PRESENT
UNTUK
SEBUAH NAMA
Langit begitu gelap. Pagi itu, begitu turun dari atas
bus yang ditumpanginya, Luna berlari secepat mungkin menembus rintik yang kini
turun semakin deras menuju gerbang sekolah. Hujan tak boleh menghalanginya
untuk pergi ke sekolah. Walaupun secara tak langsung kembali ke sekolah berarti
kembali menghadapi pemuda aneh bernama Raka yang akhir-akhir ini cukup
mengganggu.
Sekarang bukan suatu kejutan
lagi kalau pagi-pagi di meja Luna telah teronggok sebuah hadiah. Pun hari ini,
seperti biasanya, sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan secarik kertas berisi
sebuah puisi telah tergeletak di mejanya.
Luna meraih secarik kertas itu
dan perlahan-lahan membukanya.
Malaikat itu seperti
orang-orang, selalu datang dan pergi.
Bedanya, malaikat akan bikin hidup kita jadi berarti.
Mudah-mudahan kamu adalah malaikat pertama dan
terakhir dalam hidupku.
Dulu aku gak percaya kalau malaikat itu ada, sampai
akhirnya aku ketemu dirimu.
Tiap kali aku memandang
matamu, aku sadar bahwa malaikat ada di dalamnya.
Kamu itu bagaikan malaikat
yah.
Terlalu rapuh untuk berada di bumi, dan terlalu cantik kalau berdiri di pintu surga.
Saat aku ketemu kamu, aku
melihat malaikat tanpa sayap.
Tapi hati sang malaikat bikin aku terbang ke awan.
Selamat pagi, malaikatku!
“Kalimat murahan!” Desisnya sambil geleng-geleng kepala.
Akhirnya Luna membuka kotak
berwarna ungu cerah itu. Sebuah mini-dress
berdiam di dalamnya. Tanpa pikir panjang, Luna putuskan untuk mengembalikan
hadiah itu saat itu juga, langsung pada si pengirim. Siapa lagi kalau bukan
Raka. Sekalian saja dia meminta baik-baik agar Raka tak lagi mengganggunya.
Ditutupnya lagi kotak itu. Lalu dia bergegas pergi
mencari sosok Raka yang entah di mana.
*
Jarum jam bahkan belum menyentuh angka tujuh, itu
berarti bel masuk juga belum berbunyi. Beberapa siswa pun masih terlihat
berdiri di luar kelas. Ada yang masih berlalu-lalang di sepanjang koridor.
Beberapa di antaranya terlibat suatu obrolan di bangku-bangku panjang depan
kelas.
Raka dan teman-temannya tampak asyik berbincang di sana.
Brakk...
“Ini gue balikin.”
Beberapa pasang mata di sekitar tempat itu tertuju pada
gadis yang datang itu, termasuk siswa-siswi yang tengah berjalan. Tak terkecuali
Brian, yang memang sedang berdiri di ambang pintu kelasnya tak jauh dari kelas
Raka.
Raka ternganga saat mengetahui siapa sosok yang berdiri
di hadapannya dengan wajah yang tak bersahabat.
“Luna?”
“Ya. Lo Raka kan?”
Raka mengangguk.
“Lo yang naruh kotak ini di meja gue?”
Raka mengangguk lagi.
“Oke. Makasih lo udah rela belin gaun cantik ini buat
gue. Tapi gue ngga bisa nerima ini. Pertama, gue nggak kenal sama lo. Kedua,
gue nggak suka cowok yang ngasih gue hadiah kaya gini. Mending lo ngga pernah
suka sama gue deh,” Ucap Luna dengan sangat ketus. “Oh iya satu lagi, buang
kebiasaan lo ngasih gue hadiah, gue ngga suka dan gue keganggu sama hal itu!”
Semua anak yang menyaksikan kejadian itu sontak tertawa.
Tak terkecuali teman-teman Raka yakni Davin, Andre, dan Fian. Brian benar-benar
tak bisa menahan diri untuk tertawa. Tak lama kemudian dia pergi sambil
melempar senyum yang menghina.
