February 02, 2013

Di Suatu Sudut Kedai Kopi



Seorang waiter meletakkan secangkir cappuccino di atas meja, melirik sebentar gadis yang duduk di sana, lalu pergi dalam diam. Sesaat gadis itu masih mematung, terus menatap jalanan dari bangunan lantai dua itu. Menunggu sesuatu yang entah apa. Namun kemudian jemarinya bergerak mendekati cangkir yang baru saja diantarkan waiter. Cangkir berwarna putih tulang itu kemudian diangkatnya, didekatkannya ke mulut. Dalam sunyi ia menyesap isi cangkir itu lalu meletakkannya lagi. Terdengar sedikit denting saat ia meletakkan kembali cangkirnya, diikuti suara embusan napas yang sangat berat.
Ia memejamkan mata. Ia sangat lelah. Saat ia membuka mata, pandangannya tersaruk pada cangkir-cangkir kopi di hadapannya. Matanya lalu menelusuri tiap jengkal meja yang kini ia tempati, mengingat semua hal yang dapat ia ingat. Hiruk pikuk Purwokerto yang tergambar di Jalan Jenderal Soedirman, lampu-lampu hias, pagar pembatas, kotak tisu, nomor meja... Ia menarik napas, mencoba mengatasi rasa sesak yang tiba-tiba menyerang. Rasa sesak yang datang bersamaan dengan bayangan samar tentang sosok-sosok di masa lalu. Perlahan ia meneguk lagi isi cangkirnya.
“Udah dua tahun ya, Maurin...”
Gadis itu menoleh. Ia mendapati seorang berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tak sulit bagi Maurin untuk mengenali sosok itu. Jeans, sepatu kets, kaos distro, rambut model messy mohawk yang agak berantakan. Ia belum banyak berubah.
“Joshua?”
Joshua. Sosok yang sejak tadi hanya menjadi bayangan samar itu kini datang. Namun kini ia hanya datang sendiri. Maurin menarik napas panjang. Sementara Joshua berjalan mendekat.
“Boleh duduk?”
Maurin mengangguk samar. Joshua menarik kursi perlahan, lalu duduk. Suasana mendadak hening. Rasa canggung itu tak dapat dihindari. Semua kata tertahan, tidak seperti dulu. Seperti dua tahun lalu. Seperti ketika mereka masih bertiga.
Bertiga?
“Kamu ingat awal pertemuan kita?”
“Udah dua tahun yang lalu, Jo...”
Entahlah. Maurin bahkan tak mengerti apa yang ia katakan. Dua tahun sudah masalah itu ia tinggalkan tanpa ujung yang pasti. Saat ini salah satu pemeran kisah itu ada di dekatnya, duduk menikmati secangkir espresso yang baru saja diantar oleh seorang waiter.
Espresso,” gumam Joshua.
“Hebat, keras, penuntut, penuh tantangan...”
“Dan sok tau,” sambung Maurin.
“Tepat!” ujar Joshua, kemudian terkekeh. “Kamu kangen Bara?”
Maurin tersentak.
“Apaan sih Jo...”
“Kangen juga nggak apa-apa,” lirih Joshua.
Maurin mencoba tertawa, namun terasa hambar.


Musim penghujan hadir tanpa pesan
Bawa kenangan lama telah menghilang

Samar-samar ia mendengar lagu itu mengalun. Lagu yang sama, yang ia suka. Lagu yang sama, yang sering ia nyanyikan tanpa sadar di meja itu. Lagu yang sama, yang detik itu seperti membawanya larut dalam kenangan bersama sosok-sosok dari masa lalu, kemudian menenggelamkannya tanpa ampun dalam penyesalan.
“Saat yang indah dikau di pelukan, setiap nafasmu adalah milikku,” Joshua bersenandung.
Maurin tersenyum meski samar dan sangat pahit. Tiba-tiba saja kepalanya pening, entah karena serangan kafein atau hal lain. Hanya satu hal yang Maurin pahami, saat sosok itu datang, ia merasa genaplah sudah serbuan kenangan yang sejak tadi berputar di kepalanya. Maurin menggigit bibirnya, meredam rasa sakit yang entah datang dari mana.

Surya terpancar dari wajah kita
Bagai menghalau mendung hitam tiba

*

Sudah sejak berbulan-bulan yang lalu gadis itu rutin datang. Malam Minggu, meja nomor dua puluh, bercangkir-cangkir kopi, kesendirian, dan sayup-sayup suara dari jalanan yang terkadang ditemani gerimis adalah satu kesatuan yang tertanam dalam diri Maurin. Entah sejak kapan ia mulai menikmati hal itu. Entah berapa malam Minggu yang ia lewati di meja nomor dua puluh café ini. Entah berapa banyak cangkir kopi yang hingga detik ini menemaninya. Menyesap isi cangkirnya sembari mengenang masa lalu, merencanakan masa depan, atau apapun. Mungkin inilah caranya menikmati hidup.



