Seorang waiter meletakkan secangkir cappuccino
di atas meja, melirik sebentar gadis yang duduk di sana, lalu pergi dalam diam.
Sesaat gadis itu masih mematung, terus menatap jalanan dari bangunan lantai dua
itu. Menunggu sesuatu yang entah apa. Namun kemudian jemarinya bergerak
mendekati cangkir yang baru saja diantarkan waiter.
Cangkir berwarna putih tulang itu kemudian diangkatnya, didekatkannya ke mulut.
Dalam sunyi ia menyesap isi cangkir itu lalu meletakkannya lagi. Terdengar
sedikit denting saat ia meletakkan kembali cangkirnya, diikuti suara embusan
napas yang sangat berat.
Ia memejamkan
mata. Ia sangat lelah. Saat ia membuka mata, pandangannya tersaruk pada
cangkir-cangkir kopi di hadapannya. Matanya lalu menelusuri tiap jengkal meja
yang kini ia tempati, mengingat semua hal yang dapat ia ingat. Hiruk pikuk Purwokerto
yang tergambar di Jalan Jenderal Soedirman, lampu-lampu hias, pagar pembatas, kotak
tisu, nomor meja... Ia menarik napas, mencoba mengatasi rasa sesak yang tiba-tiba
menyerang. Rasa sesak yang datang bersamaan dengan bayangan samar tentang
sosok-sosok di masa lalu. Perlahan ia meneguk lagi isi cangkirnya.
“Udah dua tahun
ya, Maurin...”
Gadis itu
menoleh. Ia mendapati seorang berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang
sulit diartikan. Tak sulit bagi Maurin untuk mengenali sosok itu. Jeans, sepatu
kets, kaos distro, rambut model messy
mohawk yang agak berantakan. Ia belum banyak berubah.
“Joshua?”
Joshua. Sosok
yang sejak tadi hanya menjadi bayangan samar itu kini datang. Namun kini ia
hanya datang sendiri. Maurin menarik napas panjang. Sementara Joshua berjalan
mendekat.
“Boleh duduk?”
Maurin
mengangguk samar. Joshua menarik kursi perlahan, lalu duduk. Suasana mendadak
hening. Rasa canggung itu tak dapat dihindari. Semua kata tertahan, tidak
seperti dulu. Seperti dua tahun lalu. Seperti ketika mereka masih bertiga.
Bertiga?
“Kamu ingat awal
pertemuan kita?”
“Udah dua tahun
yang lalu, Jo...”
Entahlah. Maurin
bahkan tak mengerti apa yang ia katakan. Dua tahun sudah masalah itu ia
tinggalkan tanpa ujung yang pasti. Saat ini salah satu pemeran kisah itu ada di
dekatnya, duduk menikmati secangkir espresso
yang baru saja diantar oleh seorang waiter.
“Espresso,” gumam Joshua.
“Hebat, keras,
penuntut, penuh tantangan...”
“Dan sok tau,”
sambung Maurin.
“Tepat!” ujar
Joshua, kemudian terkekeh. “Kamu kangen Bara?”
Maurin
tersentak.
“Apaan sih
Jo...”
“Kangen juga
nggak apa-apa,” lirih Joshua.
Maurin mencoba
tertawa, namun terasa hambar.
Musim penghujan hadir tanpa pesan
Bawa kenangan lama telah menghilang
Samar-samar ia
mendengar lagu itu mengalun. Lagu yang sama, yang ia suka. Lagu yang sama, yang
sering ia nyanyikan tanpa sadar di meja itu. Lagu yang sama, yang detik itu
seperti membawanya larut dalam kenangan bersama sosok-sosok dari masa lalu, kemudian
menenggelamkannya tanpa ampun dalam penyesalan.
“Saat yang indah dikau di pelukan, setiap nafasmu adalah milikku,”
Joshua bersenandung.
Maurin tersenyum
meski samar dan sangat pahit. Tiba-tiba saja kepalanya pening, entah karena
serangan kafein atau hal lain. Hanya satu hal yang Maurin pahami, saat sosok
itu datang, ia merasa genaplah sudah serbuan kenangan yang sejak tadi berputar
di kepalanya. Maurin menggigit bibirnya, meredam rasa sakit yang entah datang
dari mana.
Surya terpancar dari wajah kita
Bagai menghalau mendung hitam tiba
*
Sudah sejak berbulan-bulan yang lalu gadis itu rutin datang. Malam
Minggu, meja nomor dua puluh, bercangkir-cangkir kopi, kesendirian, dan
sayup-sayup suara dari jalanan yang terkadang ditemani gerimis adalah satu
kesatuan yang tertanam dalam diri Maurin. Entah sejak kapan ia mulai menikmati
hal itu. Entah berapa malam Minggu yang ia lewati di meja nomor dua puluh café
ini. Entah berapa banyak cangkir kopi yang hingga detik ini menemaninya. Menyesap
isi cangkirnya sembari mengenang masa lalu, merencanakan masa depan, atau
apapun. Mungkin inilah caranya menikmati hidup.
