January 11, 2013

Pintu Langit - 13


PAST
KISAH LAIN

Malam itu, tak seperti biasanya, Brian terbaring lemah di tempat tidur dalam kamarnya. Wajahnya pucat dan matanya terpejam. Suhu tubuhnya meningkat sejak tadi sore. Kini dia tertidur setelah Andro berhasil memaksanya untuk makan dan meminum obat.
Dia tengah membenarkan letak selimut Brian saat tiba-tiba ponsel di atas meja bergetar. Ponsel itu milik Brian, dan sebuah pesan singkat baru saja masuk. Nomor asing.

Rei! Tokai! Dimana lo??
Anak-anak udah pada nunggu.
Kita pindah lokasi, nggak jadi di Diponegoro.

Cepet ke Pasupati!!
Kalo sampe nggak dateng, gue bunuh lo!

Andro tertegun. “Rei?”
Sempat Andro mengira pesan itu salah kirim, namun saat membaca ulang pesan itu dia menyadari sesuatu.
“Tunggu! Pasupati?” Gumam Andro. Pikirannya kini menerawang jauh. Balapan! Tak salah lagi, itulah jawaban yang sering keluar dari mulut Brian saat ditanyai ini itu saat pulang dini hari. Dan malam ini adalah malam Minggu. Jembatan layang Pasupati adalah salah satu tempat di Bandung yang memang sering digunakan untuk balap liar.
Andro mengetik sebuah balasan dengan cepat.

Ok!
Gue jalan sekarang juga.

Andro lekas meletakkan ponsel Brian kembali ke atas meja. Dia bergegas pergi ke garasi rumahnya setelah mengambil jaket kulit dan helm full-face milik Brian. Diam-diam diraihnya kunci motor Brian, lalu dibukanya pagar rumah perlahan. Sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara.
Tak lama kemudian motor itu melaju kencang, membelah jalanan kota Bandung yang senyap.

