January 17, 2013

Menuju Akhir Perjalanan



Tahun dua ribu tiga belas datang tanpa pesan. Malam pergantian tahun benar-benar tidak jauh berbeda dengan tiga ratus enam puluh lima malam sebelumnya, tentu kita bicara selain tentang kembang api dan riuh suara terompet yang mengudara. Malam bergulir begitu saja, mengantarkan tahun baru yang akan menjadi tahun terakhir bagi kami untuk menginjakkan kaki di sekolah sebagai seorang siswa.

Pertengahan tahun ini akan terekam jelas dalam ingatan sebagai akhir perjalanan kami. Bukan perjalanan sesungguhnya, sebab ini hanyalah sebagian kecil dari perjalanan kami yang sesungguhnya. Perjalanan yang hampir berakhir ini hanyalah sebuah permulaan. Suatu rimba telah menunggu di depan gerbang. Tiga tahun pembelajaran kami akan menjadi bekal untuk menjelajah rimba itu. Kelak guru-guru kami akan bersama-sama dengan rasa haru melepas kami ke depan gerbang, menemukan jalan masing-masing, menulis cerita masing-masing, dengan secuil harapan agar kelak kami dapat kembali untuk berkisah tentang kesuksesan masing-masing. Mereka akan tersenyum dan melambaikan tangan, membuat kami merasakan rindu yang datang terlalu awal. Rindu masa-masa menyenangkan di bangku sekolah.

January 14, 2013

Pintu Langit - Epilog



Malam yang sama. Tempat yang sama. Dan ada rasi bintang yang sama. Tampak Alnitak, Alnilam, dan Mintaka masih berdiam dan berkedip genit, merayu-rayu. Bintang-bintang itu terbingkai Betelgeuse, Bellatrix, Saiph, dan Rigel. Meissa berpendar malu-malu di bagian atasnya.
Mereka kembali datang di Januari yang tenang. Hanya berdua.
“Sang Pemburu...”
Dua pasang mata itu bersinar. Keduanya lalu menatap kilau Orion yang menjelma di sepanjang horizon.
Pintu langit kembali menjadi saksi sebuah kisah sederhana tentang sepasang manusia yang saling jatuh cinta. Kali ini berbeda, bukan tentang sepasang manusia yang saling memendam dan bungkam, melainkan sepasang manusia yang dengan berani mengungkapkan karena mereka mengerti bahwa cinta bukan hanya diam. Sepasang tangan itu lalu bertaut erat, saling menggenggam.
Di lengkung langit awan hitam kian memudar, jutaan bintang berarak dan berpendar-pendar. Orion memeluk cakrawala, kembali menjadi saksi atas sebuah janji sepasang manusia untuk saling menjaga.


 TAMAT

Pintu Langit - 16




PRESENT
JANJI YANG SEMPURNA

Sejenak dia menengadah melihat langit yang begitu cerah. Hari ini, untuk pertama kalinya dia merasakan arti rasa cinta sesungguhnya. Begitu indah.
Siang itu begitu dingin padahal mendung tidak terlihat. Brian tak peduli. Satu hal yang harus diselesaikannya kini adalah tentang pertanyaannya sendiri, tentang perasaannya, dan apa yang harus diselesaikannya. Tak ada yang akan menjawabnya selain dirinya sendiri. Maka hari ini dia bertekad untuk . Tak akan pernah dia membuang kesempatan ini.
Dia telah duduk manis di belakang kemudi. Sejenak dia terdiam untuk mengambil napas, dalam. Keyakinan telah memenuhi ruang-ruang hatinya. Kini hanya ada satu tempat yang menjadi tujuannya yang pertama.
Rumah Luna.
*
Langkah gadis itu terbata menyusuri jalan kecil yang sepertinya menanjak namun tak berujung. Matanya tertutup sejak tadi, sejak Brian memintanya menutup mata sebelum turun dari mobil. Beberapa kali kakinya menyentuh bebatuan pertanda jalanan itu sangat kasar. Dia terus melangkah sambil menggenggam erat tangan Brian di bahunya.
“Udah sampai, Brian?”
“Belum.”
Tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Gue tutup mata lo pake saputangan, ya, Lun?”
Luna hanya diam. Dia mengangguk bisu.
Keduanya kembali melangkah meniti jalan yang semakin menanjak. Tak sampai lima menit, Luna dan Brian berhenti. Perlahan Brian membuka saputangan yang sejak tadi menghalangi pandangan Luna.
Luna ternganga. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali tempat ini? Pohon randu, rumput, ilalang, langit, dan awan telah membawanya berputar-putar di lorong waktu untuk kemudian kembali ke satu masa. Saat dia masih bersama Andro.