Maurin bukan gadis yang tengah dilanda patah hati lalu memilih
untuk menghabiskan hari-harinya dalam sunyi. Hidupnya yang terkadang penuh
masalah membuatnya menyukai ketenangan. Setidaknya, ia memiliki beberapa jam
yang begitu tenang dalam seminggu, untuk dirinya sendiri.
Meja ini adalah tempat favoritnya. Meja nomor dua puluh, di lantai
dua café yang tak berdinding, dekat dengan pembatas, sehingga ia bisa merasakan
angin malam dan mendengar suara-suara dari Jalan Jenderal Soedirman yang
berpadu dengan lagu dari dalam café. Di antara sekian banyak lagu yang telah ia
dengar, ada lagu yang tak pernah absen diputar. Selalu ada saat Maurin duduk di
sana. Maurin tak pernah bosan. Gerimis milik Kla Project adalah kesukaannya, akan
selalu menjadi favoritnya.
Malam Minggu ini café benar-benar ramai. Mungkin karena masih
dalam suasana liburan akhir tahun pelajaran sehingga banyak pemuda dan pemudi
memilih untuk hangout atau menghabiskan
waktu di luar rumah. Semua meja di lantai dua terlihat penuh. Semua tampak
tenggelam dalam obrolan yang sepertinya menyenangkan. Semua orang tampak
berinteraksi. Semuanya, kecuali Maurin.
“Permisi...” ucap seseorang.
“Ya?”
Maurin mengangkat kepala. Dua pemuda yang asing tampak berdiri di
dekat mejanya. Salah satunya berwajah oriental, berkulit putih, berambut fauxhawk, dan berbibir mungil. Ia
mengenakan hoodie abu-abu gelap dan
celana jeans. Maurin yakin bahwa pemuda
itulah yang mengucapkan ‘permisi’ barusan.
“Boleh gabung?”
Maurin terdiam sejenak. Sejauh ini belum pernah ada satupun orang
yang ‘mengusik’ tempatnya di cafĂ© itu. Ia beralih menatap satu pemuda lain yang
berdiri tak jauh di belakang. Ia tak mengenal keduanya. Haruskah ia menerima
permintaan pemuda sipit itu untuk berbagi meja?
“Meja lain udah full,”
ujar pemuda itu.
Maurin hampir saja menolak sebelum ia mendapati seluruh meja
memang benar-benar terisi. Hanya mejanya saja yang masih menyisakan kursi
kosong.
Maurin mengangguk perlahan. “Oke...”
“Thanks,” ucap pemilik
wajah oriental itu sambil tersenyum. Senyum sederhana, dengan mata yang
menyipit dan bibir yang terangkat sedikit, namun cukup menawan di mata Maurin.
Ia pun balas tersenyum. Ia lalu menarik kursi. Pemuda yang sejak tadi berdiri
di belakangnya pun tersenyum, lalu duduk.
Sesaat kemudian pemuda itu mengulurkan tangan. “Aldebaran.”
Maurin melongo.
“Hah?”
“Aku Aldebaran.”
“Oh,” ia kemudian menjabat tangan pemuda itu. “Maurin.”
Pandangan Maurin beralih.
“Eh, iya, aku Joshua. Bisa dipanggil Jo, Jojo, atau Jose juga
boleh,” ujar pemuda bernama Joshua sambil mengulurkan tangan yang kemudian
diterima oleh Maurin.
Diam-diam Bara tersenyum. Langkahnya menemui titik terang. Dengan
persetujuannya, Joshua membawanya ke café ini, membawanya ke meja ini, meja
nomor dua puluh yang sering Maurin tempati. Membawanya ke gadis yang diam-diam ia
kagumi namun baru kali ini dapat ia dekati. Setidaknya jarak antara dirinya dan
Maurin sudah dekat, bukan?
Sementara tanpa mereka ketahui, Maurin justru merasa canggung.
Belum pernah ada seseorang yang menemaninya di meja nomor dua puluh ini. Ia
selalu menikmati kopinya dalam kesendirian, tanpa teman, tanpa percakapan.
Namun saat ini keadaannya berbeda. Ada dua orang asing yang muncul. Tentu ia
tak bisa pura-pura tak peduli.
Tak lama kemudian Joshua tampak melambaikan tangan kanannya, memanggil
seorang waiter dan memesan minuman.
“Nama kamu beneran Aldebaran?” tanya Maurin, mencoba membuka
obrolan.
