January 10, 2013

Pintu Langit - 12




PRESENT
JAWABAN SEGALA PERTANYAAN

Brian terus melongok ke dalam kelas 3 IPA 2, mencari seseorang yang saat ini ingin ditemuinya. Tak ada waktu, benar-benar harus hari ini dia menemuinya. Dia mendadak gelisah saat tak kunjung ditemuinya sosok itu.
Bukan. Bukan Luna, melainkan Alya.
“Brian ngapain lo di sini?”
Sebuah suara dan tepukan tiba-tiba berhasil membuatnya terlonjak.
“Alya?”
“Mau cari Luna, ya? Kayanya dia masih di―”
“Alya, gue bukan cari Luna. Gue cari lo.”
Alya lalu menyatukan kedua alisnya, heran. “Gue?”
Brian mengangguk. “Pulang sekolah kira-kira lo free nggak? Gue perlu ngomong sama lo.”
“Ngomong soal apa, ya?”
“Banyak,” tukas Brian cepat.
“Oke oke. Pulang sekolah gue free kok.”
“Bagus. Kita ketemu di parkiran ya? Nanti kita cari tempat yang enak buat ngobrol.”
Alya mengangguk mantap.
“Tapi gue minta jangan bilang-bilang Luna soal ini, ya?” Brian tampak memohon, dan lagi-lagi Alya hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. “Thanks Al.”
*
Di atas meja itu ada segelas mocca float, secangkir cappuccino, dan sepiring besar kentang goreng. Seorang waiter baru saja meletakkan makanan dan minuman yang dipesan oleh Alya dan Brian di sana. Keduanya mulai menikmati minuman mereka.
Brian mengangkat cangkir keramik berisi cappuccino di tangannya, menyesapnya, lalu meletakkannya kembali dan mulai bicara.
“Alya, gue boleh nanya sesuatu?”
“Bukannya itu tujuan lo bawa gue ke sini, Bri?”
Brian tersenyum.
“Soal Luna.”
“Luna?”
“Iya.”

