January 06, 2013

Pintu Langit - 10




PRESENT
RASA ITU

Pagi ini Brian datang ke sekolah dengan muka yang masih menyisakan luka dan memar akibat aksi pengeroyokan kemarin. Koridor sudah sangat sepi ketika Brian datang. Tak ada satupun siswa yang terlihat. Sepertinya dia terlambat lagi. Meski begitu Brian tetap dengan santai berjalan ke arah kelasnya tanpa sedikitpun rasa khawatir akan kena omelan-omelan dari gurunya.
Badannya masih terasa nyeri, namun bagaimanapun dia harus tetap berangkat ke sekolah. Dia tak bisa membiarkan Raka mengganggu Luna lagi.
Dari luar jendela kelasnya dia bisa melihat Bu Rahayu berdiri di depan kelas, menerangkan materi-materi geografi dari buku yang kini ada di tangannya. Brian bergegas masuk.
“Permisi, Bu.”
Seluruh pasang mata di dalam kelas itu kini tertuju pada Brian. Mereka semua melemparkan pandangan yang menyiratkan keheranan. Mungkin karena melihat wajah Brian yang penuh lebam sana-sini.
“Brian?”
“Maaf, Bu, saya terlambat.”
Wanita paruh baya itu mengernyitkan dahi. Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Apa nggak ada kalimat lain selain ‘Maaf, Bu, saya terlambat’?”
Brian hanya mengangkat bahu. “Jadi, saya boleh duduk nggak nih, Bu?”
“Brian! Kamu tahu ini sudah jam berapa? Sudah berapa kali kamu terlambat di jam pelajaran saya?”
“Saya belum sempet ngitung, Bu!” jawab Brian santai sambil berlalu menuju tempat duduknya.

