January 14, 2013

Pintu Langit - 16




PRESENT
JANJI YANG SEMPURNA

Sejenak dia menengadah melihat langit yang begitu cerah. Hari ini, untuk pertama kalinya dia merasakan arti rasa cinta sesungguhnya. Begitu indah.
Siang itu begitu dingin padahal mendung tidak terlihat. Brian tak peduli. Satu hal yang harus diselesaikannya kini adalah tentang pertanyaannya sendiri, tentang perasaannya, dan apa yang harus diselesaikannya. Tak ada yang akan menjawabnya selain dirinya sendiri. Maka hari ini dia bertekad untuk . Tak akan pernah dia membuang kesempatan ini.
Dia telah duduk manis di belakang kemudi. Sejenak dia terdiam untuk mengambil napas, dalam. Keyakinan telah memenuhi ruang-ruang hatinya. Kini hanya ada satu tempat yang menjadi tujuannya yang pertama.
Rumah Luna.
*
Langkah gadis itu terbata menyusuri jalan kecil yang sepertinya menanjak namun tak berujung. Matanya tertutup sejak tadi, sejak Brian memintanya menutup mata sebelum turun dari mobil. Beberapa kali kakinya menyentuh bebatuan pertanda jalanan itu sangat kasar. Dia terus melangkah sambil menggenggam erat tangan Brian di bahunya.
“Udah sampai, Brian?”
“Belum.”
Tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Gue tutup mata lo pake saputangan, ya, Lun?”
Luna hanya diam. Dia mengangguk bisu.
Keduanya kembali melangkah meniti jalan yang semakin menanjak. Tak sampai lima menit, Luna dan Brian berhenti. Perlahan Brian membuka saputangan yang sejak tadi menghalangi pandangan Luna.
Luna ternganga. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali tempat ini? Pohon randu, rumput, ilalang, langit, dan awan telah membawanya berputar-putar di lorong waktu untuk kemudian kembali ke satu masa. Saat dia masih bersama Andro.
“Pernah ke tempat ini, kan?”
Luna masih membisu menatap sekeliling. Matahari telah tergelincir dan mulai merangkak turun, menyisakan jejak-jejak kekuningan di atas awan yang entah mengapa tampak begitu indah.
“Tempat ini disebut pintu langit, karena hanya di sini langit tampak lebih luas,” gumam Brian. “Gue dan Andro yang temuin tempat ini belasan tahun lalu. Andro yang kasih nama.”
Luha terhenyak.
“Kita pernah sama-sama mengubur satu benda yang kita sebut sebagai harta karun di sini. Kita berdua sama-sama berjanji bahwa suatu hari nanti benda itu akan kita berikan pada orang yang kita sayangi.”
“Lun...”
Belum sempat Luna berucap sepatah katapun tahu-tahu Brian telah berdiri menghadapnya. Tangan kanannya menarik tangan Luna, membukanya, dan meletakkan sebuah benda di sana.
“Bintang?”
Memang, sebuah benda berbentuk bintang berwarna kuning pucat kini ada di tangannya. Bintang itu seperti bercahaya karena lapisannya tampak berkilau tertimpa cahaya matahari.
Brian mengangguk.
“Harta karun milik Andro.”
“Oh...” ucapnya, sedikit terasa getir.
“Seharusnya dia punya kesempatan buat ngasih itu ke lo.”
“Kesempatan itu udah hilang dan dia belum sempat bicara.”
Brian tersenyum samar.
“Dan untuk itu, sebelum gue kehilangan kesempatan untuk bicara, izinin gue kasih ini ke lo.”
Brian mengulurkan sebuah bintang berukuran sama namun berwarna putih keperakan. Luna ternganga. Apa yang barusan Brian ucapkan?
“Bri...”
“Gue sayang sama lo.”
Keduanya saling tatap. Sinar matahari yang jatuh di wajah Brian membuat tatapannya itu tampak berbeda. Di ujung langit, awan berarak perlahan. Begitu menggetarkan sekaligus mendamaikan.
“Izinin gue jaga lo sepenuhnya, selamanya, Aluna.”
Angin sejuk berhembus dari padang rumput mengiringi anggukan lembut yang terbaca oleh Brian. Dia lalu menggenggam lembut tangan Luna yang menggantung di samping tubuhnya.
Luna menyandarkan kepalanya di bahu Brian sambil terus menatap langit yang menguning. Dan sepanjang ingatannya, senja tak pernah sedemikian hangat dan menenangkan.