20 Desember 2011, 08.12 WITA
“Om swastiastu,” seorang tour guide memberikan salam pertamanya
pagi ini sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.
Namanya Komang Sugata. Kami memanggilnya Bli Komang. Hari ini dia
mengenakan baju batik Bali serta sepotong sarung untuk bawahannya. Dia juga
mengenakan semacam ikat kepala berwarna putih. Kutaksir umurnya masih tiga
puluhan.
“Om swastiastu,” jawab kami
serentak.
Di pertemuan pertama kami dengannya, laki-laki itu sempat menjelaskan
bahwa Om swastiastu adalah salam yang
biasa diucapkan masyarakat Bali.
Ini hari keduaku berada di Bali. Ada
beberapa tempat yang menjadi tujuan kami, yakni Sanur, Tanjung Benoa, Garuda
Wisnu Kencana, dan Kuta.
Salah seorang temanku tiba-tiba menceletuk.
“Bukannya om swastiastu artinya
‘semoga diberi keselamatan oleh Sang Hyang Widhi’ ya?” Katanya, sedikit
berhati-hati sambil sesekali melirik kea rah Bli Komang.
“Iya.”
“Kita kan orang Islam?”
“Jangan khawatir soal murtad, ya, Sang Hyang Widhi itu Tuhan Yang Maha
Esa. Tuhan yang tunggal walaupun berbeda cara menyebutnya.”
Aku tersenyum samar. Tanpa menjawab kata-katanya barusan, aku lantas
membuang pandangan ke arah jendela, menatap rumah-rumah penduduk di sepanjang
jalan.
Kulihat setiap bangunan dilengkapi dengan bangunan tempat pemujaan.
Sekilas kulihat sesajian berupa bebungaan dan makanan tergeletak di dekat
patung di depan setiap bangunan. Bli Komang pernah menjelaskan bahwa begitulah
cara orang Hindu di Bali bersembahyang. Mereka meletakkan sesajian berupa
bebungaan dan makanan seperti roti yang diletakkan di atas wadah dari janur
kelapa di depan rumah atau di depan tempat usaha. Sesajian itu dilengkapi dupa
yang menyala.
Beberapa hari di pulau seribu pura ini, aku merasa cukup rindu akan suara
adzan. Karena di tempat ini jarang terdapat masjid. Ya Allah, apakah kami harus
shalat di rumah makan lagi seperti kemarin? Betapa kami merindukan suara adzan
dan iqamah.
Kutarik napas dalam-dalam. Seakan membaca pikiranku, tiba-tiba Bli Komang
menyeletuk. “Nanti siang kalian akan melaksanakan ibadah shalat Dzuhur di Puja
Mandala, tempat ibadah yang diperuntukkan bagi lima agama dalam satu kompleks.”
Aku tersentak, pikiranku melayang membayangkan tempat seperti apakah Puja
Mandala.
*
20 Desember 2011, 12.01 WITA
Aku sampai di Puja Mandala dan langsung dibuat terkesima.
Bangunan Gereja Katholik Bunda Maria Segala Bangsa, Gereja Protestan
Bukit Doa, Masjid Ibnu Batutah, Wihara Budhina Guna, dan Pura Jagat Natha telah
berdiri tegak, sama tinggi. Puja Mandala menjelma menjadi sebuah miniatur
kerukunan hidup beragama di Indonesia.
Sebuah relasi harmonis yang sungguh
hidup dan dinamis yang lahir dari relung jati diri masyarakat pendukungnya.
Keberadaannya kini bukanlah sebatas symbol kaku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman kompleks Puja Mandala.
Tampak toleransi terjalin hakiki. Bli Komang sempat mengatakan padaku bahwa
pernah di tempat ini perayaan ekaristi diselingi alunan adzan Maghrib. Dan
pernah suatu ketika khutbah shalat Jumat disampaikan tanpa pengeras suara,
sebab saat itu masyarakat Hindu tengah merayakan Nyepi.
Hanya di tempat ini, rumah-rumah ibadah dibangun tanpa sekat pemisah dan
memiliki satu halaman, mencerminkan kebhinnekaan yang ika. Di atas tanah itu,
kemajemukan dipersatukan. Doa-doa terangkat menuju Ilahi, berjumpa dalam nada
kehangatan, serta membagi kisah satu sama lain.
Demi Tuhan, kali ini perbedaan itu memberikan keindahan.