Pintu Langit - 15




PRESENT
SUARA-SUARA DARI HATI

LUNA
Malam temaram, kabut tipis turun perlahan. Malam ini aku kembali berdiam menatap langit. Satu nama yang hingga kini masih membekas di ingatanku itu adalah namamu, Andromeda Harya Arkana Aditama. Laki-laki bintang, begitulah aku selalu memanggilmu. Kau akan menimpali dengan memanggilku Putri Bulan. Itu adalah arti nama Luna, ujarmu kala itu.
Aku sangat memahami bahwa kau begitu dekat dengan langit dan bintang-bintang. Setiap akhir pekan kau akan datang menjemputku, mengajakku ke satu tempat di Lembang yang dingin. Kau juga tak pernah lupa mengingatkanku untuk membawa jaket tebal sebab udara Lembang saat malam begitu dingin.
Tempat yang kau tuju saat itu adalah sebuah bukit di balik lebat padang ilalang yang tumbuh setinggi daguku, dan kurasa sepertinya kawanan ilalang itu hanya setinggi dadamu. Kau selalu menggenggam erat tanganku saat melewati padang itu. Aku tahu kau khawatir aku akan tersesat. Dan setelah terbebas dari tumbuhan ilalang yang lebat itu kau akan menunjuk sebuah jalan kecil menuju suatu bukit yang dinaungi sebatang pohon randu. Ke sanalah kita menuju.

January 11, 2013

Pintu Langit - 14





PRESENT
YANG AKU TUNGGU

“Kenapa lo yang pergi balapan sih? Kenapa harus lo yang kaya gini, kenapa bukan gue? Seharusnya gue yang ada di arena itu!”
“Waktu nggak bisa berputar, Brian.”
“Gue janji gue akan bales Raka!”
“Jangan. Cukup satu permintaan gue, Brian...”
“Apa?”
“Aluna. Jaga dia... Lindungi dia... Buat gue...”
Terngiang lagi. Enam kata yang selama ini dia pegang teguh dan ingat-ingat, adalah enam kata terakhir yang Andro ucapkan sebelum dia akhirnya pergi. Tanpa bisa kembali.
Teringat jelas bagaimana pukulan itu membuat Brian hampir kehilangan arah. Dendam berkobar di dalam dadanya seiring berjalannya hari, menanti saat-saat di mana dia bisa melampiaskan amarahnya atas kepergian Andro kepada Raka, pembunuh itu.
Hari-hari berlalu begitu cepat, sedangkan dia sendiri belum menemukan gadis itu. Gadis yang harus dia jaga, dia lindungi, untuk Andro. Dan akhirnya pencarian panjangnya berhenti di Lembang, di sebuah bukit di balik padang ilalang. Dia menemukan sebuah nama di batang pohon randu yang lebat. Nama yang membuatnya menyadari bahwa gadis itu bersekolah di tempat yang sama dengannya, pencarian itu sesungguhnya tak terlalu jauh. Aluna Luvena Dewanti.
Gadis itu ada di hadapannya kini. Menangis.
“Luna,” lirih Brian.

Pintu Langit - 13


PAST
KISAH LAIN

Malam itu, tak seperti biasanya, Brian terbaring lemah di tempat tidur dalam kamarnya. Wajahnya pucat dan matanya terpejam. Suhu tubuhnya meningkat sejak tadi sore. Kini dia tertidur setelah Andro berhasil memaksanya untuk makan dan meminum obat.
Dia tengah membenarkan letak selimut Brian saat tiba-tiba ponsel di atas meja bergetar. Ponsel itu milik Brian, dan sebuah pesan singkat baru saja masuk. Nomor asing.

