PRESENT
SUARA-SUARA
DARI HATI
LUNA
Malam temaram, kabut tipis turun perlahan. Malam ini aku
kembali berdiam menatap langit. Satu nama yang hingga kini masih membekas di
ingatanku itu adalah namamu, Andromeda Harya Arkana Aditama. Laki-laki bintang,
begitulah aku selalu memanggilmu. Kau akan menimpali dengan memanggilku Putri
Bulan. Itu adalah arti nama Luna, ujarmu kala itu.
Aku sangat memahami bahwa kau begitu dekat dengan langit
dan bintang-bintang. Setiap akhir pekan kau akan datang menjemputku, mengajakku
ke satu tempat di Lembang yang dingin. Kau juga tak pernah lupa mengingatkanku
untuk membawa jaket tebal sebab udara Lembang saat malam begitu dingin.
Tempat yang kau tuju saat itu adalah sebuah bukit di
balik lebat padang ilalang yang tumbuh setinggi daguku, dan kurasa sepertinya
kawanan ilalang itu hanya setinggi dadamu. Kau selalu menggenggam erat tanganku
saat melewati padang itu. Aku tahu kau khawatir aku akan tersesat. Dan setelah
terbebas dari tumbuhan ilalang yang lebat itu kau akan menunjuk sebuah jalan
kecil menuju suatu bukit yang dinaungi sebatang pohon randu. Ke sanalah kita
menuju.
Banyak hal yang dapat kita lakukan
di sana, katamu. Termasuk menyelami langit pagi yang
ungu menyala, menyaksikan pelangi membusur di cakrawala, menelaah potret senja
yang memesona, atau menerjemahkan tiap pendar bintang di angkasa. Mendengarkamu berceloteh tentang bintang sambil menuturkan
kisah-kisah di balik indahnya adalah hal yang paling aku suka.
Aku selalu bertanya: apakah tempat
ini memiliki nama? Kau sebut bukit itu pintu langit. Sebab hanya di bukit
itulah langit selalu tampak lebih luas, katamu. Benar memang katamu, Andro,
sejauh mata memandang batas cakrawala terlihat jauh dan cemerlang. Tempat itu
indah, sangat indah, bahkan kusebut itu tempat paling indah yang pernah
kudatangi. Terlebih kaulah yang menemaniku ke sana.
Namun, Andro, ada satu hal yang sampai saat itu tak
kuketahui. Yakni tentang perasaanmu yang sebenarnya terhadapku. Apakah kau memiliki
rasa yang lebih dari sekedar sayang seorang teman? Seperti rasa yang aku
rasakan terhadapmu belakangan ini? Entahlah. Perlakuanmu padaku sangat berbeda.
Salahkah aku jika menganggapmu memiliki rasa cinta?
Sungguh, Andro, aku tak pernah tahu sebab kau selalu
diam. begitu pula aku. Aku tak mungkin mengungkapkannya padamu saat itu. Hingga
kita berdua sama-sama kehilangan kesempatan. Kau pergi meninggalkan aku tanpa
kepastian, aku pun memilih diam.
Sejak kau pergi, Andro, kau tahu apa
yang berubah? Aku. Aku berubah. Aku tak pernah membuka hati untuk laki-laki
lain karena aku terus berharap dan menunggumu kembali suatu hari nanti. Namun
semakin aku berharap, yang kudapati hanya hatiku yang semakin kosong. Saat
itulah aku tersadar bahwa aku sangat bodoh. Dan kau yang membuatku bodoh,
Andro.
Aku pikir kekosongan itu akan segera
hilang dan tak terasa lagi. Bagaimana kosong bisa terasa menyakitkan? Kosong
seharusnya berarti tak ada apa-apa. Tak ada apa-apa berarti tak ada masalah.
Termasuk rasa sakit.
Tapi entah mengapa kekosongan itu
menjadi semakin menyakitkan. Sebab aku mulai memahami bahwa kau takkan kembali.
Kau telah pergi dan melupakanku, entah ke mana. Rasa sakit itu berusaha
kusembunyikan dari siapapun hingga seseorang bernama Raka datang mendekatiku.
