November 30, 2009

Senyum Terkembang di Atas Awan




Daratan penuh pesona ini memiliki banyak sudut yang tersembunyi dengan damai maupun yang telah terkuak dan diketahui dunia Sudut-sudut yang telah diketahui itu tak sering diperbincangkan, namun justru sudut-sudut tersembunyi itulah yang ramai diterka-terka apa sebenarnya hal yang tersembunyi itu. Dan sebuah kehidupan yang baru dimulai, pasti akan mengandung sebuah enigma dan dibayangi potongan-potongan yang terpisah jauh, yang mana suatu saat nanti pasti akan bertemu dalam suatu keterkaitan yang mengejutkan. Potongan-potongan itu akan terkumpul selagi kita masih mencari jati diri dalam kemelut awan persoalan terutama di masa remaja, lalu akan kembali menyatu, entah setelah kita tahu apa yang akan kita kejar, atau sebelumnya.
Beberapa potongan telah kusadari memasuki kehidupanku, dan kutemukan hal itu di sudut kamarku, dekat jendela yang selalu meneruskan hembusan angin penuh misteri ke telingaku. Aku menemukannya di sebuah dunia, yang kurasa penuh warna bahkan segala jenis warna telah bersimfoni di dalamnya bagai pelangi, dunia yang penuh akan keabadian cita-cita, dan dunia yang penuh kata mungkin dengan tak memasukkan kata mustahil. Itulah, aku takjub dengan keindahan dunia maya. Semua bisa terjadi di dalamnya. Semua rasa, benda, impian, cita, asa serta kata-kata yang dapat kumulai dengan abjad A sampai Z bahkan sampai abjad Yunani, Romawi, Arab atau negeri apapun itu, terkumpul dan membentuk sebuah komposisi dunia penuh khayalan dalam kenyataan.
Dan aku mengingat kembali seseorang yang merasa dirinya adalah seorang antagonis paling malang, padahal kusebut dia sebagai protagonis yang paling beruntung dibandingkan denganku, dalam cerita persahabatan kami. Kurasa dia memiliki segalanya yang aku tak punya, bahkan yang tak pernah kubayangkan aku memilikinya. Anastasia Martha, dara yang seusia denganku itu harus memasrahkan seluruh beban dari ujung rambutnya, hingga ujung kuku jari di kakinya, di sebuah kursi roda, akibat keberandalannya sendiri sewaktu menginjak sepuluh tahun. Keadaannya mungkin dapat membunuh semangat anak-anak lain jika dalam keadaan yang sama dengannya. Namun, aku tak menyangka ia dapat tegar melebihi karang-karang penghalang nun di utara Australia.
Aku mengenang masa lalu, di mana aku mulai mengenal anak penuh semangat di atas kursi roda bernama Martha. Ku kenal ia sebagai figur penuh inspirasi. Ia mengatakan asal mula adanya kursi roda yang menumpunya sampai saat ini. Ia menjelaskannya dengan semangat dan tak merasa malu atau canggung. Ternyata, sebuah shuttle-cock telah memaksanya berada di kursi roda. Ketika ia sedang bermain bulu tangkis di depan rumahnya, shuttle-cock yang terlalu keras ia tangkis mendarat di atap rumahnya dan dengan berani, dipaksakannya untuk naik ke atap. Ternyata Tuhan menyentilnya dan jatuhlah ia ke atas tanah. Kepalanya terbentur. Badannya jatuh secara terlentang. Kelumpuhannya disebabkan benturan pada tulang belakang yang begitu keras. Reaksiku, kaget setengah mati. Kaget karena kenyataan hidupnya yang begitu memilukan, kaget karena ia bercerita dengan kebebasan yang sungguh tak kubayangkan, dan kaget karena ia ternyata benar-benar antagonis yang paling malang. Aku pernah menyangkanya sebagai protagonis yang paling beruntung. Dan ternyata ia tak salah menilai bahwa dirinya adalah seorang antagonis malang. Antagonis karena sikapnya yang ketus namun ramah, dan malang karena keberandalannya telah memaksanya duduk di kursi roda.
“Malah, aku yang menilaimu sebagai protagonis yang paling beruntung, Lian!” katanya padaku lewat telepon. Aku pernah menghubunginya satu kali, dan enggan untuk kedua kalinya, atau seterusnya. Itu karena mamaku yang tambah menceramahiku tentang biaya telepon berjam-jam ditambah dengan internet berjam-jam...
“Ha? Protagonisnya si ngga apa-apa. Tapi, beruntung dari mana? Mau main internet aja harus tengok ke kamar mama dulu...” kataku sambil tertawa. Martha tertawa mengikuti irama tawaku.
“Beruntung, karena kamu lebih beruntung daripada aku yang lumpuh ini...” nada bicaranya berubah. Seperti sebuah penyesalan yang mendalam. Aku tak tega lagi mendengarnya, dan aku langsung berencana mengalihkan pembicaraan menuju arah lain, namun mama terlanjur datang lalu memaksaku menutup telepon.
Aku terkadang heran dengan sikapnya yang seperti gelombang. Kadang ia berada di puncak semangat dengan kata-kata yang menggebu-gebu di tuliskannya di dalam e-mail. Namun kadang pula ia tampak menyesal dan putus harapan begitu saja. Aku diam pilu...

