luna yang cukup terkejut berhenti sebentar, mencari tahu
siapa gerangan pemuda yang memanggil namanya. Saat dia tahu Raka-lah orangnya,
Luna memutuskan untuk kembali melangkah.
“Ah. Tolong aku Luna, cuma
kamu yang bisa menolongku,” Ucap Raka lagi.
Luna kembali berhenti,
mengangkat alisnya tanda bingung, namun tetap dia tak bersuara.
“Cuma kamu yang bisa
menolongku. Kamulah malaikat penolong yang dikirim untuk menyembuhkan rinduku
padamu, akan kecantikanmu.”
Seperti yang Luna pikirkan
sebelumnya, pemuda aneh itu memang benar-benar tidak penting. Luna lalu
melangkah pergi, diiringi gelak tawa dari orang-orang yang melihat.
Raka menghela napas dan
tersenyum sambil bergumam “Lo liat aja Luna, mau sampai
kapan lo bakal tahan dengan sikap dingin lo ke gue, gue bakal buktiin bahwa gue
bisa naklukin lo,”
Layaknya ksatria yang tak pernah menyerah, tiap kali ada
kesempatan untuk menggoda Luna, Raka selalu melancarkan aksinya meskipun
ujung-ujungnya hanya mendapat tatapan tajam dan dingin dari Luna.
*
Pagi itu sekolah masih sepi, Luna berangkat terlalu pagi
rupanya. Buktinya cowok aneh yang sering mengganggunya akhir-akhir ini belum
kelihatan batang hidungnya. “Bagus deh, gue tenang pagi ini,” gumam Luna sambil
memasuki ruang kelasnya.
Dahinya berkerut saat didapatinya satangkai mawar merah
di atas meja. Luna mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tak ada siapa-siapa
selain dirinya. Mawar merah itu sepertinya memang untuknya karena pada secarik
kertas di dekatnya tertulis nama: to Luna.
Ada yang pernah
singgah di sini, di dada kiri.
Dialah angin yang
meniupkan namamu perlahan tanpa bunyi.
Luna terdiam untuk beberapa saat. Dibolak-baliknya
secarik kertas itu. Meskipun dia tak menemukan tulisan lain selain namanya
beserta dua baris kalimat sok manis itu, namun sepertinya dia tahu betul siapa
pengirimnya.
“Pasti cowok aneh itu!”
Buru-buru dia melangkah keluar ruang kelasnya sambil
membawa setangkai mawar merah itu. Tanpa pikir panjang dilemparkannya mawar itu
ke tong sampah di depan ruang kelasnya.
Di kejauhan, Raka melongo saat dilihatnya sendiri Luna
melemparkan mawar merah cerah yang akhirnya masuk dengan mulus ke tong sampah.
Tampak teman-temannya berusaha mati-matian menahan tawa. Melihat hal itu, Raka
menjadi semakin geram.
“Kalian liat aja, bentar lagi dia akan berada tangan
gue! Sok jual mahal banget itu cewek. Kalian liat aja nanti!”
“Hahahaha, pesona lo udah pudar kali bos. Buktinya
ditolak mentah-mentah,”
Kesal Raka meninju dinding di samping kanannya dengan
tangan yang mengepal. Sementara Davin, Andre, dan Fian berbalik dan melangkah
pergi. Tawa mereka semakin menjadi.
Esok harinya, Raka kembali beraksi. Dia sengaja
berangkat pagi-pagi buta demi menuju kelas Luna, untuk meletakan sebuah kotak
berukuran cukup besar di mejanya. Kali ini Raka sangat yakin akan membuat Luna
terkejut. Dia juga begitu yakin bahwa nasib hadiahnya kali ini tak akan
berakhir di tong sampah.
Buru-buru dia pergi melangkah menuju kelasnya sendiri
Dan benar saja. Saat Luna masuk kelas, dia kembali
dikejutkan dengan kotak besar yang tergeletak dimejanya. Luna lalu meraih
secarik kertas di atas kotak itu. Tiga baris kalimat tertuang di sana:
Mataku pernah singgah di matamu.
