January 06, 2013

Pintu Langit - 9




PRESENT
PEMBALASAN

SMA Bakti Mulia telah sepi. Hanya segelintir siswa yang masih terlihat bergelut dengan kegiatan ekstrakulikulernya. Termasuk Brian di antaranya. Tampak dia tengah serius memainkan sebuah bola basket di tangannya. Dribble, passing, shooting. Matanya menyapu seluruh lapangan, mencari celah di antara lawan mainnya untuk melemparkan bola dalam penguasaannya ini ke dalam ring atau minimal memberikannya pada seorang teman.
PRIIIITT!!
Pelatih meniup peluit tepat saat Brian melemparkan bola basketnya pada Dwi, pemuda jangkung berambut cepak yang telah mengambil posisi di daerah pertahanan lawan. Dibiarkannya bola itu lalu begitu saja. Mereka lalu berjalan ke tepi lapangan. Dengan malas Brian mengambil botol minum di dalam tasnya dan meneguknya setengah isi. Sang pelatih masih terlihat memberikan beberapa komentar dan masukan. Brian tidak mendengarkannya. Setelah dipersilahkan, dia melenggang pulang. Dia melangkah ke parkiran motor bersama kawan ekskul basketnya yang lain.
“Gue duluan, ya?” seseorang menepuk pundak Brian, kemudian menaiki motornya. Brian hanya membalasnya dengan sebuah anggukan kecil.
Brian pun menaiki motornya. Terasa aneh. Dia lalu memutuskan untuk kembali turun dan berjongkok memeriksa ban. Sesuai dugaannya, kempes.
“Heh, babi!” Seru seseorang dari belakang.

Brian terpaksa menoleh. Terlihat empat orang pemuda mendekat dengan beringas, tiga diantaranya mengenakan jersey sepak bola kebanggan SMA Bakti Mulia dari ujung matanya.
“Babi!” Salah seorang dari mereka berteriak tepat di belakang Brian. Aura panas mulai terasa.
Brian berdiri dan berbalik menghadap mereka. Ditatapnya satu-satu rombongan itu. “Sorry, gue bukan babi,” jawab Brian enteng.
“Terus lo protes?”
Brian memotar bola matanya. Sesungguhnya dalam keadaan lelah seperti ini dia tak ingin ribut-ribut dengan siapa pun. “Apa sih mau kalian?”
“Nantang, lo?” sambut seseorang.
“Oh udah sok jadi pahlawan, sekarang nantangin kita, gitu?”
Brian membenahi posisinya berdiri. “Oke, oke, ini pasti masalah kemarin. Tapi gue nggak lagi pengen ribut. Apalagi sama lo semua.”
Raka menyeruak ke hadapan Brian. Tangannya mendorong bahu Brian hingga dia harus terdorong mundur beberapa langkah. Mata mereka saling beradu tatap. Sama-sama tajam. Sama-sama memancarkan aura balas dendam.
Brian mengunci pandangannya terhadap wajah Raka yang masih menyisakan sedikit memar.
“Gue juga nggak pengen bikin ribut...” Raka menyertakan senyum tersinisnya pada ujung kalimat yang menggantung. “Tapi yang kemarin perlu dibales.”
BUGGH... Sebelum Brian mengeluarkan sepatah katapun, sebuah layangan tangan kanan Raka mendarat telak di pipinya. Sontak membuatnya jatuh tersungkur. Cepat-cepat dia bangkit dan kembali berdiri. Belum sempat dia membalas, tangan Andre sudah melibasnya. Dengan sigap dia menghindar. Walau di sisi lain seorang pemuda lain sukses membuatnya terjatuh lagi.
Bogem mentah bertubi-tubi mampir di wajah Brian. Pelipis Brian terlihat mengeluarkan darah segar, begitu pula hidungnya. Mereka semua mengeroyok Brian dengan beringas.
“SALAM BUAT REINER DI SURGA!!” Teriak Raka, lantang.
Dan kali ini bukan saja wajah Brian yang dijadikan target pukulan, melainkan sekujur tubuhnya. Brian yang semula berusaha berontak dan melawan, kini sudah pasrah. Dia tak mampu menahan rasa sakit di semua bagian tubuhnya dan mulai kehabisan tenaga. Apalagi kedua tangannya sudah dipegang di kiri dan kanan, dia tak bisa berkutik. Pukulan demi pukulan dirasakannya. Dia pun lunglai dan langsung terjembap ke jalan saat tangannya dilepaskan.