***
Telah lama, kurasa, kami berhubungan melalui dunia yang sebenarnya dapat dengan mudah menipuku, atau menipu orang lain. Namun, entah mengapa helai demi helai benang persahabatan yang kami rajut membentuk sebuah rasa saling percaya. Jujur, aku lebih dekat dengannya, daripada kakakku, papa, bahkan mama. Ia adalah sahabatku, sahabat baikku. Namun, sesuatu yang mengejutkan dan tak pernah kuduga muncul dari sebuah e-mail yang dikirimnya. Aku membacanya pelan. Itu adalah e-mail pertamanya hari ini...

Dear My Buddy, Lilian Maharani...

Apa kabar, sobat... Lian, coba tebak udah berapa lama kita jadi sahabat lewat e-mail??? Aku ngga nyangka, kita udah jadi sahabat sejak dua tahun lalu, sejak kita masih tiga belas tahun.
...

“Lian, udahan dong main internetnya…” teriakan wanita yang kurasa tak penting menggema ke seluruh sudut ruangan kamarku, memantul di langit-langit, mengenai lampu gantung di kamarku, lalu mencolek buku-buku ICT di atas ranjangku, lalu berlari memengingkan telingaku, dan seketika menghentikan keseriusanku memandangi layer monitor di hadapanku. Huh… “Kalo kamu seharian penuh bisanya cuma main internet, mama buang nanti komputer kamu!” ancam mamaku. Telah ratusan kali kalimat menyebalkan itu terekam di ingatanku. Tak muat memori dalam otak kecilku yang tumpul ini menyimpannya, sehingga aku sendiri lupa berapa kali mama meneriakkan kata-kata itu, aku saja lupa hari apa ini…
“Lilian!” bentak mamaku padaku yang baru mulai membaca e-mail baru dari kawanku, Martha. “Matiin! Makan siang dulu, sholat, belajar, baru mainin komputer kamu itu!” perintah mama kasar, tanpa basa-basi dan mungkin bosan dengan sikapku yang tak pernah mau melepaskan tangan dan pandanganku dari hardware di meja belajarku itu.
Memang, aku sendiri masih dengan baju seragamku, dan masih menggendong tasku yang mirip ransel berwarna hitam itu. Itu sangat berguna untuk menaruh laptop dan segala keperluan surfing di dunia maya di sekolah atau kafe ber-hotspot.
“Iya, iya… Ahh mama ini, ganggu aja. Martha barusan aja kirimin Lian e-mail juga!” aku menggerutu kesal. Memang menyebalkan jika seorang pengganggu datang memecah konsentrasiku mengobrak-abrik dunia maya, internet. Aku bangkit dengan malas dari kursiku, lalu melewati sosok mama yang terus melototiku. Andai itu bukan mamaku, pasti sudah kupelototin sosok itu tanpa henti sampai matanya sendiri karatan atau minimal kering melawanku…
Aku butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk mengusir mamaku dari kamar dan berganti pakaian, lalu sepuluh menit untuk makan siang, dan ditambah lima belas menit untuk sholat. Lebih dari tiga puluh menit, aku meninggalkan e-mail Martha. Ahh, aku berlari cepat menuju komputerku dan membaca ulang e-mail Martha:

Dear My Buddy, Lilian Maharani...

Apa kabar, sobat... Lian, coba tebak udah berapa lama kita jadi sahabat lewat e-mail??? Aku ngga nyangka, kita udah jadi sahabat sejak dua tahun lalu, sejak kita masih tiga belas tahun. Lama banget, kan? Aku yakin, kamu pasti ngga pernah hitung soal itu, kan?