Rei! Tokai! Dimana lo??
Anak-anak udah pada nunggu.
Kita pindah lokasi, nggak jadi di Diponegoro.

Cepet ke Pasupati!!
Kalo sampe nggak dateng, gue bunuh lo!

Andro tertegun. “Rei?”
Sempat Andro mengira pesan itu salah kirim, namun saat membaca ulang pesan itu dia menyadari sesuatu.
“Tunggu! Pasupati?” Gumam Andro. Pikirannya kini menerawang jauh. Balapan! Tak salah lagi, itulah jawaban yang sering keluar dari mulut Brian saat ditanyai ini itu saat pulang dini hari. Dan malam ini adalah malam Minggu. Jembatan layang Pasupati adalah salah satu tempat di Bandung yang memang sering digunakan untuk balap liar.
Andro mengetik sebuah balasan dengan cepat.

Ok!
Gue jalan sekarang juga.

Andro lekas meletakkan ponsel Brian kembali ke atas meja. Dia bergegas pergi ke garasi rumahnya setelah mengambil jaket kulit dan helm full-face milik Brian. Diam-diam diraihnya kunci motor Brian, lalu dibukanya pagar rumah perlahan. Sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara.
Tak lama kemudian motor itu melaju kencang, membelah jalanan kota Bandung yang senyap.

January 10, 2013

Pintu Langit - 12




PRESENT
JAWABAN SEGALA PERTANYAAN

Brian terus melongok ke dalam kelas 3 IPA 2, mencari seseorang yang saat ini ingin ditemuinya. Tak ada waktu, benar-benar harus hari ini dia menemuinya. Dia mendadak gelisah saat tak kunjung ditemuinya sosok itu.
Bukan. Bukan Luna, melainkan Alya.
“Brian ngapain lo di sini?”
Sebuah suara dan tepukan tiba-tiba berhasil membuatnya terlonjak.
“Alya?”
“Mau cari Luna, ya? Kayanya dia masih di―”
“Alya, gue bukan cari Luna. Gue cari lo.”
Alya lalu menyatukan kedua alisnya, heran. “Gue?”
Brian mengangguk. “Pulang sekolah kira-kira lo free nggak? Gue perlu ngomong sama lo.”
“Ngomong soal apa, ya?”
“Banyak,” tukas Brian cepat.
“Oke oke. Pulang sekolah gue free kok.”
“Bagus. Kita ketemu di parkiran ya? Nanti kita cari tempat yang enak buat ngobrol.”
Alya mengangguk mantap.
“Tapi gue minta jangan bilang-bilang Luna soal ini, ya?” Brian tampak memohon, dan lagi-lagi Alya hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. “Thanks Al.”
*
Di atas meja itu ada segelas mocca float, secangkir cappuccino, dan sepiring besar kentang goreng. Seorang waiter baru saja meletakkan makanan dan minuman yang dipesan oleh Alya dan Brian di sana. Keduanya mulai menikmati minuman mereka.
Brian mengangkat cangkir keramik berisi cappuccino di tangannya, menyesapnya, lalu meletakkannya kembali dan mulai bicara.
“Alya, gue boleh nanya sesuatu?”
“Bukannya itu tujuan lo bawa gue ke sini, Bri?”
Brian tersenyum.
“Soal Luna.”
“Luna?”
“Iya.”

