January 05, 2013

Pintu Langit - 4








PRESENT
LUKA LAMA

Dinginnya pagi masih menyelimuti jalanan saat sebuah metromini berhenti tepat di sebuah halte dekat area SMA Bakti Mulia. Dengan hati-hati Luna turun dari metromini yang sesak oleh penumpang. Dia nampak bergegas memasuki area sekolah.
Sementara tanpa dia ketahui, di depan pos satpam, Raka telah siap menanti kedatangannya.
“Luna, tolong aku!” Ucap Raka tiba-tiba, sedikit berteriak.
Luna yang cukup terkejut berhenti sebentar, mencari tahu siapa gerangan pemuda yang memanggil namanya. Saat dia tahu Raka-lah orangnya, Luna memutuskan untuk kembali melangkah.
“Ah. Tolong aku Luna, cuma kamu yang bisa menolongku,” Ucap Raka lagi.
Luna kembali berhenti, mengangkat alisnya tanda bingung, namun tetap dia tak bersuara.
“Cuma kamu yang bisa menolongku. Kamulah malaikat penolong yang dikirim untuk menyembuhkan rinduku padamu, akan kecantikanmu.”
Seperti yang Luna pikirkan sebelumnya, pemuda aneh itu memang benar-benar tidak penting. Luna lalu melangkah pergi, diiringi gelak tawa dari orang-orang yang melihat.
Raka menghela napas dan tersenyum sambil bergumam “Lo liat aja Luna, mau sampai kapan lo bakal tahan dengan sikap dingin lo ke gue, gue bakal buktiin bahwa gue bisa naklukin lo,”
Layaknya ksatria yang tak pernah menyerah, tiap kali ada kesempatan untuk menggoda Luna, Raka selalu melancarkan aksinya meskipun ujung-ujungnya hanya mendapat tatapan tajam dan dingin dari Luna.
*
Pagi itu sekolah masih sepi, Luna berangkat terlalu pagi rupanya. Buktinya cowok aneh yang sering mengganggunya akhir-akhir ini belum kelihatan batang hidungnya. “Bagus deh, gue tenang pagi ini,” gumam Luna sambil memasuki ruang kelasnya.
Dahinya berkerut saat didapatinya satangkai mawar merah di atas meja. Luna mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Mawar merah itu sepertinya memang untuknya karena pada secarik kertas di dekatnya tertulis nama: to Luna.

Ada yang pernah singgah di sini, di dada kiri.
Dialah angin yang meniupkan namamu perlahan tanpa bunyi.

Luna terdiam untuk beberapa saat. Dibolak-baliknya secarik kertas itu. Meskipun dia tak menemukan tulisan lain selain namanya beserta dua baris kalimat sok manis itu, namun sepertinya dia tahu betul siapa pengirimnya.
“Pasti cowok aneh itu!”
Buru-buru dia melangkah keluar ruang kelasnya sambil membawa setangkai mawar merah itu. Tanpa pikir panjang dilemparkannya mawar itu ke tong sampah di depan ruang kelasnya.
Di kejauhan, Raka melongo saat dilihatnya sendiri Luna melemparkan mawar merah cerah yang akhirnya masuk dengan mulus ke tong sampah. Tampak teman-temannya berusaha mati-matian menahan tawa. Melihat hal itu, Raka menjadi semakin geram.
“Kalian liat aja, bentar lagi dia akan berada tangan gue! Sok jual mahal banget itu cewek. Kalian liat aja nanti!”
“Hahahaha, pesona lo udah pudar kali bos. Buktinya ditolak mentah-mentah,”
Kesal Raka meninju dinding di samping kanannya dengan tangan yang mengepal. Sementara Davin, Andre, dan Fian berbalik dan melangkah pergi. Tawa mereka semakin menjadi.
Esok harinya, Raka kembali beraksi. Dia sengaja berangkat pagi-pagi buta demi menuju kelas Luna, untuk meletakan sebuah kotak berukuran cukup besar di mejanya. Kali ini Raka sangat yakin akan membuat Luna terkejut. Dia juga begitu yakin bahwa nasib hadiahnya kali ini tak akan berakhir di tong sampah.
Buru-buru dia pergi melangkah menuju kelasnya sendiri
Dan benar saja. Saat Luna masuk kelas, dia kembali dikejutkan dengan kotak besar yang tergeletak dimejanya. Luna lalu meraih secarik kertas di atas kotak itu. Tiga baris kalimat tertuang di sana:

Mataku pernah singgah di matamu.
Sejak itu kurasakan hatiku hilang.
Mungkin di hatimu dia berpulang.

