January 06, 2013

Pintu Langit - 8








PAST
ANDROMEDA

“Kenapa Brian tadi diem aja di makam Mama? Katanya kangen.”
Suara Andro memecah keheningan. Brian mengangkat wajahnya yang sejak tadi dia benamkan.
“Brian takut.”
“Takut apa?”
“Brian takut Mama marah. Soalnya Brian nakal.”
Andro beringsut mendekat. Perlahan dirangkulnya Brian dan diusapnya lembut bahu adiknya itu. “Mana mungkin Mama marah, Brian kan udah minta maaf sama Ozy.”
Tak ada yang berubah dari raut wajah Brian. Dia memandang jauh ke arah ilalang yang bergoyang tertiup angin. Andro menarik napas panjang, lalu berbaring di atas rerumputan. Kedua matanya mengerjap karena silaunya cahaya matahari yang datang melalui celah-celah ranting pohon.
Tiba-tiba Brian bangkit dari duduknya.
“Kak Andro, ayo kita gali lubang!”
Andro menoleh. “Lubang buat apa?”
“Kita kubur harta karun.”
*
Sudah seharian mereka bermain-main. Seperti yang sudah-sudah, mereka akan lupa waktu jika bermain di tempat ini. Berjam-jam mereka melakukan hal-hal yang menurut mereka sangat menyenangkan, namun tak merasa lelah juga. Hingga senja telah larut ditelan remang malam, mereka masih tak ingin pulang.
Mereka berdua kini tengah berbaring menatap bintang-bintang di angkasa yang entah berapa jumlahnya.
“Sekarang bulan apa, Brian?”
“April.”
Andro tersentak. Beberapa saat kemudian dia beringsut mengubah posisi tidurnya menghadap langit utara.

“Lihat Brian!”
Brian mengangkat kepalanya sambil bertanya-tanya. Andro tersenyum. Jemarinya menunjuk jutaan bintang di cakrawala.
“Lihat ke sana! Itu Ursa Mayor.”
*
Kallisto adalah putri seorang raja Likaon di Arkadia. Dia memiliki seorang anak hasil hubungannya dengan Zeus. Anak itu lelaki dan bernama Arkas. Hera, yang tak lain adalah istri Zeus sangat marah saat mengetahui perselingkuhan itu. Dia mengubah Kallisto menjadi seekor beruang dan dipisahkan dengan Arkas, anaknya.
Enam belas tahun kemudian Arkas bertemu dengan beruang yang sebenarnya adalah ibunya. Arkas berniat membunuh beruang itu namun berhasil dihentikan oleh Zeus. Zeus yang merasa kasihan akhirnya menempatkan Kallisto dan Arkas di angkasa sebagai rasi bintang Ursa Mayor dan Ursa Minor.

