January 06, 2013

Pintu Langit - 7






PRESENT
UNTUK SEBUAH NAMA

Langit begitu gelap. Pagi itu, begitu turun dari atas bus yang ditumpanginya, Luna berlari secepat mungkin menembus rintik yang kini turun semakin deras menuju gerbang sekolah. Hujan tak boleh menghalanginya untuk pergi ke sekolah. Walaupun secara tak langsung kembali ke sekolah berarti kembali menghadapi pemuda aneh bernama Raka yang akhir-akhir ini cukup mengganggu.
Sekarang bukan suatu kejutan lagi kalau pagi-pagi di meja Luna telah teronggok sebuah hadiah. Pun hari ini, seperti biasanya, sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan secarik kertas berisi sebuah puisi telah tergeletak di mejanya.
Luna meraih secarik kertas itu dan perlahan-lahan membukanya.

Malaikat itu seperti orang-orang, selalu datang dan pergi.
Bedanya, malaikat akan bikin hidup kita jadi berarti.
Mudah-mudahan kamu adalah malaikat pertama dan terakhir dalam hidupku.
Dulu aku gak percaya kalau malaikat itu ada, sampai akhirnya aku ketemu dirimu.
Tiap kali aku memandang matamu, aku sadar bahwa malaikat ada di dalamnya.
Kamu itu bagaikan malaikat yah.
Terlalu rapuh untuk berada di bumi, dan terlalu cantik kalau berdiri di pintu surga.
Saat aku ketemu kamu, aku melihat malaikat tanpa sayap.
Tapi hati sang malaikat bikin aku terbang ke awan.
Selamat pagi, malaikatku! 

“Kalimat murahan!” Desisnya sambil geleng-geleng kepala.

Akhirnya Luna membuka kotak berwarna ungu cerah itu. Sebuah mini-dress berdiam di dalamnya. Tanpa pikir panjang, Luna putuskan untuk mengembalikan hadiah itu saat itu juga, langsung pada si pengirim. Siapa lagi kalau bukan Raka. Sekalian saja dia meminta baik-baik agar Raka tak lagi mengganggunya.
Ditutupnya lagi kotak itu. Lalu dia bergegas pergi mencari sosok Raka yang entah di mana.
*
Jarum jam bahkan belum menyentuh angka tujuh, itu berarti bel masuk juga belum berbunyi. Beberapa siswa pun masih terlihat berdiri di luar kelas. Ada yang masih berlalu-lalang di sepanjang koridor. Beberapa di antaranya terlibat suatu obrolan di bangku-bangku panjang depan kelas.
Raka dan teman-temannya tampak asyik berbincang di sana.
Brakk...
“Ini gue balikin.”
Beberapa pasang mata di sekitar tempat itu tertuju pada gadis yang datang itu, termasuk siswa-siswi yang tengah berjalan. Tak terkecuali Brian, yang memang sedang berdiri di ambang pintu kelasnya tak jauh dari kelas Raka.
Raka ternganga saat mengetahui siapa sosok yang berdiri di hadapannya dengan wajah yang tak bersahabat.
“Luna?”
“Ya. Lo Raka kan?”
Raka mengangguk.
“Lo yang naruh kotak ini di meja gue?”
Raka mengangguk lagi.
“Oke. Makasih lo udah rela belin gaun cantik ini buat gue. Tapi gue ngga bisa nerima ini. Pertama, gue nggak kenal sama lo. Kedua, gue nggak suka cowok yang ngasih gue hadiah kaya gini. Mending lo ngga pernah suka sama gue deh,” Ucap Luna dengan sangat ketus. “Oh iya satu lagi, buang kebiasaan lo ngasih gue hadiah, gue ngga suka dan gue keganggu sama hal itu!”
Semua anak yang menyaksikan kejadian itu sontak tertawa. Tak terkecuali teman-teman Raka yakni Davin, Andre, dan Fian. Brian benar-benar tak bisa menahan diri untuk tertawa. Tak lama kemudian dia pergi sambil melempar senyum yang menghina.