Maurin bukan gadis yang tengah dilanda patah hati lalu memilih untuk menghabiskan hari-harinya dalam sunyi. Hidupnya yang terkadang penuh masalah membuatnya menyukai ketenangan. Setidaknya, ia memiliki beberapa jam yang begitu tenang dalam seminggu, untuk dirinya sendiri.
Meja ini adalah tempat favoritnya. Meja nomor dua puluh, di lantai dua café yang tak berdinding, dekat dengan pembatas, sehingga ia bisa merasakan angin malam dan mendengar suara-suara dari Jalan Jenderal Soedirman yang berpadu dengan lagu dari dalam café. Di antara sekian banyak lagu yang telah ia dengar, ada lagu yang tak pernah absen diputar. Selalu ada saat Maurin duduk di sana. Maurin tak pernah bosan. Gerimis milik Kla Project adalah kesukaannya, akan selalu menjadi favoritnya.
Malam Minggu ini café benar-benar ramai. Mungkin karena masih dalam suasana liburan akhir tahun pelajaran sehingga banyak pemuda dan pemudi memilih untuk hangout atau menghabiskan waktu di luar rumah. Semua meja di lantai dua terlihat penuh. Semua tampak tenggelam dalam obrolan yang sepertinya menyenangkan. Semua orang tampak berinteraksi. Semuanya, kecuali Maurin.
“Permisi...” ucap seseorang.
“Ya?”
Maurin mengangkat kepala. Dua pemuda yang asing tampak berdiri di dekat mejanya. Salah satunya berwajah oriental, berkulit putih, berambut fauxhawk, dan berbibir mungil. Ia mengenakan hoodie abu-abu gelap dan celana jeans. Maurin yakin bahwa pemuda itulah yang mengucapkan ‘permisi’ barusan.
“Boleh gabung?”
Maurin terdiam sejenak. Sejauh ini belum pernah ada satupun orang yang ‘mengusik’ tempatnya di cafĂ© itu. Ia beralih menatap satu pemuda lain yang berdiri tak jauh di belakang. Ia tak mengenal keduanya. Haruskah ia menerima permintaan pemuda sipit itu untuk berbagi meja?
“Meja lain udah full,” ujar pemuda itu.
Maurin hampir saja menolak sebelum ia mendapati seluruh meja memang benar-benar terisi. Hanya mejanya saja yang masih menyisakan kursi kosong.
Maurin mengangguk perlahan. “Oke...”
Thanks,” ucap pemilik wajah oriental itu sambil tersenyum. Senyum sederhana, dengan mata yang menyipit dan bibir yang terangkat sedikit, namun cukup menawan di mata Maurin. Ia pun balas tersenyum. Ia lalu menarik kursi. Pemuda yang sejak tadi berdiri di belakangnya pun tersenyum, lalu duduk.
Sesaat kemudian pemuda itu mengulurkan tangan. “Aldebaran.”
Maurin melongo.
“Hah?”
“Aku Aldebaran.”
“Oh,” ia kemudian menjabat tangan pemuda itu. “Maurin.”
Pandangan Maurin beralih.
“Eh, iya, aku Joshua. Bisa dipanggil Jo, Jojo, atau Jose juga boleh,” ujar pemuda bernama Joshua sambil mengulurkan tangan yang kemudian diterima oleh Maurin.
Diam-diam Bara tersenyum. Langkahnya menemui titik terang. Dengan persetujuannya, Joshua membawanya ke café ini, membawanya ke meja ini, meja nomor dua puluh yang sering Maurin tempati. Membawanya ke gadis yang diam-diam ia kagumi namun baru kali ini dapat ia dekati. Setidaknya jarak antara dirinya dan Maurin sudah dekat, bukan?
Sementara tanpa mereka ketahui, Maurin justru merasa canggung. Belum pernah ada seseorang yang menemaninya di meja nomor dua puluh ini. Ia selalu menikmati kopinya dalam kesendirian, tanpa teman, tanpa percakapan. Namun saat ini keadaannya berbeda. Ada dua orang asing yang muncul. Tentu ia tak bisa pura-pura tak peduli.
Tak lama kemudian Joshua tampak melambaikan tangan kanannya, memanggil seorang waiter dan memesan minuman.
