December 04, 2012

Pattaya

...





-1-
I’m beautiful in my way
‘Cause God makes no mistakes
I’m on the right track, baby
I was born this way
Ia belum bisa memejamkan matanya meski ia tahu, sekarang sudah hampir pagi. Entah mengapa saat ini ia hanya ingin berlama-lama menatap bayangannya di dalam cermin, menekuni tiap jengkal tubuhnya yang terlihat begitu normal.
Ia normal, setidaknya itu yang terlihat dari luar. Sementara jauh di dalam lubuk hatinya, ada satu keinginan untuk berontak. Ia merasa jiwanya terpenjara dalam tubuh yang salah, jauh dari yang ia inginkan. Ia mencari-cari dirinya yang sebenarnya, entah dimana. Ia rasa tak ada di dalam cermin, itu hanya sesosok tubuh yang berpura-pura.
Ia sering mendapatkan banyak umpatan dan cacian setiap hari, hingga ia mulai masa bodoh dan tak lagi mau peduli. Mereka menganggapnya sampah yang najis dan menjijikkan. Sudah sejak lama, sejak ia mulai menyadari bahwa ada yang berbeda darinya dan mencoba menunjukkannya pada dunia. Tapi mengapa mereka membenci orang-orang sepertinya? Ia tak mengerti bagian mana dari dirinya yang salah. Ia merasa baik-baik saja.
Ruangan itu tiba-tiba senyap dan kosong. Alunan lagu yang sejak tadi ia putar mendadak raib secara ajaib. Cermin besar di hadapannya kini hanya menyisakan kesunyian yang tak terperi.
“Banci!”
Suara itu tiba-tiba muncul dari belakang tubuhnya. Ketika ia menengok ke belakang, gerombolan teman lelaki sebayanya telah berdiri persis di depannya. Mereka semua mengenakan pakaian seragam putih-merah. Begitu pula dirinya. Salah satu di antaranya bertubuh besar, dan bocah itulah yang paling sering mengganggunya sampai ia menangis. Cacian ‘banci’ yang bocah itu lontarkan terkadang membuatnya malu, terutama dengan anak-anak lain yang tertawa kecil melihatnya dihina.
Ia memang tak suka berteman dengan sesama jenisnya. Ia tak menyukai kekasaran dan kebrutalan anak laki-laki yang membuatnya tak nyaman. Ia lebih senang duduk-duduk bersama anak perempuan di satu sudut kantin, sembari bergosip tentang anak paling tampan di sekolah.
Ray tersentak. Bayang-bayang masa lalu itu datang lagi, bahkan semakin sering belakangan ini. Ia benar-benar merindukan masa-masa itu, saat ia benar-benar bebas melangkah menuju pilihan hatinya. Ia menyadari bahwa dirinya berbeda, namun ia juga menyadari banyak orang yang bernasib sama sepertinya, yang dapat ia jadikan sumber rasa bahagia.
Sepertinya ia harus segera meninggalkan apartemen rahasianya ini. Ada satu tempat yang harus ia kunjungi malam ini demi melepas kerinduan yang telah lama berdiam dalam dada. Ia lantas menarik napas dalam-dalam, memantapkan hatinya untuk kembali ke masa lalu. Sebuah seringai terlukis samar di wajahnya, sebelum akhirnya ia memacu mobil itu menuju satu tempat;

Mengeja Bintang-Bintang



 

Gayatri, ketika suatu hari kudengar berita tentang sebuah kampung yang tersapu gelombang, aku terkenang padamu. Tentang kisah masa kecil kita di pesisir. Tahun-tahun berlalu sangat cepat sejak aku pergi melanjutkan sekolah di kota. Kini tiba saatnya aku kembali, menemuimu yang sejak lama kurindukan. Masihkah kau seperti dulu?
Kutengok rumahmu, tampak masih sama seperti saat terakhir kali aku melihatnya, sangat sederhana. Rumahmu menghadap lautan, berdinding kayu berwarna putih kusam. Sebatang pohon waru berbunga kuning cerah dengan batang yang bengkok tumbuh di halamannya. Kau tinggal bersama ayahmu, seorang nelayan tua bertubuh tinggi dan kurus. Ibumu meninggal saat kau kecil.
Wajahmu begitu manis. Rambutmu yang panjang hitam selalu nampak tergerai-gerai tertiup angin sejuk dari laut. Gigimu putih bersih, membuat senyummu kian menawan. Aku sadar kau memang elok nian.
Aku selalu ingat bagaimana saat kita bermain setiap sore di bawah pohon waru berbatang bengkok yang berbunga kuning cerah. Ayahmu sedang melaut waktu itu. Kau memintaku berbaring di atas tanah dan dengan cepat kau menimbun tubuhku dengan pasir pantai. Saat itu kau selalu tertawa sambil berkali-kali menyibakkan ujung-ujung rambut di dahimu. Walaupun kesal aku tak pernah berontak, sebab aku senang melihatmu tertawa.
Setelah puas tertawa kau kemudian memutuskan untuk duduk di samping tempatku terbaring. Kau menimbun kakimu sendiri dengan butir-butir pasir. Agar impas, katamu.
Sore kian pudar seiring bergeraknya matahari mendekati horizon di ufuk barat. Namun tampaknya kau belum mau beranjak. Kau selalu bilang padaku bahwa kau ingin melihat senja yang berwarna ungu. Padahal saat itu telah berpuluh kali kita berdua duduk bersama menanti senja yang katamu berwarna ungu lembut. Aku sampai bosan memberitahumu bahwa senja selalu berwarna jingga. Berharap kan tidak ada salahnya, katamu kala itu.
Aku hampir tak percaya bahwa sore itu begitu istimewa. Senja benar-benar berwarna ungu. Kau tertawa kegirangan dan menarik kedua tanganku. Kau mengajakku berdiri lalu menari dengan menggenggam kesepuluh jariku. Sungguh baru kali ini aku melihatmu begitu bahagia.
“Kau tahu mengapa aku sangat gembira, Bayu?”
Aku menggeleng. “Memangnya kenapa?”
“Karena sore ini begitu istimewa.” Ucapmu pelan sambil tersenyum.

