\
PRESENT
BINTANG ITU
MEMILIKI NAMA
Brian, Luna, Rio, dan Alya melangkah keluar dari gedung
bioskop dengan tawa yang masih terdengar renyah. Alya terlihat susah payah
menahan tawanya agar tidak meledak. Sementara itu Rio yang kini berjalan di
sampingnya tampak terkekeh di sela-sela komentarnya tentang film bergenre
komedi itu. Sementara Brian dan Luna hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala
melihat tingkah dua orang itu. Malam itu mereka memang pergi bersama untuk
menonton film di bioskop. Akhir-akhir ini mereka berempat memang terlihat
semakin dekat dan akrab.
“Alya, jangan keterusan gitu dong ketawanya!” Luna
tampak mulai risih dengan tawa Alya yang masih meletup-letup. “Kasian Rio nanti
disangka boncengin orang gila.”
“Terusin aja ketawanya. Kalian klop kok, orang-orang
nggak bakal protes liat orang gila boncengin orang gila,” Brian menyahut dari
belakang dan sukses mendapat satu pukulan di bahunya dari Rio.
“Sialan lo!” Rio menggerutu diiringi gelak tawa
teman-temannya. “Eh, tapi tunggu deh. Kita jalan berempat gini nanti bisa-bisa
disangka double date lagi!”
“Amiiin!” Celetuk Brian sambil mengangkat kedua
tangannya.
Lalu gelak tawa kembali terdengar dari mereka, kecuali
Luna. Gadis itu tampak diam-diam melirik Brian, entah untuk mencari apa. Dan
saat melihat Brian berhenti berjalan buru-buru dia membuang pandangannya
sebelum Brian menyadari bahwa dia memperhatikannya.
Luna yang agak terkejut itu hanya bisa mengangguk gugup.
“Ehm... Rio, Alya, kalian masih mau gila berdua kan? Gue
sama Luna pulang duluan ya?”
Brian memandang Alya dan Rio bergantian. Mereka
mengangguk serempak sambil mengacungkan ibu jarinya. “Sip!”
“Yuk, Lun!” Brian berujar ringan pada Luna sambil
beranjak dengan menggandeng tangannya.
Luna tersentak namun diikutinya langkah Brian menuju
lapangan parkir. Ada perubahan dalam diri Luna. Langkahnya yang tersendat dan
jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang tampak disembunyikannya dari Brian.
*
Sebuah motor terlihat memasuki halaman rumah besar
berdinding putih di ujung jalan. Brian menghentikan laju motornya itu tepat di
depan pintu rumah Luna. Dia mematikan mesin, lalu Luna tampak turun dan
melangkah masuk.
Seorang wanita tampak membuka pintu. Mama Luna.
Rambutnya yang ikal dipotong sebahu dan dia mengenakan terusan berwarna merah
maroon. Tampak masih muda dan cantik.
“Eh, Nak Brian?”
“Malem, Tante,” sapa Brian ramah. Wanita itu tampak
tersenyum. “Saya mau mengembalikan putri Tante yang bernama Luna dengan keadaan
selamat. Utuh seperti sedia kala.”
“Idih lebay,” celetuk Luna.
Wanita itu terkekeh pelan. “Kalo gitu sini, masuk dulu!”
“Ehm... Nggak usah, Tante.”
“Ssst... Ayo sini masuk!”
“Beneran, Tante. Nggak usah, mau langsung pulang aja.”
“Nggak boleh gitu, dong. Dari kemaren Nak Brian kan suka
nganter-jemput Luna, tapi belum pernah masuk sama sekali. Ayo sini masuk, minum
teh dulu.”
Brian tampak berpikir. Dia melirik Luna yang berdiri di
belakang mamanya. Luna hanya tersenyum dan mengangkat bahu. “Masuk aja, Brian.”
“Tuh, Luna nyuruh kamu masuk. Ayo.”
Wanita itu melangkah ke dalam rumah. Brian menatap Luna
lagi dan dia hanya mendapati tawa gadis itu. “Udah nggak usah malu-malu. Yuk!”
