Ada sebuah kisah yang tertulis dan tak
akan pernah terlupakan dari kota
senja. Kisah yang akan dikenang dan diceritakan turun-temurun oleh dan kepada
mereka, orang-orang yang tinggal dan berlalu-lalang di kota senja. Kisah yang begitu sederhana
tentang perjalanan dan penantian. Kisah sederhana tentang aku, tentang kau, dan
tentang dia.
*
Aku.
Aku akan selamanya ada di sini, sudut kota. Aku masih senang
berada di tempat ini, tempatmu biasa menghabiskan senjamu dalam diam yang
sendu. Aku masih senang berdiam di tempat ini, menikmati bening wajahmu tanpa
jeda. Andai aku bisa mengatakannya, aku akan memaksamu mengerti bahwa kau
adalah candu yang tiada tara.
Aku telah lama mengenal tempat ini, lebih dari kau. Aku telah bertemu begitu
banyak orang dan mengerti seperti apa diri mereka. Aku pernah merasakan bahagia
dan kecewa karena mereka. Kesepian ada dalam tiap hembusan napasku, sebab meski
aku selalu diam di tempat yang sama sepanjang hari, orang-orang itu
menganggapku tak kasat mata.
Namun kau membawa cerita yang berbeda. Kau selalu datang menjelang senja
untuk duduk di sebuah bangku kayu sederhana itu, yang letaknya tak jauh dariku.
Kadang kau tersenyum lalu duduk di sana
sambil menikmati senja. Lantas memaksaku mendengarkan kisah yang kau bawa; tentang
pantai berpasir putih yang baru saja kau kunjungi, atau tentang sebuah rumah
kerang yang dibawa lidah ombak hingga terdampar di tepi basah pasir dan kau
bawa pulang.
.
*
Kau.
Aku mengenalmu baik. Aku mengenal detail tubuhmu dan hal-hal
yang kau suka. Wajahmu teduh dan menenangkan, seperti aroma yang menguar dari padang rumput saat
gerimis. Bibirmu merah muda, melengkung sempurna begitu memesona.
Kupandangi rambutmu yang hitam dan panjang kini tergerai pasrah. Ujung
terusan yang kau kenakan melambai-lambai tertiup angin yang berhembus dari
ujung jalan. Senja itu kau datang dari arah selatan, dari arah pantai dengan
membawa beberapa cangkang kerang berukuran kecil. Kau meletakkannya di atas
bangku kayu itu sebelum akhirnya tersenyum menyapaku.
Aku tak lagi bisa mengingat kapan pertama kali kau datang, mengubah
senjaku yang dulu sarat kesunyian menjadi penuh ketenteraman.
Aku mengenalmu baik. Kau ternyata menyukai senja dan pantai. Namun kau
lebih suka menghabiskan waktu senjamu di bangku kayu sederhana ini. Dalam diam,
bersamaku.
Dia.
Lelaki itu masih terus melangkah menuju senja yang
merekah, membawa bayangan dirinya yang terus memanjang dan lelah.
Tidak diketahui dengan pasti siapakah sebenarnya lelaki jalanan itu,
siapakah keluarganya, dari kota
mana dia memulai perjalanannya. Sosoknya tak begitu jauh dengan lelaki
kebanyakan, di tengah puncak masa mudanya. Menurut mereka yang sempat berbicara
dengannya, lelaki itu terlihat tak lebih tua dari usia tiga puluhan. Hanya
saja, pakaian pejalannyalah yang membuat lelaki itu terlihat lebih tua dari
usia sebenarnya. Bahkan, dari penampilannya, dia terlihat seperti sosok dari
masa lalu yang tersesat di masa kini.
Orang-orang hanya mengenalnya sebagai lelaki jalanan yang kesepian. Dia
menjelajah, menghabiskan sisa waktunya untuk menemukan keping-keping hidupnya
di sepanjang jalan yang dia lalui. Terkadang di suatu kota, dia akan tinggal beberapa malam, lalu
pergi lagi ketika menyadari bahwa dia tak mendapatkan sesuatu yang dia cari. Entah
kapan dia akan berhenti, mungkin hanya jika nanti dia menemukan satu tempat terbaik
untuknya berlabuh dan tinggal selamanya.
Entah berapa kota
yang pernah dia singgahi, dia sendiri tidak bisa mengingatnya dengan pasti.
Berapa panjang jalanan yang pernah ia lewati, ia tidak bisa menghitungnya. Dia
terus berjalan, hingga nanti pada suatu waktu dia akan berhenti melangkah atas
permintaan hati yang merasa lelah.
*
Aku dan dia.