Elegi Kota Senja





Ada sebuah kisah yang tertulis dan tak akan pernah terlupakan dari kota senja. Kisah yang akan dikenang dan diceritakan turun-temurun oleh dan kepada mereka, orang-orang yang tinggal dan berlalu-lalang di kota senja. Kisah yang begitu sederhana tentang perjalanan dan penantian. Kisah sederhana tentang aku, tentang kau, dan tentang dia.
*
Aku.
Aku akan selamanya ada di sini, sudut kota. Aku masih senang berada di tempat ini, tempatmu biasa menghabiskan senjamu dalam diam yang sendu. Aku masih senang berdiam di tempat ini, menikmati bening wajahmu tanpa jeda. Andai aku bisa mengatakannya, aku akan memaksamu mengerti bahwa kau adalah candu yang tiada tara.
Aku telah lama mengenal tempat ini, lebih dari kau. Aku telah bertemu begitu banyak orang dan mengerti seperti apa diri mereka. Aku pernah merasakan bahagia dan kecewa karena mereka. Kesepian ada dalam tiap hembusan napasku, sebab meski aku selalu diam di tempat yang sama sepanjang hari, orang-orang itu menganggapku tak kasat mata.
Namun kau membawa cerita yang berbeda. Kau selalu datang menjelang senja untuk duduk di sebuah bangku kayu sederhana itu, yang letaknya tak jauh dariku. Kadang kau tersenyum lalu duduk di sana sambil menikmati senja. Lantas memaksaku mendengarkan kisah yang kau bawa; tentang pantai berpasir putih yang baru saja kau kunjungi, atau tentang sebuah rumah kerang yang dibawa lidah ombak hingga terdampar di tepi basah pasir dan kau bawa pulang.
.
*
Kau.
Aku mengenalmu baik. Aku mengenal detail tubuhmu dan hal-hal yang kau suka. Wajahmu teduh dan menenangkan, seperti aroma yang menguar dari padang rumput saat gerimis. Bibirmu merah muda, melengkung sempurna begitu memesona.
Kupandangi rambutmu yang hitam dan panjang kini tergerai pasrah. Ujung terusan yang kau kenakan melambai-lambai tertiup angin yang berhembus dari ujung jalan. Senja itu kau datang dari arah selatan, dari arah pantai dengan membawa beberapa cangkang kerang berukuran kecil. Kau meletakkannya di atas bangku kayu itu sebelum akhirnya tersenyum menyapaku.
Aku tak lagi bisa mengingat kapan pertama kali kau datang, mengubah senjaku yang dulu sarat kesunyian menjadi penuh ketenteraman.
Aku mengenalmu baik. Kau ternyata menyukai senja dan pantai. Namun kau lebih suka menghabiskan waktu senjamu di bangku kayu sederhana ini. Dalam diam, bersamaku.
*