Aku terlonjak. Ternyata telah lama, kami bersahabat. Ia memang sahabatku yang paling baik. Jelas, karena ialah satu-satunya sahabatku, dan kegilaanku pada dunia maya inilah yang menyebabkan tak ada seorangpun dari teman-teman sekelasku yang mau mendekatiku. Martha memang mengerti aku. Ia telah mengetahuiku luar dalam, sampai ia tahu bahwa aku ini pelupa. Aku melanjutkan membaca...


Haha... Oh iya... Congratulation, girl, buat lomba blog-nya...
Dan, aku attach beberapa foto. Aku ngga bakal jelasin tentang foto itu. Aku yakin kamu bakal tau sendiri karena aku yakin kamu cukup mengerti. Mungkin, ini saatnya kamu tau, gimana sebenernya keadaanku... Aku ngga sempurna seperti kamu, Lian.
Aku bener-bener bahagia udah pernah ngerasain punya temen kaya kamu...
Semoga kamu ngga nyesel jadi sahabat aku...

Love,

Martha

Hatiku kaku membaca kata-kata terakhirnya. Apa sebenarnya yang ingin ditunjukannya? Mengapa ia berpikir aku akan menjauhinya, membencinya, atau berhenti bersahabat dengannya? Aku menguatkan hatiku dan mengarahkan kursor di monitorku menuju attachment file yang ada beserta e-mail Martha. Jantungku berdebar. Kata-kata dalam e-mail itu membuntutiku. Kata-kata itu seperti membuka gerbang menuju akhir sebuah persahabatan.
“Aku ngga sempurna seperti kamu, Lian.
“Aku bener-bener bahagia udah pernah ngerasain punya temen kaya kamu...
“Semoga kamu ngga nyesel jadi sahabat aku...”
Kata-kata itu terngiang terus. Ahh, aku menghentikan mouse di tanganku, dan membatalkan niat untuk membuka attachment yang mungkin saja menghentikan persahabatan yang telah lama terjalin ini. Kursor itu beralih menuju tombol REPLY. Aku menulis balasan untuk Martha.

Dear Martha...
Aku ngga mau buka attachment itu...

Dan beberapa saat kemudian, ia membalas.

Kenapa?
Kamu marah?

Lalu e-mail singkat itu kubalas tanpa berpikir lagi...

Bukan. Aku ngga marah. Tapi, kamu bilang kamu ngga sempurna dan takut foto-foto itu mengakhiri persahabatan kita. Jadi, daripada kemungkinan itu jadi nyata, aku ngga bakal buka file itu sampai kapanpun. Aku mau jadi sahabat kamu, karena kamu mau jadi sahabat kamu, bagaimanapun kamu sebenernya...

Aku menekan tombol SEND dan e-mail itu terbang menuju komputer Martha bersama pikiranku yang terbang memikirkan kemungkinan balasan Martha selanjutnya. Namun, beberapa menit kutunggu, tak ada balasan yang muncul. Ahh, mungkin ia akan bicara banyak kali ini. Namun, kutunggu sampai menit-menit berlari menjauhiku, tak ada balasan. Tak biasanya Martha mangakhiri obrolan ini. Tak biasanya Martha meninggalkan aku dengan “status” menunggu ini. Perasaanku mendadak tak enak. Martha tak suka kukirim e-mail lagi sebelum ia membalas e-mail sebelumnya, jadi aku enggan untuk mengirim apapun.
Satu jam sudah aku mengotak-atik akun Facebook-ku untuk menunggu balasan Martha. Ketika cek lagi e-mail milikku, ternyata Martha belum juga membalas. Aku mulai dihantui rasa khawatir akan keadaannya. Apa ia mengalami hal yang sama sekali tak kuinginkan? Hal itu membuatku merasa penting untuk memikirkan hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu. Kulirik kalender dalam komputerku. Rabu, 4 Maret 2009. Lalu kuambil kalender meja yang kusimpan di laciku. Kulingkari tanggal 4 Maret dengan spidol merah, dan kutuliskan: Martha, pertama kali ia membuatku menunggu balasan.

