January 03, 2013

Pintu Langit - 2






 PRESENT
DIAKAH?


“Woy! Brian!”
Di tengah lamunannya pemuda itu mendengar seseorang berseru memanggil namanya. Dari sudut kantin ini dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Dan benar saja, tak lama kemudian didapatinya Rio berlari mendekat ke arah bangku yang telah didudukinya sejak pagi tadi.
Rio lalu duduk di sampingnya.
“Sejak kapan lo di sini?”
“Apa?”
“Sejak kapan lo nongkrong di kantin gini, Setan?”
“Em.. Jam delapan,” jawabnya datar.
Rio terlihat mengernyitkan dahi sambil terus menatap Brian, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
“Anak sekelas mati kaku gara-gara ulangan matematika dadakan, dan lo malah enak-enakan di sini?”
Brian hanya tersenyum simpul lalu mengangkat kedua bahunya. Diraihnya gelas berisi minuman yang tinggal separuh, lalu diminumnya isi gelas itu sampai benar-benar tandas.
“Gimana rasanya?”
Hell...” Tukas Rio penuh dendam, sambil memukul meja kayu di hadapannya dengan tangan yang mengepal.
Brian tertawa. “Untung dong tadi pagi gue diusir dari kelas sama Pak Wan?”
“Diusir kok seneng? Setan lo ya!”
“Emang gue setan.”
Rio memutar bola matanya. “Dasar gila!” Ucapnya. Brian hanya tergelak. “Lagian lo ngapain pake acara berangkat telat sih?”
“Gue telat bukannya udah biasa?”
“Ini tumben telatnya sampe satu jam. Lupa hari ya, Mas?”
Brian menghela napas. “Gue berangkat dari Lembang.”
“Hah?”
“Iya. Gue berangkat dari Lembang langsung ke sini, di tengah jalan ban mobil gue bocor dan terpaksa gue naik bus,” jelas Brian, singkat. Kini dia nampak merogoh salah satu kantong celananya dan mengeluarkan selembar foto. “Lo kenal cewe ini? Sekolah di Bakti Mulia, satu angkatan sama kita.”
Rio menerima selembar foto yang Brian ulurkan padanya. Diamatinya lekat-lekat satu sosok perempuan di dalam foto itu. Dahinya berkerut-kerut, mencoba mengingat-ingat satu sosok yang rasa-rasanya pernah dia lihat. Setelah beberapa menit berpikir keras tiba-tiba dia berseru, “Gue tahu!”
“Serius? Siapa dia?”
“Kalo nggak salah anak 3 IPA 2.”
“Namanya?”
“Siapa ya?”
“Buruan! Siapa namanya?”
Untuk beberapa saat Rio terdiam, terus mencoba mengingat-ingat sebuah nama. Hingga akhirnya dia berseru.
“Luna,” gumam Rio. “Aluna Luvena Dewanti, pimpinan redaksi majalah sekolah!”
Aluna? Tepat! batin Brian. Akhirnya dia menemukan apa yang dia cari. Sebingkas senyum kini terlukis di sudut bibirnya.
*
Tepat pukul dua siang, suara bel tanda jam pelajaran terakhir telah usai meraung-raung. Luna bergegas mengemasi buku-buku serta alat tulisnya. Ada pekerjaan yang belum terselesaikan.
“Luna! Mau kemana?”
“Ruang redaksi.”
“Mau ngapain?”
“Biasa lah ngurusin majalah sekolah. Besok udah harus siap. Gue buru-buru, Al. Gue duluan, ya? Bye!” Ucapnya seraya melangkah pergi.
“Eh... Eh, nanti malem jadi ke rumah gue, nggak?”
Terlambat. Luna telah menghilang di balik pintu ruang kelas. Dia sama sekali tak menjawab, mungkin tak mendengar pertanyaan terakhir Alya meskipun dia menyampaikannya dengan sedikit berteriak.
Alya mencelos. Untuk kesekian kalinya dia menerima sikap Luna yang satu ini, yang selalu mengerjakan tugasnya dengan serius dan tepat waktu. Luna yang memiliki jabatan penting di redaksi majalah sekolah memang dituntut untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab.
“Huh... Dasar pimpinan redaksi! Sok sibuk!”
*
