PAST
BRIAN
Seorang wanita paruh baya menatap tajam
ketiga anak di hadapannya. Mereka tertunduk pasrah dengan beberapa lebam di
wajah. Salah seorang dari mereka terlihat menyeka darah yang mengalir dari
sudut bibirnya. Atmosfer ruang guru itu terasa sangat menegangkan. Hingga suara
ketukan dari arah pintu membuat semua yang ada di dalam ruangan menoleh.
Seorang lelaki berjas hitam berdiri di ambang pintu.
Lelaki itu masuk. Wanita paruh baya
mempersilahkannya duduk di sebelah murid-muridnya yang berandal. Tampak dua
dari tiga siswa berseragam putih-merah itu semakin tertunduk.
“Maaf, ada perihal apa saya dipanggil
kemari?” tanya lelaki itu sopan.
Wanita itu, kepala sekolah, menggeser
tempat duduknya. “Bapak Gandhi Aditama yang terhormat, putra anda, Brian,
terlibat perkelahian dengan salah satu temannya yang bernama Ozy.”
“Berkelahi?” Laki-laki bernama Gandhi
itu melempar pandangan pada kedua putranya. Mereka tertunduk dalam. “Brian?”
Nada tak percaya dan kecewa terdengar jelas.
“Ozy duluan yang mulai, Pa!” Bela Brian
dalam tunduknya.
“Apaan? Orang elu duluan kok!” sanggah
Ozy.
“Halah siapa suruh lo bales mukul gue?”
“Eh itu juga gara-gara lo.” Ozy mulai meraih
kerah kemeja Brian, hendak memukulnya. Brian sendiri tak mau tinggal diam.
Andro yang sejak tadi duduk diantara mereka berdua mencoba melerai.
“Heh! Jangan berantem lagi dong!”
“Hey, diam kalian!” Ibu Kepala Sekolah
menggebrak meja. Seketika mereka kembali duduk, kembali tertunduk. “Baiklah,
karena ini sudah yang ketiga kalinya kalian berkelahi, jadi...”
“Apa? Tiga kali?” potong lelaki bernama
Gandhi. Di wajahnya tersirat sebuah keterkejutan yang amat sangat.
“Ya, dalam minggu pertama mereka di
sekolah ini.”
Laki-laki itu menatap satu per satu
dari mereka, tak percaya.
“Jadi Brian dan Ozy saya beri skorsing
selama tiga hari. Tapi sebelumnya, Ibu minta sekarang kalian bermaafan!”
perintah Ibu Kepala Sekolah. Mereka saling diam. “Eh... Ayo bermaafan!”
Lelaki yang masih menampakkan raut
kecewa di wajahnya itu menyenggol lengan Brian. Seketika Brian menulurkan
tangan kanannya pada Ozy. Sementara itu Ozy membuang muka, merasa tak sudi
bersalaman dengan Brian yang telah membuatnya babak belur.
Andro menghela napas sambil mengulurkan
tangan kanannya menyambut tangan Brian lalu mengguncang-guncangnya pelan.
“Andromeda, Ibu minta Ozy dan Brian
yang bersalaman. Bukan kamu!” bentak Ibu Kepala Sekolah.
Andro melepaskan tangannya, memberi
kesempatann kepada Ozy untuk menyalami Brian. Ozy hanya membalas uluran tangan
itu dengan sebuah tamparan di telapak tangan Brian.
“Salamannya yang bener!” bentak wanita
berkacamata itu, lagi. Ozy buru-buru menyambut tangan Brian. Tangan mereka
bertaut kurang dari satu detik. “Baiklah, Brian boleh pulang. Andro, silahkan
kembali ke kelas. Ozy, kamu tunggu orang tuamu kemari.”
Setelah memohon maaf kepada kepala
sekolah, laki-laki pemilik nama Gandhi itu menyeret putra bungsunya dengan
kasar keluar ruangan. Tak dipedulikannya Brian yang merintih kesakitan.
Sesampainya di mobil, tak ada sepatah
kata pun keluar dari mulut keduanya. Pun di sepanjang perjalanan menuju rumah.
Sang ayah fokus menyetir, sementara putranya memandang kosong jalanan melalui
kaca jendela.
“Papa kecewa sama kamu, Brian,” hardik
sang ayah sesampainya mereka di rumah. Brian tidak menggubrisnya sama sekali.
Dia langsung berlari menuju kamarnya. “Heh, mau kemana kamu?” panggil papanya.
Brian berhenti. Tanpa menoleh, dia
duduk di kursi ruang tamu.
“Mau jadi apa kamu dengan berkelahi
begitu? Petinju? Baru kelas tiga SD sudah sok-sokan jadi petinju.”
Brian tetap diam, menunduk.
“Papa nggak suka kamu berkelahi kaya
gitu. Papa nggak pernah ngajarin kamu buat mukulin orang kan?”
Brian masih mematung. Dia pun tak
berani menatap papanya.
“Jawab, Brian! Apa pernah Papa ngajarin
kamu buat mukul orang?”
Brian menggeleng, lalu bangkit dari
tempatnya duduk. Dia memberanikan diri untuk menatap mata papanya. “Papa nggak
pernah ngajarin Brian mukul orang. Karena Papa emang nggak pernah ngajarin
Brian apa-apa!”