***

Sekolah menjadi tempat yang paling menyebalkan bagiku. Percuma jika para spesies manusia lain mengatakan tujuan sekolah adalah sebagai sarana memperluas persahabatan, sementara tak ada yang mau mengerti kesenanganku sebagai seorang sahabat kecuali sahabat dunia mayaku, Martha. Aku tak semangat sekolah setiap harinya. Setiap istirahat, aku bergegas membuka laptop milikku dan memulai acara surfing rutinku. Namun, entah mengapa aku enggan membuka laptop kali ini. Aku malas, aku tak berhasrat ingin ber-euforia di dunia maya.
Biasanya, aku pulang ke rumah, dan langsung menuju komputer untuk mengecek e-mail tanpa berganti pakaian. Namun, aku sedang tak semangat untuk itu hari ini. Entah kenapa, melirik ke meja belajarku saja enggan. Atau, aku enggan untuk kecewa lagi oleh tiadanya balasan dari Martha? Ahh, aku tak mau menyalahkan Martha, ia teman baikku satu-satunya...
Mobil yang aku tumpangi mulai masuk ke halaman rumah ketika kudapati sebuah mobil box terparkir dengan damai di pinggir jalan di depan rumahku. Aku tak terlalu mempedulikannya. Setibanya aku di rumah, aku berlari menuju kamarku langsung membuka pintu kamarku. Kurebahkan tubuhku ke atas ranjang dan meletakkan sebuah bantal ke bawah kepalaku. Aku lelah... Padahal aku tak melakukan aktifitas berarti hari ini. Olahraga? Tentu tidak, tak ada pelajaran Penjaskes hari ini. Kurasa aku lelah memikirkan keadaan Martha.
“Huhh... Martha...” bisikku pada angin yang mulai masuk ke jendela kamarku. Langit kulihat samar berwarna kelabu, tertiup angin menuju arah timur, lalu menetes setetes demi setetes air hujan ke tanah. Aku menghela nafas dan bangkit menutup jendela kamarku. Aku berbaring lagi setelah menutup pintu kamarku.
“Ahh, guru les pasti ngga bakal dateng karena ujan...” gumamku sendirian bersama suara hentakan hujan di kaca jendela yang kasar sekali suaranya. Mataku menatap sekeliling, berharap aku mendapatkan ilham untuk mengerjakan sesuatu yang lebih berguna daripada tidur untuk menunggu matahari meninggalkan kota ini menuju kota lain untuk bergantian dengan bulan serta bintang-bintang. Aku memeriksa semua sudut ruangan.
VCD dan DVD film, mataku berhenti sejenak. Ahh, hampir seratus kali rasanya aku menonton film-film itu. Rak buku. Novel, aku berpikir, sudah kubaca puluhan kali sejak aku menggemari sastra. PR, malas sekali aku mengerjakannya. Buku ICT, ahh, sedang malas berhubungan dengan komputer. Komputer, aku mencari benda yang dinamai komputer itu. Ku putar pandanganku menuju meja belajarku dan... aku tak melihat komputerku.
“Apa? Mana komputerku?” pekikku kaget. Terngiang ancaman mama akan komputerku. Mama akan membuangnya... Dan, mungkin sekarang mama telah merealisasikan ancaman jahatnya itu.
“Dan mobil box itu...” aku bergegas keluar menyadari ada hal yang tak beres yang akan komputerku alami. Aku menemukan mama berjalan dengan santai menuju pintu masuk. Aku mencegatnya...
“Mama...” aku menatap mama dalam. “Jangan bilang...” aku menghentikan kata-kataku untuk memancing penjelasan mama.
“Oh iya. Kamu belum sempat ngucapin selamat tinggal buat komputer kamu, ya?” kata mama meledek. “Maaf, ya. Mama kasih komputer itu ke sepupu kamu di Semarang. Dia lebih butuh daripada kamu...” kata mama seraya meninggalkanku dalam kekagetan.
Oh, Tuhan. Mama telah membuang mesin surfing-ku begitu saja. Itu sama artinya dengan membuang alat komunikasiku bersama Martha, yang telah dua tahun terjalin! Tak kusangka mama sejahat itu. Aku berlari menuju halaman, berharap mobil box itu masih terparkir di jalan. Aku berlari menerobos hujan yang langsung menjatuhkan diri ke kepala serta bahuku. Aku membuka pagar dan aku tak lagi melihat mobil itu. Aku terlambat. Aku telah membiarkan mobil itu membawa benda terbaikku. Aku kehilangan komputerku, dan aku kehilangan Martha...
***
Aku yang tiba-tiba dibayangi akan sosok Martha telah berada dalam kondisi basah kuyup menerjang hujan. Aku juga tak tahu, apakah aku ini menangis atau tidak. Air mataku meleleh bersama air hujan yang mengalir. Aku berjalan gontai menuju pintu rumah. Aku melepas pikiranku ke manapun arah yang ditujunya.
Lalu secara magis pikiranku mendarat ke sebuah ransel hitam di atas ranjang kamarku. Di dalamnya sengaja kusembunyikan benda yang keramat dan tak ada satu orangpun yang tahu. Benda yang kubeli dengan diam-diam dari hasil menjual handphone pemberian papa yang hanya laku tiga juta, lalu kutambahi dengan aksi pembongkaran celengan secara diam-diam pula, akhirnya aku berhasil membeli sebuah benda. Ya, benda itu, laptop. Aku berlari menuju kamar dengan basah kuyup. Mama yang entah ke mana tak melihatku. Setelah mengganti bajuku yang basah, aku menyambar jaket dan topi hitamku, lalu mengambil ransel berisi laptop itu. Aku pergi, pergi menuju kafe dekat sekolah, dengan membawa keinginan untuk mengetahui keadaan Martha.
Sesampainya di kafe itu, aku langsung membuka laptop. Aku terus memikirkan Martha. Kuharap ia telah membalas e-mail terakhir dariku dengan mengatakan “Maaf, Lian. Kemarin tiba-tiba mati lampu, dan aku belum sempat membalas e-mail dari kamu...” atau “Maaf, kemarin komputerku rusak mendadak...” atau alas an lain mengapa ia menghentikan obrolan tanpa memberi keterangan.
Aku mengecek inbox dan tak ada pesan masuk dari Martha. Aku semakin khawatir. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya padanya.

