July 09, 2013

Bingkisan Ramadhan


Judulnya sok-sok relijius...

Aku lulus. Aku lulus dan aku mau kuliah. Aku juga bingung kenapa aku tiba-tiba udah segede ini. Aku jadi pengen bayi lagi.

Sigh.

Iya, aku udah lulus SMA dengan nilai yang lumayan, lumayan biasa aja, hahaha 53,4. Hemat tiga juta rupiah plus seratus dua puluh lima ribu tambahan. If you know what I mean. Tapi nem kaya gitu nggak ngefek apa-apa. Nggakditanyain pas kuliah sih, jadi buat apa sebangga itu... Tapi nilai segitu tetep aja bangke pas tau aku nggak lolos SNMPTN. Sumpah sakit, padahal Yogyakarta udah ada di kepala. Bentuk kosku juga udah ada di bayangan, ya padahal masih jauh banget buat sewa kos, haha cuma ngayal aja sih.

Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) is the only thing di pikiranku waktu aku tau aku gagal di SNMPTN. Gagal SNMPTN dan bertekad ikut SBMPTN itu berat banget. Aku sebenernya males belajar lagi. Tapi ya, harus berjuang kan kalo mau sukses. Aku bukan orang kaya raya yang jaman sekarang hidupnya guampang banget kalo pengen apa-apa, bukan anaknya juragan minyak Timur Tengah, bukan anaknya pengusaha mutiara. Tapi berjuang buat belajar itu susah. Tapi lama-lama aku mikir kalo aku nggak belajar ya ngapain sok-sokan daftar SBMPTN?

"Kalo kamu nggak kuliah mending jualan kangkung di pasar sana!" kata Ibu, dalem banget.


February 04, 2013

Lima Warna




20 Desember 2011, 08.12 WITA
Om swastiastu,” seorang tour guide memberikan salam pertamanya pagi ini sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.
Namanya Komang Sugata. Kami memanggilnya Bli Komang. Hari ini dia mengenakan baju batik Bali serta sepotong sarung untuk bawahannya. Dia juga mengenakan semacam ikat kepala berwarna putih. Kutaksir umurnya masih tiga puluhan.
Om swastiastu,” jawab kami serentak.
Di pertemuan pertama kami dengannya, laki-laki itu sempat menjelaskan bahwa Om swastiastu adalah salam yang biasa diucapkan masyarakat Bali.
Ini hari keduaku berada di Bali. Ada beberapa tempat yang menjadi tujuan kami, yakni Sanur, Tanjung Benoa, Garuda Wisnu Kencana, dan Kuta.
Salah seorang temanku tiba-tiba menceletuk.
“Bukannya om swastiastu artinya ‘semoga diberi keselamatan oleh Sang Hyang Widhi’ ya?” Katanya, sedikit berhati-hati sambil sesekali melirik kea rah Bli Komang.
“Iya.”
“Kita kan orang Islam?”
“Jangan khawatir soal murtad, ya, Sang Hyang Widhi itu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang tunggal walaupun berbeda cara menyebutnya.”
Aku tersenyum samar. Tanpa menjawab kata-katanya barusan, aku lantas membuang pandangan ke arah jendela, menatap rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan.
Kulihat setiap bangunan dilengkapi dengan bangunan tempat pemujaan. Sekilas kulihat sesajian berupa bebungaan dan makanan tergeletak di dekat patung di depan setiap bangunan. Bli Komang pernah menjelaskan bahwa begitulah cara orang Hindu di Bali bersembahyang. Mereka meletakkan sesajian berupa bebungaan dan makanan seperti roti yang diletakkan di atas wadah dari janur kelapa di depan rumah atau di depan tempat usaha. Sesajian itu dilengkapi dupa yang menyala.
Beberapa hari di pulau seribu pura ini, aku merasa cukup rindu akan suara adzan. Karena di tempat ini jarang terdapat masjid. Ya Allah, apakah kami harus shalat di rumah makan lagi seperti kemarin? Betapa kami merindukan suara adzan dan iqamah.
Kutarik napas dalam-dalam. Seakan membaca pikiranku, tiba-tiba Bli Komang menyeletuk. “Nanti siang kalian akan melaksanakan ibadah shalat Dzuhur di Puja Mandala, tempat ibadah yang diperuntukkan bagi lima agama dalam satu kompleks.”
Aku tersentak, pikiranku melayang membayangkan tempat seperti apakah Puja Mandala.
*
20 Desember 2011, 12.01 WITA
Aku sampai di Puja Mandala dan langsung dibuat terkesima.
Bangunan Gereja Katholik Bunda Maria Segala Bangsa, Gereja Protestan Bukit Doa, Masjid Ibnu Batutah, Wihara Budhina Guna, dan Pura Jagat Natha telah berdiri tegak, sama tinggi. Puja Mandala menjelma menjadi sebuah miniatur kerukunan hidup beragama di Indonesia. Sebuah relasi  harmonis yang sungguh hidup dan dinamis yang lahir dari relung jati diri masyarakat pendukungnya. Keberadaannya kini bukanlah sebatas symbol kaku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman kompleks Puja Mandala. Tampak toleransi terjalin hakiki. Bli Komang sempat mengatakan padaku bahwa pernah di tempat ini perayaan ekaristi diselingi alunan adzan Maghrib. Dan pernah suatu ketika khutbah shalat Jumat disampaikan tanpa pengeras suara, sebab saat itu masyarakat Hindu tengah merayakan Nyepi.
Hanya di tempat ini, rumah-rumah ibadah dibangun tanpa sekat pemisah dan memiliki satu halaman, mencerminkan kebhinnekaan yang ika. Di atas tanah itu, kemajemukan dipersatukan. Doa-doa terangkat menuju Ilahi, berjumpa dalam nada kehangatan, serta membagi kisah satu sama lain.
Demi Tuhan, kali ini perbedaan itu memberikan keindahan.