Davin tiba-tiba bangkit dari duduknya dan bernyanyi tak
jelas. “Gak, gak, gak kuat. Gak, gak, gak kuat.”
“Aku nggak kuat sama playboy-playboy!” Sahut Andre
sambil menari-nari di hadapan Raka, kemudian melakukan toast bersama Davin. Tawa
mereka kembali pecah saat mendapati wajah Raka yang mati-matian menahan malu.
Dengan geram Raka mengepalkan tangan kanannya dan
meninju telapak tangan kirinya. Dalam diam dia bergumam. “Kalo emang pake cara
halus lo masih sok jual mahal, gue bakal pake cara lain. Lo liat aja, Luna!”
*
Matahari tampak begitu terik. Luna, seperti biasa,
sepulang sekolah berdiri sendirian menunggu busnya. Berkali-kali dia mengusap
peluh yang menetes dari kening. Matanya menyipit, pandangannya menyapu jalanan
yang entah mengapa terlihat sepi sejak tadi.
Dia lalu memutuskan untuk duduk di bangku panjang tepat
di belakangnya. Dia menghembuskan napas, lalu diletakkannya sejumput rambutnya
– yang keluar dari kucirannya – ke belakang telinga.
“Hai Luna...”
Sebuah suara samar terdengar. Luna kemudian mendongak
mencari tahu siapa yang memanggilnya. Raut wajahnya berubah saat melihat...
“Raka?”
“Hehe. Ikut gue, yuk!”
Pemuda jangkung itu mendekat dan tanpa permisi duduk di
samping Luna.
“Nggak.”
“Luna... Please.”
“Raka! Lo budek atau bego sih? Bukannya tadi pagi gue
udah bilang jangan ganggu gue lagi? Harusnya lo bisa paham dong sama kalimat
sesederhana itu.”
Luna memutuskan untuk berdiri dan beranjak pergi sebab
dia tak ingin berlama-lama dekat dengan Raka. Namun tampaknya Raka memang sudah
berambisi untuk mengajak Luna pergi dengannya. Dia menahan lengan Luna.
“Lepasin!”
“Oke, gue lepasin. Asal lo mau dengerin gue dulu.”
Luna mengalah, mau tak mau dia harus mendengarkan Raka
agar tangannya bisa terbebas dari cecunguk satu itu.
“Cepet ngomong!”
Raka membetulkan posisi duduknya lalu mulai membuka
suara.
“Luna...” Ucapnya. “Waktu lo balikin dress itu ke gue, jujur gue kecewa
banget. Masa sih lo nggak mau nerima pemberian gue itu?”
Luna bungkam. Raka memutuskan untuk melanjutkan bicara.
“Dan asal lo tahu, hati gue juga hancur pas liat bunga
pemberian gue lo masukkin tempat sampah.”
Luna tercengang.
“Apalagi pas tau lo nggak makan cokelat pemberian gue,
malah bagi-bagiin semuanya ke temen-temen lo,” lanjut Raka. Wajahnya kini
tampak memelas. “Lo kenapa sih kayanya kok negative
thinking terus sama gue, Lun? Gue kan bukan penjahat.”
Kali ini Luna tampak membenarkan perkataan Raka. Apakah
dia tak seharusnya berprasangka buruk kepada pemuda yang satu itu? Entahlah.
“Emangnya gue ada tampang-tampang jahat ya?”
Luna terdiam. Dia nampak berpikir, sementara Raka terus
menunggu reaksinya. Dan tak lama kemudian dia angkat bicara.
“Em... Sorry banget ya, Raka, soal itu semua. Gue jadi
nggak enak sama lo.”
“Nggak apa-apa kok, Luna,” tutur Raka. Dia tersenyum,
entah apa maknanya. “Tapi gue mau minta satu hal sama lo,” Raka tampak
menggantung ucapannya, “kali ini, lo mau ya ikut gue.”
Luna ragu-ragu. Namun tampaknya dia setuju-setuju saja.
Raka mungkin tidak akan macam-macam, dia hanya meminta Luna untuk ikut
dengannya.