“Nama kamu beneran Aldebaran?” tanya Maurin, mencoba membuka obrolan.
Yes, kenapa?”
“Kok kaya nama...” Maurin menggantung ucapannya, mencoba mengingat sesuatu.
“Bintang?” sambung pemuda bernama Aldebaran itu. Ia terkekeh. “Bener.”
“Rasi Taurus?”
“Tepat.”
 “Aku nggak harus panggil kamu Alpha Taurus kan?”
Pemuda itu tertawa. Ia lalu menggeleng dan tersenyum. “Aldebaran aja udah panjang, repot amat mau manggil Alpha Taurus. Cukup panggil Bara.”
“Bara?”
“Iya,” singkatnya.
“Maurin!” seru Joshua tiba-tiba. “Ini semua kamu yang minum?”
Setelah menelusuri meja yang ia tempati dan mengetahui arah pembicaraan Joshua, Maurin mengangguk santai. Ada tiga cangkir di sana. Salah satu cangkir isinya telah berkurang sepertiga bagian, sementara dua cangkir lainnya telah kosong.
“Keren!”
Maurin tertawa. “Biasa aja ah.”
“Ini luar biasa, Rin.”
“Aku kan udah biasa ngopi sebanyak ini, jadi nggak jadi luar biasa lah, Jo,” ujar Maurin, masih terkekeh.
“Tapi aku nggak biasa liat cewek minum kopi sampai sebanyak ini. Jadi tetep luar biasa,” sanggah Joshua berapi-api. “Eh, apa nggak bahaya?”
“Udah berbulan-bulan aku minum kopi secara extreme, sampai sekarang belum keliahatan bahayanya kok,” ucap Maurin sambil mengangkat cangkirnya, lalu meminum sedikit cappuccino di dalamnya.
“Batas minum kopi itu lima cangkir sehari,” Bara kemudian menyela.
“Aku pernah sampai tujuh,” gumam Maurin.
Bara dan Joshua sontak melongo. Keduanya sedang menerka-nerka dengan siapa mereka berhadapan saat ini. Kelelawar? Atau ikan paus?
“Terus efeknya apa?” tanya Joshua antusias.
“Kembung lah, di perut cuma air gitu.”
“Terus?”
“Agak pusing,”
“Tuh kan bahaya,” ujar Joshua.
“Bukan pusing yang macem-macem sih. Pusingnya karena aku baru bisa tidur hampir tiga puluh jam setelah gelas terakhir tandas,” ucap Maurin santai. Sementara Bara hanya terkekeh.
“Hebat, hebat...” gumam Joshua, kagum.
“Hari ini kamu minum tiga cangkir?” tanya Bara menyelidik.
“Baru tiga sih,”
Cappuccino?”
“Iya.”
“Cantik.”
Maurin mengangkat sebelah alisnya. “Apaan?”
“Karakter peminum cappuccino. Santai, cerdas, romantis, cantik...”
“Ngarang.”
“Aku serius, Maurin.”
Maurin tersenyum samar. Ada rasa jengah yang tiba-tiba muncul namun berusaha ia tepis.
“Tau dari mana sih?”
“Analisa,” ujar Bara. “Semua ilmu pengetahuan didapat dari analisa.”
Tanpa sadar ujung bibirnya terangkat. Maurin tersenyum mengiyakan. Bersamaan dengan reaksi kagum dadakan itu, seorang waiter datang mengantarkan dua cangkir pesanan Bara dan Joshua.
Espresso,” lirih Maurin, terus menatap cangkir Bara yang berisi cairan hitam pekat.
Bara tersenyum. “Hebat, keras, penuntut, penuh tantangan...” ucap pemuda itu, kemudian menyeruput kopinya perlahan.
“Dan sok tahu,” sambung Maurin.
“Kalau caffĂ© latte apaan Bar?” ucap Joshua sambil meraih cangkirnya.
“Nggak tau.”
“Masa nggak tau sih?”
Bara hanya mengangkat bahu.
“Payah...” ucap Maurin.
“Tepat!” seru Bara tiba-tiba. Maurin menyatukan kedua alisnya, keheranan. “Iya itu dia karakternya. Joshua emang payah sih.”
Joshua ikut tertawa bersama Bara. Maurin hanya terkekeh. Dalam hatinya, entah di bagian mana, ia mendengar satu suara. Suara yang samar-samar mengatakan bahwa mungkin mereka memang ditakdirkan Tuhan untuk datang, menyudahi malam Minggunya yang selalu sunyi. Entahlah. Maurin hanya merasa cappuccino-nya malam ini terasa lebih manis dari biasanya.

