December 04, 2012

Elegi Kota Senja





Ada sebuah kisah yang tertulis dan tak akan pernah terlupakan dari kota senja. Kisah yang akan dikenang dan diceritakan turun-temurun oleh dan kepada mereka, orang-orang yang tinggal dan berlalu-lalang di kota senja. Kisah yang begitu sederhana tentang perjalanan dan penantian. Kisah sederhana tentang aku, tentang kau, dan tentang dia.
*
Aku.
Aku akan selamanya ada di sini, sudut kota. Aku masih senang berada di tempat ini, tempatmu biasa menghabiskan senjamu dalam diam yang sendu. Aku masih senang berdiam di tempat ini, menikmati bening wajahmu tanpa jeda. Andai aku bisa mengatakannya, aku akan memaksamu mengerti bahwa kau adalah candu yang tiada tara.
Aku telah lama mengenal tempat ini, lebih dari kau. Aku telah bertemu begitu banyak orang dan mengerti seperti apa diri mereka. Aku pernah merasakan bahagia dan kecewa karena mereka. Kesepian ada dalam tiap hembusan napasku, sebab meski aku selalu diam di tempat yang sama sepanjang hari, orang-orang itu menganggapku tak kasat mata.
Namun kau membawa cerita yang berbeda. Kau selalu datang menjelang senja untuk duduk di sebuah bangku kayu sederhana itu, yang letaknya tak jauh dariku. Kadang kau tersenyum lalu duduk di sana sambil menikmati senja. Lantas memaksaku mendengarkan kisah yang kau bawa; tentang pantai berpasir putih yang baru saja kau kunjungi, atau tentang sebuah rumah kerang yang dibawa lidah ombak hingga terdampar di tepi basah pasir dan kau bawa pulang.
.
*
Kau.
Aku mengenalmu baik. Aku mengenal detail tubuhmu dan hal-hal yang kau suka. Wajahmu teduh dan menenangkan, seperti aroma yang menguar dari padang rumput saat gerimis. Bibirmu merah muda, melengkung sempurna begitu memesona.
Kupandangi rambutmu yang hitam dan panjang kini tergerai pasrah. Ujung terusan yang kau kenakan melambai-lambai tertiup angin yang berhembus dari ujung jalan. Senja itu kau datang dari arah selatan, dari arah pantai dengan membawa beberapa cangkang kerang berukuran kecil. Kau meletakkannya di atas bangku kayu itu sebelum akhirnya tersenyum menyapaku.
Aku tak lagi bisa mengingat kapan pertama kali kau datang, mengubah senjaku yang dulu sarat kesunyian menjadi penuh ketenteraman.
Aku mengenalmu baik. Kau ternyata menyukai senja dan pantai. Namun kau lebih suka menghabiskan waktu senjamu di bangku kayu sederhana ini. Dalam diam, bersamaku.
*
Dia.
Lelaki itu masih terus melangkah menuju senja yang merekah, membawa bayangan dirinya yang terus memanjang dan lelah.
Tidak diketahui dengan pasti siapakah sebenarnya lelaki jalanan itu, siapakah keluarganya, dari kota mana dia memulai perjalanannya. Sosoknya tak begitu jauh dengan lelaki kebanyakan, di tengah puncak masa mudanya. Menurut mereka yang sempat berbicara dengannya, lelaki itu terlihat tak lebih tua dari usia tiga puluhan. Hanya saja, pakaian pejalannyalah yang membuat lelaki itu terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Bahkan, dari penampilannya, dia terlihat seperti sosok dari masa lalu yang tersesat di masa kini.
Orang-orang hanya mengenalnya sebagai lelaki jalanan yang kesepian. Dia menjelajah, menghabiskan sisa waktunya untuk menemukan keping-keping hidupnya di sepanjang jalan yang dia lalui. Terkadang di suatu kota, dia akan tinggal beberapa malam, lalu pergi lagi ketika menyadari bahwa dia tak mendapatkan sesuatu yang dia cari. Entah kapan dia akan berhenti, mungkin hanya jika nanti dia menemukan satu tempat terbaik untuknya berlabuh dan tinggal selamanya.
Entah berapa kota yang pernah dia singgahi, dia sendiri tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Berapa panjang jalanan yang pernah ia lewati, ia tidak bisa menghitungnya. Dia terus berjalan, hingga nanti pada suatu waktu dia akan berhenti melangkah atas permintaan hati yang merasa lelah.
*
Aku dan dia.