Maka mau tak mau Brian beranjak masuk mengikuti langkah
Luna. Gadis itu mengajak Brian naik ke lantai teratas rumah mereka. Begitu
pintu di anak tangga terakhir terbuka, Brian hanya mendapati sebuah tempat
terbuka. Balkon luas tanpa atap.
Brian menatap sekeliling.
“Duduk, Brian!” Luna menunjuk sebuah bangku kayu panjang
yang sengaja ditempatkan di tempat itu olehnya beberapa bulan lalu. “Aku sering
ngabisin waktu di sini loh.”
“Ngapain?”
“Ngelamun.”
Luna terkekeh.
“Ngelamunin apa?”
“Cinta...”
Brian lantas menoleh. Lagi-lagi Luna hanya tersenyum.
Tak lama setelahnya terlihat seorang wanita mendekati mereka dengan sebuah
nampan di tangannya.
“Brian, ini tehnya. Diminum ya?”
“Makasih, Tante.”
Wanita itu bergegas pergi meninggalkan Brian dan Luna,
berdua. Kembali dalam keheningan, mereka duduk diam. Brian perlahan menyeruput
tehnya, begitu pula Luna. Hangat dari cangkir keramik itu mengalir, membuat
setiap detiknya bergulir sejuk dan khidmat.
Sudut mata Luna menangkap bayangan Brian. Banyak sekali
hal yang ingin dia katakan dan tanyakan pada pemuda yang baru dikenalnya
beberapa minggu itu. Bahwa Brian telah banyak melindunginya. Namun Luna sendiri
pun tak tahu harus memulai dari mana.
“Brian, tadi siang gue ketemu Raka,” tiba-tiba Luna
memecah keheningan. “Waktu jalan ke ruang redaksi gue lihat dia dan dia
nyamperin gue...”
Brian mengangkat kepalanya, membalas tatapan Luna. “Dia
nggak gangguin lo lagi, kan?”
Luna menggeleng. “Dia malah bilang kalo dia nggak akan ganggu
gue lagi karena gue udah punya pacar,” ujarnya geli sekaligus gugup.
“Gue?” Brian menunjuk dirinya sendiri.
Luna mengangguk mantap. “Gue nggak habis pikir. Kenapa
dia langsung percaya kalo kita pacaran?”
“Iya. Padahal seharusnya dia sadar bahwa lo nggak doyan
cowok.”
“Briaaan!”
Brian tertawa lepas. Satu pukulan Luna berhasil mendarat
di bahu kirinya.
“Kalo bukan karena itu, alasan apa lagi coba yang
mendasari sikap antipati lo sama cowok?”
Dia meletakkan cangkirnya. Pandangannya beralih ke arah
Luna. Brian sontak berhenti tertawa saat didapatinya Luna berubah raut
wajahnya. Gadis itu menerawang jauh ke depan.
“Gue... Gue juga nggak tahu,” ucap Luna lirih, dia
berusaha tersenyum.
Brian tahu ada yang tak beres dengan gadis di
hadapannya. Ada kegundahan yang berusaha dia sembunyikan. Entah tentang apa,
tentang siapa. Brian hanya tahu bahwa dia tak seperti biasanya.
Dia menatap Luna. Dalam.
Merasa diamati, Luna mengangkat wajahnya. “Brian, lo
ngapain ngeliatin gue kaya gitu sih?”
Gadis itu salah tingkah, dan berusaha membuang muka.
Namun Brian terus menghujani Luna dengan tatapan-tatapan yang meminta
penjelasan, sehingga mau tak mau pandangan mereka akhirnya bertemu. Dalam malam
yang remang, mereka hanyut dan saling memandang.
Ada hangat yang mengaliri pipi Luna. Dia tak mau
terjebak dalam situasi seperti ini. Dia juga tak mau Brian mengetahui wajahnya
telah berubah rona.