*
Deru motor yang dikendarai Andro terdengar, membuat kerumunan itu bersorak semakin riuh. Motor merah itu seolah menjadi bintang yang memang sedang ditunggu-tunggu untuk ditonton penampilannya.
“REINER!” Seru salah seorang dari mereka. Seorang pemuda yang entah siapa kini berdiri di samping motornya. “Akhirnya lo dateng juga! Buruan siap-siap. Raka udah nungguin lo di sana. Inget, ini duel. Kalian cuma bedua.”
Andro mencoba mencerna segala hal yang dia temui di sini. Reiner, Raka, duel. Perlahan-lahan Andro mulai mengerti apa yang selama ini Brian lakukan di luar rumah hingga pulang larut malam. Balapan. Dan dia adalah seorang bintang di arena balapan.
Andro menarik gas motornya. Sementara suara kerumunan itu semakin menjadi-jadi. “Reiner... Reiner... Reiner...”
Andro berhenti tepat di samping motor lain. Andro bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas sebab pemuda itu belum mengenakan helm. Pemuda itu menatapnya dalam. Andro merasa jantungnya berdebar-debar. Selama dia tak membuka helm full-face yang dia kenakan, tak ada yang kan menyadari bahwa dia bukanlah Reiner, atau Brian.
Mengetahui bahwa duel malam ini akan segera dimulai, Raka buru-buru mengenakan helmnya. Diliriknya rivalnya sekilas. Lalu kembali fokus menghadap ke jalanan yang menanti di depannya.
Seorang wanita cantik, bertubuh tinggi semampai, dan berambut panjang berjalan ke tengah arena. Dia mengenakan tank-top berwarna hitam dan jeans ketat. Tangan kanannya memegang erat sebuah bendera start.
Andro menarik napas dalam-dalam. Pikirannya tertuju pada Brian. Dia ada di tempat ini karena Brian, demi Brian. Bendera itu telah terangkat, dan kedua motor itu melesat kencang menembus dinginnya malam.
*
Brian terbangun tiba-tiba. Tenggorokannya terasa sangat kering. Kepalanya terasa berat, namun dia berusaha bangkit dan meraih sebuah gelas berisi air di atas meja.
Brian lalu meraih ponselnya dan terhenyak. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal dilihatnya dalam keadaan telah terbuka. Brian mencelos saat melihat pesan keluar yang baru saja terkirim beberapa saat lalu.
Buru-buru dia menekan sebuah kombinasi nomor telepon dan memanggilnya. Setelah menunggu beberapa detik sebuah suara terdengar dari seberang.
“Halo? Rei? Lo setan  ngapain telpon gue? Bukannya lo lagi balapan ya?”
Deg! Jantungnya berdegup kencang dan perasaannya benar-benar tak karuan saat menyadari Andro telah pergi ke arena balapan dan berperan menjadi dirinya. Dugaannya semakin kuat saat tak didapatinya kunci motor, helm, dan jaket yang biasa dia pakai saat balapan.
Tanpa pikir panjang, Brian memacu kencang motor milik Andro menuju Pasupati. Berbagai firasat buruk menghantuinya sebab dia tahu siapa lawan yang dihadapi kakaknya.
Adalah Raka, pemuda paling liar di arena itu.
*
Brian mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun tak didapatinya satu orang pun yang dapat dia mintai keterangan. Pikirannya semakin kacau. Pemuda itu lalu memacu motornya membelah jalanan yang beberapa saat lalu sempat dilewati kakaknya dengan motornya.
Satu kilometer dari tempatnya berhenti tadi, dia mendapati sebuah motor tergeletak di tepi jalan.
“Itu motor gue!”
Brian menghentikan laju motornya, mengamati seluruh sudut jalanan dan betapa terkejutnya dia saat melihat sesosok tubuh tergeletak tak berdaya tak jauh dari tempatnya berdiri.
“ANDRO!”
Pemuda itu berlari mendekati tubuh kakaknya yang lemah bersimbah darah. Tak perlu banyak waktu untuk berpikir, Brian langsung menelepon ambulans untuk membawa kakaknya ke rumah sakit terdekat.
Patah tulang dan pendarahan organ dalam yang dialami Andro benar-benar parah. Sementara Andro berada di Unit Gawat Darurat, Brian tampak begitu gelisah di luar ruangan. Keringat dingin mengalir melalui pelipisnya. Tangannya bergetar hebat. Kedua kakinya benar-benar terasa lemas dan dia tak mampu berdiri.
Beberapa menit kemudian seorang dokter terlihat membuka pintu dan keluar dari ruangan tempat Andro berada.
“Anda keluarga dari pasien bernama Andromeda?”
Brian bangkit dari duduknya dan menghampiri sang dokter.
“Saya adiknya. Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?”
Dokter bertubuh tambun itu menarik napas, wajahnya tampak ragu. “Saudara Andromeda ingin berbicara dengan Anda.”
Brian mengangguk cepat dan bergegas memasuki ruangan tempat Andro terbaring. Di atas tempat tidur itu ada Andro yang berusaha menggerak-gerakkan jemarinya, meminta Brian mendekat padanya dan mendengarkan setiap kata yang masih sempat diucapkannya.
Dingin merayap. Sekuat hati dia berusaha menahan kesedihan yang membayanginya, membuat dadanya berubah menjadi sedemikian sesak. Menatap lekat-lekat wajah sang kakak, Brian teringat tentang sebuah rasi bintang yang dahulu pernah Andro kisahkan. Bintang-bintang terang yang mendiami langit utara. Bintang-bintang terang yang terlihat jelas saat pukul sembilan malam di cakrawala. Bintang-bintang terang yang pada akhirnya membawa Andro pergi, selama-lamanya.
Senyap diam-diam menyergap sudut-sudut hampa ruang hatinya. Di luar, seperti merasakan getir yang sama, langit malam menjelma begitu pucat memendam duka.
*

(bersambung)