Namanya Raka, Andro!
Raka benar-benar gencar melakukan
pendekatan. Dia tak seperti kau yang diam-diam membuatku hanyut. Dia hanyalah
seonggok manusia aneh yang berpikir bisa mendapatkan aku dengan hadiah-hadiah
dan puisi murahannya. Aku tak suka dengan caranya. Aku bukan untuk dibeli. Lagi
pula aku telah berjanji untuk menutup hati, setidaknya sampai rasa sakit yang
kau torehkan itu hilang sendiri.
Dan sosok lain yang tak kukenal
tiba-tiba datang. Dia Brian. Dia begitu dingin dan urakan. Aku tak pernah
menyukai model laki-laki seperti ini, Andro. Sungguh. Namun ada suatu hal dalam
diri Brian yang membuatku merasa tertarik. Matanya. Benar, matanya yang
membuatku tertarik. Cara Brian menatapku, Andro, sama persis seperti caramu
menatapku.
Brian datang seperti seorang
malaikat pelindung yang dikirimkan oleh Tuhan. Saat itu aku tak mengerti apa
yang membuatnya bersikap seolah-olah melindungi aku dari Raka adalah tugas
utamanya. Dia sempat terkapar akibat dikeroyok Raka dan teman-temannya ― yang
tak terima atas pukulan Brian di wajahnya di hari sebelumnya. Alasan macam apa
yang membuatnya menjadi seperti itu, Andro?
Sama seperti saat aku berada di
dekatmu, aku selalu merasa gugup dan tegang saat berada di dekat Brian. Dia
begitu mengingatkanku padamu. Pernah pada suatu malam di awal November, dia
memandang jauh ke langit sambil bergumam menjelaskan bintang-bintang. Sama
seperti yang biasa kau lakukan setiap malam Minggu di pintu langit. Dahulu saat
bersamamu aku selalu tertidur setelah kau menceritakan tentang bintang-bintang
di angkasa, Andro. Aku ingat.
Semakin hari, aku semakin merasa
bahwa menatap mata Brian telah menjadi candu bagiku. Saat Brian mengatakan
padaku bahwa kau telah meninggal aku sangat terpukul. Brian dengan sigap
memelukku dan aku merasakan kehangatan di sana. Saat itu aku begitu tenang
hingga dapat aku ikhlaskan kepergianmu, pelan-pelan.
Maafkan aku, Andro. Aku pikir malam
ini, di bawah naungan bintang-bintangmu itu untuk pertama kalinya aku sadar
bahwa aku telah jatuh cinta pada Brian. Adikmu.
*
BRIAN
Gue tahu betul bahwa rasi bintang di
atas sana punya nama yang sama kaya lo. Andromeda. Gue selalu termenung,
berpikir entah sejak kapan gue panggil nama lo tanpa sebutan ‘Kak’ seperti
waktu kita kecil dulu. Terkadang gue rindu masa-masa itu. Masa-masa di mana lo
ada buat gue, dan gue ada buat lo.
Hidup gue begitu hancur sejak lo
pergi. Rumah ini bener-bener lebih sepi dari kuburan. Kalo gue boleh minta, gue
mau Tuhan putar waktu ke masa lalu dan antar gue ke masa-masa saat Mama masih
ada. Gue mau Tuhan hentikan waktu di situ selamanya agar gue bisa merasa
hangat, nggak merasa sehampa ini. Tapi gue tahu waktu nggak akan pernah bisa
berputar, seperti kata lo dulu.
Dari kecil lo memang selalu ada buat
melindungi gue dari Papa. Tapi semua berubah saat kita sama-sama beranjak
dewasa. Lo seakan punya dunia sendiri sehingga mau nggak mau gue juga harus ciptain
dunia gue sendiri di luar. Balapan. Hanya itu satu-satunya hal yang bisa buat
gue tenang. Seenggaknya gue merasa segala beban pikiran gue di rumah hilang.
Segala pikiran tentang lo, tentang Papa, dan tentang keluarga salah itu. Semua
seakan menguap saat gue balapan.