Pintu Langit - 11


\


PRESENT
BINTANG ITU MEMILIKI NAMA

Brian, Luna, Rio, dan Alya melangkah keluar dari gedung bioskop dengan tawa yang masih terdengar renyah. Alya terlihat susah payah menahan tawanya agar tidak meledak. Sementara itu Rio yang kini berjalan di sampingnya tampak terkekeh di sela-sela komentarnya tentang film bergenre komedi itu. Sementara Brian dan Luna hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua orang itu. Malam itu mereka memang pergi bersama untuk menonton film di bioskop. Akhir-akhir ini mereka berempat memang terlihat semakin dekat dan akrab.
“Alya, jangan keterusan gitu dong ketawanya!” Luna tampak mulai risih dengan tawa Alya yang masih meletup-letup. “Kasian Rio nanti disangka boncengin orang gila.”
“Terusin aja ketawanya. Kalian klop kok, orang-orang nggak bakal protes liat orang gila boncengin orang gila,” Brian menyahut dari belakang dan sukses mendapat satu pukulan di bahunya dari Rio.
“Sialan lo!” Rio menggerutu diiringi gelak tawa teman-temannya. “Eh, tapi tunggu deh. Kita jalan berempat gini nanti bisa-bisa disangka double date lagi!”
“Amiiin!” Celetuk Brian sambil mengangkat kedua tangannya.
Lalu gelak tawa kembali terdengar dari mereka, kecuali Luna. Gadis itu tampak diam-diam melirik Brian, entah untuk mencari apa. Dan saat melihat Brian berhenti berjalan buru-buru dia membuang pandangannya sebelum Brian menyadari bahwa dia memperhatikannya.
“Pulang atau gimana nih, Lun?”

January 06, 2013

Pintu Langit - 10




PRESENT
RASA ITU

Pagi ini Brian datang ke sekolah dengan muka yang masih menyisakan luka dan memar akibat aksi pengeroyokan kemarin. Koridor sudah sangat sepi ketika Brian datang. Tak ada satupun siswa yang terlihat. Sepertinya dia terlambat lagi. Meski begitu Brian tetap dengan santai berjalan ke arah kelasnya tanpa sedikitpun rasa khawatir akan kena omelan-omelan dari gurunya.
Badannya masih terasa nyeri, namun bagaimanapun dia harus tetap berangkat ke sekolah. Dia tak bisa membiarkan Raka mengganggu Luna lagi.
Dari luar jendela kelasnya dia bisa melihat Bu Rahayu berdiri di depan kelas, menerangkan materi-materi geografi dari buku yang kini ada di tangannya. Brian bergegas masuk.
“Permisi, Bu.”
Seluruh pasang mata di dalam kelas itu kini tertuju pada Brian. Mereka semua melemparkan pandangan yang menyiratkan keheranan. Mungkin karena melihat wajah Brian yang penuh lebam sana-sini.
“Brian?”
“Maaf, Bu, saya terlambat.”
Wanita paruh baya itu mengernyitkan dahi. Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Apa nggak ada kalimat lain selain ‘Maaf, Bu, saya terlambat’?”
Brian hanya mengangkat bahu. “Jadi, saya boleh duduk nggak nih, Bu?”
“Brian! Kamu tahu ini sudah jam berapa? Sudah berapa kali kamu terlambat di jam pelajaran saya?”
“Saya belum sempet ngitung, Bu!” jawab Brian santai sambil berlalu menuju tempat duduknya.

Pintu Langit - 9




PRESENT
PEMBALASAN

SMA Bakti Mulia telah sepi. Hanya segelintir siswa yang masih terlihat bergelut dengan kegiatan ekstrakulikulernya. Termasuk Brian di antaranya. Tampak dia tengah serius memainkan sebuah bola basket di tangannya. Dribble, passing, shooting. Matanya menyapu seluruh lapangan, mencari celah di antara lawan mainnya untuk melemparkan bola dalam penguasaannya ini ke dalam ring atau minimal memberikannya pada seorang teman.
PRIIIITT!!
Pelatih meniup peluit tepat saat Brian melemparkan bola basketnya pada Dwi, pemuda jangkung berambut cepak yang telah mengambil posisi di daerah pertahanan lawan. Dibiarkannya bola itu lalu begitu saja. Mereka lalu berjalan ke tepi lapangan. Dengan malas Brian mengambil botol minum di dalam tasnya dan meneguknya setengah isi. Sang pelatih masih terlihat memberikan beberapa komentar dan masukan. Brian tidak mendengarkannya. Setelah dipersilahkan, dia melenggang pulang. Dia melangkah ke parkiran motor bersama kawan ekskul basketnya yang lain.
“Gue duluan, ya?” seseorang menepuk pundak Brian, kemudian menaiki motornya. Brian hanya membalasnya dengan sebuah anggukan kecil.
Brian pun menaiki motornya. Terasa aneh. Dia lalu memutuskan untuk kembali turun dan berjongkok memeriksa ban. Sesuai dugaannya, kempes.
“Heh, babi!” Seru seseorang dari belakang.