Sementara guru geografi bertubuh tinggi itu hanya bisa menghela napas. Dia harus meningkatkan kesabaran demi menghadapi anak-anak liar seperti Brian ini.
Wanita itu mendesah pelan.
“Ya sudah, semuanya, kerjakan soal di halaman 87!”
*
Luna tampak berlari-lari kecil di sepanjang koridor kelas 3 IPS. Matanya beredar mencari sosok Brian. Entah mengapa ada rasa khawatir yang menyelimutinya sejak semalam, sejak Brian pamit pulang dari rumahnya dalam keadaan yang dia tahu betul masih kesakitan.
“Apa jangan-jangan dia nggak berangkat, ya?” Gumam Luna ragu.
Gadis itu meneruskan pencariannya sampai ke kelas Brian. Namun niat itu diurungkannya saat melihat sosok pemuda itu tengah duduk sendirian di bawah pohon. Sudut bibirnya tiba-tiba terangkat, mengembangkan sebuah senyum.
Luna melangkah mendekat.
“Brian...”
Pemuda itu menoleh.
“Gimana keadaan lo?”
“Lo bisa lihat kan? Simpulin aja sendiri,” tegasnya, membuat Luna mencelos. Melihat raut wajah Luna yang berubah Brian buru-buru angkat bicara. “Kenapa? Nggak suka gue jawab kaya gitu?”
Luna bergeming.
“Hm... Ada apa lo pake acara ke sini?”
“Gue... Gue cuma mau nanya.”
“Soal apa?”
Luna kembali terdiam. Dia tampak menggigit-gigit bibirnya. Resah.
“Duduk!”
“Hah?”
“Duduk!” Ucap Brian sambil menepuk ruang kosong di sampingnya.
Luna mengangguk. Keadaannya tak berubah, masih tetap terdiam dalam duduknya.
“Lo itu sebenernya mau nanya apaan sih kok mikirnya lama banget?”
Perlahan Luna mengangkat wajahnya. “Gue cuma mau nanya soal... Kenapa lo bisa ada di basecamp Raka waktu itu?”
“Oh, soal itu,” Brian tampak berpikir. “Gue juga nggak tahu.”
“Hah?”
“Hahaha...”
“Kok lo ketawa sih?”
Brian menggeleng. “Lo kenapa nanyain soal itu?”
“Gue pengen tahu aja. Kan nggak lucu kalo lo bisa tiba-tiba ada di tempat sepi kaya gitu terus nolongin gue.”
“Nolongin lo?” Brian mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Luna. “Gue nggak nolongin lo kok, gue emang lagi ada urusan aja sama Raka. Makanya gue habisin dia waktu itu.”
Lagi-lagi Luna mencelos. Entah mengapa dia agak menyesal datang ke tempat itu, duduk di bangku itu, hanya untuk menemui orang abnormal seperti Brian dan menanyakan pertanyaan yang pada akhirnya dijawab dengan sangat menyebalkan seperti barusan.
“Eh, Luna, kok gue baru sadar ya kalo muka lo kaya ikan pesut.”
Luna serta merta menegakkan duduknya, berkacak pinggang dan melotot ke arah Brian. “Maksud lo apaan?”
“Hahaha. Sekarang malah mirip ikan gurameh.”
“BRIAAAAANN!!!”
Sebuah pukulan dari tangan Luna mendarat di bahu Brian. Brian yang merasa badannya semakin remuk balas memukul lengan Luna. Jadilah mereka berdua saling pukul, hingga bel tanda istirahat selesai berbunyi. Pertikaian mereka berakhir, dan mereka berpisah di ujung koridor dengan sebuah senyuman yang saling mereka lemparkan.
*
Sejak hari itu Brian dan Luna semakin terlihat dekat. Semakin hari mereka semakin sering terlihat berdua, kadang-kadang berempat diikuti Alya dan Rio. Pemandangan mereka berempat yang duduk bersama di satu meja di sudut kantin sudah tak terasa aneh lagi. Pun dengan melihat mereka mengunjungi perpustakaan dan belajar bersama meskipun mereka berbeda jurusan.
Setidaknya satu kali dalam seminggu mereka akan pergi hang-out bersama-sama, menjelajah tempat-tempat menarik di Bandung dan sekitarnya. Hubungan Brian dan Luna terjalin bukan hanya atas dasar hutang budi dan rasa terima kasih Luna kepada Brian, namun juga karena kesinambungan yang dimiliki keduanya saat berbincang. Menurut Luna, Brian cukup menyenangkanan tidak sedingin penampilannya.
Luna dan Alya melangkah keluar kelas setelah bel berbunyi. Siang ini mereka berdua memiliki janji dengan Brian dan Rio untuk berkunjung ke café milik orang tua Alya yang baru saja dibuka. Baru beberapa langkah dari pintu, ponsel Alya bergetar.
“Eh, Lun, kita tunggu di sini aja ya. Brian sama Rio lagi di ruang guru.”
Tampaknya barusan adalah pesan masuk dari Rio. Luna mengangguk setuju dan duduk di bangku panjang di depan ruang kelasnya. Demi mengusir rasa bosan, Luna memasang earphone di telinganya setelah menyambungkannya dengan ponsel miliknya. Selang beberapa detik deru musik mulai terdengar di telinganya, membuatnya tak menyadari seseorang tengah berjalan mendekat.
Raka melenggang bersama ketiga temannya. Kabar tentang Luna dan Brian tentu sudah sampai di telinganya. Suatu pukulan telak baginya melihat kedekatan Luna kini dengan Brian.