Luna lebih terkejut lagi saat mengetahui isi kotak itu adalah puluhan batang cokelat. Gadis manis itu hanya bisa geleng-geleng kepala. “Pasti ini kerjaan cecunguk yang suka godain gue kalo turun dari bus. Itu manusia siapa sih? Kenal juga engga, ganggu banget deh. Ini makanan dan jumlahnya banyak, mubazir banget kalo gue buang!”
Luna menghela napas panjang.
“Kenapa, neng? Pagi-pagi udah bete gitu mukanya.” Sapa seseorang. Luna menoleh, Alya yang baru datang telah duduk manis di sampingnya. “Widiiih… Lo bawa cokelat segini banyaknya? Ini kan bukan hari valentine.”
“Itu semua buat lo,” ucap Luna datar.
“HAH?” Alya melotot.
“Iya, ambil aja. Atau sekiranya lo nggak kuat makan segitu banyak, lo bagi-bagiin aja ke temen-temen.”
“Oke!” Seru Alya.
Akhirnya cokelat-cokelat itu Alya bagikan kepada seluruh penghuni kelasnya. Semuanya merasa senang karena tak ada hujan tak ada petir, mereka seolah ketiban rejeki, mendapatkan cokelat gratis.
“Lo sering-sering aja kaya gini, Luna. Bahagia lahir batin gue.”
“Bener tuh, kan jadi hemat uang jajan.”
Thanks, ya? Rejeki emang nggak kemana.”
Luna sendiri hanya tersenyum menanggapi komentar-komentar dari teman-temannya.
By the way, Lun, boleh nambah ngga coklatnya?” Tanya Weni, siswi bertubuh gempal itu tersenyum merayu. Luna mengangguk dan tersenyum, membuat Weni bersorak kegirangan.
Luna lalu melangkah keluar. Dia memutuskan untuk duduk-duduk di bangku kayu di depan kelasnya, memperhatikan orang yang berlalu-lalang melintas di sepanjang koridor.
Sudut matanya menangkap seorang pemuda yang tengah berdiri dekat tangga, tak jauh dari Luna. Sepertinya dia tengah menunggu seseorang. Luna menatapnya lekat-lekat. Dia adalah pemuda yang tempo hari memergokinya berdiri di depan kelas, mencuri dengar seorang guru memarahinya karena terlambat masuk kelas. Dia adalah pemuda yang lalu menatapnya sangat dalam.
Luna membuang pandangan, tak mau pemuda yang seingatnya bernama Brian itu mengetahui bahwa diam-diam dia memperhatikannya. Luna  terus menunduk berpura-pura memainkan ponselnya.
Namun tanpa disangka saat mengangkat wajahnya, Luna mendapati Brian yang telah terlebih dahulu memandangnya. Sehingga mata mereka kini bertemu, saling beradu untuk waktu yang cukup lama.
Tiba-tiba Luna tersentak. Dia menyadari satu hal, bahwa mata Brian perlahan-lahan membuatnya teringat pada seseorang di masa lalu.
*
Suasana kelas begitu ramai. Bagaikan surga bahwa hari ini guru bahasa Inggris mereka berhalangan hadir tanpa menitipkan satupun tugas untuk dikerjakan kepada Daniel, sang ketua kelas. Alya mengalihkan perhatiannya dari novel yang sejak tadi dia pegang menuju Luna.
“Brian? Anak IPS?” Alya mengernyitkan dahi. Ditatapnya Luna yang duduk di hadapannya mulai mengangguk-angguk. “Apanya yang mirip sih?”
“Matanya, Al.”
“Ngarang lo, ah!”
“Gue serius, Alya.”
“Nggak lah. Beda banget. Mendingan Brian kemana-mana deh daripada cowok itu!” Ujar Alya yakin.
“Alya... Cara dia berdiri, cara dia jalan, juga cara dia ngeliat gue itu bener-bener mirip sama...”