Pintu Langit - 8








PAST
ANDROMEDA

“Kenapa Brian tadi diem aja di makam Mama? Katanya kangen.”
Suara Andro memecah keheningan. Brian mengangkat wajahnya yang sejak tadi dia benamkan.
“Brian takut.”
“Takut apa?”
“Brian takut Mama marah. Soalnya Brian nakal.”
Andro beringsut mendekat. Perlahan dirangkulnya Brian dan diusapnya lembut bahu adiknya itu. “Mana mungkin Mama marah, Brian kan udah minta maaf sama Ozy.”
Tak ada yang berubah dari raut wajah Brian. Dia memandang jauh ke arah ilalang yang bergoyang tertiup angin. Andro menarik napas panjang, lalu berbaring di atas rerumputan. Kedua matanya mengerjap karena silaunya cahaya matahari yang datang melalui celah-celah ranting pohon.
Tiba-tiba Brian bangkit dari duduknya.
“Kak Andro, ayo kita gali lubang!”
Andro menoleh. “Lubang buat apa?”
“Kita kubur harta karun.”
*
Sudah seharian mereka bermain-main. Seperti yang sudah-sudah, mereka akan lupa waktu jika bermain di tempat ini. Berjam-jam mereka melakukan hal-hal yang menurut mereka sangat menyenangkan, namun tak merasa lelah juga. Hingga senja telah larut ditelan remang malam, mereka masih tak ingin pulang.
Mereka berdua kini tengah berbaring menatap bintang-bintang di angkasa yang entah berapa jumlahnya.
“Sekarang bulan apa, Brian?”
“April.”
Andro tersentak. Beberapa saat kemudian dia beringsut mengubah posisi tidurnya menghadap langit utara.

Pintu Langit - 7






PRESENT
UNTUK SEBUAH NAMA

Langit begitu gelap. Pagi itu, begitu turun dari atas bus yang ditumpanginya, Luna berlari secepat mungkin menembus rintik yang kini turun semakin deras menuju gerbang sekolah. Hujan tak boleh menghalanginya untuk pergi ke sekolah. Walaupun secara tak langsung kembali ke sekolah berarti kembali menghadapi pemuda aneh bernama Raka yang akhir-akhir ini cukup mengganggu.
Sekarang bukan suatu kejutan lagi kalau pagi-pagi di meja Luna telah teronggok sebuah hadiah. Pun hari ini, seperti biasanya, sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan secarik kertas berisi sebuah puisi telah tergeletak di mejanya.
Luna meraih secarik kertas itu dan perlahan-lahan membukanya.

Malaikat itu seperti orang-orang, selalu datang dan pergi.
Bedanya, malaikat akan bikin hidup kita jadi berarti.
Mudah-mudahan kamu adalah malaikat pertama dan terakhir dalam hidupku.
Dulu aku gak percaya kalau malaikat itu ada, sampai akhirnya aku ketemu dirimu.
Tiap kali aku memandang matamu, aku sadar bahwa malaikat ada di dalamnya.
Kamu itu bagaikan malaikat yah.
Terlalu rapuh untuk berada di bumi, dan terlalu cantik kalau berdiri di pintu surga.
Saat aku ketemu kamu, aku melihat malaikat tanpa sayap.
Tapi hati sang malaikat bikin aku terbang ke awan.
Selamat pagi, malaikatku! 

“Kalimat murahan!” Desisnya sambil geleng-geleng kepala.

