PAST
ANDROMEDA
“Kenapa Brian tadi diem aja di makam Mama? Katanya
kangen.”
Suara Andro memecah keheningan. Brian mengangkat
wajahnya yang sejak tadi dia benamkan.
“Brian takut.”
“Takut apa?”
“Brian takut Mama marah. Soalnya Brian nakal.”
Andro beringsut mendekat. Perlahan dirangkulnya Brian
dan diusapnya lembut bahu adiknya itu. “Mana mungkin Mama marah, Brian kan udah
minta maaf sama Ozy.”
Tak ada yang berubah dari raut wajah Brian. Dia
memandang jauh ke arah ilalang yang bergoyang tertiup angin. Andro menarik
napas panjang, lalu berbaring di atas rerumputan. Kedua matanya mengerjap
karena silaunya cahaya matahari yang datang melalui celah-celah ranting pohon.
Tiba-tiba Brian bangkit dari duduknya.
“Kak Andro, ayo kita gali lubang!”
Andro menoleh. “Lubang buat apa?”
“Kita kubur harta karun.”
*
Sudah seharian mereka bermain-main. Seperti yang
sudah-sudah, mereka akan lupa waktu jika bermain di tempat ini. Berjam-jam
mereka melakukan hal-hal yang menurut mereka sangat menyenangkan, namun tak
merasa lelah juga. Hingga senja telah larut ditelan remang malam, mereka masih
tak ingin pulang.
Mereka berdua kini tengah berbaring menatap
bintang-bintang di angkasa yang entah berapa jumlahnya.
“Sekarang bulan apa, Brian?”
“April.”
Andro tersentak. Beberapa saat kemudian dia beringsut
mengubah posisi tidurnya menghadap langit utara.
“Lihat Brian!”
Brian mengangkat kepalanya sambil bertanya-tanya. Andro
tersenyum. Jemarinya menunjuk jutaan bintang di cakrawala.
“Lihat ke sana! Itu Ursa Mayor.”
*
Kallisto adalah putri
seorang raja Likaon di Arkadia. Dia memiliki seorang anak hasil hubungannya
dengan Zeus. Anak itu lelaki dan bernama Arkas. Hera, yang tak lain adalah
istri Zeus sangat marah saat mengetahui perselingkuhan itu. Dia mengubah
Kallisto menjadi seekor beruang dan dipisahkan dengan Arkas, anaknya.
Enam belas tahun
kemudian Arkas bertemu dengan beruang yang sebenarnya adalah ibunya. Arkas
berniat membunuh beruang itu namun berhasil dihentikan oleh Zeus. Zeus yang
merasa kasihan akhirnya menempatkan Kallisto dan Arkas di angkasa sebagai rasi
bintang Ursa Mayor dan Ursa Minor.
Langit utara begitu bercahaya. Tujuh bintang di lengkung
langit nampak lebih terang dari bintang-bintang di sekitarnya. Dubhe, Alioth,
Mizar, Alkaid, Merak, Phad, dan Megrez tersusun dan saling terhubung
menunjukkan arah utara, tempat Polaris berdiam. Ursa Mayor berarak menguasai
langit yang pekat.
“Jadi, ibu dan anak itu benar-benar diangkat ke langit?”
Tanya brian dengan polosnya.
“Iya, soalnya mereka orang baik.”
“Mama juga orang baik. Apa Mama juga akan diangkat ke
langit, Kak?”
“Mungkin,” Gumam Andro, matanya kemudian menyelami wajah
Brian. Kesedihan belum sirna dari sana. “Sudahlah. Ayo kita pulang!”
Brian tak bergerak, matanya masih tak bisa lepas dari
susunan bintang-bintang yang tadi sempat Andro tunjukkan.
“Brian?”
Anak itu menoleh, menatap sang kakak dengan tatapan
aneh.
“Apa ini terakhir kalinya kita ke sini, Kak?”
“Siapa bilang?”
“Gimana kalau Papa nggak ngizinin kita pergi ke sini
lagi?”
“Bukannya kita emang nggak pernah izin ke Papa kalau mau
pergi ke sini?” Andro terkekeh. Ditatapnya Brian yang tersenyum, sangat lucu.
Mereka lalu beranjak pergi dengan membawa sebuah harapan, bahwa mereka bisa
kembali ke tempat ini suatu saat nanti.
Brian menuruni bukit dengan hati-hati diikuti Andro yang
mengikuti di belakangnya. Malam tak begitu gelap sebab bulan sedang purnama.
Sebelum melangkah lebih jauh ke padang ilalang, Andro
menyempatkan diri untuk berbalik, menatap bukit itu sendu.
“Kita pasti kembali. Entah kapan.”
*
Malam itu Brian menangis sesenggukan melihat adegan yang
terjadi di hadapannya. Ayahnya yang murka mendapati mereka pulang larut malam
kala itu tampak memukuli punggung Andro dengan sebuah kemoceng. Andro tak
menangis, namun Brian tahu dia sangat kesakitan.