Segenap umpatan yang diserukan oleh Raka dan beberapa sosok lain di sana pun pada akhirnya hanya bisa dinikmatinya secara samar-samar. Hingga tubuhnya terasa melayang dan pandangannya berubah gelap.
*
Tepukan, cubitan, dan colekan yang diberikan Alya terus menerus pada pundak Luna tak mengalihkan perhatiannya sedikitpun. Pandangan dan perhatiannya tetap tertuju ke arah layar laptop milik Alya yang ada di hadapannya kini. Hari hampir gelap dan gerbang sekolah yang masih dibuka hanyalah pintu gerbang utama. Tetapi Luna masih asik berkutat dengan pekerjaannya menebus artikel dan segala hal mengenai majalah sekolah di ruang redaksi.
“Aluna!” teriak Alya akhirnya, kesal karena usaha mencubit-cubit pundak tadi gagal.
“Ergh apaan sih?” Luna yang tak kalah kesalnya menoleh pada Alya di sampingnya. Dia merasa terganggu, padahal dua hari lagi adalah deadline majalah – setelah dia mati-matian meminta kelonggaran waktu akibat hancurnya notebook miliknya. Dia masih harus mengedit banyak artikel.
“Ayo pulang!” rengek Alya seperti bayi.
Tak peduli, Luna malah kembali kepada laptopnya. “Ih pulang tinggal pulang, juga.”
“Yah minimal temenin gue ke parkiran, udah jam segini nih,” rengeknya lagi.
Luna berdecak. “Sendiri aja deh!”
“Nggak berani...” ujarnya pelan. Luna memutar bola matanya, memandang aneh pada teman sebangkunya itu. “Ayo dong, Luna...” pinta Alya lagi. Memelas.
Dengan tak bersemangat dia menaruh laptop di meja dan mengiringi Alya keluar ruang redaksi menuju parkiran. Suasana sekolah memang sudah sangat sepi karena waktu memang sudah menunjukkan pukul lima sore.
“Eh Luna, liat deh!”
Alya tiba-tiba menunjuk ke arah sesuatu setibanya mereka di parkiran.
“Ap...” raut muak Luna yang semula lesu berubah menjadi terkejut saat melihat sesosok tubuh terkapar begitu saja di atas tanah. “Al, Al, samperin Al,” Luna berjalan cepat kearahnya.
Tepat di samping tubuh itu, langkah Luna terhenti. Ditatapnya wajah itu. Dia mengenalinya. Desir darahnya kini terasa mengalir lebih cepat. Ini kan...
“Brian?” Seru Alya tiba-tiba.
Luna menoleh.
“Yaampun bisa bengap gini...”
Alya lalu berjongkok, diikuti Luna yang tak kalah panik.
“UKS masih nggak buka ya Al?”
“Jelas udah tutup lah...” Alya melengos setelah sempat menatap aneh Luna. Sebenarnya tanpa Alya jawab pun Luna pasti mengetahui jawabannya.
Tangan Luna kini menggaruk-garuk kepala meski dia tahu kepalanya tidak terasa gatal. Wajahnya panik, tampak mencari tahu jawaban atas pertanyaan: apa-yang-harus-dia-lakukan.
“Yaudah deh,” Luna mengeluarkan ponselnya. “Gue bawa ke rumah aja kali ya?” Dia memijit beberapa tombol lalu mendekatkannya ke telinga.
Alya ternganga tak percaya.
“Kuping gue nggak budek kan ya barusan? Lo serius Luna?”
Luna menatap Alya. Baru saja dia akan berkomentar, seseorang di seberang telepon telah mengangkat panggilannya.
“Em... Halo, Mang? Bisa jemput Luna di sekolah?” Tanya Luna, sedikit ragu, sambil memandang Alya. “Iya... Sekarang... Iya... Oke... Makasih, Mang.”
Saat Luna mematikan sambungan teleponnya Alya mendekat dan melemparkan pandangan seolah meminta penjelasan. “Luna?”
Alya tampaknya masih tak percaya.
“Apa?”
“Lo yakin mau bawa... Brian... ke rumah?”
“Iyalah.”