Luna baru saja sampai di depan ruang redaksi saat tiba-tiba dia merasa ponselnya bergetar, memaksanya berhenti di ambang pintu ruangan untuk menjawab panggilan yang masuk. Dengan susah payah tangan kanannya mencoba meraih ponsel yang ada di dalam tas, sementara tangan kirinya sibuk memegangi sebuah netbook yang on dan beberapa lembar kertas serta buku.
“Aduh, susah amat, sih?”
Tak lama kemudian dia berhasil mendapatkan ponselnya. Buru-buru ditekannya tombol hijau di sana untuk menjawab panggilan.
“Halo, Pa?”
Ternyata papanya yang menelepon.
“Em... Kayanya Luna pulang agak sore, Pa.”
Sementara tak jauh dari tempat itu, di tengah lapangan, beberapa orang siswa yang masih mengenakan seragam SMA Bakti Mulia berlarian mencari posisi, sedangkan salah satu teman mereka tengah menggiring bola. Mereka bersorak saat teman mereka yang satu itu berhasil melakukan shoot terarah yang menghasilkan sebuah gol.
“Nggak usah, Pa. Luna naik bus aja kaya biasanya.”
Luna tak menghiraukan siswa-siswa yang tengah bermain futsal di lapangan yang berbatasan langsung dengan koridor di depan ruang redaksi itu. Dia masih sibuk berbincang dengan papanya.
“Woy, oper gue!” Seru salah seorang dari mereka yang berada di dekat Luna. Siswa yang tengah menguasai itu langsung saja melakukan passing ke arahnya. Tak butuh waktu lama, pemain penyerang itu langsung menendang dengan keras bola yang diterimanya ke arah gawang.
Meleset! Tendangan super cepat itu melewati sisi kiri gawang dan keluar dari lapangan, melesat cepat ke arah koridor ruang redaksi.
Brakkk... Luna terkejut bukan main mendapati netbook di tangannya kini telah jatuh di atas lantai dalam keadaan mati. Jantungnya berdegup kencang mengingat keseluruhan artikel dan desain untuk majalah sekolah ada di dalamnya.
Sorry...”
Sebuah suara menyadarkannya. Seorang pemuda jangkung berkulit putih penuh keringat telah berdiri di hadapannya. Tangan kanannya menimang sebuah bola futsal yang beberapa saat lalu sukses menjatuhkan netbook milik Luna.
“Maaf ya?” Ucapnya lagi. Pemuda yang masih terengah-engah itu lalu berbalik arah, kembali menuju lapangan.
“Apa? Maaf?” Pemuda itu menoleh saat Luna mulai bicara. Luna memicingkan matanya, wajahnya merah padam. Tampak gurat kekesalan terlukis di wajahnya. “Maaf lo bilang?”
“Iya.”
 “Bola yang lo tendang ini udah bikin netbook gue jatuh dan ancur kaya gini, padahal di sana ada pekerjaan yang gue selesein sampe begadang, yang bikin gue ketiduran di kelas dan diusir sama Bu Dewi, dan lo cuma minta maaf terus nyelonong pergi? Bangkai, lo!”
Luna mendidih. Dengan perasaan yang meluap-luap dia memaki pemuda di hadapannya. Namun entah mengapa pemuda itu hanya diam dan tersenyum. Entah terpesona, entah apa. Hal itulah yang semakin membuat Luna geram. Dengan sinis diliriknya nama yang terpampang di dada kanan seragamnya.
“Dasar cowok sinting!” Seru Luna sambil berlalu membawa netbook-nya yang entah bagaimana nasibnya. Dia hanya akan buang-buang waktu menghadapi pemuda aneh itu.
“Eh... Nama gue Ananda Raka Pradipta.”
Luna menoleh sekilas, namun tetap tak acuh.
“Biasa dipanggil Raka.”
Luna tetap tak peduli, dia menghilang setelah dengan kesal membanting pintu ruang redaksi.
Sedangkan pemilik nama itu terus tersenyum, meskipun Luna tak lagi ada di hadapannya. Matanya nampak berbinar-binar, sedang dadanya terasa berdebar-debar. Satu hal yang ada dalam pikirannya kini adalah Luna, yang secara magis telah membuatnya jatuh cinta.
Dari ujung koridor yang jauh, tampak Brian lekat-lekat memperhatikan kejadian dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Sebelum akhirnya dia berbalik dan melangkah pergi.
*
 
(bersambung)