“Kenapa kamu nggak sekolah? Papa capek-capek cari uang
buat biayain kamu sekolah, jadi orang yang berguna, eh kamu malah bolos
sekolah. Pake main ke Lembang segala. Mau jadi anak bandel kaya Brian?”
Andro bungkam, tak mampu mengeluarkan sepatah katapun.
“Papa bener-bener kecewa sama kamu, Andro!” Bocah itu
menundukkan kepalanya, menatap lantai yang dia pijak dengan pilu. “Sekarang
kamu masuk kamar! Seminggu ini kamu nggak usah main ke mana-mana. Itu sebagai
hukuman buat kamu!”
Laki-laki itu membanting kemoceng yang dia gunakan untuk
memukuli Andro ke lantai. Dia menatap tajam anak sulungnya sebelum akhirnya
melangkah pergi menuju kamar. Andro merintih menahan rasa perih yang mendera
punggungnya. Dia lalu menatap Brian yang terlihat berjalan menghampirinya.
“Brian minta maaf. Gara-gara Brian ngajak kak Andro
pergi ke pintu langit, kak Andro jadi dipukulin sama Papa.”
“Bukan gara-gara Brian kok,” Andro menepuk bahu adiknya,
mencoba meyakinkannya bahwa dia memang tak bersalah. “Sana masuk kamar! Nanti
Papa marah.”
Brian menggeleng lemah. “Brian mau tidur sama Kakak.”
“Beneran?” Sahut Andro. Bocah itu mengangguk yakin. “Ayo
ke kamar!”
Dua bocah laki-laki kakak beradik itu berjalan menuju
kamar sang kakak. Setelah berganti pakaian mereka berdua bergegas menuju tempat
tidur. Namun Andro teringat sesuatu. Dia bangkit dari posisinya dan berjalan
mendekati pintu.
“Mau ke mana, Kak?”
Andro tak menjawab. Langkahnya terhenti di dekat pintu.
Tangannya meraih sebuah sakelar dan memencetnya.
Ruangan berubah gelap seketika.
“Kok dimatiin?”
Brian bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk.
Dipandanginya ruangan yang gelap gulita itu. Terdengar Andro menyalakan sakelar
lain sebelum meluncur ke arah tempat tidur.
Tiba-tiba suasana berubah semarak. Kamar Andro ternyata
tak lagi gelap. Di langit-langit kamarnya kini muncul pendar-pendar cahaya
bermacam warna yang bertaburan dan bergerak-gerak. Brian tercengang.
“Bintang?”
Andro terkekeh geli.
“Bukan, Brian. Itu cuma lampu.”
Brian mendadak teringat pada suatu hari di Lembang, di
rumah lamanya. Suatu malam di hari ulang tahunnya, sang mama mengajaknya tidur
di sebuah kamar di lantai tiga rumahnya. Atapnya terbuat dari kaca tembus
pandang, sehingga saat berbaring siapapun bisa melihat pendar-pendar bintang.
Brian semakin merindukan mamanya.
“Kamu pasti keinget Mama, ya?”
Brian mengangguk.
“Lampu tidur itu juga dari Mama loh. Eh, Brian, kamu
tahu nggak arti nama kamu?” Tanya Andro tiba-tiba. Tampak adiknya menggeleng.
“Brian Lingga Reiner Aditama, artinya ksatria yang bijaksana dan kuat.”
“Masa sih? Kata siapa?”
“Kata Mama.”
“Oh, kalau kak Andro apa?”
“Andromeda Harya Arkana Aditama.”
“Andromeda itu nama bintang, ya?”
“Iya, tapi Mama bilang Andromeda punya arti lain.”
“Apa?”
Andro terdiam sejenak. Perlahan-lahan dia menghembuskan
napas. “Artinya, ksatria pelindung yang mulia dan berhati lapang.”
“Jadi, kita sama-sama ksatria ya, Kak?”
Andro mengangguk. Diliriknya Brian yang sudah menguap
untuk kali ketiga. “Kalau ngantuk tidur aja.”
“Oke. Selamat malam, kak Andro. Aku akan jadi ksatria
yang kuat.”
Andro menarik selimut, menutupi tubuh Brian dan juga
tubuhnya. Dia mencoba melupakan rasa perih di punggungnya dan mencoba
memejamkan mata. Cahaya yang temaram larut dalam hening yang tercipta. Lirih
Andro berbisik.
“Selamat malam, Brian. Kakak akan jadi ksatria pelindung
kamu.”
*
Kesepian tak kunjung mereda hingga tahun-tahun
selanjutnya. Rumah besar itu masih sama, masih merupakan rumah tempat
penghuninya singgah sejenak, sebelum akhirnya pergi lagi tanpa terlihat
bertegur sapa. Dua kakak beradik itu masih ada di sana. Mereka telah berdamai
dengan kekosongan yang timbul, lalu memaksa keduanya berusaha mencari arti lain
dari kata bahagia di luar sana.