Alya menatap Luna heran. Dia tahu betul ini tidak seperti Luna biasanya. Luna yang dia kenal tidak mungkin membawa sembarangan orang ke rumah, terlebih laki-laki. Bahkan biasanya dia menolak jika teman-temannya yang laki-laki meminta izin berkunjung ke rumah. Tapi kali ini seorang Brian, bukan teman dan bukan siapa-siapa Luna, sebentar lagi akan dibawanya ke rumah. Dalam keadaan pingsan.
“Gila ya?” Lirih Alya.
“Udah deh mending lo bantuin gue angkat dia sekarang.”
Luna tampak mendekati tubuh Brian yang dibalut seragam tim basket sekolah. Tangannya mengusap darah yang mengalir dari pelipis pemuda itu.
Lagi-lagi Alya hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Aluna Luvena Dewanti, lo abis kesambet malaikat apa sih??”
*
Sebuah Avanza hitam memasuki sebuah pekarangan rumah yang tergolong luas dengan kombinasi rerumputan dan paving block terhampar di halamannya. Tepat di depan pintu garasi, mobil itu berhenti. Si sopir mobil tersebut kemudian turun dari mobil dan membukakan pintu jok tengah. Lelaki paruh baya itu dengan sigap membantu  Luna mengeluarkan lelaki muda dari dalam mobil. Sopir itu kemudian menangani tubuh lelaki itu bersama seorang pembantu rumah tangga bertubuh tambun.
“Ini di bawa ke mana, Non?” Tanyanya sopir keluarga itu pada Luna.
Luna keluar dari mobil dengan membawa tas miliknya. “Ke kamar tamu aja, Mang Didit.”
Lelaki yang dipanggil Mang Didit itu mengangguk dan bergegas membawa Brian masuk ke dalam rumah. Luna membenahi dirinya.
“Aluna, siapa itu?” sebuah suara lembut dari seorang wanita yang baru muncul dari dalam rumah membuat Luna sedikit terkejut.
“Ehm... Teman,” jawab Luna singkat pada wanita yang tak lain adalah mamanya.
“Siapa?”
“Nggak tahu.”
“Loh?” Gita menyatukan alis. Heran. Betapa dia tidak merasa kaget melihat putrinya pulang dengan membawa orang yang tidak dikenalnya. “Terus kenapa kamu bawa ke rumah?”
“Mama nggak liat dia babak belur gitu?”
“Ya kamu kan bisa bawa dia ke rumahnya atau rumah sakit, gitu?”
“Aku nggak tau rumahnya, Ma. Cuma tahu namanya aja,” Luna berjalan masuk melewati mamanya yang masih terbengong tak percaya.
“Luna aneh deh.”
Wanita itu tercenung. Sepertinya ada sesuatu diantara putrinya dan pemuda itu. Karena jika tidak, mana mungkin Luna mau menjadikan rumahnya itu klinik dadakan bagi seorang pemuda asing itu, kan?
Wanita itu hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum sambil memandang Luna yang melenggang menuju dapur.
*
Langit terang benderang. Bintang-bintang bertaburan, jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Bulan pun tampak bulat, menyala di lengkung langit tanpa terhalang. Kabut tipis turun pelan-pelan. Jalanan yang berkelok di bawah sana tampak temaram. Di atas bukit, di bawah sebatang pohon randu berdaun lebat dia membuka mata. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui dimana dia sekarang.
“Pintu langit?”
Dia bangkit, merasakan tubuhnya seperti melayang. Matanya menangkap sosok seorang anak yang tengah menggali tanah di bawah naungan pohon randu yang sama. Sepertinya dia mengenal sosok itu.
“Kak Andro?”
Anak itu menoleh, lalu mendekat. Tangannya menimang sebuah kotak yang dia ambil dari dalam tanah. Saat mereka berdua berhadapan, dia mengulurkan tangannya lembut.
“Harta karun ini punya Kakak, untuk Brian,” ucap anak itu sambil tersenyum.
Brian menerimanya dengan hati bertanya-tanya.
“Ini... bintang?”
Brian mengeluarkan benda yang tampak bercahaya dari dalam kotak itu. Dia lalu menunjukkannya pada Andro dengan wajah bingung.
“Ya, sekarang bintang itu milikmu.”
Diamatinya benda yang berpendar itu dengan seksama, penuh rasa kagum. Cahayanya keperakan. Berkilauan.
