PRESENT
DEMI SEBUAH
JANJI
Di salah satu sudut kantin ini Brian memilih untuk duduk
sendiri, menikmati sebotol soft drink
di sebuah meja dalam diam. Matanya menyapu seluruh arah mencari sosok perempuan
yang sejak kemarin belum beranjak dari pikirannya. Namun dia sama sekali tak
menemukan tanda-tanda keberadaan Luna.
Pandangannya kini tertuju pada satu meja di dekatnya. Di
tempat itu duduk empat orang siswa. Brian tahu betul siapa mereka. Raka, Davin,
Andre, dan Fian. Sudah sejak lama Brian memiliki konflik dengan mereka, sejak
satu tahun lalu. Sejak dia memutuskan untuk merahasiakan satu peristiwa yang
terjadi saat itu, dari siapapun hingga sekarang.
Kini matanya hanya tertuju pada Raka, pemuda yang
kemarin siang sempat dilihatnya ada bersama Luna. Dendam yang sama masih
berdiam dalam dadanya setiap kali menatap Raka. Entah sampai kapan.
Brian menajamkan pendengarannya. Pembicaraan mereka
sepertinya menarik untuk dia dengarkan.
“Gue nggak bisa berhenti ketawa waktu liat ekspresi muka
lo di hadapan Luna kemarin siang. Nggak nahan, bro!” Salah seorang dari mereka
bicara sambil bersusah payah menahan tawa yang akhirnya keluar juga. “Hahaha. Guys, Raka jatuh cinta sama putri es.”
“Luna! Anak IPA 2.”
“Luna yang bertanduk itu?
Hahahaha.” Timpal Davin.
“Heh! Nggak usah ngarang deh kalian semua. Siapa juga
yang jatuh cinta sama cewek iblis kaya gitu?” Ujar Raka.
“Alah nggak usah ngelak!”
“Tutup mulut lo! Mana mungkin gue bisa segampang itu
jatuh cinta?” Raka keukeuh dengan pernyataannya. Gengsi juga kalau mengakui
bahwa dia benar-benar jatuh cinta.
Raka memang cukup terkenal dengan cap playboy di sekolah. Selain karena
tubuhnya yang atletis dan wajahnya yang lumayan tampan, Raka juga memiliki
materi berlimpah untuk memikat perempuan.
“Lagian, asal lo semua tahu, cewek macam dia itu terlalu
gampang buat gue taklukin!” Dengan angkuhnya Raka berceloteh.
Di meja lain Brian masih mematung, menekuni kata-kata
sampah yang tengah dia dengarkan. Bagi Brian, kini, segala hal yang menyangkut
gadis itu akan menjadi urusannya juga.
Raka menenggak habis minumannya. “Kasih gue waktu satu
atau dua minggu. Gue bakal dapet apa yang gue mau.”
Teman-temannya terbelalak. “Serius lo?”
“Jangan yakin gitu! Lo belum tahu aja kalau Luna itu
beda sama cewek-cewek lain yang bisa dengan gampangnya lo dapetin. Liat aja
kelakuannya yang selalu dingin sama cowok!” Seseorang bernama Davin mencoba
mengusik keyakinan Raka.
“Bener! Mendingan jangan deh. Daripada lo sakit hati,
terus bunuh diri.” Ucap Andre sambil mengangkat sebelah alisnya lalu tertawa
terbahak-bahak bersama kedua temannya.
“Playboy sakit hati? Ngelawak lo, Ndre!” Ujar Fian
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, diikuti gelak tawa Davin dan Andre yang
semakin membahana.
“Gue serius, guys!”
“Eh tapi bener juga. Raka kan udah lama nggak dapet
mainan.”
Deg! Mainan? Brian mengepalkan tangannya, entah mengapa dia ingin
menghajar empat pemuda yang duduk tak jauh darinya itu. Mulutnya benar-benar
terkunci sekarang. Brian, sebisa mungkin dia menahan gejolak hatinya mendengar
percakapan liar itu.
Andre tersenyum mengejek, sebelah alisnya terangkat.
“Jadi lo beneran mau ngejar calon mainan lo itu, Ka?”
“Kalau gue udah bilang sesuatu, artinya gue bakal
buktiin ucapan gue itu,” ucap Raka sambil menatap Andre tajam.
“Oke, oke kalo gitu... Tapi gue berani taruhan lo nggak
bakalan bisa naklukin Luna.” Ucap Davin tiba-tiba. Tatapan tajam tiga pasang
mata di meja itu seketika menghujaninya. Dia hanya terkekeh. “Siapa yang mau
taruhan?”
“Gue!” Celetuk Andre. “Gue setuju sama Davin. Gue rasa
Luna nggak bisa segampang itu lo dapetin.”
“Sialan lo semua!” Raka mendengus kesal. “Lo gimana
Fian? Mau ikut taruhan juga? Mau ngeraguin kemampuan gue juga?”
“Em... Sebagai teman yang baik gue dukung lo kok!”
“Sip! Kita taruhan mulai hari ini, dan pihak yang kalah
harus terima resiko nurutin semua permintaan pihak yang menang,” ujar Davin.
Raka hanya terdiam, nampak berpikir.
Wajahnya yang dihiasi senyum itu menyiratkan bahwa dia
begitu optimis. Selama ini memang belum ada perempuan yang bisa menolak
pesonanya. Namun entahlah, untuk Luna mungkin dia memang harus berusaha lebih
keras.
“Oke! Kita liat aja nanti.”
Raka membuang pandangan, menatap jauh entah ke mana.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum. Licik.
Sementara di sudut lain, Brian masih berusaha tenang
menahan gemuruh di dalam dadanya yang memanas, sebelum akhirnya dia beranjak
pergi.
*
Cukup lama dia memandangi sebuah pigura yang terpasang
di dinding kamarnya itu. Pigura kayu itu membingkai sebuah potret dari masa
lalu. Dua orang bocah laki-laki yang saling merangkul. Salah satu dari kedua
bocah itu adalah dirinya. Sementara sosok yang lain adalah seorang bocah
laki-laki yang dia rasa begitu memiliki arti. Setidaknya dulu, sebelum dia
pergi meninggalkan sebuah pesan yang hingga kini mesti dia jaga.
“Sesuai janji gue sama lo,” pemuda itu berucap pelan.
Sudut bibirnya terangkat, menimbulkan sebuah senyuman. “Sebisa mungkin gue akan
jagain dia.”
*
(bersambung)