Aku mengenal satu sosok yang akhir-akhir ini sering dibicarakan oleh mereka yang lewat. Aku bisa membaca dirinya. Wajahnya mengandung banyak kisah. Aku sempat mendengar satu, bahwa hidupnya dulu begitu menyedihkan sebab dia miskin dan kesepian. Hingga akhirnya memutuskan untuk pergi berkelana, mencari bahagia yang tak pernah mati. Entah apa, ia sendiri tak pernah tahu.
Bertahun-tahun dia telah berjalan dari kota ke kota, singgah di banyak tempat, bertemu dengan bermacam orang, namun tak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk tinggal di salah satunya dan hidup bersama orang-orang baik hati yang dia temui.
Namun mungkin segalanya nampak berbeda pada suatu senja yang remang, ketika dia tengah berdiri sejenak di bawah lampu jalan yang mulai menyala dan matanya tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menikmati sisa cahaya lembayung di sebuah bangku kayu di sudut kota senja. Mendadak dia merasa bahwa perjalanannya telah sampai di kota terakhir tempat ia akan menghabiskan sisa hidupnya.
*
Kau dan dia.
Aku sedikit lega saat beberapa hari kemudian kau datang tanpa air mata. Kau tampak seperti biasa, seperti yang aku lihat di pertemuan pertama. Kau menikmati senja seperti biasa, duduk manis dan bersenandung sesekali.
Pada suatu senja di tempat yang sama, ketika kudapati lelaki jalanan itu tengah berhenti sejenak di bawah tiang lampu kota di seberang sana, tanpa sengaja dia memandang sosokmu yang tengah menikmati sisa lembayung senja seperti biasa. Matahari perlahan tenggelam jauh. Kau membalas tatapannya dan tersenyum. Ada sesuatu yang merekah di kedalaman hatinya, aku tahu. Fajar telah terbit di langit malam jiwanya.
Bibirnya bergerak-gerak merapal sebuah nama. “Gadis senja.”
Saat senja beranjak dan pudar, kulihat kau juga bangkit dan bergegas melangkah pulang. Sedang lelaki itu tetap tak bergerak. Dia berdiri mematung sampai malam menjelang dan kau hilang dari pandangan.
*
Aku, kau, dan dia.
Senja berikutnya kau datang lebih awal. Langkahmu tampak begitu pasti menyusuri jalan kecil menuju bangku kayu ini. Tampaknya kau sedang berbahagia. Hal apakah yang berhasil menimbulkan senyum di wajahmu itu?
Kupandangi benda yang kaubawa dengan tangan kananmu; sebuah rumah kerang sebesar genggaman tangan. Kau duduk, masih tersenyum, lantas meniup lembut rumah kerang itu untuk membersihkan butir-butir pasir yang masih menempel padanya.
 “Di dalam rumah kerang terdapat suara laut, suara yang telah diabadikan selama kehidupannya di kedalaman samudera.”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang. Kau menoleh. Seorang lelaki yang entah darimana datangnya tiba-tiba telah duduk di sampingmu. “Dekatkan rumah kerang itu di telingamu, maka kau akan mendengarnya. Kau juga akan mendengar suara lonceng yang berdentang dari kedalaman samudera,” lanjut lelaki itu.
Seperti tersihir oleh kata-katanya, kau mendekatkan rumah kerang itu ke telingamu. Perlahan dan samar kau tersenyum dibuatnya. Mungkin kau mendengar getaran-getaran halus dari dalam rongga kerang itu. Kau masih tersenyum setengah tak percaya, lalu kembali kau mendengarkannya dengan lebih seksama.
Matamu tiba-tiba beralih memandangi lelaki itu. Kau seperti merasakan kehangatan yang tiba-tiba di sekujur tubuhmu, menyusup ke dalam hatimu.
“Apakah aku pernah melihatmu?” tanyamu sopan
Suaramu lirih, begitu lembut dan terdengar sangat manis. Aku bisa mendengarnya.
“Beberapa hari lalu, tapi mungkin kau tidak mengingatku.”
“Aku ingat. Kau lelaki yang waktu itu kulihat berdiri di bawah lampu jalan di seberang sana bukan?”
Kau ternyata masih mengingatnya. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum.
“Apakah kau tinggal di sekitar sini?” tanyamu kemudian.
“Tidak. Aku berasal dari kota jauh telah menempuh perjalanan panjang sampai ke kota ini. Kupikir, di kota inilah pemberhentianku,” jawab lelaki itu.
“Apa yang kau lakukan di kota-kota itu, sepanjang perjalananmu? Sepertinya menyenangkan.”
“Mencari bahagia.”
“Perjalananmu pasti sudah begitu panjang. Kau memiliki banyak cerita? Ceritakan padaku sesuatu.”