Juara I Lomba Menulis Flash Fiction "Hikmah di Balik Perbedaan"


February 02, 2013

Di Suatu Sudut Kedai Kopi



Seorang waiter meletakkan secangkir cappuccino di atas meja, melirik sebentar gadis yang duduk di sana, lalu pergi dalam diam. Sesaat gadis itu masih mematung, terus menatap jalanan dari bangunan lantai dua itu. Menunggu sesuatu yang entah apa. Namun kemudian jemarinya bergerak mendekati cangkir yang baru saja diantarkan waiter. Cangkir berwarna putih tulang itu kemudian diangkatnya, didekatkannya ke mulut. Dalam sunyi ia menyesap isi cangkir itu lalu meletakkannya lagi. Terdengar sedikit denting saat ia meletakkan kembali cangkirnya, diikuti suara embusan napas yang sangat berat.
Ia memejamkan mata. Ia sangat lelah. Saat ia membuka mata, pandangannya tersaruk pada cangkir-cangkir kopi di hadapannya. Matanya lalu menelusuri tiap jengkal meja yang kini ia tempati, mengingat semua hal yang dapat ia ingat. Hiruk pikuk Purwokerto yang tergambar di Jalan Jenderal Soedirman, lampu-lampu hias, pagar pembatas, kotak tisu, nomor meja... Ia menarik napas, mencoba mengatasi rasa sesak yang tiba-tiba menyerang. Rasa sesak yang datang bersamaan dengan bayangan samar tentang sosok-sosok di masa lalu. Perlahan ia meneguk lagi isi cangkirnya.
“Udah dua tahun ya, Maurin...”
Gadis itu menoleh. Ia mendapati seorang berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tak sulit bagi Maurin untuk mengenali sosok itu. Jeans, sepatu kets, kaos distro, rambut model messy mohawk yang agak berantakan. Ia belum banyak berubah.
“Joshua?”
Joshua. Sosok yang sejak tadi hanya menjadi bayangan samar itu kini datang. Namun kini ia hanya datang sendiri. Maurin menarik napas panjang. Sementara Joshua berjalan mendekat.
“Boleh duduk?”
Maurin mengangguk samar. Joshua menarik kursi perlahan, lalu duduk. Suasana mendadak hening. Rasa canggung itu tak dapat dihindari. Semua kata tertahan, tidak seperti dulu. Seperti dua tahun lalu. Seperti ketika mereka masih bertiga.
Bertiga?
“Kamu ingat awal pertemuan kita?”
“Udah dua tahun yang lalu, Jo...”
Entahlah. Maurin bahkan tak mengerti apa yang ia katakan. Dua tahun sudah masalah itu ia tinggalkan tanpa ujung yang pasti. Saat ini salah satu pemeran kisah itu ada di dekatnya, duduk menikmati secangkir espresso yang baru saja diantar oleh seorang waiter.
Espresso,” gumam Joshua.
“Hebat, keras, penuntut, penuh tantangan...”
“Dan sok tau,” sambung Maurin.
“Tepat!” ujar Joshua, kemudian terkekeh. “Kamu kangen Bara?”
Maurin tersentak.
“Apaan sih Jo...”
“Kangen juga nggak apa-apa,” lirih Joshua.
Maurin mencoba tertawa, namun terasa hambar.

