January 11, 2013

Pintu Langit - 14





PRESENT
YANG AKU TUNGGU

“Kenapa lo yang pergi balapan sih? Kenapa harus lo yang kaya gini, kenapa bukan gue? Seharusnya gue yang ada di arena itu!”
“Waktu nggak bisa berputar, Brian.”
“Gue janji gue akan bales Raka!”
“Jangan. Cukup satu permintaan gue, Brian...”
“Apa?”
“Aluna. Jaga dia... Lindungi dia... Buat gue...”
Terngiang lagi. Enam kata yang selama ini dia pegang teguh dan ingat-ingat, adalah enam kata terakhir yang Andro ucapkan sebelum dia akhirnya pergi. Tanpa bisa kembali.
Teringat jelas bagaimana pukulan itu membuat Brian hampir kehilangan arah. Dendam berkobar di dalam dadanya seiring berjalannya hari, menanti saat-saat di mana dia bisa melampiaskan amarahnya atas kepergian Andro kepada Raka, pembunuh itu.
Hari-hari berlalu begitu cepat, sedangkan dia sendiri belum menemukan gadis itu. Gadis yang harus dia jaga, dia lindungi, untuk Andro. Dan akhirnya pencarian panjangnya berhenti di Lembang, di sebuah bukit di balik padang ilalang. Dia menemukan sebuah nama di batang pohon randu yang lebat. Nama yang membuatnya menyadari bahwa gadis itu bersekolah di tempat yang sama dengannya, pencarian itu sesungguhnya tak terlalu jauh. Aluna Luvena Dewanti.
Gadis itu ada di hadapannya kini. Menangis.
“Luna,” lirih Brian.