“Pernahkah kau mendengar tentang negeri dua matahari?”
“Apakah negeri itu benar-benar ada?”
“Ada. Aku pernah singgah di sana.”
“Ceritaka kepadaku.”
Maka senja pun berlalu dalam kalimat demi kalimat yang keluar dari cerita lelaki itu. Kau mendengarkannya dengan senang hati. Aku tahu diam-diam kau berharap, senja-senja berikutnya kau akan bertemu kembali dengan lelaki itu dan mendengarkan kisah yang dibawanya. Aku masih membisu menatap kau dan dia yang begitu dekat.
Dari tempatku berdiam pula, aku bisa melihat kalian yang berjalan berdampingan meninggalkan bangku kayu sederhana itu. Kalian berpisah di persimpangan jalan ketika senja mulai beranjak. Kupandangi kau tanpa jeda, wahai gadis senja. Matamu tampak lekat mengunci bayangannya yang semakin memanjang dan menghilang di ujung jalan.
*
“Mereka mengatakan kalau namamu adalah Agatha,” kata lelaki itu.
Agatha, gadis senja itu mengangguk sembari tersenyum. Senja itu kau dan dia kembali bertemu, dan aku kembali diam-diam menatapmu rindu.
“Mereka juga mengatakan bahwa ayahmu kaya raya,” kata lelaki itu lagi.
 “Apakah itu penting?” kau mengangkat alis, balik bertanya.
“Aku tidak tahu.”
“Aku ingin mendengarkan kisah seperti kemarin.”
“Aku punya satu kisah yang lebih hebat.”
“Apa?”
“Dongeng tentang lelaki jalanan dan gadis senja.”
Kau tampak tercenung, sedang aku mulai menyimak raut wajah lelaki jalanan itu.
“Baik. Ceritakan kepadaku.”
Lelaki itu tersenyum, dan kuakui bahwa dia memang begitu tampan.
Dan dia mulai bercerita. “Bertahun-tahun dia telah berjalan dari kota ke kota, singgah di banyak tempat, bertemu dengan bermacam orang, namun tak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk tinggal di salah satunya dan hidup bersama orang-orang baik hati yang dia temui.
Namun mungkin segalanya nampak berbeda pada suatu senja yang remang, ketika dia tengah berdiri sejenak di bawah lampu jalan yang mulai menyala dan matanya tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menikmati sisa cahaya lembayung di sebuah bangku kayu di sudut kota senja. Mendadak dia merasa bahwa perjalanannya telah sampai di kota terakhir tempat ia akan menghabiskan sisa hidupnya, karena ia telah bertemu dengan gadis senja yang selalu muncul di mimpi-mimpinya.”
Kau mengerutkan kening pertanda heran.
“Apakah kau lelaki jalanan itu? Apakah memang benar kau adalah lelaki jalanan yang sering dikabarkan oleh orang-orang itu?” Tanyamu tiba-tiba. Wajahmu pun mendadak berseri.
“Apakah itu penting?” lelaki itu balik bertanya.
“Aku tidak tahu,” lirihmu sambil tersenyum malu-malu. “Omong-omong, aku juga bukan gadis senja.”
Lalu kalian berdua tertawa. Sedang aku masih diam tanpa suara.
“Belum selesai.”
“Apa?”
“Kisah ini belum selesai.”
“Selesaikanlah…”
“Lelaki jalanan itu telah mengikrarkan sebuah janji bahwa dia akan memberikan sepuluh cahaya langit yang telah dia petikkan untuk gadis senjanya, agar kelak cahaya itu dapat menerangi malam-malamnya yang kian sempurna.”
“Kau bercanda?”
Lelaki itu mengangkat bahunya dan masih tersenyum samar.
“Lelaki jalanan tak pernah mengingkari janji yang ia ucapkan. Dia terus percaya bahwa cahaya langit yang digenggamnya adalah sebuah harapan yang membawa kisah ini pada suatu akhir yang bahagia selama-lamanya.”
Angin berhembus perlahan. Aku beku, namun tak juga bisa beranjak.
*
Aku, kau, dan dia.
Malamnya kau datang kemari seorang diri. Di antara berpuluh orang yang berlalu-lalang aku dapat melihat sosokmu yang dijatuhi remang cahaya bulan. Senyummu samar, tersembunyi sepanjang kau melangkah menuju bangku kayu tempatmu biasa berdiam.
Aku tahu kau tengah menunggu lelakimu datang, seperti janji yang sempat kalian ucapkan beberapa hari lalu sebelum beranjak pulang. Entah perasaan macam apa yang harus kurasakan saat ini, saat dia berhasil mengalihkan perhatianmu dariku, wahai gadis senja.