Sejak itu kurasakan hatiku hilang.
Mungkin di hatimu dia berpulang.
Luna lebih terkejut lagi saat mengetahui isi kotak itu
adalah puluhan batang cokelat. Gadis manis itu hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Pasti ini kerjaan cecunguk yang suka godain gue kalo turun dari bus. Itu
manusia siapa sih? Kenal juga engga, ganggu banget deh. Ini makanan dan
jumlahnya banyak, mubazir banget kalo gue buang!”
Luna menghela napas panjang.
“Kenapa, neng? Pagi-pagi udah bete gitu mukanya.” Sapa
seseorang. Luna menoleh, Alya yang baru datang telah duduk manis di sampingnya.
“Widiiih… Lo bawa cokelat segini banyaknya? Ini kan bukan hari valentine.”
“Itu semua buat lo,” ucap Luna datar.
“HAH?” Alya melotot.
“Iya, ambil aja. Atau sekiranya lo nggak kuat makan
segitu banyak, lo bagi-bagiin aja ke temen-temen.”
“Oke!” Seru Alya.
Akhirnya cokelat-cokelat itu Alya bagikan kepada seluruh
penghuni kelasnya. Semuanya merasa senang karena tak ada hujan tak ada petir,
mereka seolah ketiban rejeki, mendapatkan cokelat gratis.
“Lo sering-sering aja kaya gini, Luna. Bahagia lahir
batin gue.”
“Bener tuh, kan jadi hemat uang jajan.”
“Thanks, ya?
Rejeki emang nggak kemana.”
Luna sendiri hanya tersenyum menanggapi
komentar-komentar dari teman-temannya.
“By the way,
Lun, boleh nambah ngga coklatnya?” Tanya Weni, siswi bertubuh gempal itu
tersenyum merayu. Luna mengangguk dan tersenyum, membuat Weni bersorak
kegirangan.
Luna lalu melangkah keluar. Dia memutuskan untuk
duduk-duduk di bangku kayu di depan kelasnya, memperhatikan orang yang
berlalu-lalang melintas di sepanjang koridor.
Sudut matanya menangkap seorang pemuda yang tengah
berdiri dekat tangga, tak jauh dari Luna. Sepertinya dia tengah menunggu
seseorang. Luna menatapnya lekat-lekat. Dia adalah pemuda yang tempo hari
memergokinya berdiri di depan kelas, mencuri dengar seorang guru memarahinya
karena terlambat masuk kelas. Dia adalah pemuda yang lalu menatapnya sangat
dalam.
Luna membuang pandangan, tak mau pemuda yang seingatnya
bernama Brian itu mengetahui bahwa diam-diam dia memperhatikannya. Luna terus menunduk berpura-pura memainkan
ponselnya.
Namun tanpa disangka saat mengangkat wajahnya, Luna
mendapati Brian yang telah terlebih dahulu memandangnya. Sehingga mata mereka
kini bertemu, saling beradu untuk waktu yang cukup lama.
Tiba-tiba Luna tersentak. Dia menyadari satu hal, bahwa
mata Brian perlahan-lahan membuatnya teringat pada seseorang di masa lalu.
*
Suasana kelas begitu ramai. Bagaikan surga bahwa hari
ini guru bahasa Inggris mereka berhalangan hadir tanpa menitipkan satupun tugas
untuk dikerjakan kepada Daniel, sang ketua kelas. Alya mengalihkan perhatiannya
dari novel yang sejak tadi dia pegang menuju Luna.
“Brian? Anak IPS?” Alya mengernyitkan dahi. Ditatapnya
Luna yang duduk di hadapannya mulai mengangguk-angguk. “Apanya yang mirip sih?”
“Matanya, Al.”
“Ngarang lo, ah!”
“Gue serius, Alya.”
“Nggak lah. Beda banget. Mendingan Brian kemana-mana deh
daripada cowok itu!” Ujar Alya yakin.
“Alya... Cara dia berdiri, cara dia jalan, juga cara dia
ngeliat gue itu bener-bener mirip sama...”