January 17, 2013

Menuju Akhir Perjalanan



Tahun dua ribu tiga belas datang tanpa pesan. Malam pergantian tahun benar-benar tidak jauh berbeda dengan tiga ratus enam puluh lima malam sebelumnya, tentu kita bicara selain tentang kembang api dan riuh suara terompet yang mengudara. Malam bergulir begitu saja, mengantarkan tahun baru yang akan menjadi tahun terakhir bagi kami untuk menginjakkan kaki di sekolah sebagai seorang siswa.

Pertengahan tahun ini akan terekam jelas dalam ingatan sebagai akhir perjalanan kami. Bukan perjalanan sesungguhnya, sebab ini hanyalah sebagian kecil dari perjalanan kami yang sesungguhnya. Perjalanan yang hampir berakhir ini hanyalah sebuah permulaan. Suatu rimba telah menunggu di depan gerbang. Tiga tahun pembelajaran kami akan menjadi bekal untuk menjelajah rimba itu. Kelak guru-guru kami akan bersama-sama dengan rasa haru melepas kami ke depan gerbang, menemukan jalan masing-masing, menulis cerita masing-masing, dengan secuil harapan agar kelak kami dapat kembali untuk berkisah tentang kesuksesan masing-masing. Mereka akan tersenyum dan melambaikan tangan, membuat kami merasakan rindu yang datang terlalu awal. Rindu masa-masa menyenangkan di bangku sekolah.

January 14, 2013

Pintu Langit - Epilog



Malam yang sama. Tempat yang sama. Dan ada rasi bintang yang sama. Tampak Alnitak, Alnilam, dan Mintaka masih berdiam dan berkedip genit, merayu-rayu. Bintang-bintang itu terbingkai Betelgeuse, Bellatrix, Saiph, dan Rigel. Meissa berpendar malu-malu di bagian atasnya.
Mereka kembali datang di Januari yang tenang. Hanya berdua.
“Sang Pemburu...”
Dua pasang mata itu bersinar. Keduanya lalu menatap kilau Orion yang menjelma di sepanjang horizon.
Pintu langit kembali menjadi saksi sebuah kisah sederhana tentang sepasang manusia yang saling jatuh cinta. Kali ini berbeda, bukan tentang sepasang manusia yang saling memendam dan bungkam, melainkan sepasang manusia yang dengan berani mengungkapkan karena mereka mengerti bahwa cinta bukan hanya diam. Sepasang tangan itu lalu bertaut erat, saling menggenggam.
Di lengkung langit awan hitam kian memudar, jutaan bintang berarak dan berpendar-pendar. Orion memeluk cakrawala, kembali menjadi saksi atas sebuah janji sepasang manusia untuk saling menjaga.


