PAST
KISAH LAIN
Malam itu, tak seperti biasanya, Brian terbaring lemah
di tempat tidur dalam kamarnya. Wajahnya pucat dan matanya terpejam. Suhu
tubuhnya meningkat sejak tadi sore. Kini dia tertidur setelah Andro berhasil
memaksanya untuk makan dan meminum obat.
Dia tengah membenarkan letak selimut Brian saat
tiba-tiba ponsel di atas meja bergetar. Ponsel itu milik Brian, dan sebuah
pesan singkat baru saja masuk. Nomor asing.
Rei! Tokai! Dimana
lo??
Anak-anak udah
pada nunggu.
Kita pindah
lokasi, nggak jadi di Diponegoro.
Cepet ke
Pasupati!!
Kalo sampe nggak
dateng, gue bunuh lo!
Andro tertegun. “Rei?”
Sempat Andro mengira pesan itu salah kirim, namun saat
membaca ulang pesan itu dia menyadari sesuatu.
“Tunggu! Pasupati?” Gumam Andro. Pikirannya kini
menerawang jauh. Balapan! Tak salah lagi, itulah jawaban yang sering keluar
dari mulut Brian saat ditanyai ini itu saat pulang dini hari. Dan malam ini
adalah malam Minggu. Jembatan layang Pasupati adalah salah satu tempat di
Bandung yang memang sering digunakan untuk balap liar.
Andro mengetik sebuah balasan dengan cepat.
Ok!
Gue jalan sekarang
juga.
Andro lekas meletakkan ponsel Brian kembali ke atas
meja. Dia bergegas pergi ke garasi rumahnya setelah mengambil jaket kulit dan
helm full-face milik Brian. Diam-diam diraihnya kunci motor Brian, lalu
dibukanya pagar rumah perlahan. Sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara.
Tak lama kemudian motor itu melaju kencang, membelah
jalanan kota Bandung yang senyap.
*
Deru motor yang dikendarai Andro terdengar, membuat
kerumunan itu bersorak semakin riuh. Motor merah itu seolah menjadi bintang
yang memang sedang ditunggu-tunggu untuk ditonton penampilannya.
“REINER!” Seru salah seorang dari mereka. Seorang pemuda
yang entah siapa kini berdiri di samping motornya. “Akhirnya lo dateng juga!
Buruan siap-siap. Raka udah nungguin lo di sana. Inget, ini duel. Kalian cuma
bedua.”
Andro mencoba mencerna segala hal yang dia temui di
sini. Reiner, Raka, duel. Perlahan-lahan Andro mulai mengerti apa yang selama
ini Brian lakukan di luar rumah hingga pulang larut malam. Balapan. Dan dia
adalah seorang bintang di arena balapan.
Andro menarik gas motornya. Sementara suara kerumunan
itu semakin menjadi-jadi. “Reiner... Reiner... Reiner...”
Andro berhenti tepat di samping motor lain. Andro bisa
melihat wajahnya dengan sangat jelas sebab pemuda itu belum mengenakan helm. Pemuda
itu menatapnya dalam. Andro merasa jantungnya berdebar-debar. Selama dia tak
membuka helm full-face yang dia kenakan, tak ada yang kan menyadari bahwa dia
bukanlah Reiner, atau Brian.
Mengetahui bahwa duel malam ini akan segera dimulai,
Raka buru-buru mengenakan helmnya. Diliriknya rivalnya sekilas. Lalu kembali
fokus menghadap ke jalanan yang menanti di depannya.
Seorang wanita cantik, bertubuh tinggi semampai, dan
berambut panjang berjalan ke tengah arena. Dia mengenakan tank-top berwarna hitam dan jeans
ketat. Tangan kanannya memegang erat sebuah bendera start.
Andro menarik napas dalam-dalam. Pikirannya tertuju pada
Brian. Dia ada di tempat ini karena Brian, demi Brian. Bendera itu telah
terangkat, dan kedua motor itu melesat kencang menembus dinginnya malam.