*
Bara dan Joshua, dua pemuda yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Universitas Jenderal Soedirman. Dua pemuda dari jurusan yang sama, manajemen. Dua pemuda yang bersahabat. Dua pemuda yang tiba-tiba datang pada suatu malam tanpa Maurin minta. Keduanya menyenangkan. Maurin tak mampu menolaknya. Tanpa Maurin sadari, perlahan-lahan hatinya terbuka. Beberapa malam Minggu terasa berbeda. Ia telah menemukan teman.

Musim penghujan hadir tanpa pesan
Bawa kenangan lama telah menghilang
Saat yang indah dikau di pelukan
Setiap nafasmu adalah milikku

Surya terpancar dari wajah kita, bagai menghalau mendung hitam tiba...”
Maurin menoleh, sedikit terkejut mendapati seseorang sudah berdiri tak jauh dari mejanya.
“Bara?”
Ada sedikit letupan rasa bahagia dalam hatinya saat mengetahui siapa gerangan pemuda yang tiba-tiba datang itu. Bara. Pemuda itu tersenyum hangat. Bibirnya yang tipis tertarik dan kedua matanya kian menyipit. Senyum itu yang diam-diam Maurin suka.
“Boleh duduk kan?”
Maurin mengangguk. Sesaat ia melupakan secangkir cappuccino yang sejak tadi menemaninya. Separuh perhatiannya teralihkan, kini tertuju pada sosok Bara.
“Nggak sama Joshua?”
“Lagi sibuk dia.”
Sesaat mulut Maurin membentuk huruf o, mengangguk paham. Sementara mata Bara diam-diam bergerak mengamati Maurin. Gadis yang ia kagumi sejak lama kini ada di sana, berdua dengannya. Hanya dengannya.
“Eh, kamu tau lagu ini?”
“Apa? Gerimis?”
Maurin mengangguk.
“Tau banget.”
“Aku suka lagunya.”
“Kenapa? Karena kamu baru aja putus cinta?”
Maurin terkekeh. “Nggak lah.”
“Kirain habis putus cinta.”
“Nggak kok, Bara, cintaku kan cuma sama kopi. Yakin deh nggak akan putus.”
Bara hanya tersenyum. Matanya masih terus mengamati Maurin, meneliti setiap jengkal sosok gadis yang begitu tergila-gila dengan kopi itu. Bara pernah melihatnya tertidur pulas di perpustakaan kampus berbulan-bulan lalu, lalu mengamatinya hingga berjam-jam. Sejak saat itulah ia mengagumi Maurin. Benar-benar tanpa alasan.
Sekejap badai datang mengoyak kedamaian,” suara Bara mengalun mengikuti irama lagu.
Maurin menyunggingkan senyum, lalu ikut bernyanyi. “Segala musnah lalu gerimis langit pun menangis.”
“Suara kamu bagus, Rin.”
“Iya lah, anak paduan suara kampus,” ucap Maurin bangga.
“Iya deh iya,” Bara mengangguk-angguk.
Sesaat kemudian seorang waiter datang, mengantarkan pesanan Bara.
Espresso?” tanya Maurin.
Bara mengangguk. Maurin memperhatikan pemuda itu. Sejauh ini pesanannya selalu sama. Espresso. Paling banyak dua cangkir, tetapi selalu tandas. Terkadang ia juga menyulut sebatang rokok. Namun kadang juga tidak.
“Ngeliatinnya gitu banget sih?”
Maurin tersentak, menyadari bahwa ia baru saja memandangi Bara sangat lekat.
“Heran aja.”
“Heran kenapa?”
“Kamu lagi stress dan kopi ini pelarian kamu?” Maurin balik bertanya, ia bahkan tidak menjawab pertanyaan Bara. “Espresso tanpa pemanis sampai dua cangkir dalam semalam.”
“Bukan,” ucapnya lirih. “Aku sengaja pilih espresso tanpa pemanis, tanpa kamu sadari kamu udah bikin kopi ini manis, bahkan jauh lebih manis dari latte.”
Untuk sejenak Maurin diam. Ia tahu ini hanyalah sebuah gombalan yang sangat pasaran, namun cara Bara mengucapkannya cukup membuat Maurin bisu.
“Aku serius, Maurin,” gumam Bara.
“Itu udah basi banget, Bara,” ujar Maurin
Bara terkekeh. “Kalau boleh jujur, kamu ada benernya. Aku memang lagi stress, ada banyak hal yang lagi aku perjuangkan akhir-akhir ini. Seluruh pikiran dan tenaga aku curahkan ke hal-hal itu,” jelas Bara. Maurin hanya mengangguk-angguk mengerti. “Tapi kalau soal kopi sebagai pelarian, kayanya nggak deh. Serius, espresso ini memang kerasa manis kalau diminum bareng kamu.”
“Aldebaran, cari gombalan yang lain deh, yang itu udah basi banget.”
“Terserah kamu mau percaya atau nggak. Kalau espresso ini pahit, aku nggak akan bertahan nelen ini setiap weekend sebanyak dua cangkir sampe habis.”
Maurin menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Cobain semua kopi pahit di Purwokerto bareng kamu, mulai dari kopi di angkringan, warteg, restaurant, sampai hotel Aston Imperium pun aku mau, asal kamu percaya sama kata-kataku.”
“Boleh juga...”
Bara terdiam. Sebelah alisnya terangkat. Maurin benar-benar membuatnya jatuh cinta.
Deal.”