Andro telah menginjak bangku kuliah sedangkan Brian kini
duduk di bangku kelas dua SMA. Tak banyak yang berubah dari mereka selain jarak
yang tiba-tiba timbul dan memisahkan keduanya untuk sementara. Brian
menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, entah di mana dan bersama siapa.
Dia akan pulang jika memang ingin, jika tidak maka tidak.
Malam itu dia pulang ke rumah, dan malam telah sangat
larut. Tanpa beban dia melangkah menuju kamarnya. Rasa peduli telah tergerus
sepi, tak ada yang menegurnya meski pulang hampir pagi. Brian mengerti betul
bahwa keluarga ini memang salah.
Saat akan membuka pintu kamarnya, Brian selalu
menyempatkan diri untuk barang sebentar melirik satu pintu yang tak jauh dari
sana. Biasanya kamar itu gelap dan pintunya tertutup. Namun saat ini lampu
kamar Andro masih menyala dan daun pintunya separuh terbuka.
Dengan sedikit mengendap dia melangkah menuju pintu itu.
Brian meraih kenop pintu dan mendorongnya hati-hati.
“Andro...” Lirih Brian sambil mengedarkan pandangan.
Dilihatnya pemilik nama itu memang masih terjaga, sedang berkutat dengan
setumpuk tugas di mejanya.
Andro menatapnya bingung. “Ada apa, Brian?”
Brian terdiam. Tanpa meminta izin dan tanpa mengucapkan
sepatah katapun dia melangkah masuk. Andro semakin heran saat melihat adiknya
tiba-tiba merebahkan diri di atas tempat tidurnya.
“Kenapa si lo?”
“Gue kangen tidur di sini,” jawabnya singkat.
Andro tersentak. Tak biasanya Brian bertingkah seperti
ini.
“Kalo mau tidur, tidur aja. Jangan berisik, jangan
ganggu gue!” Tegas Andro sebelum akhirnya kembali tenggelam dalam tugasnya.
“Siap, bos!”
Brian bangkit dari posisi rebahnya. Dilihatnya kamar
Andro dari ujung ke ujung, lalu tersenyum saat tak mendapati perubahan apapun
di sana. Kecuali...
“Andro!”
“Apa?”
“Itu... foto-foto siapa?”
Andro mengernyitkan dahi, heran. Dia menutup bukunya,
menghentikan pekerjaan yang tengah dikerjakannya dan berbalik. Ternyata Brian
telah berdiri di depan sebuah board
di satu sisi kamarnya, tempat dia menempelkan puluhan foto yang menampilkan
wajah yang sama.
“Pacar lo ya?” terka Brian asal. Matanya menatap Andro
penuh selidik. Andro tampak menggeleng. “Mantan?”
“Jangankan mantan...”
Andro menghela napas, dia kembali ke meja meninggalkan
Brian tanpa menjawab pertanyaannya.
“Oh, gue tahu! Lo naksir dia tapi nggak berani bilang.
Iya, kan?”
“Nggak usah sok tahu.”
“Gue emang tahu kok. Siapa namanya?”
Andro diam, lalu melengos.
“Aluna? Kok nggak lo tembak aja sih?”
Andro mulai merasa terpojokkan. Dia beringsut. “Nggak.”
“Kenapa?”
“Nggak bisa.”
Brian mengangkat sebelah alisnya. Pandangannya kembali
menekuni satu per satu foto yang tertempel di board itu. Hampir di semua foto gadis itu tampak tersenyum. Cukup
menawan, pikir Brian.
“Payah banget! Buat gue aja kalo gitu.”
“Apa-apaan lo?”
“Daripada lo diemin kan mendingan gue tembak.”
Andro tercenung. “Hmm... Terserah lah.”
Mendapati jawaban pasrah dari kakaknya, Brian kembali
melempar tatapan menyelidik. Di sudut matanya, Brian menangkap gurat tak biasa
di wajah Andro. Dan tiba-tiba saja dia terkekeh.
“Gue cuma bercanda kali, Ndro!” Gumam Brian. “Lagian,
gue tahu kok cewe ini begitu berarti buat lo dan mungkin lo akan ngelakuin
segala cara buat ngelindungin dia. Gue tahu.”
Seketika Andro menoleh. “Tahu dari mana?”
Brian hanya diam. Ditatapnya sekali lagi wajah teduh
gadis dalam foto-foto itu sebelum akhirnya diputuskannya untuk melangkah keluar
dari kamar Andro.
Namun sebelum dia menutup pintu dia sempat berkata: “Gue
sama lo itu bukan baru kenal kemaren sore. Gue tahu betul gimana saat lo bad mood, sedih, atau marah. Begitu pula
saat lo jatuh cinta.”
*
(bersambung)