Langit utara begitu bercahaya. Tujuh bintang di lengkung langit nampak lebih terang dari bintang-bintang di sekitarnya. Dubhe, Alioth, Mizar, Alkaid, Merak, Phad, dan Megrez tersusun dan saling terhubung menunjukkan arah utara, tempat Polaris berdiam. Ursa Mayor berarak menguasai langit yang pekat.
“Jadi, ibu dan anak itu benar-benar diangkat ke langit?” Tanya brian dengan polosnya.
“Iya, soalnya mereka orang baik.”
“Mama juga orang baik. Apa Mama juga akan diangkat ke langit, Kak?”
“Mungkin,” Gumam Andro, matanya kemudian menyelami wajah Brian. Kesedihan belum sirna dari sana. “Sudahlah. Ayo kita pulang!”
Brian tak bergerak, matanya masih tak bisa lepas dari susunan bintang-bintang yang tadi sempat Andro tunjukkan.
“Brian?”
Anak itu menoleh, menatap sang kakak dengan tatapan aneh.
“Apa ini terakhir kalinya kita ke sini, Kak?”
“Siapa bilang?”
“Gimana kalau Papa nggak ngizinin kita pergi ke sini lagi?”
“Bukannya kita emang nggak pernah izin ke Papa kalau mau pergi ke sini?” Andro terkekeh. Ditatapnya Brian yang tersenyum, sangat lucu. Mereka lalu beranjak pergi dengan membawa sebuah harapan, bahwa mereka bisa kembali ke tempat ini suatu saat nanti.
Brian menuruni bukit dengan hati-hati diikuti Andro yang mengikuti di belakangnya. Malam tak begitu gelap sebab bulan sedang purnama.
Sebelum melangkah lebih jauh ke padang ilalang, Andro menyempatkan diri untuk berbalik, menatap bukit itu sendu.
“Kita pasti kembali. Entah kapan.”
*
Malam itu Brian menangis sesenggukan melihat adegan yang terjadi di hadapannya. Ayahnya yang murka mendapati mereka pulang larut malam kala itu tampak memukuli punggung Andro dengan sebuah kemoceng. Andro tak menangis, namun Brian tahu dia sangat kesakitan.
“Kenapa kamu nggak sekolah? Papa capek-capek cari uang buat biayain kamu sekolah, jadi orang yang berguna, eh kamu malah bolos sekolah. Pake main ke Lembang segala. Mau jadi anak bandel kaya Brian?”
Andro bungkam, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.
“Papa bener-bener kecewa sama kamu, Andro!” Bocah itu menundukkan kepalanya, menatap lantai yang dia pijak dengan pilu. “Sekarang kamu masuk kamar! Seminggu ini kamu nggak usah main ke mana-mana. Itu sebagai hukuman buat kamu!”
Laki-laki itu membanting kemoceng yang dia gunakan untuk memukuli Andro ke lantai. Dia menatap tajam anak sulungnya sebelum akhirnya melangkah pergi menuju kamar. Andro merintih menahan rasa perih yang mendera punggungnya. Dia lalu menatap Brian yang terlihat berjalan menghampirinya.
“Brian minta maaf. Gara-gara Brian ngajak kak Andro pergi ke pintu langit, kak Andro jadi dipukulin sama Papa.”
“Bukan gara-gara Brian kok,” Andro menepuk bahu adiknya, mencoba meyakinkannya bahwa dia memang tak bersalah. “Sana masuk kamar! Nanti Papa marah.”
Brian menggeleng lemah. “Brian mau tidur sama Kakak.”
“Beneran?” Sahut Andro. Bocah itu mengangguk yakin. “Ayo ke kamar!”
Dua bocah laki-laki kakak beradik itu berjalan menuju kamar sang kakak. Setelah berganti pakaian mereka berdua bergegas menuju tempat tidur. Namun Andro teringat sesuatu. Dia bangkit dari posisinya dan berjalan mendekati pintu.
“Mau ke mana, Kak?”
Andro tak menjawab. Langkahnya terhenti di dekat pintu. Tangannya meraih sebuah sakelar dan memencetnya.
Ruangan berubah gelap seketika.
“Kok dimatiin?”
Brian bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk. Dipandanginya ruangan yang gelap gulita itu. Terdengar Andro menyalakan sakelar lain sebelum meluncur ke arah tempat tidur.
Tiba-tiba suasana berubah semarak. Kamar Andro ternyata tak lagi gelap. Di langit-langit kamarnya kini muncul pendar-pendar cahaya bermacam warna yang bertaburan dan bergerak-gerak. Brian tercengang.
“Bintang?”
Andro terkekeh geli.
“Bukan, Brian. Itu cuma lampu.”
Brian mendadak teringat pada suatu hari di Lembang, di rumah lamanya. Suatu malam di hari ulang tahunnya, sang mama mengajaknya tidur di sebuah kamar di lantai tiga rumahnya. Atapnya terbuat dari kaca tembus pandang, sehingga saat berbaring siapapun bisa melihat pendar-pendar bintang. Brian semakin merindukan mamanya.
“Kamu pasti keinget Mama, ya?”
Brian mengangguk.
“Lampu tidur itu juga dari Mama loh. Eh, Brian, kamu tahu nggak arti nama kamu?” Tanya Andro tiba-tiba. Tampak adiknya menggeleng. “Brian Lingga Reiner Aditama, artinya ksatria yang bijaksana dan kuat.”
“Masa sih? Kata siapa?”
“Kata Mama.”
“Oh, kalau kak Andro apa?”
“Andromeda Harya Arkana Aditama.”
“Andromeda itu nama bintang, ya?”
“Iya, tapi Mama bilang Andromeda punya arti lain.”
“Apa?”
Andro terdiam sejenak. Perlahan-lahan dia menghembuskan napas. “Artinya, ksatria pelindung yang mulia dan berhati lapang.”