 

*
Sudah lebih dari tiga bulan berlalu, sejak Bara datang. Malam-malam yang sebelumnya hanya menjadi malam penuh kesendirian dan keheningan kini tak lagi sama. Bara selalu duduk di sana, bersama dengannya, di meja nomor dua puluh. Lalu keesokan harinya pada hari Minggu, Bara akan menjemputnya lalu membawanya mengelilingi Purwokerto, demi mencari kopi pahit yang dapat berubah manis seperti kata Bara. Sangat lucu.
Mereka berteman dekat, tanpa alasan khusus. Maurin hanya merasa nyaman atas segala perlakuan Bara dan caranya bicara. Sederhana dan menyenangkan. Tentu Maurin bukan gadis lugu. Ia tahu bahwa Bara menaruh hati untuknya. Lagipula pemuda itu sendiri pernah mengakuinya meski hanya sekilas. Lambat laun Maurin merasa senang akan kehadiran Bara. Ia tak menyesali pertemuannya dengan Bara beberapa waktu lalu. Karena kini ia mendapatkan sosok seorang teman dalam diri Bara.
Benar, sosok seorang teman.
“Kita balapan aja, yuk!” seru Bara.
Hari Minggu itu mereka berkumpul. Bara, Maurin, dan Joshua sengaja berangkat pukul lima pagi dari rumah masing-masing. Mereka mengayuh sepeda dan bertemu di alun-alun kota.
“Serius nggak?” seru Maurin memastikan.
“Seratus rius,” celetuk Bara.
So give me the track!” Joshua menimpali.
Bara tersenyum penuh arti. “Jam setengah enam tepat kita start,” ucap Bara sambil melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Pilih jalan terserah kalian, yang penting finish di pintu gerbang Gelora Satria. Dia yang paling belakang harus bayar makanan apapun yang kita pagi ini. Deal?”
“Deal,” seru Joshua dan Maurin bersamaan.
Tak lama kemudian balap sepeda antara dua orang pemuda dan satu orang pemudi itu dimulai. Mereka sama-sama mengambil rute paling sederhana; lurus ke utara melewati satu persimpangan dan belok kanan di persimpangan kedua. Joshua dan Bara melaju berdampingan, merasa berhasil meninggalkan Maurin di belakang. Mereka begitu percaya diri dan yakin bahwa hari ini Maurin-lah yang akan menanggung bubur ayam, es dawet, es durian, dan berbagai jajanan yang mereka makan.

*
“Semprul!” Joshua turun dari atas sepedanya dan bersungut-sungut. Sementara Bara sedang melongo di atas sepedanya mendapati Maurin kini tengah duduk di atas trotoar dekat pintu gerbang Gelora Satria. Ia tersenyum dan dengan sombongnya menggerak-gerakkan tangannya seolah mengipas.
“Lelet kalian!” serunya.
“Cepet banget sih, Rin?”
“Iya lah, sepedaku kan dipasang perangkat jet super canggih, Jo,” celoteh Maurin. Sesaat kemudian datang seorang wanita paruh baya membawa semangkuk bubur ayam dan segelas besar jeruk panas. “Kalian harus berdua patungan buat bayarin makananku. Ini masih ronde pertama, ronde kedua aku mau soto ayam sama es durian yang di situ,” ujarnya, menunjuk deretan pedagang makanan yang selalu memenuhi trotoar Gelora Satria setiap hari libur.
“Ronde ketiga mau apa, Rin?” tantang Bara, yang seketika disenggol lengannya oleh Joshua.
“Bar, jangan asal ngomong gitu dong. Kamu pikir kekuatan perut dia segede apa, dan kekuatan kantong aku segede apa?”
“Biarin aja, Jo, suka-suka dia lah.”
Semakin ditantang semakin tidak tahu diri, itulah Maurin. Ia tertawa geli.
“Kloter ketiga aku mau jajan di Pereng. Kalian harus temenin dan bayarin,” ucapnya santai, sambil melahap bubur ayamnya.
Bara dan Joshua saling berpandangan, lalu terkekeh. Joshua baru saja melupakan satu hal, bagi Bara, apapun pasti akan ia berikan jika Maurin yang meminta. Hari ini gadis itu meminta untuk menjelajah Pereng, sebuah jalan kecil yang letaknya tak jauh dari alun-alun kota. Jalan yang memang dipadati oleh penjaja berbagai macam makanan di waktu-waktu tertentu.
“Ronde keempat?” lagi-lagi Bara menantang.
Maurin menghentikan aktifitasnya sejenak. Sendok di tangan kanannya menggantung di udara, sementara ia masih perlu waktu untuk berpikir demi menjawab pertanyaan Bara. Butuh sepuluh detik saja baginya untuk mengatakan...
“Purwokerto City Walk.”
“Ada apa di sana?”
“Mi ramen...”
*