“Yes, kenapa?”
“Kok kaya nama...” Maurin menggantung ucapannya, mencoba mengingat
sesuatu.
“Bintang?” sambung pemuda bernama Aldebaran itu. Ia terkekeh.
“Bener.”
“Rasi Taurus?”
“Tepat.”
“Aku nggak harus panggil
kamu Alpha Taurus kan?”
Pemuda itu tertawa. Ia lalu menggeleng dan tersenyum. “Aldebaran
aja udah panjang, repot amat mau manggil Alpha
Taurus. Cukup panggil Bara.”
“Bara?”
“Iya,” singkatnya.
“Maurin!” seru Joshua tiba-tiba. “Ini semua kamu yang minum?”
Setelah menelusuri meja yang ia tempati dan mengetahui arah pembicaraan
Joshua, Maurin mengangguk santai. Ada tiga cangkir di sana. Salah satu cangkir
isinya telah berkurang sepertiga bagian, sementara dua cangkir lainnya telah
kosong.
“Keren!”
Maurin tertawa. “Biasa aja ah.”
“Ini luar biasa, Rin.”
“Aku kan udah biasa ngopi sebanyak ini, jadi nggak jadi luar biasa
lah, Jo,” ujar Maurin, masih terkekeh.
“Tapi aku nggak biasa liat cewek minum kopi sampai sebanyak ini.
Jadi tetep luar biasa,” sanggah Joshua berapi-api. “Eh, apa nggak bahaya?”
“Udah berbulan-bulan aku minum kopi secara extreme, sampai sekarang belum keliahatan bahayanya kok,” ucap
Maurin sambil mengangkat cangkirnya, lalu meminum sedikit cappuccino di dalamnya.
“Batas minum kopi itu lima cangkir sehari,” Bara kemudian menyela.
“Aku pernah sampai tujuh,” gumam Maurin.
Bara dan Joshua sontak melongo. Keduanya sedang menerka-nerka
dengan siapa mereka berhadapan saat ini. Kelelawar? Atau ikan paus?
“Terus efeknya apa?” tanya Joshua antusias.
“Kembung lah, di perut cuma air gitu.”
“Terus?”
“Agak pusing,”
“Tuh kan bahaya,” ujar Joshua.
“Bukan pusing yang macem-macem sih. Pusingnya karena aku baru bisa
tidur hampir tiga puluh jam setelah gelas terakhir tandas,” ucap Maurin santai.
Sementara Bara hanya terkekeh.
“Hebat, hebat...” gumam Joshua, kagum.
“Hari ini kamu minum tiga cangkir?” tanya Bara menyelidik.
“Baru tiga sih,”
“Cappuccino?”
“Iya.”
“Cantik.”
Maurin mengangkat sebelah alisnya. “Apaan?”
“Karakter peminum cappuccino.
Santai, cerdas, romantis, cantik...”
“Ngarang.”
“Aku serius, Maurin.”
Maurin tersenyum samar. Ada rasa jengah yang tiba-tiba muncul
namun berusaha ia tepis.
“Tau dari mana sih?”
“Analisa,” ujar Bara. “Semua ilmu pengetahuan didapat dari analisa.”
Tanpa sadar ujung bibirnya terangkat. Maurin tersenyum mengiyakan.
Bersamaan dengan reaksi kagum dadakan itu, seorang waiter datang mengantarkan dua cangkir pesanan Bara dan Joshua.
“Espresso,” lirih
Maurin, terus menatap cangkir Bara yang berisi cairan hitam pekat.
Bara tersenyum. “Hebat, keras,
penuntut, penuh tantangan...” ucap pemuda itu, kemudian menyeruput kopinya
perlahan.
“Dan sok tahu,”
sambung Maurin.
“Kalau caffĂ© latte apaan
Bar?” ucap Joshua sambil meraih cangkirnya.
“Nggak tau.”
“Masa nggak tau sih?”
Bara hanya mengangkat bahu.
“Payah...” ucap Maurin.
“Tepat!” seru Bara tiba-tiba. Maurin menyatukan kedua alisnya,
keheranan. “Iya itu dia karakternya. Joshua emang payah sih.”
Joshua ikut tertawa bersama Bara. Maurin hanya terkekeh. Dalam
hatinya, entah di bagian mana, ia mendengar satu suara. Suara yang samar-samar
mengatakan bahwa mungkin mereka memang ditakdirkan Tuhan untuk datang,
menyudahi malam Minggunya yang selalu sunyi. Entahlah. Maurin hanya merasa cappuccino-nya malam ini terasa lebih
manis dari biasanya.