 TAMAT

Pintu Langit - 16




PRESENT
JANJI YANG SEMPURNA

Sejenak dia menengadah melihat langit yang begitu cerah. Hari ini, untuk pertama kalinya dia merasakan arti rasa cinta sesungguhnya. Begitu indah.
Siang itu begitu dingin padahal mendung tidak terlihat. Brian tak peduli. Satu hal yang harus diselesaikannya kini adalah tentang pertanyaannya sendiri, tentang perasaannya, dan apa yang harus diselesaikannya. Tak ada yang akan menjawabnya selain dirinya sendiri. Maka hari ini dia bertekad untuk . Tak akan pernah dia membuang kesempatan ini.
Dia telah duduk manis di belakang kemudi. Sejenak dia terdiam untuk mengambil napas, dalam. Keyakinan telah memenuhi ruang-ruang hatinya. Kini hanya ada satu tempat yang menjadi tujuannya yang pertama.
Rumah Luna.
*
Langkah gadis itu terbata menyusuri jalan kecil yang sepertinya menanjak namun tak berujung. Matanya tertutup sejak tadi, sejak Brian memintanya menutup mata sebelum turun dari mobil. Beberapa kali kakinya menyentuh bebatuan pertanda jalanan itu sangat kasar. Dia terus melangkah sambil menggenggam erat tangan Brian di bahunya.
“Udah sampai, Brian?”
“Belum.”
Tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Gue tutup mata lo pake saputangan, ya, Lun?”
Luna hanya diam. Dia mengangguk bisu.
Keduanya kembali melangkah meniti jalan yang semakin menanjak. Tak sampai lima menit, Luna dan Brian berhenti. Perlahan Brian membuka saputangan yang sejak tadi menghalangi pandangan Luna.
Luna ternganga. Bagaimana mungkin dia tidak mengenali tempat ini? Pohon randu, rumput, ilalang, langit, dan awan telah membawanya berputar-putar di lorong waktu untuk kemudian kembali ke satu masa. Saat dia masih bersama Andro.

Pintu Langit - 15




PRESENT
SUARA-SUARA DARI HATI

LUNA
Malam temaram, kabut tipis turun perlahan. Malam ini aku kembali berdiam menatap langit. Satu nama yang hingga kini masih membekas di ingatanku itu adalah namamu, Andromeda Harya Arkana Aditama. Laki-laki bintang, begitulah aku selalu memanggilmu. Kau akan menimpali dengan memanggilku Putri Bulan. Itu adalah arti nama Luna, ujarmu kala itu.
Aku sangat memahami bahwa kau begitu dekat dengan langit dan bintang-bintang. Setiap akhir pekan kau akan datang menjemputku, mengajakku ke satu tempat di Lembang yang dingin. Kau juga tak pernah lupa mengingatkanku untuk membawa jaket tebal sebab udara Lembang saat malam begitu dingin.
Tempat yang kau tuju saat itu adalah sebuah bukit di balik lebat padang ilalang yang tumbuh setinggi daguku, dan kurasa sepertinya kawanan ilalang itu hanya setinggi dadamu. Kau selalu menggenggam erat tanganku saat melewati padang itu. Aku tahu kau khawatir aku akan tersesat. Dan setelah terbebas dari tumbuhan ilalang yang lebat itu kau akan menunjuk sebuah jalan kecil menuju suatu bukit yang dinaungi sebatang pohon randu. Ke sanalah kita menuju.

January 11, 2013

Pintu Langit - 14





PRESENT
YANG AKU TUNGGU

“Kenapa lo yang pergi balapan sih? Kenapa harus lo yang kaya gini, kenapa bukan gue? Seharusnya gue yang ada di arena itu!”
“Waktu nggak bisa berputar, Brian.”
“Gue janji gue akan bales Raka!”
“Jangan. Cukup satu permintaan gue, Brian...”
“Apa?”
“Aluna. Jaga dia... Lindungi dia... Buat gue...”
Terngiang lagi. Enam kata yang selama ini dia pegang teguh dan ingat-ingat, adalah enam kata terakhir yang Andro ucapkan sebelum dia akhirnya pergi. Tanpa bisa kembali.
Teringat jelas bagaimana pukulan itu membuat Brian hampir kehilangan arah. Dendam berkobar di dalam dadanya seiring berjalannya hari, menanti saat-saat di mana dia bisa melampiaskan amarahnya atas kepergian Andro kepada Raka, pembunuh itu.
Hari-hari berlalu begitu cepat, sedangkan dia sendiri belum menemukan gadis itu. Gadis yang harus dia jaga, dia lindungi, untuk Andro. Dan akhirnya pencarian panjangnya berhenti di Lembang, di sebuah bukit di balik padang ilalang. Dia menemukan sebuah nama di batang pohon randu yang lebat. Nama yang membuatnya menyadari bahwa gadis itu bersekolah di tempat yang sama dengannya, pencarian itu sesungguhnya tak terlalu jauh. Aluna Luvena Dewanti.
Gadis itu ada di hadapannya kini. Menangis.
“Luna,” lirih Brian.