“Kamu udah pernah aku ceritain tentang hal yang mati-matian aku perjuangkan?” bisik Bara. Dalam pelukan pemuda itu, Maurin mengangguk ragu. Ia kini sedang berusaha mengingat tentang hal yang dimaksud Bara. “Hal yang sempet bikin aku stress, terus kamu nuduh aku jadiin espresso sebagai pelarian.”
Maurin terkekeh.
“Aku inget.”
“Kamu tahu apa itu?”
Tanpa berpikir pun Maurin tahu arah pembicaraan Bara. “Beasiswa ini?”
Bara mengangguk mantap. Hari ini adalah hari yang mereka sebut hari perpisahan. Bara akan berangkat ke Jakarta malam ini juga, Joshua dan Maurin rela datang tengah malam begini demi bertemu Bara untuk yang terakhir kali. Seperti yang mereka ketahui, Bara berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Sydney. Pencapaian yang membanggakan, namun juga menyedihkan sebab mereka harus berpisah.
“Kenapa harus Syndey? Itu kan jauh banget.”
“Nggak jauh, kok. Aku bisa pulang setiap bulan, nemenin kamu di meja nomor dua puluh waktu malam Minggu, nemenin kamu jajan di Pereng, nemenin kamu makan bubur ayam di Gelora Satria, atau nemenin kamu minum kopi sampai mabuk juga mau.”
Bugg. Satu pukulan mendarat di bahu Bara. Maurin telah berkaca-kaca.
“Kenapa nangis?”
“Kamu belum cobain kopi pahit di angkringan, Bar.”
“Masa sih?”
Maurin mengangguk.
“Kalau gitu, jadikan minum kopi di angkringan sebagai alasan buat aku balik lagi ke sini,” ucap Bara sembari mengacak-acak rambut Maurin.
Sorry,” lirih Maurin tiba-tiba.
“Kok minta maaf?”
Sorry sampai saat ini aku belum bisa balas perasaan kamu.”
Bara menghela napas panjang. “Apa aku pernah maksa kamu buat cinta sama aku?” Maurin menggeleng. “Apa aku pernah minta kamu buat balas perasaan aku?” Lagi-lagi Maurin menggeleng. “Iya, aku cinta sama kamu. Tapi aku nggak pernah maksa kan? Rasa cinta itu tumbuh sendiri, tanpa diminta. Kalau memang harus nunggu, sampai kapanpun aku bakalan tetep nunggu kok.”
Maurin tersenyum, memaklumi.
“Aku pergi dulu. Kamu baik-baik ya sama Joshua. Jangan berantem,” ucap Bara, semakin dekat dengan perpisahan. Setelah sekali lagi memeluk Joshua, ia bergegas masuk ke mobil. Ia tersenyum hingga matanya menyipit. Senyum yang Maurin suka.
Tak lama berselang, sosok itu menghilang di tikungan jalan, bersama dengan mobil yang membawanya ke Jakarta, kemudian ke Sydney, kota yang jauh dari pandangan. Sosok itu meninggalkan Maurin, hanya bersama Joshua. Meninggalkan gadis yang ia cinta, itulah yang akan ia sesali di kemudian hari.
*