Pintu Langit - 6




PAST
BRIAN

Seorang wanita paruh baya menatap tajam ketiga anak di hadapannya. Mereka tertunduk pasrah dengan beberapa lebam di wajah. Salah seorang dari mereka terlihat menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Atmosfer ruang guru itu terasa sangat menegangkan. Hingga suara ketukan dari arah pintu membuat semua yang ada di dalam ruangan menoleh. Seorang lelaki berjas hitam berdiri di ambang pintu.
Lelaki itu masuk. Wanita paruh baya mempersilahkannya duduk di sebelah murid-muridnya yang berandal. Tampak dua dari tiga siswa berseragam putih-merah itu semakin tertunduk.
“Maaf, ada perihal apa saya dipanggil kemari?” tanya lelaki itu sopan.
Wanita itu, kepala sekolah, menggeser tempat duduknya. “Bapak Gandhi Aditama yang terhormat, putra anda, Brian, terlibat perkelahian dengan salah satu temannya yang bernama Ozy.”
“Berkelahi?” Laki-laki bernama Gandhi itu melempar pandangan pada kedua putranya. Mereka tertunduk dalam. “Brian?” Nada tak percaya dan kecewa terdengar jelas.
“Ozy duluan yang mulai, Pa!” Bela Brian dalam tunduknya.
“Apaan? Orang elu duluan kok!” sanggah Ozy.
“Halah siapa suruh lo bales mukul gue?”
“Eh itu juga gara-gara lo.” Ozy mulai meraih kerah kemeja Brian, hendak memukulnya. Brian sendiri tak mau tinggal diam. Andro yang sejak tadi duduk diantara mereka berdua mencoba melerai.
“Heh! Jangan berantem lagi dong!”
“Hey, diam kalian!” Ibu Kepala Sekolah menggebrak meja. Seketika mereka kembali duduk, kembali tertunduk. “Baiklah, karena ini sudah yang ketiga kalinya kalian berkelahi, jadi...”
“Apa? Tiga kali?” potong lelaki bernama Gandhi. Di wajahnya tersirat sebuah keterkejutan yang amat sangat.

January 05, 2013

Pintu Langit - 5








PAST
PINTU LANGIT

Angkasa seperti terbelah dua. Semu kemerahan di ufuk timur, sementara sisanya masih biru tua dengan menyisakan jejak-jejak malam dan kawanan bintang. Bulan bertengger di tepi langit, bersiap jatuh ditelan fajar.
Gura-gurat kemerahan terlukis indah di cakrawala, terus menggiring sisa-sisa malam untuk beranjak pergi. Kilauan embun turun perlahan dari langit yang berhiaskan garis-garis cahaya keperakan. Sebuah awal hari yang dingin dan senyap.
Dua bocah lelaki bersaudara berlari sambil terus memekik memecah kesenyapan pagi ini. Jalanan begitu sepi, menyisakan deru napas mereka yang terdengar satu-satu. Mereka berbelok dari trotoar ke jalan-jalan tikus kota Lembang, menyusurinya sampai habis, lalu saling menarik lengan satu sama lain ketika menerobos kawanan ilalang di ujung jalan. Susul menyusul mereka berusaha mencapai bukit di tengah padang rumput luas di balik semak ilalang itu. Mereka mendaki bukit. Si sulung tersenyum, lalu memperlambat langkahnya. Si bungsu berseru gembira saat tangannya menyentuh pohon randu itu lebih dahulu dari kakaknya.
“Aku menang, Kak!” Seru si bungsu.
Si sulung terkekeh di sela-sela napasnya yang masih berkejaran. Si bungsu berjalan mengitari pohon sebelum akhirnya duduk di samping kakaknya yang telah bersandar di pohon. Mereka kini terdiam menghadap timur.
Fajar tampak mulai merekah, menyinari sebagian bumi. Sebagian cahaya merahnya melebur diantara langit pagi dan membuat langit tampak ungu temaram.
“Aku benar, kan, di sini langit terlihat berbeda,” ucap si sulung sambil menyeka keringat yang mengalir di wajahnya.