*
Bara dan Joshua, dua pemuda yang baru saja menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Jenderal Soedirman. Dua pemuda dari jurusan yang
sama, manajemen. Dua pemuda yang bersahabat. Dua pemuda yang tiba-tiba datang
pada suatu malam tanpa Maurin minta. Keduanya menyenangkan. Maurin tak mampu
menolaknya. Tanpa Maurin sadari, perlahan-lahan hatinya terbuka. Beberapa malam
Minggu terasa berbeda. Ia telah menemukan teman.
Musim penghujan hadir tanpa pesan
Bawa kenangan lama telah menghilang
Saat yang indah dikau di pelukan
Setiap nafasmu adalah milikku
“Surya terpancar dari wajah kita, bagai menghalau mendung hitam
tiba...”
Maurin menoleh,
sedikit terkejut mendapati seseorang sudah berdiri tak jauh dari mejanya.
“Bara?”
Ada sedikit
letupan rasa bahagia dalam hatinya saat mengetahui siapa gerangan pemuda yang
tiba-tiba datang itu. Bara. Pemuda itu tersenyum hangat. Bibirnya yang tipis
tertarik dan kedua matanya kian menyipit. Senyum itu yang diam-diam Maurin
suka.
“Boleh duduk
kan?”
Maurin
mengangguk. Sesaat ia melupakan secangkir cappuccino
yang sejak tadi menemaninya. Separuh perhatiannya teralihkan, kini tertuju pada
sosok Bara.
“Nggak sama
Joshua?”
“Lagi sibuk dia.”
Sesaat mulut
Maurin membentuk huruf o, mengangguk paham. Sementara mata Bara diam-diam
bergerak mengamati Maurin. Gadis yang ia kagumi sejak lama kini ada di sana,
berdua dengannya. Hanya dengannya.
“Eh, kamu tau
lagu ini?”
“Apa? Gerimis?”
Maurin
mengangguk.
“Tau banget.”
“Aku suka
lagunya.”
“Kenapa? Karena
kamu baru aja putus cinta?”
Maurin
terkekeh. “Nggak lah.”
“Kirain habis
putus cinta.”
“Nggak kok, Bara,
cintaku kan cuma sama kopi. Yakin deh nggak akan putus.”
Bara hanya
tersenyum. Matanya masih terus mengamati Maurin, meneliti setiap jengkal sosok
gadis yang begitu tergila-gila dengan kopi itu. Bara pernah melihatnya tertidur
pulas di perpustakaan kampus berbulan-bulan lalu, lalu mengamatinya hingga
berjam-jam. Sejak saat itulah ia mengagumi Maurin. Benar-benar tanpa alasan.
“Sekejap badai datang mengoyak kedamaian,” suara Bara mengalun
mengikuti irama lagu.
Maurin menyunggingkan senyum, lalu ikut bernyanyi. “Segala musnah
lalu gerimis langit pun menangis.”
“Suara kamu bagus, Rin.”
“Iya lah, anak
paduan suara kampus,” ucap Maurin bangga.
“Iya deh iya,”
Bara mengangguk-angguk.
Sesaat kemudian
seorang waiter datang, mengantarkan
pesanan Bara.
“Espresso?” tanya Maurin.
Bara mengangguk.
Maurin memperhatikan pemuda itu. Sejauh ini pesanannya selalu sama. Espresso. Paling banyak dua cangkir,
tetapi selalu tandas. Terkadang ia juga menyulut sebatang rokok. Namun kadang
juga tidak.
“Ngeliatinnya
gitu banget sih?”
Maurin
tersentak, menyadari bahwa ia baru saja memandangi Bara sangat lekat.
“Heran aja.”
“Heran kenapa?”
“Kamu lagi
stress dan kopi ini pelarian kamu?” Maurin balik bertanya, ia bahkan tidak
menjawab pertanyaan Bara. “Espresso
tanpa pemanis sampai dua cangkir dalam semalam.”
“Bukan,”
ucapnya lirih. “Aku sengaja pilih espresso
tanpa pemanis, tanpa kamu sadari kamu udah bikin kopi ini manis, bahkan jauh
lebih manis dari latte.”
Untuk sejenak
Maurin diam. Ia tahu ini hanyalah sebuah gombalan yang sangat pasaran, namun
cara Bara mengucapkannya cukup membuat Maurin bisu.
“Aku serius,
Maurin,” gumam Bara.
“Itu udah basi
banget, Bara,” ujar Maurin
Bara terkekeh.
“Kalau boleh jujur, kamu ada benernya. Aku memang lagi stress, ada banyak hal
yang lagi aku perjuangkan akhir-akhir ini. Seluruh pikiran dan tenaga aku
curahkan ke hal-hal itu,” jelas Bara. Maurin hanya mengangguk-angguk mengerti.
