PRESENT
JAWABAN
SEGALA PERTANYAAN
Brian terus melongok ke dalam kelas 3 IPA 2, mencari
seseorang yang saat ini ingin ditemuinya. Tak ada waktu, benar-benar harus hari
ini dia menemuinya. Dia mendadak gelisah saat tak kunjung ditemuinya sosok itu.
Bukan. Bukan Luna, melainkan Alya.
“Brian ngapain lo di sini?”
Sebuah suara dan tepukan tiba-tiba berhasil membuatnya
terlonjak.
“Alya?”
“Mau cari Luna, ya? Kayanya dia masih di―”
“Alya, gue bukan cari Luna. Gue cari lo.”
Alya lalu menyatukan kedua alisnya, heran. “Gue?”
Brian mengangguk. “Pulang sekolah kira-kira lo free nggak? Gue perlu ngomong sama lo.”
“Ngomong soal apa, ya?”
“Banyak,” tukas Brian cepat.
“Oke oke. Pulang sekolah gue free kok.”
“Bagus. Kita ketemu di parkiran ya? Nanti kita cari
tempat yang enak buat ngobrol.”
Alya mengangguk mantap.
“Tapi gue minta jangan bilang-bilang Luna soal ini, ya?”
Brian tampak memohon, dan lagi-lagi Alya hanya menanggapinya dengan anggukan
kecil. “Thanks Al.”
*
Di atas meja itu ada segelas mocca float, secangkir cappuccino, dan sepiring besar kentang goreng.
Seorang waiter baru saja meletakkan
makanan dan minuman yang dipesan oleh Alya dan Brian di sana. Keduanya mulai
menikmati minuman mereka.
Brian mengangkat cangkir keramik berisi cappuccino di tangannya, menyesapnya,
lalu meletakkannya kembali dan mulai bicara.
“Alya, gue boleh nanya sesuatu?”
“Bukannya itu tujuan lo bawa gue ke sini, Bri?”
Brian tersenyum.
“Soal Luna.”
“Luna?”
“Iya.”
Alya kini menatap Brian yang tampak benar-benar serius.
Ada hal dalam diri Brian yang membuatnya yakin bahwa pemuda itu hadir untuk
Luna, benar-benar untuk Luna, menggantikan satu nama yang dulu meninggalkannya.
Kemudian saat menit-menit berikutnya bergulir mereka
telah tenggelam dalam suatu obrolan tentang Luna, gadis dingin itu. Cappuccino dalam cangkir keramik itu
masih tersisa separuh, namun telah berhenti mengepul, mendingin. Brian lebih
tertarik dengan penuturan-penuturan Alya tentang Luna dan kisahnya daripada
menyentuh cappuccino itu.
Alya terus bercerita tentang Luna dan masa lalunya,
yakni tentang laki-laki yang berhasil membuat hati Luna terbuka. Laki-laki itu
meninggalkan Luna dalam ketidakpastian, sendiri, tanpa kabar atau janji untuk
kembali sehingga membuat Luna berubah menjadi begitu dingin, begitu jauh untuk
disentuh.
“Namanya Andro. Andromeda.”
Brian terhenyak. Tidak terlalu mengejutkan untuknya. Dia
lalu tersenyum samar. Selesai sudah, kepastian tentang nama itu telah dia
dapatkan. Seperti dugaannya, Luna memang tak tahu apa-apa tentang kepergian
Andro.
“Thanks a lot,
Al,” gumamnya.
Tangan Brian meraih cangkir keramik berwarna putih di
atas meja. Dia menenggak habis isinya, hambar. Diam-diam Brian itu memantapkan
hatinya pada suatu keputusan. Entah baik atau buruk akibatnya, dia harus tetap
melaksanakannya. Nanti.
*
Setelah mengantar Alya pulang, Brian bergegas memacu motornya
ke rumah. Tak butuh waktu lama untuk Brian berganti pakaian. Hanya sepuluh
menit, setelah itu dia melangkah cepat menuju garasi tempat mobilnya berdiam.
Tanpa ba-bi-bu lagi dipacunya mobil itu menuju rumah Luna.
Sesampainya di sana dia buru-buru mengetuk pintu.
Seorang gadis datang membuka pintu.
“Brian?”