“Ehm, Brian... Lihat deh bintangnya udah keluar,” ucap
Luna gugup sambil menunjuk kilau keperakan di langit. Wajahnya berusaha tampak
antusias.
Brian mengikuti telunjuk Luna, matanya menatap langit
yang Luna tatap. Pemuda itu menghembuskan napasnya, panjang. “Oke lah. Kalo lo
nggak mau cerita sama gue soal itu, gue nggak akan maksa kok.”
“Gue rasa... emang nggak ada yang perlu diceritain.”
Brian menatap Luna, lalu mengangguk pasrah menyadari
Luna belum berani terbuka padanya.
Mereka lalu kembali tenggelam dalam diam yang
menjengahkan. Angin bertiup perlahan, membuat jarak keduanya terbekukan. Mereka
membiarkan ribuan pertanyaan tetap tersimpan tanpa menemukan jawaban. Di
kejauhan kawanan titik-titik keperakan tampak bercahaya, berarak mendekati
sepasang manusia yang saling bungkam.
“Malam begitu damai.”
Luna tersentak kaget. Kontan dia melirik Brian yang
mulai membuka mulut di tempatnya.
“Di antara jutaan kerlip di sana, Alpheratz atau Sirrah
yang menjelma kepala tanpa tanduk adalah pendar paling terang di malam-malam
November yang sejuk.”
Sayup-sayup suara Brian terdengar di telinga Luna.
Apakah Luna tak salah dengar bahwa pemuda itu tengah bicara tentang bintang?
Luna termenung menatap Brian, sedang Brian tampak tak peduli. Ditatapnya lagi
bintang-bintang itu.
“Mirach bersama Sadiradra, menjelma perut dan dada,
tempat segala rasa bertemu dan menjelaga.”
Brian terus berceloteh dan Luna dengan takjub menyimak.
Meski samar, detik yang mengalir semakin membuatnya yakin bahwa Brian memang
mengingatkannya pada seseorang.
“Almach dan kerlip yang teduh, membentuk kaki dan tangan
dan seluruh tubuh, tempat segala rindu memilih tempat untuk berlabuh.”
Luna belum sempat berkedip saat sekelebat bayangan dari
masa lalu muncul di benaknya. Bayangan itu adalah pemilik segala kisah tentang
langit dan bintang-bintang. Bayangan itu adalah penoreh segaris luka yang
hingga kini masih terasa perihnya. Dan seingat Luna, bayangan itu benar-benar
seperti Brian.
Tanpa bisa ditahan, Luna merasakan pelupuk matanya
menghangat. Pandangannya yang berlabuh di wajah Brian kini tampak samar dan
berkaca-kaca. Dia menggigit bibir.
“Luna?” Brian menyentuh bahu Luna. Gadis itu terlonjak,
dan setetes bening jatuh bergulir di pipinya. “Lo kenapa?”
“Gue nggak apa-apa, Brian.”
“Serius?”
Luna mengangguk. “Cuma... Lo ngingetin gue sama
seseorang.”
Seperti yang udah
gue duga sebelumnya, inilah alasan Luna terlihat antipati sama cowok, batin Brian.
“Masa lalu?”
Luna mengangguk. Jemarinya lalu menyeka pipinya sendiri.
Basah.
“Masa lalu yang buruk?”
“Mungkin.”
Luna mengingat-ingat sebuah nama. Telah lama dia
berusaha melupakan nama itu, pemiliknya, dan semua cerita tentang keduanya.
Namun usahanya selama satu tahun belakangan tak membuahkan hasil. Nama itu
masih terngiang, meski pemiliknya telah lama meninggalkannya dalam
ketidakpastian dan menghilang.
“Waktu nggak bisa berputar. Hidup berjalan maju dan
nggak akan mundur barang satu detik,” ujar Brian langsung.
“Semua orang juga tahu soal itu,” ujar Luna datar.
“Tapi kenapa lo terus-terusan terpuruk?”
“Gue...”
“Luna, life goes
on!”