Dalam Sebaris Doa




Juli 2010
Aku nyaris lupa bagaimana rupa langit negeriku yang penuh cahaya. Aku merindukannya, karena di negeri bernama Palestina, setiap kali aku menengadah berharap melihat langit biru, aku kecewa karena langit ternyata masih terkekang kelabu. Sudah lebih dari satu tahun, setiap aku membuka mata, hanya ada duka yang menggantung jauh di angkasa.
Aku pun sangat mengerti bagaimana setiap pagi orang-orang selalu terbangun oleh dentum peluru dan kendaraan perang yang beradu. Mereka tak pernah lagi menangis, namun aku tahu, diam-diam mereka menyembunyikan hati yang teriris.
Dan di tanah ini aku menyadari, betapa hatiku selalu ingin menjerit.
Ada sebuah camp pengungsi di Gaza bagian selatan, tepat di pinggir kota kecil Rafah. Aku tinggal di sana, bersama orang-orang berhati baja yang memilih terus bertahan di sepanjang tahun yang muram. Setiap pagi sebelum matahari naik terlalu tinggi, aku selalu menyempatkan diri berdiri menghadap ke arah timur dan melantunkan doa agar negeri ini segera mengecap kata merdeka. Bukan tanpa alasan, semua yang kulakukan selalu memiliki alasan.
Kutekuni tiap jengkal tanah kering ini, serta jalanan berdebu dan gersang sepanjang mata memandang. Semua masih saja setia menjadi saksi pertaruhan harga diri berujung mati.
Aku menarik napas perlahan. Sama sekali belum ada aroma kebebasan yang membuatku tenang.
“Sarah...”
Aku menoleh, laki-laki dengan postur tubuh tinggi besar terlihat menghampiriku dengan membawa dua buah cangkir, asap tipis tampak mengepul di atasnya.
“Sudah baikan?” tanyaku begitu menyadari siapa yang datang.
Dia tersenyum dan mengangguk pelan, mencoba membuatku percaya bahwa dia baik-baik saja. Ada beberapa bekas luka di lengan dan wajahnya, sudah agak tersamarkan memang, tapi aku tahu betapa menderitanya dia. Tentara Israel telah memukulinya.
“Teh?” tampak dia mengulurkan cangkir di tangan kanannya kepadaku. Aku tersenyum lalu menerima cangkir itu.
“Bagaimana keadaanmu, Moheeb?”
“Cukup baik.” gumamnya.
Moheeb Al-Barghouthi, dia sahabatku. Sama sepertiku, dia berprofesi sebagai juru foto. Dia bekerja untuk surat kabar resmi Otoritas Palestina “Al-Hayat Al-Jadida”, dan baru kemarin dia keluar dari satu rumah sakit di Ramallah setelah dianiaya oleh tentara Israel. Moheeb dituduh melanggar daerah militer yang tertutup. Kameranya dirusak dan beberapa peralatannya disita. Kini yang tersisa hanya bekas luka dan memar di sekujur tubuhnya.
Tapi dia masih bisa tersenyum. Dari sudut mataku, kuperhatikan dia yang mendekat, lalu ikut menyandarkan tubuhnya di pagar beton ini. Kami sama-sama menghadap ke arah timur. Kulihat dia meminum teh dari cangkir di tangannya sedikit demi sedikit. Terlihat jelas lehernya bergerak-gerak saat dia menelan cairan hangat itu.
Lalu dia menghela napas panjang.
“Kau masih sering berdoa seperti ini, ya?”
Aku tersenyum, mengangguk perlahan, lalu membuang muka. Aku memandang jauh ke depan, mencoba menerka-nerka berapa kali sudah aku melakukan hal ini. Berdoa saat pagi tiba, memohon kepada Tuhan agar negeri ini segera merdeka.
“Yah... Aku selalu berdoa.” lirihku.
Sambil tersenyum, kualihkan pandangan menuju cangkir di tangan. Ada asap tipis yang terus mengepul.
“Dan aku mungkin akan terus berdoa, Moheeb...”
Kusesap teh itu, kehangatannya seketika mengalir. Moheeb menerawang jauh entah memikirkan apa, sedang aku terus saja menikmati teh yang dia bawakan tadi.
“Sejak kapan? Sejak lima bulan lalu katamu?”
Aku menatapnya sebentar, lalu kutarik napas dalam-dalam. Entah mengapa dadaku terasa begitu sesak mengingat apa yang terjadi lima bulan lalu.
“Ya, sejak lima bulan lalu.”
“Sampai kapan?”

December 01, 2012

Oenyoe









Keterangan Gambar:

* Huruf TT mewakili sifat tinggi homozigot, Tt mewakili sifat tinggi heterozigot, dan tt mewakili sifat nggak-tinggi-tinggi amat homozigot. Sifat tinggi dominan terhadap sifat pendek.

* Huruf S mewakili sifat sipit.

* Huruf R mewakili sifat rajin.

* Huruf U mewakili sifat... uhuk... ehem... unyu.

* Bapak nggak unyu sama sekali, karena gen unyunya homozigot resesif.

* Biyung itu unyu banget. Anak-anaknya juga unyu banget. Ada unyu angkatan satu dan dua.

* Bapak nggak rajin. Kata Keencur.

* Biyung nggak tinggi. Ini fakta.

* Meta nggak sipit. Biar bisa jadi sipit kaya kita, ada cara jitu dari Keluarga Oenyoe yaitu Rule of Oenyoe.

* Keencur nggak rajin, kaya Bapak juga.

* Bapak sipitnya keterlaluan. Kenapa coba? Karena matanya abis kejatuhan bintang.




NOTE:


Rule of Oenyoe

1. Sering-seringlah tersenyum, lalu tertawa. Tertawa harus kudu wajib telak.
2. Tidurlah sekitar pukul delapan malam dan bangun dinihari tanpa tidur lagi sampai Subuh.
3. Beranikan diri tidur di kelas, dianjurkan berupa tidur mikro, mengalami mimpi (dianjurkan mimpi buruk), sampai akhirnya mengigau.









November 20, 2012

Jengkal


Yogyakarta terkadang tak sejauh yang kupikirkan, ia hanya terpisah beberapa jengkal saja. Segalanya terasa dekat. Segalanya terasa hangat. Meski masih sangat terbatas, setidaknya jarak ratusan kilometer telah terpangkas.



Aku benar-benar merindukan anak ini dan segala isi pikirannya.

Kapan pulang, huruf R? Tega sekali membiarkan kami menjadi SAU selama berbulan-bulan. Cepat pulang, aku ingin tahu kamu sudah setinggi apa sekarang.

November 17, 2012

Jatuh Cinta Saja


Jatuh cinta itu bahagia. Hanya jatuh cinta, tanpa keinginan untuk memiliki dan bersama. Aku lebih memilih jatuh cinta selamanya. Hanya jatuh cinta saja, tanpa memiliki. Sebab memiliki akan menemui titik yang disebut kehilangan. Aku tidak takut memiliki, aku hanya takut untuk kehilangan. Walaupun terkadang, kehilangan juga terjadi pada mereka yang bahkan tidak pernah memiliki. Maka aku lebih memilih jatuh cinta selamanya. Aku suka saat jatuh cinta, mencuri pandang, tersenyum, lalu merasakan letupan-letupan kecil dalam dada. Aku sebut itu rasa bahagia. Sangat sederhana.



Aku suka jatuh cinta. Jatuh cinta tidak pernah dilarang. Jatuh cinta selalu legal bagi siapapun, kepada siapapun. Jatuh cinta selalu manis. Siapa bilang jatuh cinta itu pahit? Mereka yang merasakan pahit adalah mereka yang jatuh cinta dan ingin memiliki, menggantung harapan, menginginkannya untuk terbang dan sampai. Lalu mereka tersadar bahwa harapan itu telah lama tergantung, tak ada yang menyentuhnya. Lantas mereka menelan kepahitan dari harapan tak tercapai itu. Mereka jatuh cinta dan ingin memiliki. Sedang aku jatuh cinta saja. Aku tidak mengusik siapapun. Aku diam, jatuh cinta sendirian, bahagia sendirian, dan aku yakin aku tidak akan menangis sebab aku hanya jatuh cinta. Tanpa ingin memiliki.