Davin tiba-tiba bangkit dari duduknya dan bernyanyi tak jelas. “Gak, gak, gak kuat. Gak, gak, gak kuat.”
“Aku nggak kuat sama playboy-playboy!” Sahut Andre sambil menari-nari di hadapan Raka, kemudian melakukan toast bersama Davin. Tawa mereka kembali pecah saat mendapati wajah Raka yang mati-matian menahan malu.
Dengan geram Raka mengepalkan tangan kanannya dan meninju telapak tangan kirinya. Dalam diam dia bergumam. “Kalo emang pake cara halus lo masih sok jual mahal, gue bakal pake cara lain. Lo liat aja, Luna!”
*
Matahari tampak begitu terik. Luna, seperti biasa, sepulang sekolah berdiri sendirian menunggu busnya. Berkali-kali dia mengusap peluh yang menetes dari kening. Matanya menyipit, pandangannya menyapu jalanan yang entah mengapa terlihat sepi sejak tadi.
Dia lalu memutuskan untuk duduk di bangku panjang tepat di belakangnya. Dia menghembuskan napas, lalu diletakkannya sejumput rambutnya – yang keluar dari kucirannya – ke belakang telinga.
“Hai Luna...”
Sebuah suara samar terdengar. Luna kemudian mendongak mencari tahu siapa yang memanggilnya. Raut wajahnya berubah saat melihat... “Raka?”
“Hehe. Ikut gue, yuk!”
Pemuda jangkung itu mendekat dan tanpa permisi duduk di samping Luna.
“Nggak.”
“Luna... Please.”
“Raka! Lo budek atau bego sih? Bukannya tadi pagi gue udah bilang jangan ganggu gue lagi? Harusnya lo bisa paham dong sama kalimat sesederhana itu.”
Luna memutuskan untuk berdiri dan beranjak pergi sebab dia tak ingin berlama-lama dekat dengan Raka. Namun tampaknya Raka memang sudah berambisi untuk mengajak Luna pergi dengannya. Dia menahan lengan Luna.
“Lepasin!”
“Oke, gue lepasin. Asal lo mau dengerin gue dulu.”
Luna mengalah, mau tak mau dia harus mendengarkan Raka agar tangannya bisa terbebas dari cecunguk satu itu.
“Cepet ngomong!”
Raka membetulkan posisi duduknya lalu mulai membuka suara.
“Luna...” Ucapnya. “Waktu lo balikin dress itu ke gue, jujur gue kecewa banget. Masa sih lo nggak mau nerima pemberian gue itu?”
Luna bungkam. Raka memutuskan untuk melanjutkan bicara.
“Dan asal lo tahu, hati gue juga hancur pas liat bunga pemberian gue lo masukkin tempat sampah.”
Luna tercengang.
“Apalagi pas tau lo nggak makan cokelat pemberian gue, malah bagi-bagiin semuanya ke temen-temen lo,” lanjut Raka. Wajahnya kini tampak memelas. “Lo kenapa sih kayanya kok negative thinking terus sama gue, Lun? Gue kan bukan penjahat.”
Kali ini Luna tampak membenarkan perkataan Raka. Apakah dia tak seharusnya berprasangka buruk kepada pemuda yang satu itu? Entahlah.
“Emangnya gue ada tampang-tampang jahat ya?”
Luna terdiam. Dia nampak berpikir, sementara Raka terus menunggu reaksinya. Dan tak lama kemudian dia angkat bicara.
“Em... Sorry banget ya, Raka, soal itu semua. Gue jadi nggak enak sama lo.”
“Nggak apa-apa kok, Luna,” tutur Raka. Dia tersenyum, entah apa maknanya. “Tapi gue mau minta satu hal sama lo,” Raka tampak menggantung ucapannya, “kali ini, lo mau ya ikut gue.”