Martha,
Kemarin, kamu kenapa? Kok ngilang?

Aku menekan tombol SEND, dan beberapa saat kemudian e-mail­ itu terkirim. Namun setelah kutunggu lagi, persis seperti hal yang kulakukan kemarin, tak ada jawaban datang memasuki inbox yang telah suntuk menunggu.
Beberapa kemungkinan menghantuiku kali ini. Kemungkinan pertama, memang ada sebuah tragedi mati lampu di Padang. Tapi, apa mati lampu sampai 24 jam? Kemungkinan kedua, komputer Martha mengalami kerusakan seperti restart mendadak dan tak bisa dinyalakan lagi. Tapi, apa Padang sama sekali tak mengenal warnet atau hotspot? Lalu kemungkinan ketiga, Martha tak diperbolehkan menggunakan komputer berlama-lama sepertiku. Tapi, kupikir mama Martha tak sejahat mamaku. Dan kutangkap kemungkinan keempat, Martha mengalami gangguan pada kondisinya saat itu. Pikiranku berhenti pada kemungkinan keempat. Aku teringat tentang kata-kata di e-mail Martha yang terakhir. “Aku ngga sempurna seperti kamu, Lian...” Martha menulis kalimat itu dalam pesannya. Pikiranku berputar sekencang angin yang meniup daun-daun kelapa di depan kafe yang sedang kutempati. Aku mengingat file attachment yang sempat dibicarakan Martha. Aku membuka file itu dengan penuh tanda tanya, walaupun sebenarnya aku telah berjanji untuk tak membukanya. Namun kurasa, apapun yang ada dalam foto di file attachment itu, tak akan memberi pengaruh apapun pada persahabatan kami.
“Ini mbak, pesanannya...” kata pelayan itu dengan meletakan secangkir coklat hangat. Aku tak mempedulikannya. Hanya kulirik pelayan itu sebentar, lalu kembali bersiap membuka file yang mungkin akan menjawab pertanyaanku yang menggantung. Setelah kubuka, aku menemukan beberapa gambar tak jelas. Mungkin abstrak. Namun setelah kuteliti, aku terkejut karena itu adalah gambar-gambar hasil scanning. Kutajamkan mataku agar aku menemukan hal yang menjadikan kalimat menyedihkan muncul di e-mail Martha kemarin.
Kuteliti satu demi satu gambar-gambar itu, dan alangkah kagetnya aku setelah kudapati sebuah lingkaran berwarna hitam ada di bagian belakang gambar kepala. Aku menarik nafas panjang ketika aku tahu itu adalah hasil milik Martha. Lingkaran hitam itu, tak lain adalah kanker. Aku tahu maksud perkataan Martha itu. Ia pasti berpikir bahwa aku akan menjauhinya setelah aku tahu bahwa ia adalah penderita kanker otak. Aku tak percaya. Tiba-tiba seluruh persendianku lemas. Aku tak kuasa lagi melihat gambar-gambar itu. Aku menutup laptop di hadapanku dan bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung berlari tanpa menyadari bahwa aku menangis. Mama mencegatku dan menanyaiku.
“Lian, kamu kenapa nangis?” tanya mama. Aku diam, lalu memeluk mama erat-erat dan menagis seketika di pelukan mama. Mama menenangkanku dan mengajakku bicara. Aku menceritakan tentang semua hal yang begitu mengagetkan pada mama, sampai masalah kanker otak itu.
“Maafkan mama, Lian. Mama ngga tau kalau Martha itu begitu berarti buat kamu. Maafin mama, sayang...” kata mama pelan. Lalu mama mengatakan hal yang tak terduga padaku. “Temui Martha, sayang! Temui dia, bikin dia punya semangat hidup. Besok, kamu berangkat ke Padang sama mama, ya?” aku tertegun. Namun aku mengangguk semangat.
Keesokan harinya, aku mengemasi barang-barangku. Aku hanya membawa beberapa helai pakaian karena mungkin aku hanya akan bermalam satu hari di Padang. Aku berangkat menuju bandara bersama mama dan dengan diantar supir keluarga kami. Setengah jam menunggu, akhirnya aku berangkat menuju Padang, kota di mana sahabat sejatiku tinggal dan bertahan memperjuangkan hidupnya. Aku terus memikirkan wajah Martha yang ceria dengan senyum mengembang di bibir merahnya. Aku merindukannya, walaupun hanya sehari aku tak berbincang dengannya. Kini, untuk pertama kalinya, aku datang menemuinya. Tunggu aku, Martha...