“Gimana, Luna?”
Dengan sabar Raka menanti jawaban dari mulut Luna. Namun
nihil, Luna tetap bungkam dan tak mengeluarkan kata-kata. Namun terlihat
anggukan samar dari Luna, dan hal itu tampaknya berhasil mengembangkan senyum
kemenangan di bibir Raka.
*
Terik matahari siang itu menjadi saksi sepasang
muda-mudi yang berada di atas sebuah motor yang melaju di sepanjang jalan utama
kota Bandung. Pengendara motor itu, yang tak lain adalah Raka, kini tengah
sibuk membayangkan rencana yang telah dia susun matang-matang untuk Luna, gadis
yang ada di belakangnya kini.
Sebuah tepukan lembut di pundaknya membuat lamunannya
buyar. Raka menoleh.
“Apa?”
“Sebenernya lo mau bawa gue kemana sih, Rak?”
“Ada deh. Pokoknya gue jamin lo bakal terkejut.”
“Oh...”
Jawaban pendek dari Luna mengantarkan mereka kembali
larut dalam diam. Keduanya sama-sama tidak menyadari bahwa ada sepasang mata
yang dengan tajam menatap dan mengawasi mereka dari belakang.
Jalanan yang terbilang lengang mempercepat perjalanan
mereka menuju sebuah restoran di pinggiran kota Bandung. Raka memarkir motornya
dan melenggang sambil tersenyum menatap Luna di sampingnya. Restoran itu tidak
terlalu ramai, hanya segelintir orang yang terlihat duduk dan makan. Raka lalu
melangkah menuju sebuah meja di dekat jendela yang membatasi ruangan itu dengan
sebuah taman kecil dan kolam air mancur. Pemuda itu menarik kursi untuk Luna,
kemudian untuk dirinya sendiri.
“Gimana? Lo suka tempatnya?”
Luna mengangkat bahunya. “Biasa aja sih.”
Raka mencelos. Pandangannya kini beralih ke daftar menu
yang baru saja diulurkan oleh seorang waiter.
Setelah memesan makanan dan minuman, suasana di meja itu kembali kaku. Raka
menarik napas dalam, bersiap untuk bicara.
“Luna...”
“Ya?”
“Gue mau ngomong something
sama lo.”
Luna menaikkan sebelah alisnya, heran.
“Ngomong aja kali. Kenapa pake izin segala?”
Raka mengangguk samar.
“Lun, udah saatnya gue jujur sama lo...,” Raka
menggantung kalimatnya, membuat Luna bertanya-tanya. “Gue...”
“Permisi, Mas, Mbak,” seorang waiter tiba-tiba muncul dan memotong ucapan Raka. Dia membawa
sebuah nampan berisi hidangan yang dipesan Raka dan Luna. “Ini makanan dan
minumannya. Selamat menikmati.”
Raka sebisa mungkin menahan rasa kesalnya. Dia meraih
gelas berisi jus jeruk dan menyeruputnya sedikit, begitupun Luna. Kesempatannya
bicara tertunda karena Luna memilih untuk menyantap makanannya terlebih dahulu.
“Kita makan dulu aja, ya?”
Raka mengangguk samar. Sementara tangannya meraih garpu
dan pisau di sisi piringnya, matanya terus menekuni wajah Luna diam-diam.
Tak jauh dari meja itu, di meja lain, Brian duduk tenang
sambil menyesap cappuccino dalam
cangkir keramik di tangannya. Matanya yang awas tak lepas dari dua sosok dekat
jendela. Sedikit tak rela dia membiarkan Luna pergi berdua dengan Raka.
“Jadi, lo mau ngomong apa tadi?”
Luna sepertinya telah menghabiskan makanannya, begitu
pula dengan Raka. Inilah kesempatan yang takkan disia-siakan Raka untuk bicara.
“Gini...”
“Ya?”
“Gue... Gue suka sama lo, Luna.”
Luna bungkam. Hening kemudian. Antara shock dan heran, dia menatap Raka dengan
pandangan yang sulit diartikan. Mulutnya bergerak-gerak namun tak kunjung
bersuara.
