January 06, 2013

Pintu Langit - 6




PAST
BRIAN

Seorang wanita paruh baya menatap tajam ketiga anak di hadapannya. Mereka tertunduk pasrah dengan beberapa lebam di wajah. Salah seorang dari mereka terlihat menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Atmosfer ruang guru itu terasa sangat menegangkan. Hingga suara ketukan dari arah pintu membuat semua yang ada di dalam ruangan menoleh. Seorang lelaki berjas hitam berdiri di ambang pintu.
Lelaki itu masuk. Wanita paruh baya mempersilahkannya duduk di sebelah murid-muridnya yang berandal. Tampak dua dari tiga siswa berseragam putih-merah itu semakin tertunduk.
“Maaf, ada perihal apa saya dipanggil kemari?” tanya lelaki itu sopan.
Wanita itu, kepala sekolah, menggeser tempat duduknya. “Bapak Gandhi Aditama yang terhormat, putra anda, Brian, terlibat perkelahian dengan salah satu temannya yang bernama Ozy.”
“Berkelahi?” Laki-laki bernama Gandhi itu melempar pandangan pada kedua putranya. Mereka tertunduk dalam. “Brian?” Nada tak percaya dan kecewa terdengar jelas.
“Ozy duluan yang mulai, Pa!” Bela Brian dalam tunduknya.
“Apaan? Orang elu duluan kok!” sanggah Ozy.
“Halah siapa suruh lo bales mukul gue?”
“Eh itu juga gara-gara lo.” Ozy mulai meraih kerah kemeja Brian, hendak memukulnya. Brian sendiri tak mau tinggal diam. Andro yang sejak tadi duduk diantara mereka berdua mencoba melerai.
“Heh! Jangan berantem lagi dong!”
“Hey, diam kalian!” Ibu Kepala Sekolah menggebrak meja. Seketika mereka kembali duduk, kembali tertunduk. “Baiklah, karena ini sudah yang ketiga kalinya kalian berkelahi, jadi...”
“Apa? Tiga kali?” potong lelaki bernama Gandhi. Di wajahnya tersirat sebuah keterkejutan yang amat sangat.