***
Kuinjakan kakiku di tanah Padang untuk pertama kalinya. Kuhirup udara segar kota Padang, kupandang pemandangan indah dan menakjubkan kota Padang, dan kurasakan perasaan berbeda di kota Padang, uga untuk pertama kalinya. Aku tersenyum lebar yang mungkin berarti sebuah ucapan: Padang, sambutlah aku, Lian.
Aku dan mamaku memesan sebuah kamar di sebuah hotel di kota ini melalui telepon. Lalu kami langsung meluncur ke hotel tersebut menggunakan taksi. Lima belas menit kemudian, kami tiba di hotel dan beristirahat sejenak setelah lama duduk di pesawat selama lebih dari satu jam. Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk tidur. Dan aku sampai memimpikan Martha saking rindunya.
Sore membangunkanku dalam hujan gerimis. Aku akan mencari alamat rumah Martha esok. Malam ini, aku dan mama akan bermalam di hotel ini. Bersama matahari yang mulai menenggelamkan diri dari kesibukan kota Padang, aku menenggelamkan segala pikiran burukku tentang Martha. Aku tak sabar menunggu matahari terbit kembali menemani aktifitas di perkampungan serta pusat kota Padang yang penuh paradoks.
Esoknya, aku bersiap pergi mencari Martha. Aku menolak untuk mama temani karena aku ingin mencari sahabat baikku sendiri, dengan usahaku sendiri...
“Tapi, Lian. Kamu baru pertama kali ke Padang. Kamu belum tahu di mana alamat yang kamu pegang itu berada...” kata mama mengkhawatirkanku.
“Tenang aja, Ma. Aku bukan bayi. Apa gunanya pepatah: malu bertanya sesat di jalan?” kataku sambil mengenakan jaketku. Kugendong ranselku dan berpamitan pada mama. “Lian berangkat. Assalamu’alaikum...” aku mengucapkan salam dan kudengar mama menjawabnya lirih. Aku berangkat dengan seribu tekad menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kumulai petualanganku dari pangkalan angkot. Kutanyakan alamat satu-satunya dari Martha beberapa bulan lalu pada beberapa supir angkot. Setelah beberapa supir menjawab dengan ketidaktahuan, aku menemukan seorang tukang ojek yang mangkal tepat di depan pangkalan angkot yang siap mengantarku menuju rumah Martha.
Kami – tukang ojek dan aku – berputar-putar mencari rumah Martha. Setelah setengah jam berkeliling, kami sampai di depan sebuah rumah besar dan penuh tanaman serta kulihat sebuah lapangan bulutangkis di depannya. Aku memberikan sejumlah uang dan tukang ojek itu pergi. Aku memandang rumah besar itu, itu adalah rumah yang kucari, sama seperti alamat yang pernah Martha beri. Kupencet bel listrik di sebelah teralis besi berwarna hijau tua dan beberapa saat kemudian, seorang wanita tua yang sepertinya pembantu rumah itu berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. Aku tersenyum.
“Mau cari siapa?” tanyanya.
“Martha. Anastasia Martha... Dia ada?” tanyaku.
“Non Martha? Mbak sendiri siapa?”
“Saya Lian. Teman Martha di internet. Kita udah bersahabat sejak dua tahun lalu...” kataku. Aku mendadak bingung. “Martha-nya ada?”
“Anu... Non Martha... Anu, mbak... Non Martha... sudah pergi sehari yang lalu...” kata wanita itu. Lalu datang seorang wanita lain yang seusia dengan mamaku, dengan muka heran, mencoba mengenali tamu yang datang ke rumahnya, aku.
“Ada siapa?” katanya pelan. Wanita ramah itu mencoba mengenaliku dan mencoba menebak siapa sosok yang berkunjung itu. “Lian, ya?” katanya. Aku tak bingung wanita itu mengenaliku dengan mudah. Martha pasti menceritakan aku pada semua orang di rumahnya.
“Iya...” jawabku pelan.
“Sini, masuk. Tante mau ngobrol sama kamu...” ajaknya. Lalu aku masuk ke rumah besar nan asri itu. Aku dituntun menuju sebuah kamar yang begitu luas. Di sudut kamar itu ada sebuah foto seorang gadis dengan kursi roda. Tak salah lagi, itu Martha, dan ini adalah kamar Martha.
“Kenalkan, saya Lisa, mamanya Martha,” katanya lembut.
“Di sini, Martha nemuin seorang sahabat yang bener-bener mau nerima dia apa adanya...” dia mulai bercerita.
“Teman-temannya yang lain menjauhi dia sejak dia lumpuh,