Aku mengenal satu sosok yang akhir-akhir ini sering
dibicarakan oleh mereka yang lewat. Aku bisa membaca dirinya. Wajahnya
mengandung banyak kisah. Aku sempat mendengar satu, bahwa hidupnya dulu begitu
menyedihkan sebab dia miskin dan kesepian. Hingga akhirnya memutuskan untuk
pergi berkelana, mencari bahagia yang tak pernah mati. Entah apa, ia sendiri
tak pernah tahu.
Bertahun-tahun dia telah berjalan dari kota
ke kota,
singgah di banyak tempat, bertemu dengan bermacam orang, namun tak pernah
sekalipun terbersit keinginan untuk tinggal di salah satunya dan hidup bersama
orang-orang baik hati yang dia temui.
Namun mungkin segalanya nampak berbeda pada suatu senja yang remang,
ketika dia tengah berdiri sejenak di bawah lampu jalan yang mulai menyala dan
matanya tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menikmati sisa
cahaya lembayung di sebuah bangku kayu di sudut kota senja. Mendadak dia merasa bahwa
perjalanannya telah sampai di kota
terakhir tempat ia akan menghabiskan sisa hidupnya.
*
Kau dan dia.
Aku sedikit lega saat beberapa hari kemudian kau
datang tanpa air mata. Kau tampak seperti biasa, seperti yang aku lihat di
pertemuan pertama. Kau menikmati senja seperti biasa, duduk manis dan
bersenandung sesekali.
Pada suatu senja di tempat yang sama, ketika kudapati lelaki jalanan itu
tengah berhenti sejenak di bawah tiang lampu kota
di seberang sana,
tanpa sengaja dia memandang sosokmu yang tengah menikmati sisa lembayung senja
seperti biasa. Matahari perlahan tenggelam jauh. Kau membalas tatapannya dan
tersenyum. Ada
sesuatu yang merekah di kedalaman hatinya, aku tahu. Fajar telah terbit di
langit malam jiwanya.
Bibirnya bergerak-gerak merapal sebuah nama. “Gadis senja.”
Saat senja beranjak dan pudar, kulihat kau juga bangkit dan bergegas melangkah
pulang. Sedang lelaki itu tetap tak bergerak. Dia berdiri mematung sampai malam
menjelang dan kau hilang dari pandangan.
*
Aku, kau, dan dia.
Senja berikutnya kau datang lebih awal. Langkahmu
tampak begitu pasti menyusuri jalan kecil menuju bangku kayu ini. Tampaknya kau
sedang berbahagia. Hal apakah yang berhasil menimbulkan senyum di wajahmu itu?
Kupandangi benda yang kaubawa dengan tangan kananmu; sebuah rumah kerang
sebesar genggaman tangan. Kau duduk, masih tersenyum, lantas meniup lembut
rumah kerang itu untuk membersihkan butir-butir pasir yang masih menempel
padanya.
“Di dalam rumah kerang terdapat
suara laut, suara yang telah diabadikan selama kehidupannya di kedalaman
samudera.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang. Kau menoleh. Seorang lelaki yang
entah darimana datangnya tiba-tiba telah duduk di sampingmu. “Dekatkan rumah
kerang itu di telingamu, maka kau akan mendengarnya. Kau juga akan mendengar
suara lonceng yang berdentang dari kedalaman samudera,” lanjut lelaki itu.
Seperti tersihir oleh kata-katanya, kau mendekatkan rumah kerang itu ke
telingamu. Perlahan dan samar kau tersenyum dibuatnya. Mungkin kau mendengar
getaran-getaran halus dari dalam rongga kerang itu. Kau masih tersenyum
setengah tak percaya, lalu kembali kau mendengarkannya dengan lebih seksama.
Matamu tiba-tiba beralih memandangi lelaki itu. Kau seperti merasakan
kehangatan yang tiba-tiba di sekujur tubuhmu, menyusup ke dalam hatimu.
“Apakah aku pernah melihatmu?” tanyamu sopan
Suaramu lirih, begitu lembut dan terdengar sangat manis. Aku bisa
mendengarnya.
“Beberapa hari lalu, tapi mungkin kau tidak mengingatku.”
“Aku ingat. Kau lelaki yang waktu itu kulihat berdiri di bawah lampu
jalan di seberang sana
bukan?”
Kau ternyata masih mengingatnya. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum.
“Apakah kau tinggal di sekitar sini?” tanyamu kemudian.
“Tidak. Aku berasal dari kota jauh telah
menempuh perjalanan panjang sampai ke kota
ini. Kupikir, di kota
inilah pemberhentianku,” jawab lelaki itu.
“Apa yang kau lakukan di kota-kota itu, sepanjang perjalananmu?
Sepertinya menyenangkan.”
“Mencari bahagia.”
“Perjalananmu pasti sudah begitu panjang. Kau memiliki banyak cerita?
Ceritakan padaku sesuatu.”