 


Cinta, jatuh cinta itu bahagia. Jatuh cinta saja. Maka hari ini aku putuskan bahwa aku ingin jatuh cinta. Kamu cukup membantu aku menemukan alasan lagi untuk bahagia karena jatuh cinta. Mereka bilang aku berpura-pura. Mereka bilang aku belum bisa berpindah hati. Lalu aku berpura-pura jatuh cinta. Mereka bilang aku berbohong pada diriku sendiri tentang perasaan yang entah apa bentuknya. Tapi aku tidak. Mungkin sedikit pura-pura. Tapi tidak. Baiklah, awalnya memang aku berpura-pura jatuh cinta agar dengan mudah dapat kulupakan masa lalu. Tapi... entahlah. Aku ingin terus jatuh cinta, dengan siapapun itu. Aku tidak tahu ini pura-pura atau nyata. Aku hanya ingin jatuh cinta. Dengan siapapun. Mungkin kamu.

Iya, kamu saja. Saat ini aku ingin jatuh cinta dengan kamu.





Kusimpan senyumku dan senyummu dalam satu bingkai.Tidak terpisah. Sebab yang kutahu keduanya sempat memiliki alasan masing-masing untuk terkembang.

November 15, 2012

Tak Terhingga


Jika kusebut dia sebagai sebuah dimensi, maka bisa kudapati bahwa ujung penjelasan tentangnya adalah tak terhingga.

...


Album foto ini sangat sederhana.

Dalam setiap potret, kulihat wajah-wajah yang begitu sederhana dan apa adanya. Aku melihat orang-orang yang dibesarkan dalam kesederhanaan namun penuh kekeluargaan. Lalu dalam selembar foto aku melihat seorang wanita. Aku seperti mengenalinya. Wanita yang tidak tersenyum namun cantik. Ekspresinya sederhana dan tak pernah berubah hingga sekarang. Bajunya sederhana. Raut wajahnya sederhana. Rambutnya sederhana. Dan tiba-tiba aku merasa menjadi diadalam potret itu. Aku tenggelam dalam sebuah foto yang kemudian menjelma buku cerita... Cerita tentang sesosok wanita.

Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Orang tuanya - seperti kebanyakan penduduk kampung - adalah seorang petani. Mereka memiliki sawah yang luas yang mereka jadikan sumber nafkah keluarga. Kutegaskan sekali lagi, keluarganya bukan merupakan kaum borjuis. Keluarganya benar-benar sederhana. Paling sederhana di antara mereka yang sederhana. Mungkin, sesederhana anyaman tikar pandan. Entahlah.

Dia menghabiskan masa kecilnya di sebuah kampung kecil di kaki gunung bersama saudara dan sahabat-sahabatnya. Selain bersekolah. hari-hari mereka dihabiskan untuk membantu orang tua dan bermain permainan khas anak-anak kampung. Sore harinya mereka akan beramai-ramai pergi ke sungai dan mandi di sebuah mata air yang sering mereka sebut "tuk". Airnya dingin seperti air kulkas, katanya. Tapi mereka tidak peduli. Anak laki-laki dan perempuan melepas pakaian lalu melompat dari pinggir tuk. Mereka menenggelamkan diri dalam air, bercanda, berenang, lalu melompat lagi. Aku seperti melihat mereka yang bahagia dengan cara yang sederhana.

Dia, wanita itu, adalah anak kedua dari enam bersaudara dan merupakan anak perempuan pertama di keluarga itu. Seperti pikiran orang kampung lain pada masa itu, ibunya berpikir bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Maka seperti anak-anak perempuan kampung lain pada masa itu, pendidikan formal wanita itu harus terhenti begitu dia mendapatkan Ijazah Sekolah Dasar.

Tapi dia tidak mau menjadi tidak berguna. Dia memilih untuk mengambil kursus menjahit di kota bersama beberapa temannya. Menurut cerita yang kudengar, setiap pagi dia harus berjalan dua sampai tiga kilometer untuk menemukan angkutan pedesaan yang akan dia naiki hingga batas kecamatan, dimana setelah itu dia harus menaiki satu lagi angkutan kota agar bisa sampai di tempat kursus. Sore harinya dia melakukan hal yang sama untuk pulang. Hal serupa dia lakukan bertahun-tahun kemudian, saat dia bekerja di sebuah pabrik konveksi yang terletak belasan kilometer dari rumahnya. Dia tidak mengeluh. Dia hanya menikmatinya, setiap aliran keringat di pelipisnya, atau basah pakaiannya ketika musim hujan datang, juga setiap gelas teh manis hangat yang diberikan pada pekerja pabrik saat pagi, setiap bungkus nasi pada jam makan siang, setiap rupiah yang datang dan pergi, setiap canda, setiap tawa, setiap kerja kerasnya...

Semuanya dia lakukan. Demi mempertahankan sebuah pekerjaan. Demi memiliki uang. Demi bisa membeli kebutuhannya tanpa harus meminta kepada ibunya.


***

Aku datang kembali ke kampung tempat Ibu dibesarkan.

November 09, 2012

Secangkir Kopi






Semalam, saat Sirius baru saja terbit di horizon...