Luna ragu-ragu. Namun tampaknya dia setuju-setuju saja. Raka mungkin tidak akan macam-macam, dia hanya meminta Luna untuk ikut dengannya.
“Gimana, Luna?”
Dengan sabar Raka menanti jawaban dari mulut Luna. Namun nihil, Luna tetap bungkam dan tak mengeluarkan kata-kata. Namun terlihat anggukan samar dari Luna, dan hal itu tampaknya berhasil mengembangkan senyum kemenangan di bibir Raka.
*
Terik matahari siang itu menjadi saksi sepasang muda-mudi yang berada di atas sebuah motor yang melaju di sepanjang jalan utama kota Bandung. Pengendara motor itu, yang tak lain adalah Raka, kini tengah sibuk membayangkan rencana yang telah dia susun matang-matang untuk Luna, gadis yang ada di belakangnya kini.
Sebuah tepukan lembut di pundaknya membuat lamunannya buyar. Raka menoleh.
“Apa?”
“Sebenernya lo mau bawa gue kemana sih, Rak?”
“Ada deh. Pokoknya gue jamin lo bakal terkejut.”
“Oh...”
Jawaban pendek dari Luna mengantarkan mereka kembali larut dalam diam. Keduanya sama-sama tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang dengan tajam menatap dan mengawasi mereka dari belakang.
Jalanan yang terbilang lengang mempercepat perjalanan mereka menuju sebuah restoran di pinggiran kota Bandung. Raka memarkir motornya dan melenggang sambil tersenyum menatap Luna di sampingnya. Restoran itu tidak terlalu ramai, hanya segelintir orang yang terlihat duduk dan makan. Raka lalu melangkah menuju sebuah meja di dekat jendela yang membatasi ruangan itu dengan sebuah taman kecil dan kolam air mancur. Pemuda itu menarik kursi untuk Luna, kemudian untuk dirinya sendiri.
“Gimana? Lo suka tempatnya?”
Luna mengangkat bahunya. “Biasa aja sih.”
Raka mencelos. Pandangannya kini beralih ke daftar menu yang baru saja diulurkan oleh seorang waiter. Setelah memesan makanan dan minuman, suasana di meja itu kembali kaku. Raka menarik napas dalam, bersiap untuk bicara.
“Luna...”
“Ya?”
“Gue mau ngomong something sama lo.”
Luna menaikkan sebelah alisnya, heran.
“Ngomong aja kali. Kenapa pake izin segala?”
Raka mengangguk samar.
“Lun, udah saatnya gue jujur sama lo...,” Raka menggantung kalimatnya, membuat Luna bertanya-tanya. “Gue...”
“Permisi, Mas, Mbak,” seorang waiter tiba-tiba muncul dan memotong ucapan Raka. Dia membawa sebuah nampan berisi hidangan yang dipesan Raka dan Luna. “Ini makanan dan minumannya. Selamat menikmati.”
Raka sebisa mungkin menahan rasa kesalnya. Dia meraih gelas berisi jus jeruk dan menyeruputnya sedikit, begitupun Luna. Kesempatannya bicara tertunda karena Luna memilih untuk menyantap makanannya terlebih dahulu.
“Kita makan dulu aja, ya?”
Raka mengangguk samar. Sementara tangannya meraih garpu dan pisau di sisi piringnya, matanya terus menekuni wajah Luna diam-diam.
Tak jauh dari meja itu, di meja lain, Brian duduk tenang sambil menyesap cappuccino dalam cangkir keramik di tangannya. Matanya yang awas tak lepas dari dua sosok dekat jendela. Sedikit tak rela dia membiarkan Luna pergi berdua dengan Raka.
“Jadi, lo mau ngomong apa tadi?”
Luna sepertinya telah menghabiskan makanannya, begitu pula dengan Raka. Inilah kesempatan yang takkan disia-siakan Raka untuk bicara.
“Gini...”
“Ya?”
“Gue... Gue suka sama lo, Luna.”