Pintu Langit - 13


PAST
KISAH LAIN

Malam itu, tak seperti biasanya, Brian terbaring lemah di tempat tidur dalam kamarnya. Wajahnya pucat dan matanya terpejam. Suhu tubuhnya meningkat sejak tadi sore. Kini dia tertidur setelah Andro berhasil memaksanya untuk makan dan meminum obat.
Dia tengah membenarkan letak selimut Brian saat tiba-tiba ponsel di atas meja bergetar. Ponsel itu milik Brian, dan sebuah pesan singkat baru saja masuk. Nomor asing.

Rei! Tokai! Dimana lo??
Anak-anak udah pada nunggu.
Kita pindah lokasi, nggak jadi di Diponegoro.

Cepet ke Pasupati!!
Kalo sampe nggak dateng, gue bunuh lo!

Andro tertegun. “Rei?”
Sempat Andro mengira pesan itu salah kirim, namun saat membaca ulang pesan itu dia menyadari sesuatu.
“Tunggu! Pasupati?” Gumam Andro. Pikirannya kini menerawang jauh. Balapan! Tak salah lagi, itulah jawaban yang sering keluar dari mulut Brian saat ditanyai ini itu saat pulang dini hari. Dan malam ini adalah malam Minggu. Jembatan layang Pasupati adalah salah satu tempat di Bandung yang memang sering digunakan untuk balap liar.
Andro mengetik sebuah balasan dengan cepat.

Ok!
Gue jalan sekarang juga.

Andro lekas meletakkan ponsel Brian kembali ke atas meja. Dia bergegas pergi ke garasi rumahnya setelah mengambil jaket kulit dan helm full-face milik Brian. Diam-diam diraihnya kunci motor Brian, lalu dibukanya pagar rumah perlahan. Sebisa mungkin tanpa menimbulkan suara.
Tak lama kemudian motor itu melaju kencang, membelah jalanan kota Bandung yang senyap.

January 10, 2013

Pintu Langit - 12




PRESENT
JAWABAN SEGALA PERTANYAAN

Brian terus melongok ke dalam kelas 3 IPA 2, mencari seseorang yang saat ini ingin ditemuinya. Tak ada waktu, benar-benar harus hari ini dia menemuinya. Dia mendadak gelisah saat tak kunjung ditemuinya sosok itu.
Bukan. Bukan Luna, melainkan Alya.
“Brian ngapain lo di sini?”
Sebuah suara dan tepukan tiba-tiba berhasil membuatnya terlonjak.
“Alya?”
“Mau cari Luna, ya? Kayanya dia masih di―”
“Alya, gue bukan cari Luna. Gue cari lo.”
Alya lalu menyatukan kedua alisnya, heran. “Gue?”
Brian mengangguk. “Pulang sekolah kira-kira lo free nggak? Gue perlu ngomong sama lo.”
“Ngomong soal apa, ya?”
“Banyak,” tukas Brian cepat.
“Oke oke. Pulang sekolah gue free kok.”
“Bagus. Kita ketemu di parkiran ya? Nanti kita cari tempat yang enak buat ngobrol.”
Alya mengangguk mantap.
“Tapi gue minta jangan bilang-bilang Luna soal ini, ya?” Brian tampak memohon, dan lagi-lagi Alya hanya menanggapinya dengan anggukan kecil. “Thanks Al.”
*
Di atas meja itu ada segelas mocca float, secangkir cappuccino, dan sepiring besar kentang goreng. Seorang waiter baru saja meletakkan makanan dan minuman yang dipesan oleh Alya dan Brian di sana. Keduanya mulai menikmati minuman mereka.
Brian mengangkat cangkir keramik berisi cappuccino di tangannya, menyesapnya, lalu meletakkannya kembali dan mulai bicara.
“Alya, gue boleh nanya sesuatu?”
“Bukannya itu tujuan lo bawa gue ke sini, Bri?”
Brian tersenyum.
“Soal Luna.”
“Luna?”
“Iya.”