Di atas meja teronggok secangkir kopi yang setengah isi, atau setengah kosong. Entahlah. Ada bercak noda di pinggirannya karena aku meminumnya tergesa-gesa. Beberapa saat yang lalu aku berpikir bahwa kopi merupakan obat paling mujarab untuk hilang ingatan. Aku pikir setelah menelan kafein aku akan melupakan kamu. Sayangnya tidak. Cairan pahit manis itu justru memperjelas potret-potret yang seharusnya telah aku tinggalkan sejak lama. Di benakku muncul gambar kita yang memperdebatkan kopi dan kesehatan, gambar kita yang membahas kopi hingga larut malam, gambar aku minum kopi dan kamu mendengus kesal, gambar ketika kamu minum kopi dan aku tertawa, dan gambar kita saat berjanji untuk minum kopi bersama. Aku menggilai kopi dan kamu tidak suka kopi. Aku selalu minum kopi dan kamu selalu pasrah. Aku suka begadang dan kamu gemar tidur pukul delapan malam. Seperti bayi.

Bahkan aku mulai meninggalkan kopi diam-diam. Aku mendadak tidak suka kopi. Aku meninggalkan semua kebiasaan yang sering aku lakukan bersama kamu. Tapi ternyata semua hal yang aku lakukan selalu memiliki hubungan erat dengan kamu. Aku begitu ingin keluar dari kebiasaanku. Jika kamu benar-benar sedang berusaha melupakan aku, mengapa aku tidak? Jika kamu benar-benar ingin pergi dari rasa sayang yang pernah kamu punya untuk aku, mengapa aku tidak? Jika kamu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhiku, meski berat, sampai kamu terseok, mengapa aku tidak?

Kita berakhir dengan cara yang menyedihkan. Tak ada yang menginginkan, tidak aku maupun kamu. Keadaan itu memaksa kita untuk selesai. Kusadari segalanya memang harus kuawali dengan paksaan.

Maka detik itu aku mulai memaksa diriku sendiri berubah. Seperti kamu yang kelihatannya beranjak menjadi berbeda. Kita seperti berlari ke kutub yang berbeda. Aku menjauh, sejauh mungkin, sejauh jarak tanah yang kupijak dengan ujung alam semesta ini. Aku melarikan diri, berharap aku kehilangan rasa sayang. Namun ternyata sulit. Aku masih sayang. Aku kehabisan cara untuk membuang bayangan kamu. Adakah kamu kesulitan seperti aku?

Di bawah bintang yang berarak, cangkir itu terus menatapku dingin. Kutahu kopi itu juga telah dingin. Hari ini aku bahkan tidak menghabiskan satu cangkir. Aku hanya menghisap setengahnya. Itu pun rasanya berat sekali. Pahitnya mengalir dan terus menetap di leher. Mengendap di sana, seperti kamu. Haruskah aku memejamkan mata dan menyebut namamu lima puluh kali agar aku tak lagi merindukan kamu?

Maka saat itu juga aku memejamkan mata, aku menarik napas yang sangat panjang, dan aku menyebut namamu tepat lima puluh kali. Langit terasa tak memiliki ujung. Malam diam. Bintang menyepi.

Aku membuka mata.

Ternyata aku masih merindukan kamu.

'

October 22, 2012

Baru Saja Bertemu Hujan


"Sudah sejak kapan hujan turun?" tanyaku pada suatu hari.
"Sejak lama, sejak kamu patah hati," jawab satu bayangan dalam cermin.
"Memangnya aku pernah patah hati?"
"Jawab saja sendiri!"
"Bukannya aku jatuh cinta setiap hari?"
"Jatuh cinta lalu patah hati lagi lalu jatuh cinta lagi."
"Jadi, aku tidak tahu diri ya?"
"Mana aku tahu," jawabnya bosan.
"Jadi, sejak kapan hujan turun?"
"Sejak kamu patah hati. Cukup. Ini jawaban kesembilan ratus dua puluh. Diam dan pergilah!"

Aku mengalah, lalu pergi.

***

Hari ini aku bertemu hujan. Mereka telah lama merindukan aku, merindukan saat-saat menyenangkan ketika mereka menyentuh kulitku. Entah kapan terakhir kali aku basah kuyup sambil tertawa kegirangan karena hujan. Hari semacam ini terulang. Aku melaju, menembus hujan, membiarkan butiran air itu menerpa wajahku. Sakit. Tapi biarkan. Itu lebih nikmat daripada segelas lemon tea yang sesaat sebelumnya aku teguk. Aku dengar mereka mengucapkan apa kabar. Aku tidak menjawab, kupikir mereka sudah sangat mengerti. Mereka selalu membuatku bahagia dengan cara yang begitu sederhana. Aku tertawa. Mereka menggelitik. Aku lupa bahwa aku sedang bersedih. Atau aku pura-pura lupa? Atau jangan-jangan aku tidak lupa sama sekali, melainkan aku sedang menertawakan kesedihan itu.

Tampaknya aku masih tidak peduli bahwa aku mulai kedinginan. Bibirku memerah lalu perlahan membiru. Sebelum aku jatuh dan tersungkur dalam euforia penuh ironi ini, sebelum aku terjebak dalam dingin lain yang entah datang dari mana, lebih baik aku pulang dan mulai meneguk beberapa cangkir kopi hingga malam, lalu pagi. Satu cangkir untuk langit mendung. Sudah di perut. Satu cangkir untuk bintang-bintang yang belum menyampaikan kabar sejak hujan sering turun, sejak aku katanya patah hati. Dan... Tiga cangkir untuk aku sendiri, yang bodoh, yang pengecut, yang selalu salah. Untuk aku sendiri, yang masih takut bertemu kamu, Kecil.