“Luna,” Alya memotong cepat. Matanya menatap Luna dalam-dalam. “Mau sampai kapan sih lo mikirin cowok brengsek itu?” Deg! Kalimat Alya barusan membuat Luna merasakan semacam rasa sesak kembali muncul dalam dadanya. “Dia udah ninggalin lo tanpa sebuah kepastian. Dia pergi gitu aja entah ke mana. Dan sampai saat ini lo masih ada kebayang-bayang dia? Move on, Luna! Cowok di dunia ini bukan cuma dia!”
Luna mematung. Entah sudah kali keberapa Alya mengatakan kalimat-kalimat yang serupa satu tahun belakangan. Namun hatinya tak kunjung beranjak dari pemilik nama itu.
Melihat wajah sahabatnya berubah rona, Alya buru-buru menggeser posisi duduknya lebih dekat. Diraihnya tangan Luna, digenggamnya erat-erat.
Life goes on. He has his own life. So do you.” Ucap Alya pelan. Luna mengangkat wajahnya. Alya menatap mata Luna, mencoba meyakinkannya bahwa hidupnya harus terus berjalan. “Udah cukup kepergian dia bikin lo nangis. Udah cukup dia bikin lo sakit.”
Luna mencoba tersenyum. “Alya...”
“Gue pengen Luna yang dulu balik lagi,” Luna tersentak. Adakah yang berbeda antara dirinya yang dulu dengan yang sekarang? “Gue nggak mau Luna yang antipati sama cowok.”
“Emang gue kayak gitu ya, Al?”
“Gue perhatiin lo emang kayak gitu, Lun. Gue tahu kok akhir-akhir ini Raka coba buat deketin lo. Dia selalu kasih lo puisi-puisi setiap pagi. Dia kirim bunga mawar juga. Dan terakhir dia kirimin lo satu kotak cokelat,” Alya menghitung satu-satu aksi Raka yang diketahuinya. “Kurang apa sih dia? Dia udah baik banget sama lo. Gue rasa, dia bisa bantu lo buat move.”
“Raka?”
“Iya. Raka...”
Luna menghela napas. Dia nampak berpikir. “Gue nggak tahu. Gue bingung.”
“Ya udah, lo tenang aja ya, Luna. Pelan-pelan lo pasti bisa kok lupain masa lalu itu. Oke?” Alya tersenyum, diacak-acaknya rambut Luna hingga berantakan.
Luna hanya terkekeh, beruntung dia memiliki sahabat seperti Alya.
Waktu terus berjalan. Luna tak melihat batang hidung Raka seharian. Dia agak bersyukur karena hidupnya terasa tenang setidaknya hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi.
Seperti biasa, Luna yang memang sedang ingin cepat pulang berjalan sendirian menuju halte depan sekolah. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya. Luna terdiam, menerka-nerka siapa gerangan pengendara sepeda motor itu. Namun setelah pemuda itu membuka helm full-face-nya, Luna mencelos.
“Gue antar yuk, Lun!”
Luna mematung, tak sedikitpun melirik pemuda itu. Dalam diamnya dia terus berdoa agar busnya segera datang, menyelamatkan dia dari Raka.
“Luna?”
Bersyukurlah dia sebab tak lama kemudian sebuah bus berhenti tak jauh darinya.
“Maaf, bus gue dateng. Permisi.”
Tanpa pikir panjang Luna bergegas menaiki bus itu. Raka terlihat semakin dongkol.
“Sial! Jual mahal banget sih lo, Lun!” cercanya dalam hati.
Sementara itu, sepasang mata melihat adegan itu dari kejauhan. Pemilik mata itu tersenyum. Saat ini dia merasa lega, setidaknya dia tahu bahwa Luna masih baik-baik saja dan akan terus baik-baik saja selama menjauhi Raka.
Dia memacu motornya, melaju semakin kencang membelah jalanan.
*

(bersambung)