Pintu Langit - 11


\


PRESENT
BINTANG ITU MEMILIKI NAMA

Brian, Luna, Rio, dan Alya melangkah keluar dari gedung bioskop dengan tawa yang masih terdengar renyah. Alya terlihat susah payah menahan tawanya agar tidak meledak. Sementara itu Rio yang kini berjalan di sampingnya tampak terkekeh di sela-sela komentarnya tentang film bergenre komedi itu. Sementara Brian dan Luna hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah dua orang itu. Malam itu mereka memang pergi bersama untuk menonton film di bioskop. Akhir-akhir ini mereka berempat memang terlihat semakin dekat dan akrab.
“Alya, jangan keterusan gitu dong ketawanya!” Luna tampak mulai risih dengan tawa Alya yang masih meletup-letup. “Kasian Rio nanti disangka boncengin orang gila.”
“Terusin aja ketawanya. Kalian klop kok, orang-orang nggak bakal protes liat orang gila boncengin orang gila,” Brian menyahut dari belakang dan sukses mendapat satu pukulan di bahunya dari Rio.
“Sialan lo!” Rio menggerutu diiringi gelak tawa teman-temannya. “Eh, tapi tunggu deh. Kita jalan berempat gini nanti bisa-bisa disangka double date lagi!”
“Amiiin!” Celetuk Brian sambil mengangkat kedua tangannya.
Lalu gelak tawa kembali terdengar dari mereka, kecuali Luna. Gadis itu tampak diam-diam melirik Brian, entah untuk mencari apa. Dan saat melihat Brian berhenti berjalan buru-buru dia membuang pandangannya sebelum Brian menyadari bahwa dia memperhatikannya.
“Pulang atau gimana nih, Lun?”

January 06, 2013

Pintu Langit - 10




PRESENT
RASA ITU

Pagi ini Brian datang ke sekolah dengan muka yang masih menyisakan luka dan memar akibat aksi pengeroyokan kemarin. Koridor sudah sangat sepi ketika Brian datang. Tak ada satupun siswa yang terlihat. Sepertinya dia terlambat lagi. Meski begitu Brian tetap dengan santai berjalan ke arah kelasnya tanpa sedikitpun rasa khawatir akan kena omelan-omelan dari gurunya.
Badannya masih terasa nyeri, namun bagaimanapun dia harus tetap berangkat ke sekolah. Dia tak bisa membiarkan Raka mengganggu Luna lagi.
Dari luar jendela kelasnya dia bisa melihat Bu Rahayu berdiri di depan kelas, menerangkan materi-materi geografi dari buku yang kini ada di tangannya. Brian bergegas masuk.
“Permisi, Bu.”
Seluruh pasang mata di dalam kelas itu kini tertuju pada Brian. Mereka semua melemparkan pandangan yang menyiratkan keheranan. Mungkin karena melihat wajah Brian yang penuh lebam sana-sini.
“Brian?”
“Maaf, Bu, saya terlambat.”
Wanita paruh baya itu mengernyitkan dahi. Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Apa nggak ada kalimat lain selain ‘Maaf, Bu, saya terlambat’?”
Brian hanya mengangkat bahu. “Jadi, saya boleh duduk nggak nih, Bu?”
“Brian! Kamu tahu ini sudah jam berapa? Sudah berapa kali kamu terlambat di jam pelajaran saya?”
“Saya belum sempet ngitung, Bu!” jawab Brian santai sambil berlalu menuju tempat duduknya.