Jadi... Mungkin besok malam aku akan bicara lagi di sini, tentang cangkir kopi.


'

October 14, 2012

Take Me to Neverland



 "The second star to the right, and straight on' till morning"

Aku sering membayangkan dimana letak Neverland. Peter hanya mengatakan kalimat itu saat Wendy bertanya. Mungkin Neverland sangat jauh. Atau mungkin sangat dekat. Aku sering membayangkan, apakah di balik bintang-bintang itu ada sebuah tanah bernama Neverland, tempat segala kebahagiaan dan mimpi berawal? Peter menyukai dongeng. Mengapa Peter tidak membawa Kugy bersamanya? Mengapa Peter tidak ada dalam cerita Perahu Kertas? Apa karena Kugy terlalu dewasa untuknya?

Peter tidak pernah tumbuh menjadi dewasa dan dia sangat bahagia. Apa dia tidak ingin jatuh cinta? Apa dia pernah merasakan jatuh cinta lalu mengalami patah hati sehingga dia tidak lagi ingin dewasa dan menikah? Atau dia terlalu sering dikecewakan hingga dia menjadi gila? Aku tidak tahu. Peter hanya tidak pernah terlihat bersedih. Aku yakin jika dia bersedih dia akan jatuh dan tidak bisa terbang. Terbang membutuhkan hal-hal membahagiakan untuk dipikirkan.

Aku masih menunggu Peter setiap malam. Aku membayangkan dia datang dan masuk melalui jendela kamarku, memerhatikan aku saat aku tertidur, lalu aku akan bangun dan dia terkesiap. Lalu dia mengajariku cara untuk terbang bersama perasaan bahagia dan membawaku pergi ke Neverland. Aku tidak pernah memikirkan Tinkerbell yang cemburu. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin selamanya menjadi anak-anak yang bahagia, tanpa menyesali masa lalu, tanpa mengkhawatirkan masa depan. Aku ingin selamanya bisa terbang. Maksudku, aku ingin selamanya memikirkan hal-hal menyenangkan sehingga aku bisa terbang. Dan aku tidak akan bisa bersedih lagi. Aku tidak akan menangis lagi. Aku ingin seperti Peter, melupakan rasa sakit yang entah apa, menggantinya dengan harapan dan impian menyenangkan.

Aku ingin mengajak kamu untuk ikut serta. Kita akan selamanya seperti ini. Kamu tujuh belas. Aku enam belas. Kita bisa terbang dan menemukan Sirius. Atau apapun yang tersembunyi di langit. Ah, sepertinya tidak. Aku tidak akan mengajak kamu, Kecil. Aku akan pergi sendiri. Aku akan membiarkan kamu tumbuh dewasa sehingga aku akan berhenti memanggilmu dengan sebutan ini. Ayahmu pasti akan marah jika aku mengajakmu pergi ke Neverland yang jauh. Aku akan menuliskan kisah tentang bintang untuk kamu. Aku berjanji. Jadi jika aku benar-benar pergi ke Neverland dan suatu saat kamu ingin berkunjung, bacakan saja dongeng yang aku tuliskan untuk kamu. Aku akan datang saat kamu tidur dan mengajakmu terbang saat itu juga.

Mulai saat ini aku akan menyukai dongeng. Semoga aku belum setua Kugy Karmachameleon, sehingga Peter Pan masih berkeinginan untuk datang menjemputku suatu hari nanti.

October 07, 2012

[2]



Saat ini aku titipkan kamu pada langit, lalu akan kuminta bintang-bintang itu bersinar agar kamu tak pernah kesepian. Aku akan menjagamu dari kejauhan. Suatu saat nanti akan kuceritakan kisah tentang perjalanan mereka sebagai hadiah untukmu. Sejak mereka masih berupa debu hingga mereka berubah menjadi sebuah lubang hitam yang kuat. Aku pasti akan menceritakan rahasia-rahasia yang tak pernah orang lain ketahui. Hanya kamu. Aku bercerita hanya untuk kamu. Percayalah.

Suatu saat nanti aku ingin melihat kamu tersenyum dan tertawa sangat lepas karena aku. Aku ingin tetap menjadi alasanmu bahagia walau hanya sebentar. Aku tak ingin kau kehilangan ceria saat kita berjumpa. Aku hanya ingin kita selalu baik-baik saja seperti saat kamu bersama mereka. Aku tak ingin kamu menghindariku. Aku tak ingin kamu menjauh saat ada aku. Aku juga tak ingin kamu pura-pura tak melihatku. Aku berharap kamu bisa mengerti bahwa aku sakit. Aku kosong namun sakit. Bukankah kosong seharusnya hampa dan tidak terasa apa-apa? Entahlah, Kecil... Kekosongan yang kamu buat rasanya sakit sekali. Kamu seharusnya tahu.

Suatu saat nanti akan kutuliskan kisah kita dan akan kutitipkan padamu sebagai tanda terima kasih. Lalu akan kusampaikan apa yang tak sempat kusampaikan, kuperlihatkan apa yang sempat kusembunyikan, kuberikan apa yang selama ini tak sempat kuberikan, dan kuakhiri apa yang belum sempat kuselesaikan. Segalanya akan menjadi jelas sehingga jalanmu dan jalanku akan teramat terang. Aku ingin kita terus berjalan dan saling menguatkan. Aku ingin setidaknya kamu tetap mengingat bahwa aku ada, menjadi cakrawala tempat kamu bisa berlabuh saat lelah dan terbit kembali esok hari.