“Luna,” Alya memotong cepat. Matanya menatap Luna
dalam-dalam. “Mau sampai kapan sih lo mikirin cowok brengsek itu?” Deg! Kalimat Alya barusan membuat Luna
merasakan semacam rasa sesak kembali muncul dalam dadanya. “Dia udah ninggalin
lo tanpa sebuah kepastian. Dia pergi gitu aja entah ke mana. Dan sampai saat
ini lo masih ada kebayang-bayang dia? Move on, Luna! Cowok di dunia ini bukan
cuma dia!”
Luna mematung. Entah sudah kali keberapa Alya mengatakan
kalimat-kalimat yang serupa satu tahun belakangan. Namun hatinya tak kunjung
beranjak dari pemilik nama itu.
Melihat wajah sahabatnya berubah rona, Alya buru-buru
menggeser posisi duduknya lebih dekat. Diraihnya tangan Luna, digenggamnya
erat-erat.
“Life goes on. He
has his own life. So do you.” Ucap Alya pelan. Luna mengangkat wajahnya.
Alya menatap mata Luna, mencoba meyakinkannya bahwa hidupnya harus terus
berjalan. “Udah cukup kepergian dia bikin lo nangis. Udah cukup dia bikin lo
sakit.”
Luna mencoba tersenyum. “Alya...”
“Gue pengen Luna yang dulu balik lagi,” Luna tersentak.
Adakah yang berbeda antara dirinya yang dulu dengan yang sekarang? “Gue nggak
mau Luna yang antipati sama cowok.”
“Emang gue kayak gitu ya, Al?”
“Gue perhatiin lo emang kayak gitu, Lun. Gue tahu kok
akhir-akhir ini Raka coba buat deketin lo. Dia selalu kasih lo puisi-puisi
setiap pagi. Dia kirim bunga mawar juga. Dan terakhir dia kirimin lo satu kotak
cokelat,” Alya menghitung satu-satu aksi Raka yang diketahuinya. “Kurang apa
sih dia? Dia udah baik banget sama lo. Gue rasa, dia bisa bantu lo buat move.”
“Raka?”
“Iya. Raka...”
Luna menghela napas. Dia nampak berpikir. “Gue nggak
tahu. Gue bingung.”
“Ya udah, lo tenang aja ya, Luna. Pelan-pelan lo pasti
bisa kok lupain masa lalu itu. Oke?” Alya tersenyum, diacak-acaknya rambut Luna
hingga berantakan.
Luna hanya terkekeh, beruntung dia memiliki sahabat
seperti Alya.
Waktu terus berjalan. Luna tak melihat batang hidung
Raka seharian. Dia agak bersyukur karena hidupnya terasa tenang setidaknya hingga
bel tanda pulang sekolah berbunyi.
Seperti biasa, Luna yang memang sedang ingin cepat
pulang berjalan sendirian menuju halte depan sekolah. Tiba-tiba sebuah sepeda
motor berhenti tepat di depannya. Luna terdiam, menerka-nerka siapa gerangan
pengendara sepeda motor itu. Namun setelah pemuda itu membuka helm
full-face-nya, Luna mencelos.
“Gue antar yuk, Lun!”
Luna mematung, tak sedikitpun melirik pemuda itu. Dalam
diamnya dia terus berdoa agar busnya segera datang, menyelamatkan dia dari
Raka.
“Luna?”
Bersyukurlah dia sebab tak lama kemudian sebuah bus
berhenti tak jauh darinya.
“Maaf, bus gue dateng. Permisi.”
Tanpa pikir panjang Luna bergegas menaiki bus itu. Raka
terlihat semakin dongkol.
“Sial! Jual mahal banget sih lo, Lun!” cercanya dalam
hati.
Sementara itu, sepasang mata melihat adegan itu dari
kejauhan. Pemilik mata itu tersenyum. Saat ini dia merasa lega, setidaknya dia
tahu bahwa Luna masih baik-baik saja dan akan terus baik-baik saja selama
menjauhi Raka.
Dia memacu motornya, melaju semakin kencang membelah
jalanan.
*
(bersambung)