Rei. Begitulah anak-anak panggil
gue. Mereka hanya tahu kalau nama gue adalah Reiner dan mereka nggak tahu
menahu tentang nama Brian. Andai lo pernah nanya kenapa gue pakai nama Reiner
bukan Brian di arena balapan, gue akan serta merta jawab: Brian adalah adik lo
yang baik, yang penurut, dan yang lo sayang sejak dulu, sementara Reiner hanya
seonggok sampah yang nggak diperhatikan dan dibiarkan sendirian di jalanan.
Sungguh gue nggak pernah nyangka
bahwa arena itu akan merenggut nyawa lo. Gue nggak habis pikir kemana pikiran
lo saat lo memutuskan buat gantiin gue balapan, padahal lo selalu mati-matian
buat gue yakin bahwa balapan adalah bahaya. Apa sebesar itu keinginan lo buat
jadi ksatria pelindung gue, Andro?
Dan saat lo pergi, gue yakin separuh
jiwa gue juga menguap dan dalam hati gue tegaskan bahwa gue menyimpan dendam
sama pengendara motor itu. Raka.
Satu-satunya yang tersisa dari lo
adalah sebaris kalimat itu, yang lo ucapkan di malam kematian lo. Pesan agar
gue jaga Aluna, perempuan yang bahkan gue nggak tahu seperti apa bentuknya.
Pencarian gue baru membuahkan hasil
saat gue datang ke pintu langit. Di batang pohon itu ada goresan yang menunjuk
pada satu nama: Aluna Luvena Dewanti. Gue merasa sosok itu sudah begitu dekat.
Hari berikutnya gue berhasil menemukan Aluna. Ternyata dia satu sekolah dengan
gue. Cewek itu begitu berarti buat lo dan dia harus gue jagain, seperti pesan
terakhir lo itu.
Sejak saat itu sebisa mungkin gue
berusaha buat Luna merasa aman. Sampai akhirnya gue dengar sendiri bahwa Raka
bakal menjadikan Luna bahan taruhan. Raka adalah pengendara motor itu, Andro.
Dia adalah pengendara motor yang bikin lo jatuh dan meninggal. Gimana bisa gue
tenang-tenang sementara cowok brengsek itu punya rencana buruk buat Luna. Gue
panas dan amarah gue hampir meluap saat tiba-tiba gue sadar bahwa gue nggak
boleh gegabah.
Gue akan melindungi Luna diam-diam,
tanpa dia tahu. Maka dari itu gue selalu ikut kemanapun dia pergi, buat
memastikan bahwa dia masih baik-baik aja. Sampai suatu hari gue benar-benar
nggak bisa kontrol diri gue. Dengan mata kepala gue sendiri gue lihat Raka
mencoba macam-macam sama Luna. Tanpa pikir panjang gue langsung hajar dia. Gue
nggak peduli dengan larangan lo buat gue untuk pukul orang. Tapi ini demi Luna,
gue harus melindungi Luna selama gue bisa.
Gue pikir Raka bakal berhenti ganggu
Luna. Tapi suatu hari gue lihat dia masih berani mendekati Luna dan bikin dia
kesakitan. Dan entah atas dorongan apa gue beranikan diri buat genggam tangan
Luna dan tarik dia pergi. Saat itu gue benar-benar nggak habis pikir bagaimana
bisa gue melakukan itu? Apa hanya karena pesan lo yang mesti gue jaga? Atau ada
alasan lain? Misalnya… perasaan?
Luna memang cantik, seperti yang
sering lo bilang dulu. Tapi bukan itu yang gue lihat dari dia. Ada banyak hal
termasuk tawa dan senyum yang dia tawarkan setiap kita bertemu. Hari-hari gue
nggak lagi terasa hambar. Ada dia yang selalu bisa bikin segalanya berwarna.
Dan akhir-akhir ini gue sering merasa gugup saat mata gue dan mata Luna
bertemu. Gue kali ini benar-benar yakin, Andro. Gue rasa gue mulai suka Luna.
Gue mohon, izinkan gue jaga dia
sepenuhnya.
*