Malam Minggu, meja nomor dua puluh, bercangkir-cangkir kopi, kesendirian, dan sayup-sayup suara dari jalanan. Kemudian gerimis berganti menjadi deras, menambah bunyi-bunyian yang berpadu dengan suara klakson dan deru mesin kendaraan. Sejak satu jam yang lalu pemuda itu datang. Sejak satu jam itu pula Maurin mengabaikannya. Rasa sesak dalam dadanya membuatnya bisu. Rasa sesak dalam dadanya pula yang membuatnya tuli.
Joshua menatap Maurin dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis di hadapannya ini masih sama, tak banyak berubah. Masih menarik seperti terakhir kali ia melihat. Gadis ini pernah membuatnya jatuh cinta. Mungkin sampai saat ini, setelah dua tahun ia pergi, rasa itu masih tersisa.
Pandangannya lalu beralih ke atas meja. Di hadapan Maurin berdiam tiga cangkir kosong dan satu cangkir cappuccino yang tinggal separuh. Dengan mengetahui jumlah kopi yang telah Maurin habiskan dalam satu jam ini, ia pun mengetahu betapa gundah hati gadis ini.
“Dia nggak akan pernah datang lagi,” lirih Maurin.
Joshua menatap lekat-lekat gadis di hadapannya itu. Ia tahu Maurin sedang berusaha untuk terus tersenyum. Namun ada getar kesedihan di sana, yang membuat rasa bersalah kembali menyerang Joshua.
“Aku minta maaf.”
“Nggak perlu, Jo.”
“Seharusnya nggak pernah ada perasaan itu, Rin.”
Maurin diam. Kalimat Joshua menohoknya. Benar, memang seharusnya tidak pernah ada perasaan apapun antara Joshua dan dirinya. Mengapa Bara harus pergi meninggalkannya sendirian saat itu? Mengapa di tengah kesendiriannya harus muncul sosok Joshua? Mengapa harus sosok itu yang menemaninya, dan pada akhirnya membuatnya jatuh cinta?
“Aku yang salah,” lirih Maurin.
Joshua menatap gadis di hadapannya, berusaha berkata tidak.
“Aku yang bikin persahabatan kalian hancur.”
“Maurin...”
“Kenapa malam itu aku langsung pergi dan menghilang gitu aja?  Kenapa aku lari dari masalah ini? Aku pengecut,” gumamnya.
Perlahan ia meminum cappuccino dari cangkirnya, tanpa suara, tanpa tekanan. Maurin terdiam beberapa saat. Cairan itu telah dingin dan terasa pahit. Mungkin lebih pahit dari espresso tanpa pemanis yang sering Bara minum saat bersamanya.
“Atau mungkin seharusnya aku yang nggak pernah ada di antara kalian.”
“Maurin, please...” Joshua tampak memohon dengan sangat. “Jangan pernah salahin diri kamu sendiri,” ucapnya sedikit lebih lembut, namun tetap tegas.
Jangan menyalahkan diri sendiri? Konyol. Maurin bahkan telah lelah bertanya-tanya mengapa ia harus ada di antara Joshua dan Bara. Maurin merasa semua ini memang kesalahannya. Kemarahan Bara malam itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Tepat di malam Minggu, di tempat yang sama seperti yang ia pijak saat ini, segalanya hancur dan tak bersisa.