Kecil, suatu hari nanti aku ingin kita bersama-sama mengucapkan doa untuk kebahagiaan kita. Aku ingin kita bisa saling menemukan saat membutuhkan. Dan kelak suatu hari nanti, aku ingin melihatmu menjadi bintang yang kuceritakan dalam kisah itu...

Semoga aku dan kamu masih bisa bertemu di hari yang kusebut sebagai "suatu saat nanti" ya, Kecil.

'

October 01, 2012

[1]



"Aku membenci saat-saat ketika kita berdua mulai bertengkar dan memutuskan untuk saling diam. Aku tahu betul bahwa tak ada satupun di antara kita yang akan menyudahinya. Kita bisa bungkam sampai berhari-hari. Aku tahu kamu tak akan membuka mulut untuk membicarakan masalah kita. Maka dari itu, biasanya tak sampai satu minggu, aku angkat bicara. Aku bilang rindu. Lalu dengan ajaib kita kembali baik-baik saja."


March 29, 2012

Blank





Sebuah bintang telah membuat kita begitu dekat. Malam ini ia tak terlihat, sebab awan pucat menggantung sejak senja beranjak. Dan kau jauh.

Ketakutan yang semacam ini belum bisa aku pahami. Rasa takutku entah datang dari mana. Mungkin darimu, atau dari sikapmu, atau dari pikiranku, atau mungkin hanya sekedar rasa lelah menahan rindu. Andaikan kamu mengerti, Ngo. Coba pahami, lalu tenangkan aku dengan kata-katamu.

March 15, 2012

Sirius



Satu bintang yang pertama kali kukenalkan padamu berwarna biru, namanya Sirius.

Pada suatu malam yang dingin di akhir Februari lalu, kau telah mengucapkan selamat malam sebelum aku beranjak tidur. Namun tiba-tiba aku teringat akan satu hal. Buru-buru aku bertanya padamu tentang keadaan langit yang menaungimu. Sayang sekali, saat itu kau mengatakan bahwa tak ada satupun bintang di langit.

Saat tiba-tiba kau tanya mengapa, aku menjawabnya cepat. Kukatakan bahwa seharusnya, jika langit tak sekeruh malam itu, akan kutunjukkan padamu satu bintang yang memiliki nama Sirius.

Saat kau bertanya apa itu Sirius, kukatakan lagi padamu, bahwa Sirius adalah bintang yang sangat terang dan dapat kau lihat dengan mata telanjang sepanjang tahun, tak pernah redup. Entah kau percaya atau tidak, aku tak tahu.

Dan akhirnya sebelum kau berkata apapun, kukatakan padamu bahwa kau adalah Sirius bagiku, dan aku berterima kasih atas cahaya yang kau pancarkan padaku setidaknya sampai malam itu.

Mulai malam itu kau menyukai Sirius.

*

Ingatlah, Pangeran…

Satu bintang yang pertama kali kukenalkan padamu berwarna biru, namanya Sirius.

Di malam yang lain, kita terlibat sebuah perbincangan yang sangat panjang hingga larut malam. Saat aku memutuskan untuk pergi tidur, kau mengatakan padaku bahwa langit malam itu sangat cerah dan bintang berpendar-pendar manis.

Kau tiba-tiba bertanya, “Yang mana?”

Aku paham. Kau menanyakan letak Sirius itu, bukan?

Kulirik jam digital di ponselku dan mendapati waktu telah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Dimana Sirius?

Aku memeriksa lengkung langit sebelah barat dan mendapati dua bintang bersinar terang. Saat aku bertanya berapa bintang yang kau lihat, dan kau menjawab dua buah bintang di langit sebelah barat, maka kupastikan Sirius ada di sana.

“Sebelah kiri.”

“Yang agak kebawah?”

“Iya...”

Tiba-tiba kau mengucapkan terima kasih. Saat aku bertanya untuk apa kau hanya berucap, “Semuanya,” sebelum akhirnya aku berpamitan untuk tidur dan kau menimpali dengan ucapan selamat malam.

Pangeran, kau memang selalu bisa membuatku tersenyum tiba-tiba.

*

Aku ingin kau selalu mengingatnya…

Satu bintang yang pertama kali kukenalkan padamu berwarna biru, namanya Sirius.

Sebuah bintang berwarna biru milikku kini telah berada di tanganmu. Itu Sirius. Anggaplah bintang itu wujud kepercayaanku. Saat kau mengembalikannya beberapa hari lalu, aku menolaknya, sebab aku telah mempercayakannya padamu. Kaulah yang kupercaya menjaga bintang biru itu.

Jadi kaulah yang akan menyimpannya sampai nanti, entah kapan.

*

Sampai detik ini, kau masih mengingatnya, dan menyukainya…

Satu bintang yang pertama kali kukenalkan padamu berwarna biru, namanya Sirius.

Setiap malam, aku selalu berharap langit cerah sehingga bintang-bintang menampakkan diri. Aku selalu merasa kosong jika tiba-tiba saja kau menanyakan letak Sirius saat langit di atasku begitu keruh.

Saat itu aku menyadari bahwa jarak kita begitu jauh.

Kau sempat mengatakan langit di atasmu sangat cerah dan berbintang. Ini bulan Maret, dan ingin kukatakan bahwa Sirius ada di atas kepalamu dan akan bergerak ke arah barat saat mendekati tengah malam. Aku ingin langitku secerah langitmu agar kita bisa melihat bintang biru itu bersama-sama.

Benarkah kau melihat bintang?

Kau tiba-tiba bicara, “Iya, tapi jadi nggak seru lagi.”

Aku tertegun. “Kenapa?”

“Karena kamu nggak bisa liat.”

