January 14, 2015

Aku Pulang

Rasanya seperti kembali ke kampung halan setelah bertahun-tahun merantau di negeri nan jauh tanpa pernah pulang. Akhirnya aku menemukan sedikit waktu lagi untuk berbagi, dengan menulis. Pada akhirnya aku menemukan jalan pulang menuju ke halaman ini, tempatku dulu berceloteh mengenai apapun bahkan secuil pikiran yang, entahlah, aku pun lupa.
Berbulan-bulan setelah tulisan terakhir mengenai tangan-tangan, aku kembali menemukan apa yang akan aku tulis. Bukan mengenai geodesi, aku harap aku tidak akan pernah menuliskannya di sini (lagi). Untuk apa kau berlari jika arahmu justru adalah tempat yang kau jauhi?
Geodesi bukan pilihan, bahkan aku tak pernah punya pilihan. Ia hanya dermaga yang berhasil menghentikanku dari pelayaran tanpa tujuan, maksudku, daripada aku terombang-ambing dan mati di tengah lautan, apa salahnya aku menambatkan diri ke suatu tempat dan menikmatinya sejenak. Bersama orang-orang baik hati di sepanjang jalan, bersama orang-orang hebat, bersama siapapun yang sementara menemani di kemudian. Sejenak yang seberapa lama pun aku tak tahu, pun aku tak ingin menghitung.
Aku hanya terlalu lelah, mencari tahu jalan terbaik bagaimana menghadapi realitas yang tampaknya tidak seperti isi kepalaku.
Maka di saat seperti itulah aku akan berlari menjauh.
Kemudian aku akan berpikir... Langit begitu luas, mengerdilkan masalah-masalah yang tak seberapa. Langit adalah kebohongan yang terlalu nyata. Langit tak pernah ada, tetapi ia terbentang mahaluas. Langit hanyalah sebuah bahasa untuk kelapangan luar biasa di atas sana, di mana keluhku adalah sebutir debu kosmik, tak seberapa, tak perlu kupikirkan. Maka aku mencintai langit.
Semakin tinggi tempatku berdiri, semakin dekat aku dengan langit.
Maka aku pun mencintai gunung.
Tak akan pernah ada yang mampu menaklukan sebuah gunung. Ketika ia menapaki puncaknya, ia tak benar-benar menaklukkannya, ia hanya menaklukkan dirinya sendiri saat mendaki. Gunung tetaplah berdiri, meski kau berhasil berdiri di titik tertingginya, meski kau kemudian turun lagi, entah selamat atau mati. Gunung tetap dengan dirinya, memberikan kemegahan tiada banding, tiada lawan. Siapa berani mengusik? Gunung tak mau peduli. Dia tetap berdiri.
Dengarkan kisahku tentang penaklukan ini. Penaklukan biasa-biasa saja, tetapi aku mendapatkan hal-hal luar biasa darinya. Penaklukan biasa-biasa saja, bersama orang-orang biasa, namun perjalanannya begitu membekas. Penaklukan biasa-biasa saja oleh sekumpulan mahasiswa, bosan belajar, bosan kuliah, lalu mengadu kepada alam.
Aku di antaranya.