“Tapi kalau soal kopi sebagai pelarian, kayanya nggak deh. Serius, espresso ini memang kerasa manis kalau
diminum bareng kamu.”
“Aldebaran,
cari gombalan yang lain deh, yang itu udah basi banget.”
“Terserah kamu
mau percaya atau nggak. Kalau espresso
ini pahit, aku nggak akan bertahan nelen ini setiap weekend sebanyak dua cangkir sampe habis.”
Maurin
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Cobain semua
kopi pahit di Purwokerto bareng kamu, mulai dari kopi di angkringan, warteg, restaurant,
sampai hotel Aston Imperium pun aku mau, asal kamu percaya sama kata-kataku.”
“Boleh juga...”
Bara terdiam.
Sebelah alisnya terangkat. Maurin benar-benar membuatnya jatuh cinta.
“Deal.”
*
Sudah lebih dari tiga bulan berlalu, sejak Bara
datang. Malam-malam yang sebelumnya hanya menjadi malam penuh kesendirian dan
keheningan kini tak lagi sama. Bara selalu duduk di sana, bersama dengannya, di
meja nomor dua puluh. Lalu keesokan harinya pada hari Minggu, Bara akan
menjemputnya lalu membawanya mengelilingi Purwokerto, demi mencari kopi pahit
yang dapat berubah manis seperti kata Bara. Sangat lucu.
Mereka berteman dekat, tanpa alasan khusus.
Maurin hanya merasa nyaman atas segala perlakuan Bara dan caranya bicara.
Sederhana dan menyenangkan. Tentu Maurin bukan gadis lugu. Ia tahu bahwa Bara
menaruh hati untuknya. Lagipula pemuda itu sendiri pernah mengakuinya meski
hanya sekilas. Lambat laun Maurin merasa senang akan kehadiran Bara. Ia tak
menyesali pertemuannya dengan Bara beberapa waktu lalu. Karena kini ia
mendapatkan sosok seorang teman dalam diri Bara.
Benar, sosok seorang teman.
“Kita balapan aja, yuk!” seru Bara.
Hari Minggu itu mereka berkumpul. Bara,
Maurin, dan Joshua sengaja berangkat pukul lima pagi dari rumah masing-masing.
Mereka mengayuh sepeda dan bertemu di alun-alun kota.
“Serius nggak?” seru Maurin memastikan.
“Seratus rius,” celetuk Bara.
“So
give me the track!” Joshua menimpali.
Bara tersenyum penuh arti. “Jam setengah enam
tepat kita start,” ucap Bara sambil
melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Pilih jalan terserah kalian, yang penting finish di pintu gerbang Gelora Satria. Dia yang paling belakang
harus bayar makanan apapun yang kita pagi ini. Deal?”
“Deal,” seru Joshua dan Maurin bersamaan.
Tak lama kemudian balap sepeda antara dua
orang pemuda dan satu orang pemudi itu dimulai. Mereka sama-sama mengambil rute
paling sederhana; lurus ke utara melewati satu persimpangan dan belok kanan di
persimpangan kedua. Joshua dan Bara melaju berdampingan, merasa berhasil
meninggalkan Maurin di belakang. Mereka begitu percaya diri dan yakin bahwa
hari ini Maurin-lah yang akan menanggung bubur ayam, es dawet, es durian, dan
berbagai jajanan yang mereka makan.
*
“Semprul!” Joshua turun dari atas sepedanya
dan bersungut-sungut. Sementara Bara sedang melongo di atas sepedanya mendapati
Maurin kini tengah duduk di atas trotoar dekat pintu gerbang Gelora Satria. Ia tersenyum
dan dengan sombongnya menggerak-gerakkan tangannya seolah mengipas.
“Lelet kalian!” serunya.
“Cepet banget sih, Rin?”
“Iya lah, sepedaku kan dipasang perangkat jet
super canggih, Jo,” celoteh Maurin. Sesaat kemudian datang seorang wanita paruh
baya membawa semangkuk bubur ayam dan segelas besar jeruk panas. “Kalian harus
berdua patungan buat bayarin makananku. Ini masih ronde pertama, ronde kedua
aku mau soto ayam sama es durian yang di situ,” ujarnya, menunjuk deretan
pedagang makanan yang selalu memenuhi trotoar Gelora Satria setiap hari libur.
“Ronde ketiga mau apa, Rin?” tantang Bara,
yang seketika disenggol lengannya oleh Joshua.
“Bar, jangan asal ngomong gitu dong. Kamu
pikir kekuatan perut dia segede apa, dan kekuatan kantong aku segede apa?”
“Biarin aja, Jo, suka-suka dia lah.”
Semakin ditantang semakin tidak tahu diri,
itulah Maurin. Ia tertawa geli.