“Ya, dalam minggu pertama mereka di sekolah ini.”
Laki-laki itu menatap satu per satu dari mereka, tak percaya.
“Jadi Brian dan Ozy saya beri skorsing selama tiga hari. Tapi sebelumnya, Ibu minta sekarang kalian bermaafan!” perintah Ibu Kepala Sekolah. Mereka saling diam. “Eh... Ayo bermaafan!”
Lelaki yang masih menampakkan raut kecewa di wajahnya itu menyenggol lengan Brian. Seketika Brian menulurkan tangan kanannya pada Ozy. Sementara itu Ozy membuang muka, merasa tak sudi bersalaman dengan Brian yang telah membuatnya babak belur.
Andro menghela napas sambil mengulurkan tangan kanannya menyambut tangan Brian lalu mengguncang-guncangnya pelan.
“Andromeda, Ibu minta Ozy dan Brian yang bersalaman. Bukan kamu!” bentak Ibu Kepala Sekolah.
Andro melepaskan tangannya, memberi kesempatann kepada Ozy untuk menyalami Brian. Ozy hanya membalas uluran tangan itu dengan sebuah tamparan di telapak tangan Brian.
“Salamannya yang bener!” bentak wanita berkacamata itu, lagi. Ozy buru-buru menyambut tangan Brian. Tangan mereka bertaut kurang dari satu detik. “Baiklah, Brian boleh pulang. Andro, silahkan kembali ke kelas. Ozy, kamu tunggu orang tuamu kemari.”
Setelah memohon maaf kepada kepala sekolah, laki-laki pemilik nama Gandhi itu menyeret putra bungsunya dengan kasar keluar ruangan. Tak dipedulikannya Brian yang merintih kesakitan.
Sesampainya di mobil, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya. Pun di sepanjang perjalanan menuju rumah. Sang ayah fokus menyetir, sementara putranya memandang kosong jalanan melalui kaca jendela.
“Papa kecewa sama kamu, Brian,” hardik sang ayah sesampainya mereka di rumah. Brian tidak menggubrisnya sama sekali. Dia langsung berlari menuju kamarnya. “Heh, mau kemana kamu?” panggil papanya.
Brian berhenti. Tanpa menoleh, dia duduk di kursi ruang tamu.
“Mau jadi apa kamu dengan berkelahi begitu? Petinju? Baru kelas tiga SD sudah sok-sokan jadi petinju.”
Brian tetap diam, menunduk.
“Papa nggak suka kamu berkelahi kaya gitu. Papa nggak pernah ngajarin kamu buat mukulin orang kan?”
Brian masih mematung. Dia pun tak berani menatap papanya.
“Jawab, Brian! Apa pernah Papa ngajarin kamu buat mukul orang?”
Brian menggeleng, lalu bangkit dari tempatnya duduk. Dia memberanikan diri untuk menatap mata papanya. “Papa nggak pernah ngajarin Brian mukul orang. Karena Papa emang nggak pernah ngajarin Brian apa-apa!”
“Brian, apa maksud kamu bicara kaya gitu sama Papa?” Bentak Papanya tiba-tiba.
“Pa, hari ini Brian seneng. Karena dengan babak belur kaya gini, seenggaknya Papa jadi punya waktu barang sedikit buat Brian!”
Brian berucap pelan, lirih dan hampir tak terdengar. Sementara papanya mendadak berubah senyap.
“Brian sayang sama Papa.”
Sambil menyeka air matanya dengan kasar Brian berlari menuju kamarnya, meninggalkan papanya yang diam di tempat dan semakin terpaku.
*
Di kamar itu ada dua orang bocah laki-laki yang masih berseragam sekolah. Salah satunya bahkan masih mengenakan sepatu. Wajahnya dipenuhi lebam, ada bercak merah yang tak lain adalah darah yang telah mengering di sudut bibirnya. Matanya sembab. Anak itu baru saja berhenti menangis.
Sang kakak menatap adiknya tanpa ekspresi. Tangannya memegang sebuah handuk kecil yang barusan direndamnya ke dalam air es. Perlahan-lahan ditempelkannya handuk yang basah itu di wajah adiknya.
Sang adik meringis kesakitan.
“Pelan-pelan, Kak!”
“Sakit ya?” Sesal sang kakak. “Maafin kak Andro, ya?”
Sang adik mengangguk pelan.
“Brian kangen Mama, Kak.”
Andro tercenung. Brian merindukan mamanya, sama seperti dirinya.
“Kakak juga, Brian.”
Betapa tidak. Dulu, saat mereka pulang dengan luka kecil di lutut akibat terjatuh saat berlari, mamanya adalah sosok tercepat yang datang untuk mengobati.  Namun kini tak ada siapapun di rumah besar itu kecuali Andro. Brian harus belajar menerimanya karena papanya pun tak ada.
“Kita ke pintu langit, yuk, Kak! Kita ketemu Mama,” ajak Brian dengan sangat antusias.
Andro menggeleng. “Lembang itu jauh dari sini.”
“Kita naik sepeda!”
“Nggak bakal sampe, Brian.” Andro tampak meletakkan handuk yang sejak tadi digenggamnya. “Jarak Bandung – Lembang itu belasan kilometer. Kalau pake mobil butuh waktu satu atau dua jam. Kalau naik sepeda mungkin bisa seharian.”
Brian menundukkan kepalanya, tampak sedikit gurat kekecewaan di wajahnya. Andro menghela napas. Tiba-tiba sebuah ide melintas di pikirannya.
“Kita ajak Mang Arief aja besok!”
“Mang Arief?”
“Iya.”
“Kapan?”
“Besok pagi. Papa selalu berangkat ke kantor pagi-pagi, sebelum kita bangun malah. Jadi, besok kita bilang ke Mang Arief kalau kita mau main ke Lembang nengokin Mama. Gimana?”
Andro tersenyum. Sementara Brian tampak memiringkan kepalanya dan menatap Andro heran. “Bukannya kakak sekolah, ya?”
“Kakak bolos, buat nemenin kamu.”
Sebuah senyum terkembang di bibir Brian. Sementara Andro berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Kalau papanya sampai tahu diam-diam dia memutuskan untuk bolos sekolah demi menemani Brian pergi ke Lembang, dia bisa dipukul habis-habisan. Andro gelisah, dia menarik napas dalam-dalam.
Tak apa, semua demi Brian.
*
Andro menepati janjinya. Pagi itu sekitar pukul delapan, bocah laki-laki itu berkemas di dalam kamar. Tak banyak yang dibawanya, hanya sepotong pakaian dan beberapa makanan. Brian nampak tak sabar. Mereka berdua tahu betul bahwa sang ayah telah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali.
Mereka menempuh sekitar satu jam perjalanan dari kota Bandung menuju Lembang. Setelah melalui jalanan yang berkelok dan menanjak mereka sampai di rumah lama mereka. Rumah itu masih tampak sama seperti dulu, tak ada yang berubah dan masih terawat karena ayah mereka memang mengutus seseorang untuk menjaganya.
“Mang Arief tunggu di rumah aja, ya? Kita mau main.”
Tanpa pikir panjang, setelah turun dari mobil, Andro dan Brian berlari menuju jalan setapak di sebelah selatan rumah mereka. Mereka berdua masih ingat betul jalan menuju pintu langit. Di ujung jalan setapak mereka akan menemui jalan raya. Mereka harus memilih jalan yang menuju arah barat sehingga nantinya mereka akan menemui jalan-jalan tikus untuk menuju padang ilalang. Dan mereka juga tahu persis bahwa bukit yang mereka sebut pintu langit ada di balik rimbun ilalang itu.
Namun Brian terkejut ketika Andro berbelok ke arah timur saat menemui jalan raya.
“Kak Andro salah jalan!” Seru Brian saat mendapati kakaknya berlari ke arah yang salah. Brian menunjuk ke arah yang berlawanan. “Harusnya ke sana!”
“Brian, kita ke makam Mama dulu.”
Andro tersenyum. Lalu dalam deru napasnya, tangan kanannya meraih pergelangan tangan Brian. Mereka lalu melangkah bersama dalam diam.
*