PRESENT
DIAKAH?
“Woy! Brian!”
Di tengah lamunannya pemuda itu mendengar seseorang berseru
memanggil namanya. Dari sudut kantin ini dia mengedarkan pandangan ke seluruh
penjuru. Dan benar saja, tak lama kemudian didapatinya Rio berlari mendekat ke
arah bangku yang telah didudukinya sejak pagi tadi.
Rio lalu duduk di sampingnya.
“Sejak kapan lo di sini?”
“Apa?”
“Sejak kapan lo nongkrong di kantin gini, Setan?”
“Em.. Jam delapan,” jawabnya datar.
Rio terlihat mengernyitkan dahi sambil terus menatap
Brian, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
“Anak sekelas mati kaku gara-gara ulangan matematika
dadakan, dan lo malah enak-enakan di sini?”
Brian hanya tersenyum simpul lalu mengangkat kedua
bahunya. Diraihnya gelas berisi minuman yang tinggal separuh, lalu diminumnya
isi gelas itu sampai benar-benar tandas.
“Gimana rasanya?”
“Hell...”
Tukas Rio penuh dendam, sambil memukul meja kayu di hadapannya dengan tangan
yang mengepal.
Brian tertawa. “Untung dong tadi pagi gue diusir dari
kelas sama Pak Wan?”
“Diusir kok seneng? Setan lo ya!”
“Emang gue setan.”
Rio memutar bola matanya. “Dasar gila!” Ucapnya. Brian
hanya tergelak. “Lagian lo ngapain pake acara berangkat telat sih?”
“Gue telat bukannya udah biasa?”
“Ini tumben telatnya sampe satu jam. Lupa hari ya, Mas?”
Brian menghela napas. “Gue berangkat dari Lembang.”
“Iya. Gue berangkat dari Lembang langsung ke sini, di
tengah jalan ban mobil gue bocor dan terpaksa gue naik bus,” jelas Brian,
singkat. Kini dia nampak merogoh salah satu kantong celananya dan mengeluarkan
selembar foto. “Lo kenal cewe ini? Sekolah di Bakti Mulia, satu angkatan sama
kita.”
Rio menerima selembar foto yang Brian ulurkan padanya.
Diamatinya lekat-lekat satu sosok perempuan di dalam foto itu. Dahinya
berkerut-kerut, mencoba mengingat-ingat satu sosok yang rasa-rasanya pernah dia
lihat. Setelah beberapa menit berpikir keras tiba-tiba dia berseru, “Gue tahu!”
“Serius? Siapa dia?”
“Kalo nggak salah anak 3 IPA 2.”
“Namanya?”
“Siapa ya?”
“Buruan! Siapa namanya?”
Untuk beberapa saat Rio terdiam, terus mencoba
mengingat-ingat sebuah nama. Hingga akhirnya dia berseru.
“Luna,” gumam Rio. “Aluna Luvena Dewanti, pimpinan
redaksi majalah sekolah!”
Aluna? Tepat! batin Brian. Akhirnya dia menemukan apa yang dia cari. Sebingkas
senyum kini terlukis di sudut bibirnya.
*
Tepat pukul dua siang, suara bel tanda jam pelajaran
terakhir telah usai meraung-raung. Luna bergegas mengemasi buku-buku serta alat
tulisnya. Ada pekerjaan yang belum terselesaikan.
“Luna! Mau kemana?”
“Ruang redaksi.”
“Mau ngapain?”
“Biasa lah ngurusin majalah sekolah. Besok udah harus
siap. Gue buru-buru, Al. Gue duluan, ya? Bye!”
Ucapnya seraya melangkah pergi.
“Eh... Eh, nanti malem jadi ke rumah gue, nggak?”
Terlambat. Luna telah menghilang di balik pintu ruang
kelas. Dia sama sekali tak menjawab, mungkin tak mendengar pertanyaan terakhir
Alya meskipun dia menyampaikannya dengan sedikit berteriak.
Alya mencelos. Untuk kesekian kalinya dia menerima sikap
Luna yang satu ini, yang selalu mengerjakan tugasnya dengan serius dan tepat
waktu. Luna yang memiliki jabatan penting di redaksi majalah sekolah memang
dituntut untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab.
“Huh... Dasar pimpinan redaksi! Sok sibuk!”