“Martha hampir patah semangat, sebelum akhirnya dia nemuin kamu, yang ternyata adalah seorang teman, sahabat, kakak, dan sekaligus seseorang yang benar-benar bisa diajak sharing...” wanita bernama Lisa itu mulai bercerita.
“Namun, ada satu hal yang dia ngga bisa share sama kamu, yaitu masalah dokter yang vonis dia kena kanker otak...
“Dia takut kamu jadi menjauhinya,
“Apalagi, setelah dia tahu kalau kanker yang dia derita udah masuk stadium empat,” aku tertegun. Stadium empat? Aku tak menyangka ada hal buruk yang disembunyikannya. “Itu karena dia tak pernah mau tante ajak ke dokter semenjak kecelakaan yang bikin dia lumpuh. Dia bener-bener nolak kalau tante paksa...” lanjut wanita itu.
Aku menyimak baik-baik setiap kata yang keluar. Namun tak ada jawaban tentang pertanyaanku ketika aku baru datang.
“Tante, Martha dan dokter baru tahu tentang kanker itu ketika Martha tiba-tiba pingsan sebulan yang lalu. Dan dia pingsan lagi sekitar tiga hari lalu...” apa? Tiga hari lalu? Itu adalah hari saat Martha menghentikan obrolan denganku tanpa alasan.
“Tante bawa Martha ke rumah sakit, dan hasil scan-nya menunjukkan Martha menderita kanker otak...” aku menitikkan air mata di sudut mataku.
“Dan kemarin, Tuhan memaksa Martha meninggalkan semuanya...” jantungku berdetak kencang. “Martha meninggal...” aku menangis. Kali ini aku tersedu-sedan sambil menundukkan kepalaku. Aku terus menangis sampai tante Lisa memegang bahuku untuk menguatkanku. Aku benar-benar kehilangan Martha...
***
Aku sampai di sebuah taman pemakaman. Bau tanah basah karena hujan gerimis menyeruak di antara perasaanku yang tergoncang hebat. Martha telah terbaring tanpa nyawa di bawah tanah dan matanya terpejam melupakan semua yang ada di bumi ini. Ia pasti tengah bersiap menghadap Tuhan.
Aku mengikuti langkah tante Lisa yang cepat menuju rumah abadi Martha. Air mataku tak bisa berhenti menetes. Aku berhenti di sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan nama indah sahabatku satu-satunya. Akhirnya, aku dapat bertemu dengan Martha walaupun dalam dunia yang jauh, tak dapat kugapai. Aku berjongkok meremas tanah yang memisahkan aku dengan tubuh Martha yang selama ini ingin kupeluk dalam rasa bahagia. Aku menangis. Martha tak akan mendengar tangisanku ini. Ia pasti tengah tersenyum bersama malaikat di atas awan.
Setelah beberapa lama aku menyesali keterlambatanku, aku pulang, meninggalkan rumah abadi milik Martha. Aku meninggalkan tubuh Martha yang kaku. Tante Lisa menahanku ketika aku akan bangkit dari posisiku.
“Martha titip ini...” tante Lisa menyerahkan sebuah amplop berwarna putih kepadaku. “Sebenarnya akan tante kirimkan ke rumah kamu pagi ini... Tapi berhubung kamu datang, tante serahkann ini sama kamu...” Lalu aku bangkit diikuti tante Lisa. Aku memutuskan kembali ke hotel dan ingin bergegas pulang, daripada berlama-lama di kota yang akan selalu mengingatkanku pada Martha, sahabat baikku, sahabat sejatiku, sahabat paling berarti bagiku.
Setibanya di hotel, aku menceritakan semuanya pada mama, dan mama berusaha menguatkan hatiku. Lalu kami berkemas dengan cepat. Kami juga harus mengejar pesawat. Mama merangkulku selama perjalanan ke bandara. Sesampainya di bandara, mama tetap merangkulku, mencoba menabahkan hatiku yang sampai saat ini masih kacau.
Di dalam pesawat yang semakin naik ke awan hitam di langit malam dengan kerlip bintang yang bersatu dalam gugusan, aku mengingat lagi saat-saat aku mengenal Martha, saat-saat aku mengetahui kebiasaan Martha, dan saat-saat aku bercanda dengan Martha. Aku tak mungkin melupakannya, walaupun aku telah berpisah jau dengannya dan tak akan mungkin bersatu lagi, kecuali Tuhan memberi keajaiban pada persahabatan kami.
Aku ingat tentang sebuah amplop yang diberikan tante Lisa padaku di makam Martha. Aku membuka amplop itu dan mendapati sebuah surat dan beberapa foto. Aku membaca surat itu pelan.