Alya lalu menepuk-nepuk tangan Luna, semakin cepat. Dengan kesal Luna melepas earphone-nya.
“Apaan sih Al?”
Tanpa Alya jawab Luna telah mengerti. Dia menangkap sosok Raka yang tengah berdiri di hadapannya.
“Mau apa lo?” Tanya Luna ketus sambil memandang ngeri sekaligus benci pada sosok pemuda jangkung berkulit putih itu.
“Kalo gue mau lo, lo mau ngasih?”
Raka tersenyum, picik. Sementara ketiga temannya tampak tertawa, entah atas apa. Tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Raka dia langsung mengamit lengan Alya.
“Kita pergi dari sini Al.”
Dengan sigap Raka menahan Luna dengan mencengkeram lengannya. Antara terkejut, takut, dan marah tubuh Luna mendadak tegang.
“Lepas!” Bentak Luna.
Raka hanya terkekeh sambil menatap mata Luna. Tatapan yang sama dengan tatapannya beberapa hari lalu, begitu liar. Susah payah Luna mencoba berontak, namun Raka tak sedikitpun mengendurkan cengkeraman tangannya.
“Tokai!” Sahut seseorang dari belakang.
Raka menoleh, mendapati Brian muncul bersama Rio, tatapan matanya yang begitu tajam langsung menghujaninya. Sementara Luna beringsut mundur dan menjauh saat cengkeraman Raka mengendur.
“Ngapain lo?”
“Brian!” Seru Raka sambil tersenyum sinis. “Seharusnya gue yang tanya, lo ngapain di sini? Mau sok-sokan jadi jagoan lagi di depan Luna?”
Brian melirik Luna. Wajahnya tampak menyisakan sedikit ketakutan. Dari situ Brian bisa simpulkan bahwa Raka masih berani ‘macam-macam’ terhadap gadis itu.
“Lo apain Luna?”
“Bukan urusan lo.”
“Semua urusan Luna itu urusan gue!”
“Oh ya? Emangnya lo siapanya Luna? Hah?”
Brian terdiam. Benar saja, dia memang bukan siapa-siapa Luna, lantas atas dasar apa dia bisa berjuang sedemikian keras melindungi Luna? Haruskah dia membeberkan alasannya yang sebenarnya di sini?
Nggak akan! Brian menarik napas dalam-dalam. Diraihnya tangan Luna yang gemetar karena ketakutan. Dia menggenggam erat tangan itu sebelum akhirnya menuntunnya pergi.
Sambil melangkah melewati sosok Raka, Brian berucap mantap. “Jangan sentuh Luna, karena dia milik gue.”
Raka membisu. Jelas bukan hanya Raka yang ternganga tak percaya, Luna pun tampak terkejut mendengarnya. Namun tetap diikutinya langkah Brian meninggalkan Raka dan teman-temannya. Rio dan Alya tampak menahan tawa lalu melemparkan tatapan mengejek pada Raka yang mematung.
Mereka berempat lalu melenggang ke arah parkiran. Luna adalah satu-satunya yang tidak tertawa maupun tersenyum. Desir halus itu muncul lagi. Dalam hati dia sangat berharap semoga langkahnya yang tersendat serta tangannya yang menegang tak teraba oleh Brian.
*
Alya menyambar gelas berisi cokelat panas di atas nampan yang baru saja dibawa masuk oleh Luna. Hampir saja nampan itu terjatuh karena gerakan Alya yang tiba-tiba itu.
“Al, main serobot aja sih?”
“Hehe...”
Sambil cengengesan menatap Luna, dia mulai meminum cokelat itu. Alya lalu melangkah santai ke meja belajar Luna, kembali tenggelam dalam kegiatan yang sejak tadi dikerjakannya.
“Udah kelar belum?”
“Apanya?”
“PR-nya lah...”
“Belom. Banyak banget ini Lun. Sampe pagi nyalin gini juga nggak bakal kelar.”
“Iyalah sampe pagi nggak bakal kelar. Kan lo nyalinnya sambil SMS-an.”
Alya lagi-lagi hanya cengengesan. Luna hanya bisa geleng-geleng kepala. Dilangkahkan kakinya menuju tempat tidur untuk berbaring.
“Huh...”
“Kenapa Lun?” Alya sempat melirik Luna yang sedang rebahan di tempat tidurnya untuk kemudian kembali ke PR-nya.
“Nggak apa-apa. Cuma heran aja.”
“Heran kenapa?”
“Kenapa Brian seolah-olah berusaha buat ngelindungin gue, ya? Lihat aja deh Al, masa dia rela mukulin Raka demi nolongin gue waktu itu. Brian malah sampe babak belur, memar-memar di sekujur tubuh gara-gara dikeroyok Raka sama temen-temennya yang balas dendam atas hal itu. Dan lo lihat sendiri kan, Brian tadi siang sampe ngaku ke Raka kalo gue pacarnya cuma buat bikin Raka jauh-jauh dari gue? Brian bilang kalo dia memang mau ngelindungin gue dari Raka. Tapi kok gue ngerasa aneh aja ya, Al. Gue kan baru kenal sama Brian. Tapi Brian kok kayanya seolah-olah berprinsip bahwa ngelindungin gue adalah suatu keharusan buat dia. Atau jangan-jangan Brian...”
“Luna,” Alya memotong omongan Luna yang sudah panjang lebar.
“Apaan, Al?”
“Lo jatuh cinta ya sama Brian?”
*

(bersambung)