*
Luna baru saja sampai di depan ruang redaksi saat
tiba-tiba dia merasa ponselnya bergetar, memaksanya berhenti di ambang pintu
ruangan untuk menjawab panggilan yang masuk. Dengan susah payah tangan kanannya
mencoba meraih ponsel yang ada di dalam tas, sementara tangan kirinya sibuk
memegangi sebuah netbook yang on dan
beberapa lembar kertas serta buku.
“Aduh, susah amat, sih?”
Tak lama kemudian dia berhasil mendapatkan ponselnya.
Buru-buru ditekannya tombol hijau di sana untuk menjawab panggilan.
“Halo, Pa?”
Ternyata papanya yang menelepon.
“Em... Kayanya Luna pulang agak sore, Pa.”
Sementara tak jauh dari tempat itu, di tengah lapangan,
beberapa orang siswa yang masih mengenakan seragam SMA Bakti Mulia berlarian
mencari posisi, sedangkan salah satu teman mereka tengah menggiring bola.
Mereka bersorak saat teman mereka yang satu itu berhasil melakukan shoot terarah yang menghasilkan sebuah
gol.
“Nggak usah, Pa. Luna naik bus aja kaya biasanya.”
Luna tak menghiraukan siswa-siswa yang tengah bermain
futsal di lapangan yang berbatasan langsung dengan koridor di depan ruang
redaksi itu. Dia masih sibuk berbincang dengan papanya.
“Woy, oper gue!” Seru salah seorang dari mereka yang
berada di dekat Luna. Siswa yang tengah menguasai itu langsung saja melakukan passing ke arahnya. Tak butuh waktu
lama, pemain penyerang itu langsung menendang dengan keras bola yang
diterimanya ke arah gawang.
Meleset! Tendangan super cepat itu melewati sisi kiri
gawang dan keluar dari lapangan, melesat cepat ke arah koridor ruang redaksi.
Brakkk... Luna terkejut bukan main mendapati netbook di tangannya kini telah jatuh di atas lantai dalam keadaan
mati. Jantungnya berdegup kencang mengingat keseluruhan artikel dan desain
untuk majalah sekolah ada di dalamnya.
“Sorry...”
Sebuah suara menyadarkannya. Seorang pemuda jangkung
berkulit putih penuh keringat telah berdiri di hadapannya. Tangan kanannya
menimang sebuah bola futsal yang beberapa saat lalu sukses menjatuhkan netbook milik Luna.
“Maaf ya?” Ucapnya lagi. Pemuda yang masih
terengah-engah itu lalu berbalik arah, kembali menuju lapangan.
“Apa? Maaf?” Pemuda itu menoleh saat Luna mulai bicara.
Luna memicingkan matanya, wajahnya merah padam. Tampak gurat kekesalan terlukis
di wajahnya. “Maaf lo bilang?”
“Iya.”
“Bola yang lo
tendang ini udah bikin netbook gue
jatuh dan ancur kaya gini, padahal di sana ada pekerjaan yang gue selesein
sampe begadang, yang bikin gue ketiduran di kelas dan diusir sama Bu Dewi, dan
lo cuma minta maaf terus nyelonong pergi? Bangkai, lo!”
Luna mendidih. Dengan perasaan yang meluap-luap dia
memaki pemuda di hadapannya. Namun entah mengapa pemuda itu hanya diam dan
tersenyum. Entah terpesona, entah apa. Hal itulah yang semakin membuat Luna
geram. Dengan sinis diliriknya nama yang terpampang di dada kanan seragamnya.
“Dasar cowok sinting!” Seru Luna sambil berlalu membawa netbook-nya yang entah bagaimana
nasibnya. Dia hanya akan buang-buang waktu menghadapi pemuda aneh itu.
“Eh... Nama gue Ananda Raka Pradipta.”
Luna menoleh sekilas, namun tetap tak acuh.
“Biasa dipanggil Raka.”
Luna tetap tak peduli, dia menghilang setelah dengan
kesal membanting pintu ruang redaksi.
Sedangkan pemilik nama itu terus tersenyum, meskipun
Luna tak lagi ada di hadapannya. Matanya nampak berbinar-binar, sedang dadanya
terasa berdebar-debar. Satu hal yang ada dalam pikirannya kini adalah Luna,
yang secara magis telah membuatnya jatuh cinta.
Dari ujung koridor yang jauh, tampak Brian lekat-lekat
memperhatikan kejadian dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Sebelum
akhirnya dia berbalik dan melangkah pergi.
*
(bersambung)