Kupikir kau telah jatuh cinta. Jika memang begitu aku pun akan merasa bahagia. Kisahmu dengan lelaki jalanan itu kuharap akan berakhir indah, seperti kisah cinta yang sudah-sudah, yang kusaksikan dalam diam seperti saat ini. Sebab menjadi saksi sebuah kisah cinta adalah mimpi indah yang paling indah. Aku akan menjadi bagian dari kisah itu. Namaku akan turut dikenang sepanjang kisah itu melegenda.
Tidak butuh waktu lama bagi semua orang di tempat ini untuk tahu tentang kedekatanmu dengan lelaki jalanan itu. Kalian berdua sering terlihat di waktu senja, duduk berdampingan dan terlihat bahagia. Kadang kalian terlihat menyusuri pantai di pagi buta untuk melihat matahari terbit. Aku mendengarnya dari mulut orang-orang yang berlalu-lalang. Aku pun mendengar, tak jarang, di waktu malam, kalian terlihat di atas sebuah sampan kecil yang terapung pelan di perairan teluk yang berair tenang, di bawah taburan bintang.
Bintang. Benar saja, aku ingat ucapan lelaki jalanan itu untuk memetikkan sepuluh cahaya untukmu malam ini. Dimanakah dia? Mengapa lelakimu tak kunjung datang menamuimu? Adakah dia mengingkari?
Tenang saja, Agatha, aku akan selalu berada di sisimu untuk mengisi kesunyian hatimu. Aku berharap lelakimu itu akan datang dan membawakan cahaya yang kau tunggu, menegaskan senyum samar yang kau sembunyikan sejak beberapa menit lalu.
Kini kulihat dudukmu sudah tak tenang. Kedua tanganmu tampak bertaut. Kau kedinginan. Adakah gelisah dan ragu menggodamu, Agatha? Apa yang harus kulakukan untuk meredam gundahmu? Tiba-tiba seseorang mendekatimu. Bukan. Ternyata bukan lelaki jalanan yang kau tunggu.
Selanjutnya aku tak mendengar apapun, kecuali bisik-bisik samar yang kemudian melenyapkan cahaya di wajahmu. Aku mematung. Apa yang kalian bicarakan? Mengapa orang itu tega memudarkan senyummu? Izinkan aku mencuri dengar! Hei, manusia, mengapa kau membawa Agatha pergi?
Aku benar-benar tak mengerti mengapa orang-orang berlarian meninggalkan kesibukannya, seperti Agatha meninggalkan aku. Langkah mereka berhenti di sebuah persimpangan jalan tak jauh dari sini. Aku menatap jauh ke sana, melihat kerumunan yang tercipta secara tiba-tiba. Kecelakaan.
Seseorang terbaring bersimbah darah. Napasnya tersengal, membuat tubuhnya makin tak berdaya. Aku mengenal sosok tampan itu! Aku mengenalnya. Akan kuteriakkan namanya andai aku bisa. Namun tampak sejauh pandanganku, dalam lima tarikan napas, kulihat matanya terkatup perlahan. Tangannya terkulai lemas di samping tubuhnya yang tergeletak di jalanan. Lalu terjatuh dari pelukannya sebuah toples kaca dengan sepuluh ekor kunang-kunang yang berpendar menasbihkan duka.
Agatha, aku takkan melarangmu menangis.
*
Aku dan kau.
Kau masih setia duduk di bangku kayu sederhana ini, mendengarkan denting suara lautan yang abadi dari dalam rumah kerang. Merindukan lelaki yang sempat singgah beberapa jenak mengisi remang senjanya. Kisah tentang lelaki jalanan dan gadis senja yang kau dengar di tempat ini belum dia akhiri, dan kaulah yang harus menyudahinya.
Senja berikutnya terasa begitu muram. Kau mencoba meraba detak senja yang semakin temaram dan tak mendapati sekepingpun bayangannya di sana. Lelakimu itu telah pergi tanpa bisa kembali, namun kau masih setia menanti. Meski pada akhirnya kau mengakhiri kisah ini hanya bersamaku.
Kau, gadis senja yang terus tenggelam dalam penantian yang sunyi. Dan aku, sebatang pohon trembesi tua yang akan terus ada, terus berdiam menaungi penantianmu atas hati yang tak sempat kau miliki.
Jemarimu yang lemah bergerak membuka toples kaca di pangkuan. Kesepuluh cahaya itu lalu terbang kemudian hilang ditelan sesunyian. Angin malam lalu bertiup merontokkan daun-daunku. Aku bisa merasakan pedihmu, Agatha.

Purwokerto, 23 Maret 2012