Luna bungkam. Hening kemudian. Antara shock dan heran, dia menatap Raka dengan pandangan yang sulit diartikan. Mulutnya bergerak-gerak namun tak kunjung bersuara.
“Gimana, Lun?”
“Eh... Gimana apanya?”
“Lo mau nggak jadi pacar gue?”
*
Sepeda motor itu melaju kencang di badan jalan yang basah dan lengang. Hujan turun beberapa menit lalu, saat Luna dan Raka baru saja keluar dari dalam restoran. Rasa bersalah terus menggelayuti Luna. Beberapa saat lalu, saat dia dan Raka masih duduk di meja yang sama, terekam jelas bagaimana Raka menyatakan cinta namun dia menolaknya.
Hujan turun semakin deras. Luna mulai gelisah saat Raka memilih jalan yang jelas-jelas bukan menuju rumahnya.
“Raka, kita mau kemana lagi?”
Dengan hati-hati Luna bertanya. Namun tak ada jawaban. Raka sama sekali tak menjawab. Dia membiarkan Luna terus bertanya-tanya. Pemuda itu memacu motornya lebih cepat. Setidaknya dia berharap emosinya saat itu bisa menguap, terbawa air hujan yang jatuh ke tanah.
Kurang dari sepuluh menit motor itu berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang agak usang. Luna memandang sekeliling, mendapati daun-daun yang kering jatuh berserakan di halaman yang tampak amat basah. Dinding bangunan itu berwarna putih kusam, beberapa bagiannya ditutupi graffiti.
Luna menggigil kedinginan.
“Ini rumah siapa?” Gumam Luna heran.
“Bukan rumah siapa-siapa,” celetuk Raka. “Ini basecamp gue sama anak-anak.”
“Ooh...”
“Kita masuk dulu, sekalian nunggu hujannya berhenti.”
Luna mengangguk. Mungkin saran Raka ada benarnya, dia sudah mulai merasa kedinginan karena sebagian bajunya basah terkena air hujan.
Hal yang pertama kali tertangkap oleh Luna setelah memasuki bangunan itu adalah sebuah kursi panjang di ruangan utama. Ruangan itu remang-remang karena cuaca memang sedang hujan ditambah hanya ada sebuah lampu yang menyala redup.
“Duduk aja dulu.”
Luna lalu duduk di kursi itu sambil menatap Raka yang melenggang ke satu ruangan lain di belakang. Sekembalinya Raka, suasana masih tetap sama. Hening. Hanya suara hujan yang terdengar riuh di luar.
“Dingin, ya?” Tanya Raka pelan, sambil mengambil posisi duduk di samping Luna, cukup dekat. Luna mengangguk meski samar.
Mata Raka kini menatap Luna, menyelami lekuk wajahnya, juga badannya. Betapa kecewanya dia saat Luna menolaknya dengan alasan klise: lebih baik kita berteman.
“Lun?” Luna menoleh. Ternyata Raka telah menggeser posisinya untuk lebih dekat pada Luna sehingga kini tak ada jarak di antara mereka. “Lo itu cantik, ya?” Raka berbisik, tepat di telinga Luna.
Merasa risih, Luna beringsut mundur. Tangan Raka yang telah meraih tangannya pun dia singkirkan dengan kaku. Ada gelagat yang aneh yang mulai Luna rasakan di sini.
“Sorry...”
“Kenapa?”
Raka kembali menggenggam tangan Luna, lebih kencang, sehingga Luna tak bisa menepis apalagi melepaskannya. Sementara tatapan Raka dirasakannya berubah menjadi liar.
“Raka, gue pulang aja ya.”
“Kenapa?”
Genggaman tangan itu kini berubah menjadi cengkeraman. Luna mulai kesakitan.
“Raka lepasin! Gue mau pulang!”
Raka tersenyum, namun tatapannya terhadap Luna itu tak berubah. Gadis itu memaksa berdiri, sementara Raka masih mencuri-curi kesempatan untuk menyentuh wajah Luna.
“Lo mau apa??” Luna berteriak putus asa.
