January 14, 2013

Pintu Langit - 15




PRESENT
SUARA-SUARA DARI HATI

LUNA
Malam temaram, kabut tipis turun perlahan. Malam ini aku kembali berdiam menatap langit. Satu nama yang hingga kini masih membekas di ingatanku itu adalah namamu, Andromeda Harya Arkana Aditama. Laki-laki bintang, begitulah aku selalu memanggilmu. Kau akan menimpali dengan memanggilku Putri Bulan. Itu adalah arti nama Luna, ujarmu kala itu.
Aku sangat memahami bahwa kau begitu dekat dengan langit dan bintang-bintang. Setiap akhir pekan kau akan datang menjemputku, mengajakku ke satu tempat di Lembang yang dingin. Kau juga tak pernah lupa mengingatkanku untuk membawa jaket tebal sebab udara Lembang saat malam begitu dingin.
Tempat yang kau tuju saat itu adalah sebuah bukit di balik lebat padang ilalang yang tumbuh setinggi daguku, dan kurasa sepertinya kawanan ilalang itu hanya setinggi dadamu. Kau selalu menggenggam erat tanganku saat melewati padang itu. Aku tahu kau khawatir aku akan tersesat. Dan setelah terbebas dari tumbuhan ilalang yang lebat itu kau akan menunjuk sebuah jalan kecil menuju suatu bukit yang dinaungi sebatang pohon randu. Ke sanalah kita menuju.


Banyak hal yang dapat kita lakukan di sana, katamu. Termasuk menyelami langit pagi yang ungu menyala, menyaksikan pelangi membusur di cakrawala, menelaah potret senja yang memesona, atau menerjemahkan tiap pendar bintang di angkasa. Mendengarkamu berceloteh tentang bintang sambil menuturkan kisah-kisah di balik indahnya adalah hal yang paling aku suka.
Aku selalu bertanya: apakah tempat ini memiliki nama? Kau sebut bukit itu pintu langit. Sebab hanya di bukit itulah langit selalu tampak lebih luas, katamu. Benar memang katamu, Andro, sejauh mata memandang batas cakrawala terlihat jauh dan cemerlang. Tempat itu indah, sangat indah, bahkan kusebut itu tempat paling indah yang pernah kudatangi. Terlebih kaulah yang menemaniku ke sana.
Namun, Andro, ada satu hal yang sampai saat itu tak kuketahui. Yakni tentang perasaanmu yang sebenarnya terhadapku. Apakah kau memiliki rasa yang lebih dari sekedar sayang seorang teman? Seperti rasa yang aku rasakan terhadapmu belakangan ini? Entahlah. Perlakuanmu padaku sangat berbeda. Salahkah aku jika menganggapmu memiliki rasa cinta?
Sungguh, Andro, aku tak pernah tahu sebab kau selalu diam. begitu pula aku. Aku tak mungkin mengungkapkannya padamu saat itu. Hingga kita berdua sama-sama kehilangan kesempatan. Kau pergi meninggalkan aku tanpa kepastian, aku pun memilih diam.
Sejak kau pergi, Andro, kau tahu apa yang berubah? Aku. Aku berubah. Aku tak pernah membuka hati untuk laki-laki lain karena aku terus berharap dan menunggumu kembali suatu hari nanti. Namun semakin aku berharap, yang kudapati hanya hatiku yang semakin kosong. Saat itulah aku tersadar bahwa aku sangat bodoh. Dan kau yang membuatku bodoh, Andro.