Gadis itu tetap mematung dan tersedu-sedan. Air matanya luruh bersama air hujan, namun tidak dengan perihnya kehilangan. Dalam diam Brian menuntun tubuh Luna yang sudah melemah untuk pergi dari sana. Keduanya melangkah menembus hujan di tanah pemakaman, menuju mobil Brian yang terparkir di pinggir jalan.
Brian membukakan pintu untuk Luna, lalu membiarkan gadis itu masuk. Setelah masuk ke mobil, Brian urung melaju. Ditatapnya Luna yang masih shock atas kabar kematian Andro. Ada rasa bersalah di hatinya, namun setidaknya dia bisa mengubah pandangan Luna terhadap Andro. Kakaknya sedikitpun tidak berniat meninggalkan Luna. Sedikitpun.
“Kita pulang, Lun?”
Tak ada jawaban selain diam. Tak ada perubahan selain bungkam. Cukup lama keduanya terjebak dalam kebisuan masing-masing. Hening yang menjengahkan. Brian melirik Luna di tempatnya. Masih tak ada jawaban. Diam mungkin berarti iya, atau mungkin berarti tidak. Brian tak tahu, namun dia rasa Luna memang perlu istirahat.
Brian memacu mobilnya meninggalkan tempat itu, menembus kabut tipis yang turun pelan-pelan mengiringi senja.
*
Sesampainya di depan pintu rumah itu, mereka pun masih saling diam. Brian menatap Luna, kesedihan benar-benar jelas tergambar di wajah teduh itu. Mata Luna tampak menghindari tatapan Brian.
Brian mendekatkan tubuhnya, lebih dekat pada Luna. Gadis itu terpana ketika tiba-tiba dia sudah ada dalam rengkuhan Brian. Tak ada yang dirasakannya selain kehangatan seiring lengan kokoh itu semakin erat mendekapnya. Luna menangis sejadi-jadinya.
Setelah isakan itu sedikit mereda, Brian terlihat merogoh saku celananya. tangannya meraih sebuah ponsel dari dalam sana. Dia mendekatkan ponsel itu ke telinga setelah memencet beberapa tombol di sana.
Dia berucap lirih. “Halo? Alya, lo bisa tolong ke rumah Luna? Iya, sekarang. Dia butuh lo sekarang. Gue nggak bisa jelasin sekarang. Mendingan lo cepet ke sini ya? Iya iya. Thanks banget ya. Bye.”
Brian menutup teleponnya. Dia kini menggenggam erat ponsel di tangannya.
“Luna, gue pulang dulu ya?”
Gadis itu diam, tak bersuara. Hanya mengangguk samar. Brian tahu, sangat tahu betapa hancur hati Luna saat ini. Sempat ditatapnya Luna yang masih tertunduk sebelum akhirnya berpamitan.
Luna merasa pandangannya kembali kabur selepas Brian menghilang bersama mobilnya di tikungan jalan. Dia mengusap matanya yang basah. Lagi dan lagi. Namun berapa kalipun dia mengusap, air mata itu tak kunjung berhenti mengalir.
Gadis itu menangis. Sendirian.
*
“Jadi alasan lo ngelindungin Luna selama ini adalah Andro?”
“Bukan untuk alasan lain?”
“Perasaan lo sendiri mungkin...”
Terngiang jelas di telinganya kalimat-kalimat yang Alya luncurkan padanya tadi pagi, entah untuk maksud apa.
Sore ini dia kehilangan konsentrasinya bermain basket. Dia memutuskan untuk meninggalkan lapangan sebelum latihan selesai. Pikirannya kacau oleh Luna dan segala macam perasaan yang memenuhi ruang hatinya. Beberapa pertanyaan membuntutinya. Apa hanya karena Andro dia mau melindungi Luna? Atau dia memiliki perasaan lain terhadap gadis itu? Perasaan macam apa?
Brian menggeleng, membuyarkan segala pikiran aneh itu.
Saat melangakah menuju parkiran dia menangkap sosok Luna tengah duduk sendiri di depan ruang redaksi. Ada sesuatu yang menarik Brian untuk mendekatinya.
“Lun?”
Gadis itu menoleh.
“Belum pulang?”
Sebuah gelengan samar ditangkapnya.
“Nunggu siapa?”
“Nunggu lo,” tukas Luna. Brian justru terdiam dan tampak berpikir. “Gue mau bilang terima kasih.”
“Atas?”
“Semuanya.”
Entah hal apa saja yang telah Brian berikan padanya, yang jelas Luna hanya ingin berterima kasih. Kehadiran Brian yang tiba-tiba itu begitu disyukurinya. Terlebih lagi atas kejadian kemarin. Brian telah membuka mata hatinya dan mengubah pandangannya terhadap Andro, untuk kemudian menjadi alasan terkuatnya melupakan dan mengikhlaskan kepergian laki-laki itu.
“Lo semalem masih nangis ya?”
Luna mengangguk. Senyum tipis terkembang di bibirnya.
“Bisa bayangin gimana sakitnya gue, kan?”