Pintu Langit - 4








PRESENT
LUKA LAMA

Dinginnya pagi masih menyelimuti jalanan saat sebuah metromini berhenti tepat di sebuah halte dekat area SMA Bakti Mulia. Dengan hati-hati Luna turun dari metromini yang sesak oleh penumpang. Dia nampak bergegas memasuki area sekolah.
Sementara tanpa dia ketahui, di depan pos satpam, Raka telah siap menanti kedatangannya.
“Luna, tolong aku!” Ucap Raka tiba-tiba, sedikit berteriak.
Luna yang cukup terkejut berhenti sebentar, mencari tahu siapa gerangan pemuda yang memanggil namanya. Saat dia tahu Raka-lah orangnya, Luna memutuskan untuk kembali melangkah.
“Ah. Tolong aku Luna, cuma kamu yang bisa menolongku,” Ucap Raka lagi.
Luna kembali berhenti, mengangkat alisnya tanda bingung, namun tetap dia tak bersuara.
“Cuma kamu yang bisa menolongku. Kamulah malaikat penolong yang dikirim untuk menyembuhkan rinduku padamu, akan kecantikanmu.”
Seperti yang Luna pikirkan sebelumnya, pemuda aneh itu memang benar-benar tidak penting. Luna lalu melangkah pergi, diiringi gelak tawa dari orang-orang yang melihat.
Raka menghela napas dan tersenyum sambil bergumam “Lo liat aja Luna, mau sampai kapan lo bakal tahan dengan sikap dingin lo ke gue, gue bakal buktiin bahwa gue bisa naklukin lo,”

January 04, 2013

Pintu Langit - 3





PRESENT
DEMI SEBUAH JANJI


Di salah satu sudut kantin ini Brian memilih untuk duduk sendiri, menikmati sebotol soft drink di sebuah meja dalam diam. Matanya menyapu seluruh arah mencari sosok perempuan yang sejak kemarin belum beranjak dari pikirannya. Namun dia sama sekali tak menemukan tanda-tanda keberadaan Luna.
Pandangannya kini tertuju pada satu meja di dekatnya. Di tempat itu duduk empat orang siswa. Brian tahu betul siapa mereka. Raka, Davin, Andre, dan Fian. Sudah sejak lama Brian memiliki konflik dengan mereka, sejak satu tahun lalu. Sejak dia memutuskan untuk merahasiakan satu peristiwa yang terjadi saat itu, dari siapapun hingga sekarang.
Kini matanya hanya tertuju pada Raka, pemuda yang kemarin siang sempat dilihatnya ada bersama Luna. Dendam yang sama masih berdiam dalam dadanya setiap kali menatap Raka. Entah sampai kapan.
Brian menajamkan pendengarannya. Pembicaraan mereka sepertinya menarik untuk dia dengarkan.
“Gue nggak bisa berhenti ketawa waktu liat ekspresi muka lo di hadapan Luna kemarin siang. Nggak nahan, bro!” Salah seorang dari mereka bicara sambil bersusah payah menahan tawa yang akhirnya keluar juga. “Hahaha. Guys, Raka jatuh cinta sama putri es.”
“Putri es?” Andre mengerutkan dahinya.

January 03, 2013

Pintu Langit - 2






 PRESENT
DIAKAH?


“Woy! Brian!”
Di tengah lamunannya pemuda itu mendengar seseorang berseru memanggil namanya. Dari sudut kantin ini dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Dan benar saja, tak lama kemudian didapatinya Rio berlari mendekat ke arah bangku yang telah didudukinya sejak pagi tadi.
Rio lalu duduk di sampingnya.
“Sejak kapan lo di sini?”
“Apa?”
“Sejak kapan lo nongkrong di kantin gini, Setan?”
“Em.. Jam delapan,” jawabnya datar.
Rio terlihat mengernyitkan dahi sambil terus menatap Brian, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
“Anak sekelas mati kaku gara-gara ulangan matematika dadakan, dan lo malah enak-enakan di sini?”
Brian hanya tersenyum simpul lalu mengangkat kedua bahunya. Diraihnya gelas berisi minuman yang tinggal separuh, lalu diminumnya isi gelas itu sampai benar-benar tandas.
“Gimana rasanya?”
Hell...” Tukas Rio penuh dendam, sambil memukul meja kayu di hadapannya dengan tangan yang mengepal.
Brian tertawa. “Untung dong tadi pagi gue diusir dari kelas sama Pak Wan?”
“Diusir kok seneng? Setan lo ya!”
“Emang gue setan.”
Rio memutar bola matanya. “Dasar gila!” Ucapnya. Brian hanya tergelak. “Lagian lo ngapain pake acara berangkat telat sih?”
“Gue telat bukannya udah biasa?”
“Ini tumben telatnya sampe satu jam. Lupa hari ya, Mas?”
Brian menghela napas. “Gue berangkat dari Lembang.”
“Hah?”