Luna agak sedikit heran mendapati Brian tahu-tahu datang
dan berdiri di depan pintu rumahnya. Biasanya Brian akan menghubunginya
terlebih dahulu jika ingin berkunjung. Tapi kali ini...
“Boleh gue minta sesuatu?”
“Minta apa?”
“Gue minta lo ikut gue sekarang. Ada hal yang perlu gue
tunjukin dan jelasin ke lo hari ini juga,” ucap Brian tegas. Memang semuanya
harus dia selesaikan hari ini.
“Ada apa sih, Brian? Kok tiba-tiba banget?”
“Gue mohon, Lun. Ini demi kebaikan semuanya. Termasuk lo
dan perasaan lo saat ini.”
Luna semakin tak mengerti dengan apa yang Brian
bicarakan. Namun melihat pemuda itu memelas dan meminta dengan sangat agar Luna
mau ikut dengannya, Luna tak bisa berkutik. Dia tak sanggup menolak, terlebih
Brian mengatakan hal ini menyangkut perasaannya.
Setelah berganti pakaian, Luna dan Brian melangkah
memasuki mobil. Wajah Brian tampak seperti gugup sekaligus ragu, itulah yang
Luna lihat.
“Brian, lo mau bawa gue kemana?”
Brian diam sejenak, sebelum kemudian bergumam. “Satu
tempat dimana lo bakal dapetin jawaban-jawaban dari segala pertanyaan,” Luna
menatap Brian heran. Menyadari hal itu Brian menambahkan, “segala pertanyaan
yang selama ini bikin lo resah. Tentang masa lalu, tentang sosok yang hilang,
tentang ketidakpastian, dan mungkin termasuk pertanyaan lo tentang gue.”
Luna bergidik. Brian benar-benar sukses membuatnya
berdebar dan takut. Bagaimana Brian tahu tentang pertanyaan-pertanyaan yang
selama ini berkecamuk di pikirannya?
Luna teringat satu pertanyaan yang baru-baru ini
membuntutinya. Sejak kejadian di basecamp
Raka, yakni saat dengan penuh dendam Brian menghajar Raka sambil menyebut satu
nama.
“Termasuk tentang nama asing yang lo sebut di basecamp Raka?”
Ragu-ragu Brian menatap Luna, memastikan maksud
pertanyaan itu.
“Reiner,” sahutnya singkat. “Siapa sebenernya Reiner?”
Mendengar nama itu Brian menahan napas sejenak. Dia
bungkam. Semuanya memang akan terjawab nanti.
*
Gerimis bimbang, antara jatuh atau reda. Kini bau tanah
basah menyeruak saat sepasang manusia datang. Brian bersama Luna baru saja
menginjakkan kaki mereka di sebuah tempat yang Brian sebut-sebut sebagai tempat
datangnya jawaban dari segala pertanyaan di benak Luna.
Brian terus berjalan, diikuti oleh Luna yang bungkam tak
mampu mengucapkan sepatah kata. Dia benar-benar tak mengerti mengapa Brian
membawanya ke tempat ini. Ingin sekali dia bertanya namun kalimatnya tercekat
di tenggorokan, menyesakkan.
Tak lama kemudian, Brian menghentikan langkahnya. Dia
menatap Luna dalam-dalam. Matanya memancarkan kesedihan yang teramat dalam,
membuat sekelebat firasat buruk tiba-tiba merasuki pikirannya.
Luna berusaha percaya bahwa dirinya dan Brian kini
tengah berada di tanah pemakaman dan berdiri di dekat sebuah makam dengan
sebuah batu nisan bertuliskan sebuah nama.
Beribu peluru seperti ditembakkan tepat ke jantungnya.
Sungguh, Luna sangat berharap bahwa dirinya kini sedang bermimpi, mimpi buruk,
mimpi terburuk, dan akan segera bangun mendapati segalanya baik-baik saja.
Namun tidak. Tidak ada yang baik-baik saja termasuk pandangannya yang kabur
oleh air mata yang telah menggenang. Brian menatap nanar sebuah nisan...
“Ini makam Andro. Andromeda. Kakak gue...”
Kakinya benar-benar melemas. Tubuhnya tak kuat lagi
berdiri. Sebagian tubuhnya terasa menguap entah ke mana. Rasa kosong itu
ternyata lebih menyakitkan dari apapun. Gadis itu lalu terjatuh dan lunglai,
seiring hujan yang rintik menjelma rinai.
*
(bersambung)