Rasanya seperti kembali ke kampung
halan setelah bertahun-tahun merantau di negeri nan jauh tanpa pernah pulang. Akhirnya
aku menemukan sedikit waktu lagi untuk berbagi, dengan menulis. Pada akhirnya
aku menemukan jalan pulang menuju ke halaman ini, tempatku dulu berceloteh
mengenai apapun bahkan secuil pikiran yang, entahlah, aku pun lupa.
Berbulan-bulan setelah tulisan
terakhir mengenai tangan-tangan, aku kembali menemukan apa yang akan aku tulis.
Bukan mengenai geodesi, aku harap aku tidak akan pernah menuliskannya di sini
(lagi). Untuk apa kau berlari jika arahmu justru adalah tempat yang kau jauhi?
Geodesi bukan pilihan, bahkan aku
tak pernah punya pilihan. Ia hanya dermaga yang berhasil menghentikanku dari
pelayaran tanpa tujuan, maksudku, daripada aku terombang-ambing dan mati di
tengah lautan, apa salahnya aku menambatkan diri ke suatu tempat dan
menikmatinya sejenak. Bersama orang-orang baik hati di sepanjang jalan, bersama
orang-orang hebat, bersama siapapun yang sementara menemani di kemudian. Sejenak
yang seberapa lama pun aku tak tahu, pun aku tak ingin menghitung.
Aku hanya terlalu lelah, mencari
tahu jalan terbaik bagaimana menghadapi realitas yang tampaknya tidak seperti
isi kepalaku.
Maka di saat seperti itulah aku
akan berlari menjauh.
Kemudian aku akan berpikir... Langit
begitu luas, mengerdilkan masalah-masalah yang tak seberapa. Langit adalah
kebohongan yang terlalu nyata. Langit tak pernah ada, tetapi ia terbentang
mahaluas. Langit hanyalah sebuah bahasa untuk kelapangan luar biasa di atas
sana, di mana keluhku adalah sebutir debu kosmik, tak seberapa, tak perlu
kupikirkan. Maka aku mencintai langit.
Semakin tinggi tempatku berdiri,
semakin dekat aku dengan langit.
Maka aku pun mencintai gunung.
Tak akan pernah ada yang mampu
menaklukan sebuah gunung. Ketika ia menapaki puncaknya, ia tak benar-benar
menaklukkannya, ia hanya menaklukkan dirinya sendiri saat mendaki. Gunung
tetaplah berdiri, meski kau berhasil berdiri di titik tertingginya, meski kau
kemudian turun lagi, entah selamat atau mati. Gunung tetap dengan dirinya,
memberikan kemegahan tiada banding, tiada lawan. Siapa berani mengusik? Gunung
tak mau peduli. Dia tetap berdiri.
Dengarkan kisahku tentang
penaklukan ini. Penaklukan biasa-biasa saja, tetapi aku mendapatkan hal-hal
luar biasa darinya. Penaklukan biasa-biasa saja, bersama orang-orang biasa,
namun perjalanannya begitu membekas. Penaklukan biasa-biasa saja oleh
sekumpulan mahasiswa, bosan belajar, bosan kuliah, lalu mengadu kepada alam.
Aku di antaranya.