“Gimana, Lun?”
“Eh... Gimana apanya?”
“Lo mau nggak jadi pacar gue?”
*
Sepeda motor itu melaju kencang di badan jalan yang
basah dan lengang. Hujan turun beberapa menit lalu, saat Luna dan Raka baru
saja keluar dari dalam restoran. Rasa bersalah terus menggelayuti Luna. Beberapa
saat lalu, saat dia dan Raka masih duduk di meja yang sama, terekam jelas
bagaimana Raka menyatakan cinta namun dia menolaknya.
Hujan turun semakin deras. Luna mulai gelisah saat Raka
memilih jalan yang jelas-jelas bukan menuju rumahnya.
“Raka, kita mau kemana lagi?”
Dengan hati-hati Luna bertanya. Namun tak ada jawaban.
Raka sama sekali tak menjawab. Dia membiarkan Luna terus bertanya-tanya. Pemuda
itu memacu motornya lebih cepat. Setidaknya dia berharap emosinya saat itu bisa
menguap, terbawa air hujan yang jatuh ke tanah.
Kurang dari sepuluh menit motor itu berhenti di depan
sebuah bangunan kecil yang agak usang. Luna memandang sekeliling, mendapati
daun-daun yang kering jatuh berserakan di halaman yang tampak amat basah.
Dinding bangunan itu berwarna putih kusam, beberapa bagiannya ditutupi
graffiti.
Luna menggigil kedinginan.
“Ini rumah siapa?” Gumam Luna heran.
“Bukan rumah siapa-siapa,” celetuk Raka. “Ini basecamp gue sama anak-anak.”
“Ooh...”
“Kita masuk dulu, sekalian nunggu hujannya berhenti.”
Luna mengangguk. Mungkin saran Raka ada benarnya, dia
sudah mulai merasa kedinginan karena sebagian bajunya basah terkena air hujan.
Hal yang pertama kali tertangkap oleh Luna setelah
memasuki bangunan itu adalah sebuah kursi panjang di ruangan utama. Ruangan itu
remang-remang karena cuaca memang sedang hujan ditambah hanya ada sebuah lampu
yang menyala redup.
“Duduk aja dulu.”
Luna lalu duduk di kursi itu sambil menatap Raka yang
melenggang ke satu ruangan lain di belakang. Sekembalinya Raka, suasana masih
tetap sama. Hening. Hanya suara hujan yang terdengar riuh di luar.
“Dingin, ya?” Tanya Raka pelan, sambil mengambil posisi
duduk di samping Luna, cukup dekat. Luna mengangguk meski samar.
Mata Raka kini menatap Luna, menyelami lekuk wajahnya,
juga badannya. Betapa kecewanya dia saat Luna menolaknya dengan alasan klise:
lebih baik kita berteman.
“Lun?” Luna menoleh. Ternyata Raka telah menggeser
posisinya untuk lebih dekat pada Luna sehingga kini tak ada jarak di antara
mereka. “Lo itu cantik, ya?” Raka berbisik, tepat di telinga Luna.
Merasa risih, Luna beringsut mundur. Tangan Raka yang
telah meraih tangannya pun dia singkirkan dengan kaku. Ada gelagat yang aneh
yang mulai Luna rasakan di sini.
“Sorry...”
“Kenapa?”
Raka kembali menggenggam tangan Luna, lebih kencang,
sehingga Luna tak bisa menepis apalagi melepaskannya. Sementara tatapan Raka
dirasakannya berubah menjadi liar.
“Raka, gue pulang aja ya.”
“Kenapa?”
Genggaman tangan itu kini berubah menjadi cengkeraman.
Luna mulai kesakitan.
“Raka lepasin! Gue mau pulang!”
Raka tersenyum, namun tatapannya terhadap Luna itu tak
berubah. Gadis itu memaksa berdiri, sementara Raka masih mencuri-curi
kesempatan untuk menyentuh wajah Luna.
“Lo mau apa??” Luna berteriak putus asa.