“Pernahkah kau mendengar tentang negeri dua matahari?”
“Apakah negeri itu benar-benar ada?”
“Ada. Aku
pernah singgah di sana.”
“Ceritaka kepadaku.”
Maka senja pun berlalu dalam kalimat demi kalimat yang keluar dari cerita
lelaki itu. Kau mendengarkannya dengan senang hati. Aku tahu diam-diam kau
berharap, senja-senja berikutnya kau akan bertemu kembali dengan lelaki itu dan
mendengarkan kisah yang dibawanya. Aku masih membisu menatap kau dan dia yang
begitu dekat.
Dari tempatku berdiam pula, aku bisa melihat kalian yang berjalan
berdampingan meninggalkan bangku kayu sederhana itu. Kalian berpisah di
persimpangan jalan ketika senja mulai beranjak. Kupandangi kau tanpa jeda,
wahai gadis senja. Matamu tampak lekat mengunci bayangannya yang semakin
memanjang dan menghilang di ujung jalan.
*
“Mereka mengatakan kalau namamu adalah Agatha,” kata lelaki itu.
Agatha, gadis senja itu mengangguk sembari tersenyum. Senja itu kau dan
dia kembali bertemu, dan aku kembali diam-diam menatapmu rindu.
“Mereka juga mengatakan bahwa ayahmu kaya raya,” kata lelaki itu lagi.
“Apakah itu penting?” kau mengangkat
alis, balik bertanya.
“Aku tidak tahu.”
“Aku ingin mendengarkan kisah seperti kemarin.”
“Aku punya satu kisah yang lebih hebat.”
“Apa?”
“Dongeng tentang lelaki jalanan dan gadis senja.”
Kau tampak tercenung, sedang aku mulai menyimak raut wajah lelaki jalanan
itu.
“Baik. Ceritakan kepadaku.”
Lelaki itu tersenyum, dan kuakui bahwa dia memang begitu tampan.
Dan dia mulai bercerita. “Bertahun-tahun dia telah berjalan dari kota ke kota,
singgah di banyak tempat, bertemu dengan bermacam orang, namun tak pernah
sekalipun terbersit keinginan untuk tinggal di salah satunya dan hidup bersama
orang-orang baik hati yang dia temui.
Namun mungkin segalanya nampak berbeda pada suatu senja yang remang,
ketika dia tengah berdiri sejenak di bawah lampu jalan yang mulai menyala dan
matanya tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menikmati sisa
cahaya lembayung di sebuah bangku kayu di sudut kota senja. Mendadak dia merasa bahwa
perjalanannya telah sampai di kota
terakhir tempat ia akan menghabiskan sisa hidupnya, karena ia telah bertemu
dengan gadis senja yang selalu muncul di mimpi-mimpinya.”
Kau mengerutkan kening pertanda heran.
“Apakah kau lelaki jalanan itu? Apakah memang benar kau adalah lelaki
jalanan yang sering dikabarkan oleh orang-orang itu?” Tanyamu tiba-tiba. Wajahmu
pun mendadak berseri.
“Apakah itu penting?” lelaki itu balik bertanya.
“Aku tidak tahu,” lirihmu sambil tersenyum malu-malu. “Omong-omong, aku
juga bukan gadis senja.”
Lalu kalian berdua tertawa. Sedang aku masih diam tanpa suara.
“Belum selesai.”
“Apa?”
“Kisah ini belum selesai.”
“Selesaikanlah…”
“Lelaki jalanan itu telah mengikrarkan sebuah janji bahwa dia akan
memberikan sepuluh cahaya langit yang telah dia petikkan untuk gadis senjanya,
agar kelak cahaya itu dapat menerangi malam-malamnya yang kian sempurna.”
“Kau bercanda?”
Lelaki itu mengangkat bahunya dan masih tersenyum samar.
“Lelaki jalanan tak pernah mengingkari janji yang ia ucapkan. Dia terus
percaya bahwa cahaya langit yang digenggamnya adalah sebuah harapan yang
membawa kisah ini pada suatu akhir yang bahagia selama-lamanya.”
Angin berhembus perlahan. Aku beku, namun tak juga bisa beranjak.
*
Aku, kau, dan dia.
Malamnya kau datang kemari seorang diri. Di antara
berpuluh orang yang berlalu-lalang aku dapat melihat sosokmu yang dijatuhi
remang cahaya bulan. Senyummu samar, tersembunyi sepanjang kau melangkah menuju
bangku kayu tempatmu biasa berdiam.
Aku tahu kau tengah menunggu lelakimu datang, seperti janji yang sempat
kalian ucapkan beberapa hari lalu sebelum beranjak pulang. Entah perasaan macam
apa yang harus kurasakan saat ini, saat dia berhasil mengalihkan perhatianmu
dariku, wahai gadis senja.