Alya kini menatap Brian yang tampak benar-benar serius. Ada hal dalam diri Brian yang membuatnya yakin bahwa pemuda itu hadir untuk Luna, benar-benar untuk Luna, menggantikan satu nama yang dulu meninggalkannya.
Kemudian saat menit-menit berikutnya bergulir mereka telah tenggelam dalam suatu obrolan tentang Luna, gadis dingin itu. Cappuccino dalam cangkir keramik itu masih tersisa separuh, namun telah berhenti mengepul, mendingin. Brian lebih tertarik dengan penuturan-penuturan Alya tentang Luna dan kisahnya daripada menyentuh cappuccino itu.
Alya terus bercerita tentang Luna dan masa lalunya, yakni tentang laki-laki yang berhasil membuat hati Luna terbuka. Laki-laki itu meninggalkan Luna dalam ketidakpastian, sendiri, tanpa kabar atau janji untuk kembali sehingga membuat Luna berubah menjadi begitu dingin, begitu jauh untuk disentuh.
“Namanya Andro. Andromeda.”
Brian terhenyak. Tidak terlalu mengejutkan untuknya. Dia lalu tersenyum samar. Selesai sudah, kepastian tentang nama itu telah dia dapatkan. Seperti dugaannya, Luna memang tak tahu apa-apa tentang kepergian Andro.
Thanks a lot, Al,” gumamnya.
Tangan Brian meraih cangkir keramik berwarna putih di atas meja. Dia menenggak habis isinya, hambar. Diam-diam Brian itu memantapkan hatinya pada suatu keputusan. Entah baik atau buruk akibatnya, dia harus tetap melaksanakannya. Nanti.
*
Setelah mengantar Alya pulang, Brian bergegas memacu motornya ke rumah. Tak butuh waktu lama untuk Brian berganti pakaian. Hanya sepuluh menit, setelah itu dia melangkah cepat menuju garasi tempat mobilnya berdiam. Tanpa ba-bi-bu lagi dipacunya mobil itu menuju rumah Luna.
Sesampainya di sana dia buru-buru mengetuk pintu. Seorang gadis datang membuka pintu.
“Brian?”
Luna agak sedikit heran mendapati Brian tahu-tahu datang dan berdiri di depan pintu rumahnya. Biasanya Brian akan menghubunginya terlebih dahulu jika ingin berkunjung. Tapi kali ini...
“Boleh gue minta sesuatu?”
“Minta apa?”
“Gue minta lo ikut gue sekarang. Ada hal yang perlu gue tunjukin dan jelasin ke lo hari ini juga,” ucap Brian tegas. Memang semuanya harus dia selesaikan hari ini.
“Ada apa sih, Brian? Kok tiba-tiba banget?”
“Gue mohon, Lun. Ini demi kebaikan semuanya. Termasuk lo dan perasaan lo saat ini.”
Luna semakin tak mengerti dengan apa yang Brian bicarakan. Namun melihat pemuda itu memelas dan meminta dengan sangat agar Luna mau ikut dengannya, Luna tak bisa berkutik. Dia tak sanggup menolak, terlebih Brian mengatakan hal ini menyangkut perasaannya.
Setelah berganti pakaian, Luna dan Brian melangkah memasuki mobil. Wajah Brian tampak seperti gugup sekaligus ragu, itulah yang Luna lihat.
“Brian, lo mau bawa gue kemana?”
Brian diam sejenak, sebelum kemudian bergumam. “Satu tempat dimana lo bakal dapetin jawaban-jawaban dari segala pertanyaan,” Luna menatap Brian heran. Menyadari hal itu Brian menambahkan, “segala pertanyaan yang selama ini bikin lo resah. Tentang masa lalu, tentang sosok yang hilang, tentang ketidakpastian, dan mungkin termasuk pertanyaan lo tentang gue.”
Luna bergidik. Brian benar-benar sukses membuatnya berdebar dan takut. Bagaimana Brian tahu tentang pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berkecamuk di pikirannya?
Luna teringat satu pertanyaan yang baru-baru ini membuntutinya. Sejak kejadian di basecamp Raka, yakni saat dengan penuh dendam Brian menghajar Raka sambil menyebut satu nama.
“Termasuk tentang nama asing yang lo sebut di basecamp Raka?”
Ragu-ragu Brian menatap Luna, memastikan maksud pertanyaan itu.
“Reiner,” sahutnya singkat. “Siapa sebenernya Reiner?”
Mendengar nama itu Brian menahan napas sejenak. Dia bungkam. Semuanya memang akan terjawab nanti.
*
Gerimis bimbang, antara jatuh atau reda. Kini bau tanah basah menyeruak saat sepasang manusia datang. Brian bersama Luna baru saja menginjakkan kaki mereka di sebuah tempat yang Brian sebut-sebut sebagai tempat datangnya jawaban dari segala pertanyaan di benak Luna.
Brian terus berjalan, diikuti oleh Luna yang bungkam tak mampu mengucapkan sepatah kata. Dia benar-benar tak mengerti mengapa Brian membawanya ke tempat ini. Ingin sekali dia bertanya namun kalimatnya tercekat di tenggorokan, menyesakkan.
Tak lama kemudian, Brian menghentikan langkahnya. Dia menatap Luna dalam-dalam. Matanya memancarkan kesedihan yang teramat dalam, membuat sekelebat firasat buruk tiba-tiba merasuki pikirannya.
Luna berusaha percaya bahwa dirinya dan Brian kini tengah berada di tanah pemakaman dan berdiri di dekat sebuah makam dengan sebuah batu nisan bertuliskan sebuah nama.
Beribu peluru seperti ditembakkan tepat ke jantungnya. Sungguh, Luna sangat berharap bahwa dirinya kini sedang bermimpi, mimpi buruk, mimpi terburuk, dan akan segera bangun mendapati segalanya baik-baik saja. Namun tidak. Tidak ada yang baik-baik saja termasuk pandangannya yang kabur oleh air mata yang telah menggenang. Brian menatap nanar sebuah nisan...
“Ini makam Andro. Andromeda. Kakak gue...”
Kakinya benar-benar melemas. Tubuhnya tak kuat lagi berdiri. Sebagian tubuhnya terasa menguap entah ke mana. Rasa kosong itu ternyata lebih menyakitkan dari apapun. Gadis itu lalu terjatuh dan lunglai, seiring hujan yang rintik menjelma rinai.
*

(bersambung)