“Menurut lo apa, cantik?”
“Raka, please lepasin
gue atau gue akan teriak sekenceng-kencengnya,” gertak Luna.
Mendengar perkataan Luna, Raka tertawa lepas.
“Teriak aja sekeras yang lo bisa, Aluna. Gue nggak
takut. Karena itu semua akan percuma. Nggak ada siapapun di sini kecuali lo dan
gue!” Katanya lantang.
Dengan gerakan cepat Raka menahan tubuh Luna di dinding.
Kedua tangannya mencengkeram pergelangan tangan Luna hingga gadis itu berubah
pucat dan tak bisa berbuat apa-apa.
“Kalo lo tanya apa mau gue, maka jawabannya adalah gue
mau lo, Luna...” bisiknya seiring wajahnya yang semakin mendekat ke wajah Luna.
Sontak Luna menahan napas, menarik jauh lehernya. Gadis
itu menangis. Kini dia pasrah menerima apapun yang akan Raka perbuat padanya.
Dia memejamkan mata, tak ingin melihat Raka yang makin beringas berusaha
mendekatkan bibirnya ke bibir Luna.
Luna menutup matanya erat-erat. Desahan Raka terdengar
memburu.
BUGGGH...
Senyap.
Desah napas Raka tak lagi didengarnya. Tak ada
cengkeraman tangan Raka di tangannya, yang dia dapati saat membuka mata hanyalah
sesosok laki-laki yang terengah-engah dengan tangan yang mengepal.
“Brian?”
Pemuda yang dia panggil Brian itu menatap Raka penuh
kebencian, penuh dendam. Luna sempat melihat tatapan beringas Brian, sebelum
akhirnya dia melayangkan sebuah tinju ke rahang Raka. Belum sempat Raka
berdiri, pukulan demi pukulan mendarat di wajahnya hingga pemuda itu jatuh tak
berdaya.
Brian menarik kasar kerah kemeja Raka, lalu mendekatkan
kepalanya ke telinga Raka untuk kemudian terlihat bibirnya bergerak membisikkan
sesuatu.
“Reiner!”
Raka yang lemas tampak terbelalak saat nama itu disebut.
“Ini buat Reiner!”
Sebelum pemuda itu mengucapkan apapun, Brian mendorong
tubuh itu kembali sehingga pemuda itu tersungkur. Lalu Brian menegakkan
berdirinya. Tetes-tetes air hujan yang membasahi rambutnya perlahan mengalir
menuju wajahnya yang merah padam.
Brian menoleh, menatap Luna.
“Lo nggak apa-apa?”
Luna menggeleng cepat.
Tanpa disangka Brian menarik tangan kirinya dan
menyeretnya keluar dari bangunan usang itu. “Gue anter lo pulang.”
Luna tak mau banyak bicara. Dia menatap nanar bangunan
di belakangnya, dia masih benar-benar tak percaya dengan apa yang barusan
terjadi padanya di dalam sana. Dalam diam dia mengangguk, lalu menaiki motor
Brian hati-hati. Beberapa saat kemudian Luna tersentak, mengapa dia mau
menuruti perintah Brian yang sama sekali tidak dikenalnya?
Luna tercenung. Seperti ada suatu hal yang mendorongnya
untuk percaya pada pemuda dingin ini, entah apa.
Di depannya, Brian juga memilih untuk membisu. Ada
perasaan lega yang pelan-pelan mengalir dalam hatinya setelah pukulan
bertubi-tubi yang baru saja dia berikan pada Raka. Sejujurnya dia melakukan
semuanya, membuntuti, memata-matai, mengawasi, hingga berujung memukuli Raka
adalah pengorbanannya untuk satu nama. Gue
akan berusaha buat ngelindungin dia. Sebisa mungkin akan terus ngelindungin
dia. Gue janji, Andro.
Hujan telah reda. Motor itu melaju kencang, membelah
dinginnya Bandung saat petang. Luna masih menggigil, sedang hatinya terus
bertanya-tanya: “Siapa Reiner sebenarnya?”
*
(bersambung)