“Udah ratusan kali gue denger kalimat itu, Brian,”
celetuk Luna tiba-tiba. “Lo bisa ngomong kaya gitu tapi pada kenyataannya―”
“―pada kenyataannya lo memang hanya perlu sadar bahwa lo
nggak bakal bisa memutar waktu dan memperbaiki masa lalu.”
Luna mendadak hening. Tampaknya Brian benar. Tapi apakah
akan semudah itu melupakan rasa sakitnya?
“Lagian orang di masa lalu lo itu pasti punya cerita
tersendiri yang mungkin lo nggak pernah tahu. Dan suatu hari nanti mungkin lo
bakal tahu.”
Brian berujar yakin. Sangat yakin.
“Entah kapan, Brian.”
Brian tersenyum samar seperti biasanya. Pemuda itu lalu
meraih cangkir keramik berwarna putih tak jauh dari tempatnya duduk, meminum
sisa teh yang telah dingin itu sampai habis, lalu meletakkannya kembali. Dia
bangkit dari duduknya.
“Gue balik dulu ya?”
“Mau balik?”
“Loh, iya dong, emangnya mau sampai kapan gue di sini?”
Luna mencelos. Dia hanya bisa tersenyum samar. Betapa
bodohnya dia mengajukan pertanyaan semacam itu. Namun jujur di dalam hatinya,
dia merasa sepertinya dia masih ingin bersama Brian untuk beberapa saat ke
depan. Tapi itu terlalu bodoh, sesal
Luna.
“Gue anter ke depan ya?”
Brian mengangguk dan tersenyum. Hangat.
Mereka berdua lalu beranjak pergi. Keduanya berdampingan
melangkah menuju anak tangga namun tetap saling diam. Keadaan tak jauh berbeda
saat mereka berdua sampai di pintu depan rumah Luna. Hanya Brian yang terdengar
suaranya.
“Gue pulang, ya?”
“Hati-hati di
jalan.”
Brian mengangguk dan melangkah pergi. Namun belum sampai
lima langkah dia kembali ke hadapan Luna yang masih bersandar di daun pintu.
“Ada apa lagi, Mas Brian?”
Brian menggeleng pelan. Tampaknya dia lupa hendak
melakukan apa. “Nggak jadi deh,” ujarnya. Terlihat kedua ujung bibirnya
terangkat. Sambil mengacak rambut Luna sekilas, dia berkata: “Gue pulang
sekarang, ya? Selamat malam, Putri Bulan...”
Jantung Luna mendadak terasa berhenti berdetak. Mulutnya
terasa kelu tiba-tiba. Dia hanya bisa ternganga melepas motor Brian yang telah
meninggalkan halaman rumahnya. Dia masih begitu terkejut dengan ucapan Brian
barusan.
“Putri Bulan?”
Adalah sebuah nama yang sering dipakai oleh seseorang di
masa lalu untuk memanggilnya. Ya, seseorang yang belakangan ini semakin sering
muncul di pikirannya, terlebih saat bersama Brian sebab mereka begitu mirip.
Semacam déjà vu yang datang tak
terkendali.
Luna tiba-tiba merasakan sebuah getaran di tangan
kirinya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Brian.
Lihat ke langit!
Apa nama rasi bintang itu?
Luna memandang jauh ke atas. Bintang yang tadi sempat
dia pandangi bersama Brian masih berdiam di lengkung langit. Cahayanya masih
benderang. Luna tak tahu menahu tentang bintang. Namun secara magis dia melihat
garis-garis samar tercipta dari satu titik ke titik lainnya. Dan ternyata
kerlip yang tersusun di hitamnya langit itu membentuk sebuah huruf.
“A?”
Satu lagi pesan singkat masuk ke ponselnya. Luna
tiba-tiba merasakan sesak dalam dadanya. Dia juga tak tahu apa sejatinya yang
menyebabkan kakinya begitu lemas sehingga dia tak mampu berdiri saat membaca
pesan baru dari Brian...
Bintang itu memiliki nama,
Luna.
Apakah namanya Andromeda?
*