“Kloter ketiga aku mau jajan di Pereng. Kalian
harus temenin dan bayarin,” ucapnya santai, sambil melahap bubur ayamnya.
Bara dan Joshua saling berpandangan, lalu
terkekeh. Joshua baru saja melupakan satu hal, bagi Bara, apapun pasti akan ia
berikan jika Maurin yang meminta. Hari ini gadis itu meminta untuk menjelajah
Pereng, sebuah jalan kecil yang letaknya tak jauh dari alun-alun kota. Jalan
yang memang dipadati oleh penjaja berbagai macam makanan di waktu-waktu
tertentu.
“Ronde keempat?” lagi-lagi Bara menantang.
Maurin menghentikan aktifitasnya sejenak.
Sendok di tangan kanannya menggantung di udara, sementara ia masih perlu waktu
untuk berpikir demi menjawab pertanyaan Bara. Butuh sepuluh detik saja baginya
untuk mengatakan...
“Purwokerto City Walk.”
“Ada apa di sana?”
“Mi ramen...”
*
“Kamu udah
pernah aku ceritain tentang hal yang mati-matian aku perjuangkan?” bisik Bara. Dalam
pelukan pemuda itu, Maurin mengangguk ragu. Ia kini sedang berusaha mengingat
tentang hal yang dimaksud Bara. “Hal yang sempet bikin aku stress, terus kamu
nuduh aku jadiin espresso sebagai
pelarian.”
Maurin
terkekeh.
“Aku inget.”
“Kamu tahu apa
itu?”
Tanpa berpikir
pun Maurin tahu arah pembicaraan Bara. “Beasiswa ini?”
Bara mengangguk
mantap. Hari ini adalah hari yang mereka sebut hari perpisahan. Bara akan berangkat
ke Jakarta malam ini juga, Joshua dan Maurin rela datang tengah malam begini demi
bertemu Bara untuk yang terakhir kali. Seperti yang mereka ketahui, Bara
berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Sydney. Pencapaian
yang membanggakan, namun juga menyedihkan sebab mereka harus berpisah.
“Kenapa harus
Syndey? Itu kan jauh banget.”
“Nggak jauh,
kok. Aku bisa pulang setiap bulan, nemenin kamu di meja nomor dua puluh waktu
malam Minggu, nemenin kamu jajan di Pereng, nemenin kamu makan bubur ayam di
Gelora Satria, atau nemenin kamu minum kopi sampai mabuk juga mau.”
Bugg. Satu pukulan mendarat di bahu Bara.
Maurin telah berkaca-kaca.
“Kenapa nangis?”
“Kamu belum
cobain kopi pahit di angkringan, Bar.”
“Masa sih?”
Maurin
mengangguk.
“Kalau gitu,
jadikan minum kopi di angkringan sebagai alasan buat aku balik lagi ke sini,”
ucap Bara sembari mengacak-acak rambut Maurin.
“Sorry,” lirih Maurin tiba-tiba.
“Kok minta
maaf?”
“Sorry sampai saat ini aku belum bisa
balas perasaan kamu.”
Bara menghela
napas panjang. “Apa aku pernah maksa kamu buat cinta sama aku?” Maurin
menggeleng. “Apa aku pernah minta kamu buat balas perasaan aku?” Lagi-lagi
Maurin menggeleng. “Iya, aku cinta sama kamu. Tapi aku nggak pernah maksa kan?
Rasa cinta itu tumbuh sendiri, tanpa diminta. Kalau memang harus nunggu, sampai
kapanpun aku bakalan tetep nunggu kok.”
Maurin
tersenyum, memaklumi.
“Aku pergi
dulu. Kamu baik-baik ya sama Joshua. Jangan berantem,” ucap Bara, semakin dekat
dengan perpisahan. Setelah sekali lagi memeluk Joshua, ia bergegas masuk ke
mobil. Ia tersenyum hingga matanya menyipit. Senyum yang Maurin suka.
Tak lama
berselang, sosok itu menghilang di tikungan jalan, bersama dengan mobil yang
membawanya ke Jakarta, kemudian ke Sydney, kota yang jauh dari pandangan. Sosok
itu meninggalkan Maurin, hanya bersama Joshua. Meninggalkan gadis yang ia
cinta, itulah yang akan ia sesali di kemudian hari.
*
Malam Minggu, meja nomor dua puluh, bercangkir-cangkir kopi,
kesendirian, dan sayup-sayup suara dari jalanan. Kemudian gerimis berganti menjadi
deras, menambah bunyi-bunyian yang berpadu dengan suara klakson dan deru mesin
kendaraan. Sejak satu jam yang lalu pemuda itu datang. Sejak satu jam itu pula
Maurin mengabaikannya. Rasa sesak dalam dadanya membuatnya bisu. Rasa sesak
dalam dadanya pula yang membuatnya tuli.
