July 08, 2018

Mimpi

Aku hampir lelah mencari-cari cara untuk membuat aku memimpikan seseorang malam ini. Rindu sekali, ingin melihat wajahnya, lalu mengobrol tentang teman-temannya dan tentang teman-temanku.  Kemudian mempertanyakan mata kuliah geodesi satelit yang aneh, berdebat tentang sepak bola Indonesia, membahas surat perjanjian jual beli tanah, dan lalu kami akan sama-sama bingung memilih soto ayam atau bakso untuk makan siang.

Aku akan selalu memutar skenario itu berulang-ulang dalam pikiranku sambil memejamkan mata, sesaat sebelum terlelap. Hanya itu. Aku hanya ingin bermimpi mengenai hal itu, kenangan terakhir bersama Bapak.

*

Aku sudah tahu akhirnya kami memilih soto ayam, dan es teh manis ditambah air mineral. Lalu setelah makan aku terpana memandangi mangkuk Bapak yang bersih sementara aku menyisakan daun bawang yang bau.

*

Bapak bangun pagi untuk mengantarkan aku ke rumah sakit demi mendapatkan surat keterangan sehat dan surat bebas narkoba. Bapak tidak pulang, Bapak mengikutiku ke ruang tunggu pendaftaran. Bapak menunggu nomor antreanku dipanggil. Bapak menungguku cek kesehatan. Bapak menungguku mengisi soal tes kejiwaan. Bapak menungguku tes urine. Bapak menungguku sambil mengantuk dan tertidur. Bapak masih menungguku melakukan pembayaran. Bapak terus menungguku mengambil surat keterangan, menggandakan, dan melakukan legalisir.

Saat pulang Bapak masih saja mau menungguku memotong rantai jam tanganku yang kepanjangan.

*

Bapak memang suka sekali menungguku.

*

Skenario mimpiku sudah selesai, tapi Bapak belum juga berkunjung hingga saat ini.

Untuk yang satu ini, aku harus sabar menunggu seperti Bapak.

June 19, 2018

#3

Naira bermimpi tentang Bara yang sudah lama ia lupakan keberadaannya, sejak dua tahun yang lalu mereka kembali ke kehidupan masing-masing. Dalam mimpi yang panjang itu, ia menatap senja dari jendela. Bara mendekat, meletakkan dagunya di atas bahu kiri Naira lalu mendekapnya, seraya berkata, "jangan bergerak, seperti ini saja."

Lalu Naira diam. Ada debar yang terdengar dalam keheningan sore itu. Entah milik Bara atau miliknya sendiri.

Saat terbangun, Naira termenung. Untuk apa mimpi itu datang? Sempat Naira mengira Bara bisa saja sedang memikirkannya, namun segera ia tepis kemungkinan itu saat mengingat potret Bara bersama gadisnya.

Naira ingin bermimpi lagi saja.

January 28, 2018

Selamat Jalan, Kapten!

Bapak pendiam dan tidak pernah marah. Bapak menyimpan luka dan murka untuk dirinya sendiri. Bapak selalu bertasbih selepas sholat selama dua puluh menit sebelum akhirnya beranjak. Bapak selalu bangun paling pagi demi mengetuk satu per satu pintu kamar, mengingatkan putrinya untuk sholat Subuh. Bapak begitu hening seperti hulu sungai, sangat dalam dan sunyi, yang selalu mengalah tanpa pernah diminta. Bapak selalu mengatakan tidak apa-apa. Bapak selalu menjadi nomor sekian tapi tetap menerima. Bapak yang penyayang, yang keras namun lembut, yang tegas namun pengertian.

Bapak sering mengajak bepergian pada suatu waktu dulu, mengunjungi banyak tempat, mengenalkan banyak hal, bercerita tentang masa mudanya dan keluarganya. Bapak suka memancing. Bapak suka sepak bola dan tinju. Bapak suka menonton pertandingan sepak bola di televisi bersamaku walaupun kemudian akan tertidur di sepuluh menit pertama babak kedua. Bapak juga suka badminton dan voli. Bapak suka semua olahraga karena Bapak guru olahraga. Nilai olahraga anak-anaknya tidak bagus, apalagi aku, tapi Bapak tidak marah.

