January 03, 2013

Pintu Langit - 1



PRESENT 
ALUNA


“Aluna Luvena Dewanti!”
Samar-samar dia mendengar seseorang menyebut namanya. Suara itu tak begitu jelas siapa pemiliknya, namun yang jelas gadis itu memutuskan untuk tetap bergeming. Matanya masih terkatup dan dia kesulitan untuk membukanya.
“Aluna!”
Sekali lagi suara itu terdengar. Kali ini dia tak bisa menolak. Mau tak mau dia harus membuka mata, mencari tahu siapa gerangan yang berani-beraninya mengganggu tidurnya.
Gadis itu membuka matanya perlahan-lahan dan mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Dia membuka mata dengan susah payah. Bayangan yang semula samar di hadapannya, lama-lama semakin jelas. Di depannya kini ada sosok perempuan yang tersenyum dengan mata mendelik. Gadis pemilik nama Aluna itu mencoba mengenalinya.
Wanita itu tinggi semampai. Ujung bibirnya terangkat, menciptakan senyum paling sinis yang pernah dia berikan. Alangkah terkejutnya dia saat menyadari siapa gerangan perempuan itu. Refleks dia mengangkat kepalanya dari atas meja.

Luna benar-benar lupa bahwa dia sedang berada di dalam ruang kelasnya.
“Selamat pagi, Aluna!” Ucap wanita itu sambil tersenyum, lagi.
Bagaimanapun Luna sadar senyum itu benar-benar tidak terlihat ramah. Mulutnya terkunci. Dengan tertahan dia memekik, “Bu... Bu Dewi?”
Wanita itu membuang senyumnya. Dia kini menyeringai, semakin membuat gadis yang duduk di hadapannya itu gemetaran. Wajah Luna memucat, sementara kedua tangannya terlihat menegang.
Bu Dewi mendekatkan wajahnya. “Sedang apa kamu?”
“Eh... Anu, Bu.”
“SEDANG APA?” Bentaknya tiba-tiba.
Luna memejamkan mata. “Em... Tidur, Bu!”
Gadis berambut sebahu yang pikirannya masih kacau akibat keterkejutan itu hanya bisa menjawab sekenanya sambil menggaruk-garuk kepala dan tertawa. Tiba-tiba saja dia merintih saat merasakan kakinya dengan sengaja diinjak oleh Alya yang duduk di sisi kirinya. Mulutnya kembali terkunci.
“Aluna, kamu masih ingat kalau saya tidak pernah suka murid yang tidur apalagi waktu pelajaran saya?”
Luna mengangguk. Dia menunduk, menenggelamkan wajahnya, sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Bu Dewi.
“Kamu tahu apa yang akan saya lakukan kepada murid yang tidak saya sukai itu?” Tanyanya penuh ancaman.
Aroma neraka tercium jelas oleh Luna. Entah apa yang akan Bu Dewi lakukan padanya, namun yang jelas itu sama sekali tak pernah Luna harapkan.
Perlahan-lahan dia mengangkat kepala.
“Keluar!”
Luna melongo. “Apa, Bu?”
“Saya bilang keluar!”
“Tapi, Bu...”
“Sekarang!”
Tak ada alasan untuk membantah. Dengan muka yang merona merah Luna melangkah pergi meninggalkan ruang kelasnya.
Namun satu langkah sebelum sampai di depan pintu, dia berbalik.
“Bu...” Lirihnya.
“Apa lagi?”
Luna menarik napas dan menghembuskannya pelan-pelan.
“Kalau marah Bu Dewi seksi deh!”
Luna tersenyum genit dan mengedipkan mata kirinya. Dia mengibarkan bendera perang. Sementara di tempat duduknya wajah Bu Dewi terlihat merah padam.
“ALUNAAA!!”
Gadis itu sontak mengambil langkah seribu.
*
Suasana di sepanjang koridor SMA Bakti Mulia benar-benar senyap.
Jarum jam arloji di tangan kiri Luna belum bergerak dari posisinya yang menunjuk angka delapan. Itu berarti baru beberapa saat lalu jam pelajaran pertama dimulai. Dan yang memalukan adalah Luna yang sepagi ini – di saat anak-anak masih bersemangat untuk belajar – dia sudah dikeluarkan dari kelas akibat tidur di saat pelajaran berlangsung.
Hal yang dapat dilakukannya dalam situasi seperti ini hanyalah berjalan-jalan menyusuri koridor sekolah atau duduk-duduk di kantin, menunggu mata pelajaran Bu Dewi berakhir.
Luna merasa perpustakaan adalah tempat terbaik untuknya saat ini. Suasana di perpustakaan sangat mendukung untuknya melanjutkan tidur yang terganggu tadi.
Letak perpustakaan yang cukup jauh dari ruang kelasnya memaksa Luna untuk berjalan lebih lama. Dia harus melewati koridor utama sebelum melewati ruang guru dan barisan ruang kelas 3 IPS. Dalam perjalanan menuju perpustakaan sempat Luna mencuri dengar dialog dari dalam ruang kelas 3 IPS 2.
“Bagaimana bisa kamu terlambat sampai satu jam begini? Darimana saja kamu? Niat sekolah tidak sih kamu?”
Luna mendekati jendela, lalu menajamkan telinganya.
Sorry deh, Pak.”
Sorry, sorry. Ini sudah kali keberapa kamu terlambat di pelajaran saya? Belum di pelajaran lain. Lama-lama kamu saya seret ke BP, Brian!”
Brian. Luna merasa belum pernah mendengar nama itu, padahal jelas-jelas pemilik nama itu memasuki ruangan kelas 3 IPS 2. Bukankah itu berarti mereka satu angkatan?
“Sudahlah. Capek saya lama-lama ngurusin kamu. Sekarang kamu keluar, nggak usah ikut pelajaran saya!”
“Hah? Jangan gitu dong, Pak.”
“Sudah sana keluar! Saya nggak mau menerima anak seperti kamu.”
Luna mendengar suara desahan diikuti langkah kaki yang mengarah ke luar. Seketika gadis itu terlonjak dan memutuskan untuk bergegas pergi agar pemilik nama Brian itu tidak memergokinya sedang menguping.
Namun terlambat, seorang pemuda berseragam SMA Bakti Mulia pemilik nama Brian itu telah berdiri di ambang pintu dan menatapnya kaku. Mata mereka beradu, saling menatap selama beberapa detik sebelum akhirnya Luna merasa betapa bodohnya dia saat itu. Gadis itu salah tingkah. Dia buru-buru berbalik arah.
Luna mempercepat langkah kakinya menuju perpustakaan, melupakan semua apa yang didengarnya sebab itu memang bukan urusannya. Sementara Brian masih terpaku di tempatnya, menatap sosok Luna dalam diam.
Hingga Luna menghilang di ujung koridor.
*


(bersambung)