“Brian, apa maksud kamu bicara kaya
gitu sama Papa?” Bentak Papanya tiba-tiba.
“Pa, hari ini Brian seneng. Karena
dengan babak belur kaya gini, seenggaknya Papa jadi punya waktu barang sedikit
buat Brian!”
Brian berucap pelan, lirih dan hampir
tak terdengar. Sementara papanya mendadak berubah senyap.
“Brian sayang sama Papa.”
Sambil menyeka air matanya dengan kasar
Brian berlari menuju kamarnya, meninggalkan papanya yang diam di tempat dan
semakin terpaku.
*
Di kamar itu ada dua orang bocah laki-laki yang masih
berseragam sekolah. Salah satunya bahkan masih mengenakan sepatu. Wajahnya
dipenuhi lebam, ada bercak merah yang tak lain adalah darah yang telah
mengering di sudut bibirnya. Matanya sembab. Anak itu baru saja berhenti menangis.
Sang kakak menatap adiknya tanpa ekspresi. Tangannya
memegang sebuah handuk kecil yang barusan direndamnya ke dalam air es.
Perlahan-lahan ditempelkannya handuk yang basah itu di wajah adiknya.
Sang adik meringis kesakitan.
“Pelan-pelan, Kak!”
“Sakit ya?” Sesal sang kakak. “Maafin kak Andro, ya?”
Sang adik mengangguk pelan.
“Brian kangen Mama, Kak.”
Andro tercenung. Brian merindukan mamanya, sama seperti
dirinya.
“Kakak juga, Brian.”
Betapa tidak. Dulu, saat mereka pulang dengan luka kecil
di lutut akibat terjatuh saat berlari, mamanya adalah sosok tercepat yang
datang untuk mengobati. Namun kini tak
ada siapapun di rumah besar itu kecuali Andro. Brian harus belajar menerimanya
karena papanya pun tak ada.
“Kita ke pintu langit, yuk, Kak! Kita ketemu Mama,” ajak
Brian dengan sangat antusias.
Andro menggeleng. “Lembang itu jauh dari sini.”
“Kita naik sepeda!”
“Nggak bakal sampe, Brian.” Andro tampak meletakkan
handuk yang sejak tadi digenggamnya. “Jarak Bandung – Lembang itu belasan
kilometer. Kalau pake mobil butuh waktu satu atau dua jam. Kalau naik sepeda
mungkin bisa seharian.”
Brian menundukkan kepalanya, tampak sedikit gurat
kekecewaan di wajahnya. Andro menghela napas. Tiba-tiba sebuah ide melintas di
pikirannya.
“Kita ajak Mang Arief aja besok!”
“Mang Arief?”
“Iya.”
“Kapan?”
“Besok pagi. Papa selalu berangkat ke kantor pagi-pagi,
sebelum kita bangun malah. Jadi, besok kita bilang ke Mang Arief kalau kita mau
main ke Lembang nengokin Mama. Gimana?”
Andro tersenyum. Sementara Brian tampak memiringkan kepalanya
dan menatap Andro heran. “Bukannya kakak sekolah, ya?”
“Kakak bolos, buat nemenin kamu.”
Sebuah senyum terkembang di bibir Brian. Sementara Andro
berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Kalau papanya sampai tahu
diam-diam dia memutuskan untuk bolos sekolah demi menemani Brian pergi ke
Lembang, dia bisa dipukul habis-habisan. Andro gelisah, dia menarik napas
dalam-dalam.
Tak apa, semua demi Brian.
*
Andro menepati janjinya. Pagi itu sekitar pukul delapan,
bocah laki-laki itu berkemas di dalam kamar. Tak banyak yang dibawanya, hanya
sepotong pakaian dan beberapa makanan. Brian nampak tak sabar. Mereka berdua
tahu betul bahwa sang ayah telah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali.
Mereka menempuh sekitar satu jam perjalanan dari kota
Bandung menuju Lembang. Setelah melalui jalanan yang berkelok dan menanjak
mereka sampai di rumah lama mereka. Rumah itu masih tampak sama seperti dulu,
tak ada yang berubah dan masih terawat karena ayah mereka memang mengutus
seseorang untuk menjaganya.
“Mang Arief tunggu di rumah aja, ya? Kita mau main.”
Tanpa pikir panjang, setelah turun dari mobil, Andro dan
Brian berlari menuju jalan setapak di sebelah selatan rumah mereka. Mereka
berdua masih ingat betul jalan menuju pintu langit. Di ujung jalan setapak
mereka akan menemui jalan raya. Mereka harus memilih jalan yang menuju arah
barat sehingga nantinya mereka akan menemui jalan-jalan tikus untuk menuju
padang ilalang. Dan mereka juga tahu persis bahwa bukit yang mereka sebut pintu
langit ada di balik rimbun ilalang itu.
Namun Brian terkejut ketika Andro berbelok ke arah timur
saat menemui jalan raya.
“Kak Andro salah jalan!” Seru Brian saat mendapati
kakaknya berlari ke arah yang salah. Brian menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Harusnya ke sana!”
“Brian, kita ke makam Mama dulu.”
Andro tersenyum. Lalu dalam deru napasnya, tangan
kanannya meraih pergelangan tangan Brian. Mereka lalu melangkah bersama dalam
diam.
*