Bapak selalu datang di setiap pengambilan rapor, tapi tidak pernah berkomentar tentang rapor, kecuali kalau nilai matematika turun. Bapak mengantarkan aku membeli jam tangan pertamaku di toko jam langganannya. Bapak sejak dulu menatapku dengan bangga, cukup dari belakang kerumunan, setiap aku maju dan menerima juara pertama. Bapak adalah yang menjadikanku juara, karena aku hanya mau belajar bersama Bapak. Bapak berdiri di kejauhan dan menyambutku yang menerima juara pertama. Bapak tidak marah walaupun di kemudian hari aku hanya mendapat juara ketiga. Bapak selalu membelikan aku semangkuk bakso setelah menerima kejuaraan sejak sekolah dasar. Bapak tetap menawarkan semangkuk bakso hingga masa-masa kuliah, saat menjemputku dari stasiun, saat aku pulang dari kota rantau. Aku selalu menolak, supaya bisa makan di rumah, supaya Bapak cepat pulang untuk istirahat.

Bapak selalu menjemput di depan pintu keluar stasiun saat aku pulang naik kereta. Bapak juga selalu mengantarkan hingga pintu masuk saat aku pergi naik kereta. Bapak selalu duduk menunggu hingga kereta berjalan sebelum akhirnya beranjak pulang, meskipun aku sudah naik dan tidak terlihat. Semua tanpa diminta, semua karena Bapak suka.

Bapak berkorban begitu banyak, berjuang begitu keras, bertahan begitu kuat, menghadapi luka-luka yang datang. Bapak semakin hari semakin kurus dan bertulang pipi. Bapak semakin hari semakin lelah, tetapi tetap tersenyum. Kedua matanya menyimpan perjuangan tidak terhingga untuk keluarga. Keriput yang mulai berdatangan, mewakili tahun-tahun berat yang dilaluinya tanpa berkeluh kesah. Rambutnya sudah mulai jarang, tampak harus segera beristirahat.

Dalam kisah yang sudah-sudah, Bapak adalah cerminan keikhlasan. Bapak yang diam, seperti aliran sungai tenang. Bapak yang memiliki seluruh definisi keikhlasan. Bapak yang tampan, sangat tampan. Bapak yang sederhana, namun selalu membanggakan anak-anaknya di depan siapapun, di manapun.

Bapak selalu pergi, juga selalu pulang. Kecuali saat ini, Bapak tidak akan pernah pulang lagi, meskipun aku menunggu sampai tengah malam di ruang tamu sampai tertidur.

Semua hal mengenai Bapak yang terekam dalam ingatan sampai saat ini masih terus diputar ulang, mungkin ini cara pikiran dan perasaan bekerja untuk mengenang. Sudah 40 hari, kami selalu merasa Bapak masih begitu dekat.

Baik-baik di perjalanan, Kapten! Bahtera aman di tangan kami berempat.

December 30, 2017

Bapak Khawatir

"Ya', duite iseh ora?"

Kata Bapak sesaat setelah aku beranjak untuk melakukan check-in dan menuju ruang tunggu. Aku menoleh dan mendapatinya bersiap mengeluarkan dompet seakan anak perempuannya ini masih duduk di bangku sekolah dan mintabuang jajan. Aku selalu tahu, Bapak selalu khawatir aku kehabisan uang, Bapak khawatir aku tidak makan karena harus menyisihkan uang untuk kebutuhan kuliah dan tugas akhir, Bapak juga khawatir aku tidak bisa menyisakan uang untuk keadaan darurat. Hal itu sudah terjadi selama empat tahun sejak aku memutuskan untuk kuliah di Jogja, jauh dari rumah. Aku pernah beberapa kali melakukan telepon darurat di akhir bulan karena uang menipis. Hal tersebut yang mendasari kekhawatiran Bapak, bahkan hingga saat itu.

Ibu pernah bercerita tentang Bapak yang gelisah menanyakan keadaanku di Jogja karena hingga penghujung bulan tidak ada telepon darurat dariku meminta uang tambahan. Ternyata bagi Bapak, empat tahun di kota orang belum cukup untuk melepas anak perempuannya.

Saat masih kuliah mungkin dengan wajah cengengesan aku akan menjawab, "habis, hehehe minta uang," tapi tidak untuk hari ini. Kali ini aku ingin membuktikan bahwa aku bisa diandalkan dan Bapak tidak perlu khawatir lagi. Di sana Bapak tampak menunggu jawaban. Sambil mengacungkan ibu jari aku tersenyum.

"Amaaaaan, uangku banyak.." jawabku yakin sambil tertawa. Bapak mengangguk lega.

Aku tertawa bangga pada diriku sendiri. Aku bergegas berjalan melewati petugas pemeriksaan tiket. Saat aku menoleh lagi, Bapak masih di sana, belum beranjak dan tetap tersenyum. Aku melambaikan tangan, Bapak tidak membalas, tetapi tetap tersenyum. Tiba-tiba aku merasakan rindu yang begitu besar tanpa alasan.