“Jadi, kita sama-sama ksatria ya, Kak?”
Andro mengangguk. Diliriknya Brian yang sudah menguap untuk kali ketiga. “Kalau ngantuk tidur aja.”
“Oke. Selamat malam, kak Andro. Aku akan jadi ksatria yang kuat.”
Andro menarik selimut, menutupi tubuh Brian dan juga tubuhnya. Dia mencoba melupakan rasa perih di punggungnya dan mencoba memejamkan mata. Cahaya yang temaram larut dalam hening yang tercipta. Lirih Andro berbisik.
“Selamat malam, Brian. Kakak akan jadi ksatria pelindung kamu.”
*
Kesepian tak kunjung mereda hingga tahun-tahun selanjutnya. Rumah besar itu masih sama, masih merupakan rumah tempat penghuninya singgah sejenak, sebelum akhirnya pergi lagi tanpa terlihat bertegur sapa. Dua kakak beradik itu masih ada di sana. Mereka telah berdamai dengan kekosongan yang timbul, lalu memaksa keduanya berusaha mencari arti lain dari kata bahagia di luar sana.
Andro telah menginjak bangku kuliah sedangkan Brian kini duduk di bangku kelas dua SMA. Tak banyak yang berubah dari mereka selain jarak yang tiba-tiba timbul dan memisahkan keduanya untuk sementara. Brian menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, entah di mana dan bersama siapa. Dia akan pulang jika memang ingin, jika tidak maka tidak.
Malam itu dia pulang ke rumah, dan malam telah sangat larut. Tanpa beban dia melangkah menuju kamarnya. Rasa peduli telah tergerus sepi, tak ada yang menegurnya meski pulang hampir pagi. Brian mengerti betul bahwa keluarga ini memang salah.
Saat akan membuka pintu kamarnya, Brian selalu menyempatkan diri untuk barang sebentar melirik satu pintu yang tak jauh dari sana. Biasanya kamar itu gelap dan pintunya tertutup. Namun saat ini lampu kamar Andro masih menyala dan daun pintunya separuh terbuka.
Dengan sedikit mengendap dia melangkah menuju pintu itu. Brian meraih kenop pintu dan mendorongnya hati-hati.
“Andro...” Lirih Brian sambil mengedarkan pandangan. Dilihatnya pemilik nama itu memang masih terjaga, sedang berkutat dengan setumpuk tugas di mejanya.
Andro menatapnya bingung. “Ada apa, Brian?”
Brian terdiam. Tanpa meminta izin dan tanpa mengucapkan sepatah katapun dia melangkah masuk. Andro semakin heran saat melihat adiknya tiba-tiba merebahkan diri di atas tempat tidurnya.
“Kenapa si lo?”
“Gue kangen tidur di sini,” jawabnya singkat.
Andro tersentak. Tak biasanya Brian bertingkah seperti ini.
“Kalo mau tidur, tidur aja. Jangan berisik, jangan ganggu gue!” Tegas Andro sebelum akhirnya kembali tenggelam dalam tugasnya.
“Siap, bos!”
Brian bangkit dari posisi rebahnya. Dilihatnya kamar Andro dari ujung ke ujung, lalu tersenyum saat tak mendapati perubahan apapun di sana. Kecuali...
“Andro!”
“Apa?”
“Itu... foto-foto siapa?”
Andro mengernyitkan dahi, heran. Dia menutup bukunya, menghentikan pekerjaan yang tengah dikerjakannya dan berbalik. Ternyata Brian telah berdiri di depan sebuah board di satu sisi kamarnya, tempat dia menempelkan puluhan foto yang menampilkan wajah yang sama.
“Pacar lo ya?” terka Brian asal. Matanya menatap Andro penuh selidik. Andro tampak menggeleng. “Mantan?”
“Jangankan mantan...”
Andro menghela napas, dia kembali ke meja meninggalkan Brian tanpa menjawab pertanyaannya.
“Oh, gue tahu! Lo naksir dia tapi nggak berani bilang. Iya, kan?”
“Nggak usah sok tahu.”
“Gue emang tahu kok. Siapa namanya?”
Andro diam, lalu melengos.
“Aluna? Kok nggak lo tembak aja sih?”
Andro mulai merasa terpojokkan. Dia beringsut. “Nggak.”
“Kenapa?”
“Nggak bisa.”
Brian mengangkat sebelah alisnya. Pandangannya kembali menekuni satu per satu foto yang tertempel di board itu. Hampir di semua foto gadis itu tampak tersenyum. Cukup menawan, pikir Brian.
“Payah banget! Buat gue aja kalo gitu.”
“Apa-apaan lo?”
“Daripada lo diemin kan mendingan gue tembak.”
Andro tercenung. “Hmm... Terserah lah.”
Mendapati jawaban pasrah dari kakaknya, Brian kembali melempar tatapan menyelidik. Di sudut matanya, Brian menangkap gurat tak biasa di wajah Andro. Dan tiba-tiba saja dia terkekeh.
“Gue cuma bercanda kali, Ndro!” Gumam Brian. “Lagian, gue tahu kok cewe ini begitu berarti buat lo dan mungkin lo akan ngelakuin segala cara buat ngelindungin dia. Gue tahu.”
Seketika Andro menoleh. “Tahu dari mana?”
Brian hanya diam. Ditatapnya sekali lagi wajah teduh gadis dalam foto-foto itu sebelum akhirnya diputuskannya untuk melangkah keluar dari kamar Andro.
Namun sebelum dia menutup pintu dia sempat berkata: “Gue sama lo itu bukan baru kenal kemaren sore. Gue tahu betul gimana saat lo bad mood, sedih, atau marah. Begitu pula saat lo jatuh cinta.”
*

(bersambung)