Padang, 5 Maret 2009


Untuk sahabat sejatiku, Lilian Maharani



Cinta adalah keajaiban. Cinta kita, sebagai sahabat dekat, telah memberiku sebuah keajaiban di hari-hari terakhirku melihat indahnya dunia ini... Walau tak sempat aku menatap indah wajahmu, Kawan, namun aku percaya, wajahmu pasti sebening bulan yang agung nun di dekat istana Tuhan. Walau tak sempat aku menemuimu, Kawan, namun aku percaya, sikapmu pasti selembut malaikat yang akan mengantarku pergi menuju Tuhan. Walau tak sempat aku memelukmu, Kawan, namun aku percaya, hangat tubuhmu pasti sehangat air mataku ketika aku melihatmu tersedu-sedan di pusara tempatku terbaring. Walau tak sempat aku menatap mata cantikmu, Kawan, namun aku yakin, matamu pasti secantik kerlip bintang yang akan menemaniku terbang bersama para malaikat. Karena engkau, Kawan, satu-satunya sosok terindah yang pernah kumiliki.
Aku mengenalmu sebagai sosok yang sempurna, sungguh tak sepertiku. Maafkan aku yang meninggalkanmu di tengah obrolan itu. Maafkan aku yang telah meninggalkanmu dalam ketidakpastian. Maafkan aku yeng telah meninggalkanmu dalam kekhawatiran. Dan maafkan aku yang meninggalkanmu dalam kesepian... Aku memenuhi panggilan Tuhan sebelum aku melihat sosok sempurna sahabat baikku. Maafkan aku yang telah meninggalkanmu, Kawan.
Kini, duniaku pasti telah tak terlihat oleh matamu, namun kuharap akan tetap tersimpan di hatimu. Duniaku telah jauh darimu, walau aku tetap merasa dekat dengan tubuhmu. Duniaku telah terpisah oleh sekat Tuhan. Duniaku kini tak dapat kau jangkau dengan jemarimu. Namun, aku menyadari, dunia nyata yang kau tinggali sekarang, dan dunia yang telah kutinggali kini, tak akan berarti jika tak ada dunia lain yang mempersatukan kita. Dunia maya, dunia penuh keajaiban, dan tak pernah ada kata kemustahilan... Itulah dunia kita, Kawan. Kuharap kau akan selalu mengingatku dalam dunia itu...

Salam hangat dari atas awan,
Martha


Aku kembali tebayang sosok Martha. Kini, ia berdiri bersama malaikat yang terus berada di sampingnya di atas awan kelabu yang menutupi pandanganku pada bulan. Sinar remang-remang bintang menyinari senyum bahagia Martha yang terus melambaikan tangannya kepadaku. Lalu bayangan itu mulai samar, lalu menghilang bersama hilangnya awan yang menutupi bulan. Aku kini dapat melihat indahnya bulan nun di atas langit, dan aku tersenyum bahagia melihat bulan yang bersinar terang tersirat wajah Martha yang bersinar.
“Aku takkan melupakanmu, karena hanyalah kau satu-satunya sahabat bagiku, Martha...” bisaikku lirih kepada awan, bulan bintang-bintang dan pada hatiku sendiri.

(6 November 2009, Tia)