Entah mengapa secara tiba-tiba aku merindukan Sirius, dan juga kau.

*




Untuk tukang parkir paling tampan sedunia.

Jika nanti kita dapat melihat satu bintang yang sama, mungkin kita akan terasa begitu dekat. Sampai jumpa ya :)

February 25, 2012

Stars in You

Di langit utara, Capella berdiam di rasi Auriga, menjadi bintang paling bersinar di sana. Pollux milik Gemini pun tampak jelas. Ursa Major berarak dari timur laut. Dekat dengan Leo Minor, serta Leo yang begitu dekat dengan satu titik merah bernama Mars.

Andai langit tak kelabu, Ngo. Tepat di atasmu, adalah Sirius, bintang paling terang di angkasa milik Canis Major yang berpendar bersama Tuan Pemburu Besar, Orion.

Betelgeuse yang merah dan Rigel yang biru dalam Orion berpadu dengan Alnitak, Alnilam, Mintaka, Saiph, dan Bellatrix. Mereka membentuk satu sosok yang tangguh dan tak terkalahkan. Mereka bilang itu Orion, atau Belantik. Sedangkan aku akan dengan bangga mengatakan bahwa itu kamu. Kamu yang tangguh dan tak terkalahkan. Bukan kamu yang lemah, melainkan kamu yang kuat seperti biasanya.

January 24, 2012

Sebuah Perahu Kertas







Untuk Blog Contest Mizan.com


Hai, namaku Tia. Maafkan aku, Dee. Aku ini agen non-aquarius yang tak bisa menahan diri untuk menulis surat ini. Nantinya kukirim pada Neptunus, dan kuharap dia akan menyampaikannya padamu. Aku harap dia sedang bersamamu.

Dee, apakah kau itu seorang penyihir? Bukan apa-apa, aku hanya ingin bertanya karena akhir-akhir ini aku seperti ‘tersihir’. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku percaya pada Neptunus dan mulai mengirimkan surat-surat kecil berbentuk perahu setiap aku merasa sendu.

Astaga, Dee, kau memang penyihir!

Aku menemukan “Perahu Kertas” milikmu secara tidak sengaja. Pada awalnya aku memang sama sekali tidak tertarik, sebelum akhirnya pandanganku tersaruk pada tiga huruf yang menyusun sebuah nama di sampul novel itu. Dee. You’re a wordwitch! Mantera apa yang kau rapalkan? Membaca tiga huruf namamu membuatku tersihir. Aku tergerak untuk memiliki “Perahu Kertas” itu dan membaca lembarannya sampai habis. Aku benar-benar kecanduan, tidak bisa berhenti sebelum sampai di halaman terakhir, tidak bisa berhenti sebelum mengetahui akhir kisah cinta Kugy dan Keenan. Dee, you’re such a brilliant witch!

Semangat Kugy Alisa Nugroho benar-benar sampai. Aku tidak tahu pasti bagaimana ini terjadi, namun lagi-lagi, secara magis kau mengajari aku tentang kegigihan meraih cita-cita melalui sosok unik dan ajaib Kugy. Lewat dia aku juga belajar tentang cinta. Ah, bukan. Lebih tepatnya, aku belajar mencintai diam-diam tanpa harus memiliki serta bertahan atas cinta itu selama mungkin. Kugy benar-benar beton, dan aku ingin menjadi seperti Kugy yang kau ceritakan, Dee. Aku ingin menjadi sekokoh gadis itu.

Lalu Keenan. Dalam dirinya aku memahami suatu hal yakni sebuah keyakinan. Dia begitu percaya bahwa dia memang bisa hidup dengan melukis, dengan jalannya. Meski terseok, pada akhirnya Keenan memang berhasil. Selain kerja keras dan keyakinannya, ada satu hal yang mendorongnya terus-menerus dari belakang, yaitu cinta. Dengan cinta yang dimiliki, segalanya akan terasa mudah untuk dijalani. Keenan yang mengajarkanku.
Sedang Luhde berhasil menunjukkan padaku segala hal tentang hati. Luhde mengatakan padaku bahwa hati tidak pernah memilih. Hati dipilih, tidak perlu memilih. Ia selalu tahu ke mana harus berlabuh. Hati selalu dipilih cinta, dan berserah pada aliran yang membawanya. Ke mana pun itu, hati selalu tahu. Betapa aku ingin memahami kata ikhlas sesungguhnya seperti dia, Dee.

Selain mereka bertiga, aku juga banyak belajar dari Remi. Laki-laki itu memang luar biasa. Meski terlalu pahit untuk ditelan, kejujuran akan selalu lebih indah daripada kebohongan.

Lembar demi lembar yang aku baca selalu memiliki makna. Aku tidak ingat pada halaman berapa aku tertawa sampai terguling-guling. Aku juga tak ingat pada halaman berapa air mataku mulai menetes. Aku bahkan tak ingat mengapa tiba-tiba aku ingin menjadi Kugy Alisa Nugroho alias Kugy Karmachameleon.

Baiklah, Dee, kusimpulkan ternyata kau memang penyihir. Tenang saja, aku menyukaimu karena kau penyihir. Karya-karyamu selalu istimewa, selalu menorah bekas setelah dibaca.

And…Mungkin inilah ujung tarian jari-jariku dalam surat ini, Dee. Kali ini aku akan melipat kertas suratku menjadi sebuah perahu. Lalu akan kulepaskan pada arus sungai agar nanti kau dapat membacanya. Ya, semoga kau sedang bersama Neptunus sekarang.
Tunggu sampai perahuku datang, ya…


dari Puji Setianingsih
untuk Mizan.com