*

Di sisi peron aku duduk menunggu keretaku datang. Kereta itulah yang membawaku menuju Jakarta, kereta yang kemudian menjauhkan aku dari rumah, memisahkan aku dan Bapak untuk selama-lamanya.

Sebab dua minggu kemudian Bapak pergi secara tiba-tiba tanpa sempat berpamitan kepadaku.

December 20, 2017

July 24, 2016

Patah

Kampung Baru, malam berangin.

Ada begitu banyak kisah yang terbubuh di atas tanah Banda dengan kami menjadi pemainnya. Kemudian Banda hanya diam, tidak bereaksi apapun selain menjadi saksi yang bisu, walaupun kita semua tahu dia tidak pernah tuli. Tanah ini menjadi pentas, penonton, dan atmosfer yang menaungi. Tanah ini menjadi buku yang menuliskan apa yang terucap dan apa yang terpendam. Tanah ini menyimpannya, kisah yang terjalin di setiap jalanan, di sepanjang garis pantai, di kedalaman laut yang gelap, di atas kapal, di atas pasir, di manapun kaki dan hati  berpijak.

Di Banda Neira ada jalanan yang tak akan pernah terhapus dari ingatan, selama-lamanya. Aku telah melewati jalanan itu berkali-kali, dengan sosok yang berbeda-beda, dengan kisah yang bermacam-macam, dengan hati yang tidak pernah sama pula. Aku pernah merasa begitu jatuh, menangis tanpa berhenti seperti anak kecil. Aku pernah merasa rapuh, takut, rindu, marah, bahkan aku pernah merasa sangat bahagia sampai tidak berhenti tersenyum.

Ada kesah, mengakar, membuatku mengkhawatirkan semua hal secara berlebihan. Ada kesah, menyublim, terhirup lalu terbuang dan terhirup lagi, aku takut jika aku tidak bisa mencintai tempat ini. Aku tak pernah bermimpi akan melangkah sejauh ini dari rumah. Ibu mungkin sudah sangat pasrah melepas anak gadisnya pergi sejauh apapun, mengejar apapun, terhitung sejak aku sering diam-diam pergi mendaki gunung-gunung yang menurutnya pantas disebut “jauh”. Tetapi aku tidak pernah membayangkan Banda, sama sekali.

Dan di tanah yang jauh ini, tak pernah kusangka, aku akan mengalami patah hati yang sepatah-patahnya. Patah, lalu mencelos kosong. Aku jelas menangis, siapapun pasti menangis. Kurasa patah itu sangat patah, sehingga tanpa disadari ia telah mematikan hati sehingga tidak terasa apa-apa lagi.

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Yang hancur lebur, akan terobati. Adnan, salah satu teman, sangat menyukai lagu ini, dinyanyikannya berulang-ulang agar aku terhibur dan tidak bersedih lagi.

Aku tidak patah, aku terbelah, apakah akan kembali tumbuh? Aku tidak kehilangan, ia pergi dengan kesadarannya sendiri, apakah akan ada pengganti? Aku tidak hancur lebur, aku lenyap, apakah masih bisa terobati?

Tapi aku menemukan sahabat, yang justru tidak terlalu peduli dengan kepatahanku, tidak terlalu mengungkit kejatuhanku, tidak terlalu bicara tentang hati. Mereka bilang urusan hati nomor sekian, yang pergi biarlah pergi, hidup ini bertambah sulit untuk dijalani dengan membawa serta urusan perasaan. Semua berjalan seperti tidak ada apa-apa, sehingga aku pun dengan mudah bisa merasa seperti tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada rasa sakit, dan aku menyukai cara mereka menyembuhkanku, entah sadar atau tidak. Kini aku tidak mengerti lagi bagaimana caranya berucap terima kasih.

Aku memang sangat patah, tetapi kurasa tanpa patah, tanpa kosong, aku tidak akan pernah bisa merasa jatuh cinta sedalam cintaku di kemudian hari kepada tanah ini.

Begitu bukan?




July 10, 2016

#2 Naira senang, Bara tidak lagi segan untuk berbicara kepadanya, bahkan memukulnya karena ia lucu sekali. Tetapi besyukur Naira sudah ahli dalam menyembunyikan perasaannya yang berbunga-bunga.

July 06, 2016

#1 Naira gelisah, sepasang matanya yang kecil tidak bisa untuk tidak mencuri detik, untuk melihat sosok di bangku sebelah. Rupanya ia tertidur. Rambutnya yang panjang tertiup angin dari laut. Naira merasa dadanya bergejolak. Kini tidak hanya detik, ia bisa mencuri menit, sebanyak yang ia mau.