Pintu Langit - 9




PRESENT
PEMBALASAN

SMA Bakti Mulia telah sepi. Hanya segelintir siswa yang masih terlihat bergelut dengan kegiatan ekstrakulikulernya. Termasuk Brian di antaranya. Tampak dia tengah serius memainkan sebuah bola basket di tangannya. Dribble, passing, shooting. Matanya menyapu seluruh lapangan, mencari celah di antara lawan mainnya untuk melemparkan bola dalam penguasaannya ini ke dalam ring atau minimal memberikannya pada seorang teman.
PRIIIITT!!
Pelatih meniup peluit tepat saat Brian melemparkan bola basketnya pada Dwi, pemuda jangkung berambut cepak yang telah mengambil posisi di daerah pertahanan lawan. Dibiarkannya bola itu lalu begitu saja. Mereka lalu berjalan ke tepi lapangan. Dengan malas Brian mengambil botol minum di dalam tasnya dan meneguknya setengah isi. Sang pelatih masih terlihat memberikan beberapa komentar dan masukan. Brian tidak mendengarkannya. Setelah dipersilahkan, dia melenggang pulang. Dia melangkah ke parkiran motor bersama kawan ekskul basketnya yang lain.
“Gue duluan, ya?” seseorang menepuk pundak Brian, kemudian menaiki motornya. Brian hanya membalasnya dengan sebuah anggukan kecil.
Brian pun menaiki motornya. Terasa aneh. Dia lalu memutuskan untuk kembali turun dan berjongkok memeriksa ban. Sesuai dugaannya, kempes.
“Heh, babi!” Seru seseorang dari belakang.

Pintu Langit - 8








PAST
ANDROMEDA

“Kenapa Brian tadi diem aja di makam Mama? Katanya kangen.”
Suara Andro memecah keheningan. Brian mengangkat wajahnya yang sejak tadi dia benamkan.
“Brian takut.”
“Takut apa?”
“Brian takut Mama marah. Soalnya Brian nakal.”
Andro beringsut mendekat. Perlahan dirangkulnya Brian dan diusapnya lembut bahu adiknya itu. “Mana mungkin Mama marah, Brian kan udah minta maaf sama Ozy.”
Tak ada yang berubah dari raut wajah Brian. Dia memandang jauh ke arah ilalang yang bergoyang tertiup angin. Andro menarik napas panjang, lalu berbaring di atas rerumputan. Kedua matanya mengerjap karena silaunya cahaya matahari yang datang melalui celah-celah ranting pohon.
Tiba-tiba Brian bangkit dari duduknya.
“Kak Andro, ayo kita gali lubang!”
Andro menoleh. “Lubang buat apa?”
“Kita kubur harta karun.”
*
Sudah seharian mereka bermain-main. Seperti yang sudah-sudah, mereka akan lupa waktu jika bermain di tempat ini. Berjam-jam mereka melakukan hal-hal yang menurut mereka sangat menyenangkan, namun tak merasa lelah juga. Hingga senja telah larut ditelan remang malam, mereka masih tak ingin pulang.
Mereka berdua kini tengah berbaring menatap bintang-bintang di angkasa yang entah berapa jumlahnya.
“Sekarang bulan apa, Brian?”
“April.”
Andro tersentak. Beberapa saat kemudian dia beringsut mengubah posisi tidurnya menghadap langit utara.

Pintu Langit - 7






PRESENT
UNTUK SEBUAH NAMA

Langit begitu gelap. Pagi itu, begitu turun dari atas bus yang ditumpanginya, Luna berlari secepat mungkin menembus rintik yang kini turun semakin deras menuju gerbang sekolah. Hujan tak boleh menghalanginya untuk pergi ke sekolah. Walaupun secara tak langsung kembali ke sekolah berarti kembali menghadapi pemuda aneh bernama Raka yang akhir-akhir ini cukup mengganggu.
Sekarang bukan suatu kejutan lagi kalau pagi-pagi di meja Luna telah teronggok sebuah hadiah. Pun hari ini, seperti biasanya, sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan secarik kertas berisi sebuah puisi telah tergeletak di mejanya.
Luna meraih secarik kertas itu dan perlahan-lahan membukanya.

Malaikat itu seperti orang-orang, selalu datang dan pergi.
Bedanya, malaikat akan bikin hidup kita jadi berarti.
Mudah-mudahan kamu adalah malaikat pertama dan terakhir dalam hidupku.
Dulu aku gak percaya kalau malaikat itu ada, sampai akhirnya aku ketemu dirimu.
Tiap kali aku memandang matamu, aku sadar bahwa malaikat ada di dalamnya.
Kamu itu bagaikan malaikat yah.
Terlalu rapuh untuk berada di bumi, dan terlalu cantik kalau berdiri di pintu surga.
Saat aku ketemu kamu, aku melihat malaikat tanpa sayap.
Tapi hati sang malaikat bikin aku terbang ke awan.
Selamat pagi, malaikatku! 

“Kalimat murahan!” Desisnya sambil geleng-geleng kepala.