“Kau pasti bisa menjaga bintang itu...” suara Andro perlahan menghilang, dan tanpa Brian sadari sosok Andro pun memudar.
Brian mengusap bintang itu. Tampak sebuah bayangan semu di tengahnya. Wajah itu bergerak-gerak lalu menatapnya. Dia tampak seperti... Luna?
Sepasang tangan tiba-tiba menyelubungi bintang itu, lalu menariknya dan ingin merebutnya paksa dari tangan Brian. Dia menggenggam erat bintang itu. Mempertahankan semampunya. Terasa aneh jika yang sedang berebut dengan dirinya adalah kakaknya.
Brian mendongak. Tak tampak lagi Andro dihadapannya, melainkan Raka yang menatapnya benci. Tak selang satu detik, Raka melayangkan tangannya, membuatnya terpelanting dan berputar-putar. Semuanya lenyap secara tiba-tiba. Rasanya pusing bukan main. Kepalanya terus berdenyut. Brian mengerang dalam sepi.
Sekonyong-konyong tubuhnya terasa terangkat. Rasa sakit dalam kepalanya hilang perlahan. Cahaya putih menyusup matanya. Brian mencoba membuka mata, namun dia merasa tak mampu. Terasa nyeri ketika dia coba membukanya.
Gemericik kecil suara air terdengar. Brian meloleh kearah sumber suara dan mencoba membuka mata. Samar-samar dilihatnya seorang gadis berlari kecil menjauh darinya. Tetapi Brian masih terlalu lemah untuk mencerna apa yang tengah dilihatnya, juga siapa gadis yang barusan dilihatnya.
Mata Brian mengerjap beberapa kali. Mengumpulkan kesadaran dan nyawanya yang tercecer. Serta menyusun puzzle ingatannya yang berserakkan. Setelah beberapa jenak, dia baru ingat pertanyaan paling penting saat ini: dimana dia sekarang?
*
Luna memeras handuk kecil di tangannya setelah mencelupkannya ke dalam wadah berisi air hangat. Digunakannya kembali untuk menyeka wajah dan sebagian tubuh di hadapannya yang penuh luka dan memar. Kemudian luka robek dan lecet di tubuh itu pun diobatinya dengan hati-hati. Matanya diam-diam menekuni tiap lekuk wajah itu.
Ujung mata itu. Alis yang terpahat jelas. Sejuk wajahnya ketika terlelap. Luna menghentikan kegiatannya tiba-tiba. Sebuah desiran halus membuat jantungnya entah mengapa berdetak lebih kencang. Tangannya bergetar. Tubuhnya membatu beberapa jenak.
Sosok di hadapannya benar-benar mengingatkannya pada seseorang. Ya, orang yang itu. Satu-satunya yang mampu singgah dihatinya. Satu-satunya yang mampu meluluhkannya. Satu-satunya yang menuturkan kisah tentang bintang-bintang padanya. Dialah yang selalu tiba-tiba meraih tangan Luna dan menggenggamnya. Dialah selalu bisa membuat Luna gugup karena itu.
Dia adalah satu-satunya yang menjadi alasan terkuat Luna merasa bahagia setiap hari, karena jika Luna bersedih dia akan mendatangkan senyum Luna kembali dengan caranya sendiri.
Dia adalah orang yang membuat Luna untuk pertama kalinya benar-benar mengenal cinta, sekaligus mengenal luka. Karena ada luka yang dia tinggalkan saat dia tiba-tiba pergi tanpa alasan dan penjelasan. Pergi entah kemana, meninggalkan ketidakpastian, karena keduanya belum saling bicara tentang perasaan.
Luna tersadar dari lamunannya. Dia mengibaskan tangan di depan wajahnya, mengusir bayangan masa lalu itu jauh-jauh dari pikirannya.
Kembali dia dekatkan handuk itu pada sebuah memar di pipi Brian. Dia bergerak. Luna menarik kembali handuknya, takut sentuhannya barusan menyakitinya.
Tiba-tiba desiran itu datang lagi. Luna mematung. Sedang Brian bergerak. Matanya mulai mencari celah untuk membuka. Luna semakin gugup. Nafasnya memburu. Dia taruh kembali handuk kecil itu ke dalam wadah. Cepat diangkatnya wadah itu dan bersiap kabur. Sempat dia menangkap sepasang mata milik Brian terbuka sejenak. Lalu mengerjap-kerjap.