Joshua menatap
Maurin dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis di hadapannya ini masih
sama, tak banyak berubah. Masih menarik seperti terakhir kali ia melihat. Gadis
ini pernah membuatnya jatuh cinta. Mungkin sampai saat ini, setelah dua tahun
ia pergi, rasa itu masih tersisa.
Pandangannya
lalu beralih ke atas meja. Di hadapan Maurin berdiam tiga cangkir kosong dan
satu cangkir cappuccino yang tinggal separuh. Dengan mengetahui jumlah kopi
yang telah Maurin habiskan dalam satu jam ini, ia pun mengetahu betapa gundah
hati gadis ini.
“Dia nggak akan
pernah datang lagi,” lirih Maurin.
Joshua menatap
lekat-lekat gadis di hadapannya itu. Ia tahu Maurin sedang berusaha untuk terus
tersenyum. Namun ada getar kesedihan di sana, yang membuat rasa bersalah
kembali menyerang Joshua.
“Aku minta
maaf.”
“Nggak perlu,
Jo.”
“Seharusnya
nggak pernah ada perasaan itu, Rin.”
Maurin diam.
Kalimat Joshua menohoknya. Benar, memang seharusnya tidak pernah ada perasaan
apapun antara Joshua dan dirinya. Mengapa Bara harus pergi meninggalkannya
sendirian saat itu? Mengapa di tengah kesendiriannya harus muncul sosok Joshua?
Mengapa harus sosok itu yang menemaninya, dan pada akhirnya membuatnya jatuh
cinta?
“Aku yang
salah,” lirih Maurin.
Joshua menatap gadis
di hadapannya, berusaha berkata tidak.
“Aku yang bikin
persahabatan kalian hancur.”
“Maurin...”
“Kenapa malam
itu aku langsung pergi dan menghilang gitu aja?
Kenapa aku lari dari masalah ini? Aku pengecut,” gumamnya.
Perlahan ia
meminum cappuccino dari cangkirnya,
tanpa suara, tanpa tekanan. Maurin terdiam beberapa saat. Cairan itu telah
dingin dan terasa pahit. Mungkin lebih pahit dari espresso tanpa pemanis yang sering Bara minum saat bersamanya.
“Atau mungkin
seharusnya aku yang nggak pernah ada di antara kalian.”
“Maurin, please...” Joshua tampak memohon dengan
sangat. “Jangan pernah salahin diri kamu sendiri,” ucapnya sedikit lebih lembut,
namun tetap tegas.
Jangan
menyalahkan diri sendiri? Konyol. Maurin bahkan telah lelah bertanya-tanya
mengapa ia harus ada di antara Joshua dan Bara. Maurin merasa semua ini memang
kesalahannya. Kemarahan Bara malam itu masih terekam jelas dalam ingatannya.
Tepat di malam Minggu, di tempat yang sama seperti yang ia pijak saat ini,
segalanya hancur dan tak bersisa.
*
“Kalian...”
Mendengar suara baritone yang sangat amat ia kenali
itu, Maurin dan Joshua sontak menoleh. Dan benar saja, tidak jauh dari tempat mereka
duduk, meja nomor dua puluh, Bara berdiri. Dari sorot matanya, Maurin bisa
melihat tatapan penuh tanya yang jelas-jelas diarahkan kepada mereka berdua, ia
dan Joshua.
“Bara,” panggil Maurin pelan. Reflek, Joshua
langsung melepas genggamannya dari tangan Maurin, sementara gadis langsung
berdiri dari kursinya. Mereka layaknya maling yang tertangkap basah.
“Kalian pacaran?” Bara melanjutkan
kata-katanya yang sempat terpotong. Ia berjalan mendekat tanpa senyum di
bibirnya seperti biasa. Maurin menoleh sekilas ke arah Joshua, dan entah
mengapa ia menggeleng.
“Bar... aku... kita...”
Bara terus bertanya, namun tak ada jawaban
selain kebisuan. Joshua dan Maurin tak mengerti harus menjawab apa.
Kepengecutan mereka dimulai sejak detik itu. Mereka berusaha menjelaskan apapun
yang mereka rasa harus dijelaskan. Namun sayang, kata-kata itu seperti
tertahan.
“Kenapa kalian nggak terus terang aja sih?”
seru Bara mulai terpancing emosi.
“Bara, tolong dengerin dulu,” Joshua mencoba
menenangkan.
“Kenapa kalian harus tutup-tutupin ini semua
setiap kita ketemu selama tiga bulan terakhir? Kenapa kalian harus berpura-pura?
Hah? Kenapaa??”