“Menurut lo apa, cantik?”
“Raka, please lepasin gue atau gue akan teriak sekenceng-kencengnya,” gertak Luna.
Mendengar perkataan Luna, Raka tertawa lepas.
“Teriak aja sekeras yang lo bisa, Aluna. Gue nggak takut. Karena itu semua akan percuma. Nggak ada siapapun di sini kecuali lo dan gue!” Katanya lantang.
Dengan gerakan cepat Raka menahan tubuh Luna di dinding. Kedua tangannya mencengkeram pergelangan tangan Luna hingga gadis itu berubah pucat dan tak bisa berbuat apa-apa.
“Kalo lo tanya apa mau gue, maka jawabannya adalah gue mau lo, Luna...” bisiknya seiring wajahnya yang semakin mendekat ke wajah Luna.
Sontak Luna menahan napas, menarik jauh lehernya. Gadis itu menangis. Kini dia pasrah menerima apapun yang akan Raka perbuat padanya. Dia memejamkan mata, tak ingin melihat Raka yang makin beringas berusaha mendekatkan bibirnya ke bibir Luna.
Luna menutup matanya erat-erat. Desahan Raka terdengar memburu.
BUGGGH...
Senyap.
Desah napas Raka tak lagi didengarnya. Tak ada cengkeraman tangan Raka di tangannya, yang dia dapati saat membuka mata hanyalah sesosok laki-laki yang terengah-engah dengan tangan yang mengepal.
“Brian?”
Pemuda yang dia panggil Brian itu menatap Raka penuh kebencian, penuh dendam. Luna sempat melihat tatapan beringas Brian, sebelum akhirnya dia melayangkan sebuah tinju ke rahang Raka. Belum sempat Raka berdiri, pukulan demi pukulan mendarat di wajahnya hingga pemuda itu jatuh tak berdaya.
Brian menarik kasar kerah kemeja Raka, lalu mendekatkan kepalanya ke telinga Raka untuk kemudian terlihat bibirnya bergerak membisikkan sesuatu.
“Reiner!”
Raka yang lemas tampak terbelalak saat nama itu disebut.
“Ini buat Reiner!”
Sebelum pemuda itu mengucapkan apapun, Brian mendorong tubuh itu kembali sehingga pemuda itu tersungkur. Lalu Brian menegakkan berdirinya. Tetes-tetes air hujan yang membasahi rambutnya perlahan mengalir menuju wajahnya yang merah padam.
Brian menoleh, menatap Luna.
“Lo nggak apa-apa?”
Luna menggeleng cepat.
Tanpa disangka Brian menarik tangan kirinya dan menyeretnya keluar dari bangunan usang itu. “Gue anter lo pulang.”
Luna tak mau banyak bicara. Dia menatap nanar bangunan di belakangnya, dia masih benar-benar tak percaya dengan apa yang barusan terjadi padanya di dalam sana. Dalam diam dia mengangguk, lalu menaiki motor Brian hati-hati. Beberapa saat kemudian Luna tersentak, mengapa dia mau menuruti perintah Brian yang sama sekali tidak dikenalnya?
Luna tercenung. Seperti ada suatu hal yang mendorongnya untuk percaya pada pemuda dingin ini, entah apa.
Di depannya, Brian juga memilih untuk membisu. Ada perasaan lega yang pelan-pelan mengalir dalam hatinya setelah pukulan bertubi-tubi yang baru saja dia berikan pada Raka. Sejujurnya dia melakukan semuanya, membuntuti, memata-matai, mengawasi, hingga berujung memukuli Raka adalah pengorbanannya untuk satu nama. Gue akan berusaha buat ngelindungin dia. Sebisa mungkin akan terus ngelindungin dia. Gue janji, Andro.
Hujan telah reda. Motor itu melaju kencang, membelah dinginnya Bandung saat petang. Luna masih menggigil, sedang hatinya terus bertanya-tanya: “Siapa Reiner sebenarnya?”
*

(bersambung)