Pintu Langit - 1



PRESENT 
ALUNA


“Aluna Luvena Dewanti!”
Samar-samar dia mendengar seseorang menyebut namanya. Suara itu tak begitu jelas siapa pemiliknya, namun yang jelas gadis itu memutuskan untuk tetap bergeming. Matanya masih terkatup dan dia kesulitan untuk membukanya.
“Aluna!”
Sekali lagi suara itu terdengar. Kali ini dia tak bisa menolak. Mau tak mau dia harus membuka mata, mencari tahu siapa gerangan yang berani-beraninya mengganggu tidurnya.
Gadis itu membuka matanya perlahan-lahan dan mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Dia membuka mata dengan susah payah. Bayangan yang semula samar di hadapannya, lama-lama semakin jelas. Di depannya kini ada sosok perempuan yang tersenyum dengan mata mendelik. Gadis pemilik nama Aluna itu mencoba mengenalinya.
Wanita itu tinggi semampai. Ujung bibirnya terangkat, menciptakan senyum paling sinis yang pernah dia berikan. Alangkah terkejutnya dia saat menyadari siapa gerangan perempuan itu. Refleks dia mengangkat kepalanya dari atas meja.

Pintu Langit - Prolog


 
...
Orion menyeringai. Dialah Sang Pemburu Besar dan tak ada satupun yang dapat menandinginya termasuk Artemis dan Leto. Arogannya membawa petaka. Scorpio dengan mudah mengakhiri hidupnya. Sang Pemburu meregang nyawa.
Zeus teramat menyesal, itulah sebabnya dia memutuskan untuk mengangkat Orion ke langit bersama Scorpio.
Orion berdiam di langit utara bersama dua anjing setianya, Canis Major dan Canis Minor. Sedang Scorpio akan menjelma di horizon saat Orion meredup.
*
Ada jutaan kerlip bintang di langit yang pekat.
Di sana langit selalu terlihat lebih luas. Selalu ada hal yang menyenangkan untuk dilakukan agar langit terasa lebih dekat: menyelami langit pagi yang ungu menyala, menyaksikan pelangi membusur di cakrawala, menelaah potret senja yang memesona, atau menerjemahkan tiap pendar bintang di angkasa.
Mereka selalu datang berdua, berjalan bersama menuju atas bukit seperti biasanya. Di atas sana Alnitak, Alnilam, dan Mintaka berdiam dan berkedip genit, merayu-rayu. Bintang-bintang itu terbingkai Betelgeuse, Bellatrix, Saiph, dan Rigel. Sementara Meissa timbul malu-malu di atasnya.
Dua pasang mata bersinar, menatap Orion yang menjelma di sepanjang horizon.
Kawanan bintang berarak, meniti langit sebab bumi terus bergerak. Gadis itu selalu tertidur pulas setelah pemuda itu mengisahkan sebuah dongeng tentang langit. Sedang pemuda itu selalu diam menatap gadisnya yang telah tertidur, bersandar di bahunya. Dalam hening malam dia menekuni setiap lekuk wajah nan elok di depan matanya, yang selalu bisa membuat jantungnya berdetak lebih cepat saat menatapnya.
Setelah malam kian larut, pemuda itu menggendong gadisnya menuju mobil. Dia membawa gadis itu pulang. Dia pergi dengan meninggalkan sepotong janji untuk kembali lagi. Akhirnya mobil itu begerak perlahan bersama angin malam yang entah mengapa kian menghangat.
Pintu langit menjadi saksi sebuah kisah sederhana tentang sepasang manusia yang sejak lama memendam cinta, namun keduanya enggan memulai untuk mengungkapkannya. Pintu langit membingkai kisah penantian mereka dalam bisu, hingga waktu kian memudar dan lelah menunggu. Tak ada yang menyangka kata hati memaksa keduanya kehilangan kesempatan untuk bicara.
Angin sejuk berhembus perlahan, sepasang bintang menari-nari di kejauhan.


(bersambung)