Aku pikir kekosongan itu akan segera hilang dan tak terasa lagi. Bagaimana kosong bisa terasa menyakitkan? Kosong seharusnya berarti tak ada apa-apa. Tak ada apa-apa berarti tak ada masalah. Termasuk rasa sakit.
Tapi entah mengapa kekosongan itu menjadi semakin menyakitkan. Sebab aku mulai memahami bahwa kau takkan kembali. Kau telah pergi dan melupakanku, entah ke mana. Rasa sakit itu berusaha kusembunyikan dari siapapun hingga seseorang bernama Raka datang mendekatiku.
Namanya Raka, Andro!
Raka benar-benar gencar melakukan pendekatan. Dia tak seperti kau yang diam-diam membuatku hanyut. Dia hanyalah seonggok manusia aneh yang berpikir bisa mendapatkan aku dengan hadiah-hadiah dan puisi murahannya. Aku tak suka dengan caranya. Aku bukan untuk dibeli. Lagi pula aku telah berjanji untuk menutup hati, setidaknya sampai rasa sakit yang kau torehkan itu hilang sendiri.
Dan sosok lain yang tak kukenal tiba-tiba datang. Dia Brian. Dia begitu dingin dan urakan. Aku tak pernah menyukai model laki-laki seperti ini, Andro. Sungguh. Namun ada suatu hal dalam diri Brian yang membuatku merasa tertarik. Matanya. Benar, matanya yang membuatku tertarik. Cara Brian menatapku, Andro, sama persis seperti caramu menatapku.
Brian datang seperti seorang malaikat pelindung yang dikirimkan oleh Tuhan. Saat itu aku tak mengerti apa yang membuatnya bersikap seolah-olah melindungi aku dari Raka adalah tugas utamanya. Dia sempat terkapar akibat dikeroyok Raka dan teman-temannya ― yang tak terima atas pukulan Brian di wajahnya di hari sebelumnya. Alasan macam apa yang membuatnya menjadi seperti itu, Andro?
Sama seperti saat aku berada di dekatmu, aku selalu merasa gugup dan tegang saat berada di dekat Brian. Dia begitu mengingatkanku padamu. Pernah pada suatu malam di awal November, dia memandang jauh ke langit sambil bergumam menjelaskan bintang-bintang. Sama seperti yang biasa kau lakukan setiap malam Minggu di pintu langit. Dahulu saat bersamamu aku selalu tertidur setelah kau menceritakan tentang bintang-bintang di angkasa, Andro. Aku ingat.
Semakin hari, aku semakin merasa bahwa menatap mata Brian telah menjadi candu bagiku. Saat Brian mengatakan padaku bahwa kau telah meninggal aku sangat terpukul. Brian dengan sigap memelukku dan aku merasakan kehangatan di sana. Saat itu aku begitu tenang hingga dapat aku ikhlaskan kepergianmu, pelan-pelan.
Maafkan aku, Andro. Aku pikir malam ini, di bawah naungan bintang-bintangmu itu untuk pertama kalinya aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta pada Brian. Adikmu.
*