Tanpa mempedulikan Brian di dalam ruangan, Luna melangkah cepat ke pintu, menutupnya, dan berdiri bersandar di sana; mengatur nafas. Dia sendiri tak habis pikir mengapa dia harus lari ketika Brian siuman.
Kenapa gue mesti gitu? Luna menghela nafas panjang. Dia kan bukan Andro.
*
Brian memandang sekitar. Tempat yang sangat asing baginya. Sangat tak mungkin dia ada di rumah sekarang. Malaikat mana pun sepertinya tak ada yang mau membawanya ke rumah. Lagipula tempat itu tak ubahnya kuburan tanpa mayat baginya. Sepi. Apalagi setelah Andro pergi, rumah adalah salah satu hal yang paling Brian hindari.
Brian mencoba bangun. Namun dia merasakan nyeri di pinggang dan sikunya. Hal itu membuatnya kesulitan untuk sekedar bangkit atau duduk. Akhirnya dia ambruk, lagi.
“Argh...”
Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Yang tergantung di dinding hanya jam dinding berwarna putih dan sebuah lukisan. Di meja pun hanya ada lampu duduk. Tidak ada foto keluarga atau semacamnya yang membuat dia bisa mengidentifikasi di rumah keluarga mana dia berada.
Pemuda itu kembali memutar ingatannya. Bukankah tepat saat dia sadar ada seorang gadis berseragam SMA yang berlari menjauh darinya? Dimana dia? Siapa dia?
Pintu terbuka. Dia terkejut. Seorang gadis berambut sebahu dan diikat sekenanya masuk dengan membawa sebuah nampan. Brian menyipitkan mata, memastikan bahwa gadis itu... “Luna?”
“Lo sadar juga akhirnya,” ucapnya dingin. Ditaruhnya nampan yang ternyata berisi seporsi makan malam lengkap dengan segelas air putih itu di atas meja.
“Gue... Gue dimana?” Lirih Brian mengutarakan pertanyaan yang paling ingin ditanyakannya sedari tadi.
“Di rumah gue.”
Luna meraih sebuah kursi, menaruhnya di sebelah tempat tidur, dan duduk diatasnya.
“Lo jangan ke ge-er-an,” Luna memotong cepat gerakan mulut Brian yang sepertinya akan mengatakan sesuatu. “Gue sama Alya nemuin lo terkapar di parkiran. Karena gue nggak tahu di mana rumah lo, jadi gue bawa ke sini.” Terangnya tanpa diminta. Brian mengangguk perlahan.
“Kenapa lo mau nolongin gue?” Brian masih tak percaya. Yang ada di hadapannya kini adalah putri es, yang katanya selalu dingin pada semua orang.
“Jadi lo nggak mau gue tolongin?”
“Bukan gitu...”
Luna menunggu. Namun Brian tak kunjung melanjutkan kata-katanya. Keadaan menjadi hening sejenak.
Brian memandang dirinya. “Lo yang ngobatin luka gue?”
Luna mengangguk. “Oke nggak ada pertanyaan lagi, kan? Lo bisa makan sendiri, kan? Atau perlu gue suapin?” Luna teringat nampan yang tadi dibawanya.
Brian tidak menjawab. Hatinya bimbang antara iya dan tidak. Namun gengsi sepertinya masih ada di urutan atas. Dia menggeleng tanda menolak.
Dia kembali memandang Luna tepat ketika Luna juga sedang memandang ke arahnya. Membuat mata mereka saling beradu dan menimbulkan desir halus yang lagi-lagi dirasakan Luna.
“Ehm... Kalo gitu... gue keluar dulu,” ucapnya tergugup.
“Lun...” Brian menahan tangan Luna dan menggenggamnya lemah. Menimbulkan lonjakan tak teratur dalam dadanya. “Makasih.”
Luna mengangguk gagap. Kemudian buru-buru pergi saat genggaman tangan Brian pada lengannya mengendur. Tanpa sadar Luna tersenyum dalam perjalannya keluar kamar. Begitu pula Brian. Bibirnya kini menyunggingkan senyum yang samar.
Namun kini dia merasa bingung bagaimana caranya menikmati hidangan di atas meja itu sementara untuk dudukpun dia sangat kesulitan. Diam-diam dia menyesal menolak tawaran Luna tadi.
*
 (bersambung)