*
Brian terbangun tiba-tiba. Tenggorokannya terasa sangat
kering. Kepalanya terasa berat, namun dia berusaha bangkit dan meraih sebuah
gelas berisi air di atas meja.
Brian lalu meraih ponselnya dan terhenyak. Sebuah pesan
masuk dari nomor tak dikenal dilihatnya dalam keadaan telah terbuka. Brian
mencelos saat melihat pesan keluar yang baru saja terkirim beberapa saat lalu.
Buru-buru dia menekan sebuah kombinasi nomor telepon dan
memanggilnya. Setelah menunggu beberapa detik sebuah suara terdengar dari
seberang.
“Halo? Rei? Lo
setan ngapain telpon gue? Bukannya lo
lagi balapan ya?”
Deg! Jantungnya berdegup kencang dan perasaannya benar-benar tak karuan
saat menyadari Andro telah pergi ke arena balapan dan berperan menjadi dirinya.
Dugaannya semakin kuat saat tak didapatinya kunci motor, helm, dan jaket yang
biasa dia pakai saat balapan.
Tanpa pikir panjang, Brian memacu kencang motor milik
Andro menuju Pasupati. Berbagai firasat buruk menghantuinya sebab dia tahu
siapa lawan yang dihadapi kakaknya.
Adalah Raka, pemuda paling liar di arena itu.
*
Brian mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun tak
didapatinya satu orang pun yang dapat dia mintai keterangan. Pikirannya semakin
kacau. Pemuda itu lalu memacu motornya membelah jalanan yang beberapa saat lalu
sempat dilewati kakaknya dengan motornya.
Satu kilometer dari tempatnya berhenti tadi, dia
mendapati sebuah motor tergeletak di tepi jalan.
“Itu motor gue!”
Brian menghentikan laju motornya, mengamati seluruh
sudut jalanan dan betapa terkejutnya dia saat melihat sesosok tubuh tergeletak
tak berdaya tak jauh dari tempatnya berdiri.
“ANDRO!”
Pemuda itu berlari mendekati tubuh kakaknya yang lemah
bersimbah darah. Tak perlu banyak waktu untuk berpikir, Brian langsung
menelepon ambulans untuk membawa kakaknya ke rumah sakit terdekat.
Patah tulang dan pendarahan organ dalam yang dialami
Andro benar-benar parah. Sementara Andro berada di Unit Gawat Darurat, Brian
tampak begitu gelisah di luar ruangan. Keringat dingin mengalir melalui
pelipisnya. Tangannya bergetar hebat. Kedua kakinya benar-benar terasa lemas
dan dia tak mampu berdiri.
Beberapa menit kemudian seorang dokter terlihat membuka
pintu dan keluar dari ruangan tempat Andro berada.
“Anda keluarga dari pasien bernama Andromeda?”
Brian bangkit dari duduknya dan menghampiri sang dokter.
“Saya adiknya. Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?”
Dokter bertubuh tambun itu menarik napas, wajahnya
tampak ragu. “Saudara Andromeda ingin berbicara dengan Anda.”
Brian mengangguk cepat dan bergegas memasuki ruangan tempat
Andro terbaring. Di atas tempat tidur itu ada Andro yang berusaha
menggerak-gerakkan jemarinya, meminta Brian mendekat padanya dan mendengarkan
setiap kata yang masih sempat diucapkannya.
Dingin merayap. Sekuat hati dia berusaha menahan
kesedihan yang membayanginya, membuat dadanya berubah menjadi sedemikian sesak.
Menatap lekat-lekat wajah sang kakak, Brian teringat tentang sebuah rasi
bintang yang dahulu pernah Andro kisahkan. Bintang-bintang terang yang mendiami
langit utara. Bintang-bintang terang yang terlihat jelas saat pukul sembilan
malam di cakrawala. Bintang-bintang terang yang pada akhirnya membawa Andro
pergi, selama-lamanya.
Senyap diam-diam menyergap sudut-sudut hampa ruang
hatinya. Di luar, seperti merasakan getir yang sama, langit malam menjelma
begitu pucat memendam duka.
*
(bersambung)