Tentu saja. Brian tahu bagaimana rasa sakit itu, mungkin dia jauh lebih tahu daripada Luna karena dia sendiri telah merasakan pedihnya kehilangan. Jauh lebih banyak dari Luna.
Mereka kembali diam. Satu-satunya yang tak bisa mereka kendalikan adalah degup jantung keduanya yang terasa semakin cepat. Mereka berdua hanya bisa berharap suara angin yang berhembus dapat menyembunyikan debar jantung itu.
“Luna...”
Tiba-tiba Brian memecah keheningan.
“Apa?”
Luna menoleh. Wajah Brian tampak begitu serius. Luna merasa tubuhnya menegang saat manik matanya beradu dengan Brian. Mata itulah yang akhir-akhir ini dikaguminya diam-diam. Mereka beradu tatap untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Brian menyeletuk santai.
“Muka lo kok makin keliatan kaya ikan pesut ya?”
*
Dua piring besar pancake dengan es krim cokelat sebagai topping-nya terhidang di meja itu bersama dua cangkir hot chocolate. Luna tampak menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sebelum meraih cangkirnya dan menyesap sedikit cairan hangat di dalamnya.
Brian tergelak.
“Dingin ya?”
Luna mengangguk pelan.
Mereka kini ada di sebuah café cokelat di satu sudut kota Bandung. Tujuan utama mereka sebenarnya adalah berteduh, namun hujan yang tak kunjung reda itu tampaknya akan menahan mereka di sini sampai malam.
Detak hujan di kaca itu terdengar jelas. Brian menyentuh garpu dan pisau di piringnya. Sambil diam-diam mengamati Luna, dia memotong pancake di hadapannya itu. Luna tahu betul kebiasaan Brian yang satu itu, menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Demi menghindari tatapan Brian yang selalu bisa membuatnya gugup itu, Luna memutuskan untuk mengalihkan pandangannya ke tetes-tetes air yang mengalir di jendela di sampingnya itu.
Brian menarik ujung bibirnya, tersenyum.
“Lo suka hujan?”
“Enggak.”
“Lebih suka bintang ya?”
Luna hampir mengangguk, namun diurungkannya. Matanya kini menyipit. Bintang?
“Ehm... Lo suka bintang ya?”
Bukannya menjawab, Luna melemparkan pertanyaan yang sama.
Brian tersenyum samar dan mengangguk. “Gue suka bintang karena Andro juga suka bintang.”
“Apa semua hal di hidup lo itu lo lakuin dengan alasan yang sama? Karena Andro?”
Brian menggeleng. Diletakkannya pisau dan garpu yang dia pegang di atas piring, lalu menatap Luna lekat-lekat.
“Mungkin cuma ada tiga hal yang gue lakuin dengan Andro sebagai alasan. Pertama, suka sama bintang dan langit. Kedua, benci sama Raka. Dan ketiga...,” Brian menggantung kalimatnya, membuat Luna menunggu.
“Ketiga?”
“Ngelindungin lo.”
Luna merasakan rasa hangat mengalir menuju wajahnya. Dia buru-buru membuang muka karena khawatir Brian akan menangkap rona merah di pipinya.
“Andro sayang sama lo kok.”
“Apa?”
“Gue bilang, Andro sayang sama lo. Jadi lo jangan ngerasa ditinggalin dalam ketidakpastian lagi.”
Luna terkekeh.
“Maksud lo apa?”
“Gue cuma pengen lo tahu perasaan dia sebenernya.”
Luna mendesah, dia menggelengkan kepalanya sambil memainkan es krim cokelat dia atas pancake-nya dengan garpu.
“Percuma, Brian. Kenapa nggak dari dulu dia bilang? Kenapa nggak dari mulutnya sendiri gue denger?” Luna menggigit bibirnya pilu. “Gue sama dia sama-sama kehilangan kesempatan buat bicara. Itu yang gue sesalin.”
Luna menelan ludahnya. Pahit.
“Lo sayang sama Andro?”
“Iya,” ucapnya getir. Entah mengapa Brian ada sentilan yang mengenai hatinya saat itu. Tampak Luna membuang muka, memandang jauh jalanan yang basah. “Gue sayang sama dia, tapi dulu... Dulu banget.”
Brian terhenyak. Ada sebagian kecil dari hatinya yang mengembang.
“Dulu?”
“Iya. Dulu.”
“Sekarang?”
Luna menggeleng pelan. “Sekarang... Mungkin enggak.”
“Kenapa?”
“Perasaan itu... mungkin sudah berpaling ke orang lain, Brian.”
Jika lagu tetes-tetes air di jendela menjelma senyap, mungkin yang terdengar kini hanyalah degup jantung keduanya yang tak wajar.
Brian tercekat. Ditatapnya Luna yang tersenyum penuh makna. Sedangkan Luna merasakan suasana kala itu berubah kaku. Desir halus itu lagi-lagi datang dan melanda hatinya, seiring rinai hujan yang kian mereda.
Brian menyesap cokelatnya. Begitu manis.
*

(bersambung)