Bara mulai lepas kendali, ia mulai meninggikan
suara. Maurin semakin menciut saat melihat kemarahan yang begitu dalam dari
sorot matanya.
“Bara please!!”
“Kenapa kalian harus pacaran di belakang?”
“Bara!”
“Kenapa aku harus tau dengan cara kaya
gini??”
Buggh...
Maurin
tersentak. Bara telah tersungkur jatuh. Ia mengalihkan pandangannya ke arah
Joshua yang ada di sisinya. Dapat ia lihat kilat emosi di wajahnya dan nafasnya
yang memburu. Maurin hanya bisa menyaksikan, sambil diam-diam menyadari,
kehancuran ada di depan mata.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa dari mulut Bara. Tawa yang begitu pedih. “Kenapa kamu tega
mukul sahabat kamu sendiri, Jo?” gumamnya sambil mencoba bangkit. Tangannya
lalu bergerak menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
“Sorry,” lirih Joshua, mencoba
mengendalikan napasnya yang memburu.
“Kenapa kamu
ambil dia, Jo?”
“Maurin bukan
milik siapa-siapa. Dia bebas, dan dia pilih aku.”
Bara tersenyum samar, mengangguk-angguk entah
untuk apa. Amarah yang terbaca dari sorot matanya kini telah pudar, berganti
kilat kesedihan yang begitu menyakitkan.
“Aku nggak akan pernah ganggu kalian lagi.
Selamat tinggal,” ucapnya lirih, teramat lirih.
Bara berbalik,
berlajan menjauh dari Joshua dan Maurin tanpa sedikitpun menoleh. Ia tampak
begitu ringkih, ia tidak setegar dulu saat berpisah dalam suasana persahabatan
yang kental. Detik itu Maurin merasakan ada sebagian dari dirinya yang hilang
begitu Bara mengucapkan selamat tinggal. Detik itu juga ia yakin bahwa inilah
yang disebut kehilangan.
*
Hening panjang yang
tercipta membuat Maurin merasa semakin tak nyaman. Semua kenangan itu berputar
dan benar-benar membuat dadanya sesak. Ia rasa ia memang harus pergi.
“Aku pergi aja,
Jo,” ucapnya lirih, begitu tiba-tiba.
Maurin meraih
tas dan kunci mobilnya. Ia bersiap pergi. Suasana seperti ini benar-benar
menusuk dirinya, membuatnya kesakitan. Ia tak mau mendengar nama Bara, karena
nama itu yang selama ini membuatnya dihantui rasa bersalah. Ia terlalu pengecut
untuk menghadapi segala hal tentang Bara.
Ia bangkit dari
kursinya, lalu melangkah pergi tanpa permisi.
“Kamu dateng ke
pemakaman besok pagi?”
Maurin berhenti melangkah. Kaki dan tubuhnya
terpaku.
“Maurin, kamu juga berhak datang. Lagipula...”
Joshua menghela napas panjang, “Bara pasti akan bahagia kalau kamu datang ke
pemakamannya.”
“Aku bakal datang, Jo.”
Langkahnya masih tertahan. Maurin masih diam
di sana, terpaku dengan mata berkaca-kaca. Lima detik kemudian ia melenggang
pergi, meninggalkan tempat itu sejauh mungkin, sejauh yang ia mampu. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya agar tidak pecah. Namun gagal.
Bara telah pergi, dan kata maaf itu tak terucap langsung padanya. Seandainya
saja dulu Maurin tak sekejap itu menghilang, mungkin rasa sesal tidak akan
sesesak ini.
Dalam tangisnya
ia masih bertanya-tanya mengapa. Mengapa ia harus jatuh cinta kepada Joshua,
bukan kepada Bara yang begitu baik padanya? Mengapa Bara harus pergi
meninggalkannya berdua dengan Joshua? Mengapa Bara harus kembali dan mendapati
dirinya telah dimiliki Joshua? Mengapa ia harus lari dari masalah ini tanpa
meminta maaf? Mengapa ia harus menghilang selama dua tahun dan muncul saat
semuanya terlambat? Mengapa ia tak memiliki keberanian untuk muncul lebih awal
dan memperbaiki hubungannya dengan Bara? Mengapa kecelakaan itu harus terjadi
dan merenggut nyawanya? Mengapa ia tak bisa berhenti bertanya-tanya?
Di tengah
isakannya, samar-samar Maurin mendengar suara baritone Bara yang mengalun seperti
dulu. Suara yang ia rindukan. Suara yang entah datang dari mana.
Surya terpancar dari wajah kita...
Dengan bibir
yang bergetar, Maurin terisak dan bersenandung.
“Bagai menghalau mendung hitam tiba,” lirihnya.
Musik terus mengalun, sementara Maurin terus menangis.
*