*
“Kalian...”
Mendengar suara baritone yang sangat amat ia kenali itu, Maurin dan Joshua sontak menoleh. Dan benar saja, tidak jauh dari tempat mereka duduk, meja nomor dua puluh, Bara berdiri. Dari sorot matanya, Maurin bisa melihat tatapan penuh tanya yang jelas-jelas diarahkan kepada mereka berdua, ia dan Joshua.
 “Bara,” panggil Maurin pelan. Reflek, Joshua langsung melepas genggamannya dari tangan Maurin, sementara gadis langsung berdiri dari kursinya. Mereka layaknya maling yang tertangkap basah.
“Kalian pacaran?” Bara melanjutkan kata-katanya yang sempat terpotong. Ia berjalan mendekat tanpa senyum di bibirnya seperti biasa. Maurin menoleh sekilas ke arah Joshua, dan entah mengapa ia menggeleng.
“Bar... aku... kita...”
Bara terus bertanya, namun tak ada jawaban selain kebisuan. Joshua dan Maurin tak mengerti harus menjawab apa. Kepengecutan mereka dimulai sejak detik itu. Mereka berusaha menjelaskan apapun yang mereka rasa harus dijelaskan. Namun sayang, kata-kata itu seperti tertahan.
“Kenapa kalian nggak terus terang aja sih?” seru Bara mulai terpancing emosi.
“Bara, tolong dengerin dulu,” Joshua mencoba menenangkan.
“Kenapa kalian harus tutup-tutupin ini semua setiap kita ketemu selama tiga bulan terakhir? Kenapa kalian harus berpura-pura? Hah? Kenapaa??”
Bara mulai lepas kendali, ia mulai meninggikan suara. Maurin semakin menciut saat melihat kemarahan yang begitu dalam dari sorot matanya.
“Bara please!!”
“Kenapa kalian harus pacaran di belakang?”
“Bara!”
“Kenapa aku harus tau dengan cara kaya gini??”
Buggh...
Maurin tersentak. Bara telah tersungkur jatuh. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Joshua yang ada di sisinya. Dapat ia lihat kilat emosi di wajahnya dan nafasnya yang memburu. Maurin hanya bisa menyaksikan, sambil diam-diam menyadari, kehancuran ada di depan mata.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dari mulut Bara. Tawa yang begitu pedih. “Kenapa kamu tega mukul sahabat kamu sendiri, Jo?” gumamnya sambil mencoba bangkit. Tangannya lalu bergerak menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
Sorry,” lirih Joshua, mencoba mengendalikan napasnya yang memburu.
“Kenapa kamu ambil dia, Jo?”
“Maurin bukan milik siapa-siapa. Dia bebas, dan dia pilih aku.”
Bara tersenyum samar, mengangguk-angguk entah untuk apa. Amarah yang terbaca dari sorot matanya kini telah pudar, berganti kilat kesedihan yang begitu menyakitkan.
“Aku nggak akan pernah ganggu kalian lagi. Selamat tinggal,” ucapnya lirih, teramat lirih.
Bara berbalik, berlajan menjauh dari Joshua dan Maurin tanpa sedikitpun menoleh. Ia tampak begitu ringkih, ia tidak setegar dulu saat berpisah dalam suasana persahabatan yang kental. Detik itu Maurin merasakan ada sebagian dari dirinya yang hilang begitu Bara mengucapkan selamat tinggal. Detik itu juga ia yakin bahwa inilah yang disebut kehilangan.

*

Hening panjang yang tercipta membuat Maurin merasa semakin tak nyaman. Semua kenangan itu berputar dan benar-benar membuat dadanya sesak. Ia rasa ia memang harus pergi.
“Aku pergi aja, Jo,” ucapnya lirih, begitu tiba-tiba.
Maurin meraih tas dan kunci mobilnya. Ia bersiap pergi. Suasana seperti ini benar-benar menusuk dirinya, membuatnya kesakitan. Ia tak mau mendengar nama Bara, karena nama itu yang selama ini membuatnya dihantui rasa bersalah. Ia terlalu pengecut untuk menghadapi segala hal tentang Bara.
Ia bangkit dari kursinya, lalu melangkah pergi tanpa permisi.
“Kamu dateng ke pemakaman besok pagi?”
Maurin berhenti melangkah. Kaki dan tubuhnya terpaku.
“Maurin, kamu juga berhak datang. Lagipula...” Joshua menghela napas panjang, “Bara pasti akan bahagia kalau kamu datang ke pemakamannya.”
“Aku bakal datang, Jo.”
Langkahnya masih tertahan. Maurin masih diam di sana, terpaku dengan mata berkaca-kaca. Lima detik kemudian ia melenggang pergi, meninggalkan tempat itu sejauh mungkin, sejauh yang ia mampu. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya agar tidak pecah. Namun gagal. Bara telah pergi, dan kata maaf itu tak terucap langsung padanya. Seandainya saja dulu Maurin tak sekejap itu menghilang, mungkin rasa sesal tidak akan sesesak ini.
Dalam tangisnya ia masih bertanya-tanya mengapa. Mengapa ia harus jatuh cinta kepada Joshua, bukan kepada Bara yang begitu baik padanya? Mengapa Bara harus pergi meninggalkannya berdua dengan Joshua? Mengapa Bara harus kembali dan mendapati dirinya telah dimiliki Joshua? Mengapa ia harus lari dari masalah ini tanpa meminta maaf? Mengapa ia harus menghilang selama dua tahun dan muncul saat semuanya terlambat? Mengapa ia tak memiliki keberanian untuk muncul lebih awal dan memperbaiki hubungannya dengan Bara? Mengapa kecelakaan itu harus terjadi dan merenggut nyawanya? Mengapa ia tak bisa berhenti bertanya-tanya?
Di tengah isakannya, samar-samar Maurin mendengar suara baritone Bara yang mengalun seperti dulu. Suara yang ia rindukan. Suara yang entah datang dari mana.

Surya terpancar dari wajah kita...

Dengan bibir yang bergetar, Maurin terisak dan bersenandung.
“Bagai menghalau mendung hitam tiba,” lirihnya.
Musik terus mengalun, sementara Maurin terus menangis.

*