Kupikir kau telah jatuh cinta. Jika memang begitu aku pun akan merasa
bahagia. Kisahmu dengan lelaki jalanan itu kuharap akan berakhir indah, seperti
kisah cinta yang sudah-sudah, yang kusaksikan dalam diam seperti saat ini.
Sebab menjadi saksi sebuah kisah cinta adalah mimpi indah yang paling indah.
Aku akan menjadi bagian dari kisah itu. Namaku akan turut dikenang sepanjang
kisah itu melegenda.
Tidak butuh waktu lama bagi semua orang di tempat ini untuk tahu tentang
kedekatanmu dengan lelaki jalanan itu. Kalian berdua sering terlihat di waktu
senja, duduk berdampingan dan terlihat bahagia. Kadang kalian terlihat
menyusuri pantai di pagi buta untuk melihat matahari terbit. Aku mendengarnya
dari mulut orang-orang yang berlalu-lalang. Aku pun mendengar, tak jarang, di
waktu malam, kalian terlihat di atas sebuah sampan kecil yang terapung pelan di
perairan teluk yang berair tenang, di bawah taburan bintang.
Bintang. Benar saja, aku ingat ucapan lelaki jalanan itu untuk memetikkan
sepuluh cahaya untukmu malam ini. Dimanakah dia? Mengapa lelakimu tak kunjung
datang menamuimu? Adakah dia mengingkari?
Tenang saja, Agatha, aku akan selalu berada di sisimu untuk mengisi
kesunyian hatimu. Aku berharap lelakimu itu akan datang dan membawakan cahaya
yang kau tunggu, menegaskan senyum samar yang kau sembunyikan sejak beberapa
menit lalu.
Kini kulihat dudukmu sudah tak tenang. Kedua tanganmu tampak bertaut. Kau
kedinginan. Adakah gelisah dan ragu menggodamu, Agatha? Apa yang harus
kulakukan untuk meredam gundahmu? Tiba-tiba seseorang mendekatimu. Bukan.
Ternyata bukan lelaki jalanan yang kau tunggu.
Selanjutnya aku tak mendengar apapun, kecuali bisik-bisik samar yang
kemudian melenyapkan cahaya di wajahmu. Aku mematung. Apa yang kalian
bicarakan? Mengapa orang itu tega memudarkan senyummu? Izinkan aku mencuri
dengar! Hei, manusia, mengapa kau membawa Agatha pergi?
Aku benar-benar tak mengerti mengapa orang-orang berlarian meninggalkan
kesibukannya, seperti Agatha meninggalkan aku. Langkah mereka berhenti di
sebuah persimpangan jalan tak jauh dari sini. Aku menatap jauh ke sana, melihat kerumunan
yang tercipta secara tiba-tiba. Kecelakaan.
Seseorang terbaring bersimbah darah. Napasnya tersengal, membuat tubuhnya
makin tak berdaya. Aku mengenal sosok tampan itu! Aku mengenalnya. Akan
kuteriakkan namanya andai aku bisa. Namun tampak sejauh pandanganku, dalam lima tarikan napas,
kulihat matanya terkatup perlahan. Tangannya terkulai lemas di samping tubuhnya
yang tergeletak di jalanan. Lalu terjatuh dari pelukannya sebuah toples kaca
dengan sepuluh ekor kunang-kunang yang berpendar menasbihkan duka.
Agatha, aku takkan melarangmu menangis.
*
Aku dan kau.
Kau masih setia duduk di bangku kayu sederhana ini,
mendengarkan denting suara lautan yang abadi dari dalam rumah kerang.
Merindukan lelaki yang sempat singgah beberapa jenak mengisi remang senjanya.
Kisah tentang lelaki jalanan dan gadis senja yang kau dengar di tempat ini
belum dia akhiri, dan kaulah yang harus menyudahinya.
Senja berikutnya terasa begitu muram. Kau mencoba meraba detak senja yang
semakin temaram dan tak mendapati sekepingpun bayangannya di sana. Lelakimu itu telah pergi tanpa bisa
kembali, namun kau masih setia menanti. Meski pada akhirnya kau mengakhiri
kisah ini hanya bersamaku.
Kau, gadis senja yang terus
tenggelam dalam penantian yang sunyi. Dan aku,
sebatang pohon trembesi tua yang akan terus ada, terus berdiam menaungi penantianmu
atas hati yang tak sempat kau miliki.
Jemarimu yang lemah bergerak membuka toples kaca di pangkuan. Kesepuluh cahaya
itu lalu terbang kemudian hilang ditelan sesunyian. Angin malam lalu bertiup
merontokkan daun-daunku. Aku bisa merasakan pedihmu, Agatha.
Purwokerto, 23 Maret 2012