BRIAN
Gue tahu betul bahwa rasi bintang di atas sana punya nama yang sama kaya lo. Andromeda. Gue selalu termenung, berpikir entah sejak kapan gue panggil nama lo tanpa sebutan ‘Kak’ seperti waktu kita kecil dulu. Terkadang gue rindu masa-masa itu. Masa-masa di mana lo ada buat gue, dan gue ada buat lo.
Hidup gue begitu hancur sejak lo pergi. Rumah ini bener-bener lebih sepi dari kuburan. Kalo gue boleh minta, gue mau Tuhan putar waktu ke masa lalu dan antar gue ke masa-masa saat Mama masih ada. Gue mau Tuhan hentikan waktu di situ selamanya agar gue bisa merasa hangat, nggak merasa sehampa ini. Tapi gue tahu waktu nggak akan pernah bisa berputar, seperti kata lo dulu.
Dari kecil lo memang selalu ada buat melindungi gue dari Papa. Tapi semua berubah saat kita sama-sama beranjak dewasa. Lo seakan punya dunia sendiri sehingga mau nggak mau gue juga harus ciptain dunia gue sendiri di luar. Balapan. Hanya itu satu-satunya hal yang bisa buat gue tenang. Seenggaknya gue merasa segala beban pikiran gue di rumah hilang. Segala pikiran tentang lo, tentang Papa, dan tentang keluarga salah itu. Semua seakan menguap saat gue balapan.
Rei. Begitulah anak-anak panggil gue. Mereka hanya tahu kalau nama gue adalah Reiner dan mereka nggak tahu menahu tentang nama Brian. Andai lo pernah nanya kenapa gue pakai nama Reiner bukan Brian di arena balapan, gue akan serta merta jawab: Brian adalah adik lo yang baik, yang penurut, dan yang lo sayang sejak dulu, sementara Reiner hanya seonggok sampah yang nggak diperhatikan dan dibiarkan sendirian di jalanan.
Sungguh gue nggak pernah nyangka bahwa arena itu akan merenggut nyawa lo. Gue nggak habis pikir kemana pikiran lo saat lo memutuskan buat gantiin gue balapan, padahal lo selalu mati-matian buat gue yakin bahwa balapan adalah bahaya. Apa sebesar itu keinginan lo buat jadi ksatria pelindung gue, Andro?
Dan saat lo pergi, gue yakin separuh jiwa gue juga menguap dan dalam hati gue tegaskan bahwa gue menyimpan dendam sama pengendara motor itu. Raka.
Satu-satunya yang tersisa dari lo adalah sebaris kalimat itu, yang lo ucapkan di malam kematian lo. Pesan agar gue jaga Aluna, perempuan yang bahkan gue nggak tahu seperti apa bentuknya.
Pencarian gue baru membuahkan hasil saat gue datang ke pintu langit. Di batang pohon itu ada goresan yang menunjuk pada satu nama: Aluna Luvena Dewanti. Gue merasa sosok itu sudah begitu dekat. Hari berikutnya gue berhasil menemukan Aluna. Ternyata dia satu sekolah dengan gue. Cewek itu begitu berarti buat lo dan dia harus gue jagain, seperti pesan terakhir lo itu.
Sejak saat itu sebisa mungkin gue berusaha buat Luna merasa aman. Sampai akhirnya gue dengar sendiri bahwa Raka bakal menjadikan Luna bahan taruhan. Raka adalah pengendara motor itu, Andro. Dia adalah pengendara motor yang bikin lo jatuh dan meninggal. Gimana bisa gue tenang-tenang sementara cowok brengsek itu punya rencana buruk buat Luna. Gue panas dan amarah gue hampir meluap saat tiba-tiba gue sadar bahwa gue nggak boleh gegabah.
Gue akan melindungi Luna diam-diam, tanpa dia tahu. Maka dari itu gue selalu ikut kemanapun dia pergi, buat memastikan bahwa dia masih baik-baik aja. Sampai suatu hari gue benar-benar nggak bisa kontrol diri gue. Dengan mata kepala gue sendiri gue lihat Raka mencoba macam-macam sama Luna. Tanpa pikir panjang gue langsung hajar dia. Gue nggak peduli dengan larangan lo buat gue untuk pukul orang. Tapi ini demi Luna, gue harus melindungi Luna selama gue bisa.
Gue pikir Raka bakal berhenti ganggu Luna. Tapi suatu hari gue lihat dia masih berani mendekati Luna dan bikin dia kesakitan. Dan entah atas dorongan apa gue beranikan diri buat genggam tangan Luna dan tarik dia pergi. Saat itu gue benar-benar nggak habis pikir bagaimana bisa gue melakukan itu? Apa hanya karena pesan lo yang mesti gue jaga? Atau ada alasan lain? Misalnya… perasaan?
Luna memang cantik, seperti yang sering lo bilang dulu. Tapi bukan itu yang gue lihat dari dia. Ada banyak hal termasuk tawa dan senyum yang dia tawarkan setiap kita bertemu. Hari-hari gue nggak lagi terasa hambar. Ada dia yang selalu bisa bikin segalanya berwarna. Dan akhir-akhir ini gue sering merasa gugup saat mata gue dan mata Luna bertemu. Gue kali ini benar-benar yakin, Andro. Gue rasa gue mulai suka Luna.
Gue mohon, izinkan gue jaga dia sepenuhnya.
*