-1-
I’m beautiful in
my way
‘Cause God makes no mistakes
I’m on the right track, baby
I was born this way
Ia belum bisa memejamkan matanya meski ia tahu,
sekarang sudah hampir pagi. Entah mengapa saat ini ia hanya ingin berlama-lama
menatap bayangannya di dalam cermin, menekuni tiap jengkal tubuhnya yang
terlihat begitu normal.
Ia normal, setidaknya itu yang terlihat dari luar. Sementara jauh di
dalam lubuk hatinya, ada satu keinginan untuk berontak. Ia merasa jiwanya
terpenjara dalam tubuh yang salah, jauh dari yang ia inginkan. Ia mencari-cari
dirinya yang sebenarnya, entah dimana. Ia rasa tak ada di dalam cermin, itu
hanya sesosok tubuh yang berpura-pura.
Ia sering mendapatkan banyak umpatan dan cacian setiap hari, hingga ia
mulai masa bodoh dan tak lagi mau peduli. Mereka menganggapnya sampah yang
najis dan menjijikkan. Sudah sejak lama, sejak ia mulai menyadari bahwa ada
yang berbeda darinya dan mencoba menunjukkannya pada dunia. Tapi mengapa mereka
membenci orang-orang sepertinya? Ia tak mengerti bagian mana dari dirinya yang
salah. Ia merasa baik-baik saja.
Ruangan itu tiba-tiba senyap dan kosong. Alunan lagu yang sejak tadi ia
putar mendadak raib secara ajaib. Cermin besar di hadapannya kini hanya
menyisakan kesunyian yang tak terperi.
“Banci!”
Suara itu tiba-tiba muncul dari belakang tubuhnya. Ketika ia menengok ke
belakang, gerombolan teman lelaki sebayanya telah berdiri persis di depannya.
Mereka semua mengenakan pakaian seragam putih-merah. Begitu pula dirinya. Salah
satu di antaranya bertubuh besar, dan bocah itulah yang paling sering
mengganggunya sampai ia menangis. Cacian ‘banci’ yang bocah itu lontarkan
terkadang membuatnya malu, terutama dengan anak-anak lain yang tertawa kecil
melihatnya dihina.
Ia memang tak suka berteman dengan sesama jenisnya. Ia tak menyukai
kekasaran dan kebrutalan anak laki-laki yang membuatnya tak nyaman. Ia lebih
senang duduk-duduk bersama anak perempuan di satu sudut kantin, sembari
bergosip tentang anak paling tampan di sekolah.
Ray tersentak. Bayang-bayang masa lalu itu datang lagi, bahkan semakin
sering belakangan ini. Ia benar-benar merindukan masa-masa itu, saat ia
benar-benar bebas melangkah menuju pilihan hatinya. Ia menyadari bahwa dirinya
berbeda, namun ia juga menyadari banyak orang yang bernasib sama sepertinya,
yang dapat ia jadikan sumber rasa bahagia.
Sepertinya ia harus segera meninggalkan apartemen rahasianya ini. Ada satu tempat yang harus
ia kunjungi malam ini demi melepas kerinduan yang telah lama berdiam dalam
dada. Ia lantas menarik napas dalam-dalam, memantapkan hatinya untuk kembali ke
masa lalu. Sebuah seringai terlukis samar di wajahnya, sebelum akhirnya ia
memacu mobil itu menuju satu tempat;
Pataya[1].
Pataya[1].
-2-
Don’t hide
yourself in regret
Just love yourself and you’re set
I’m on the right track, baby
I was born this way, born this way
Tiba-tiba dari televisi yang berada dalam ruangan itu, sosok Lady Gaga
muncul dengan video musik ‘Born This Way’. Seketika itu ia berjingkat menuju
pintu kamar dan memutar kuncinya. Sepersekian detik kemudian ia berlari ke atas
ranjang dan menari-nari sambil bernyanyi, beraksi seperti Lady Gaga yang sedang
konser di hadapan jutaan penggemarnya.
Ia bukanlah sesosok lelaki yang gemulai dan lemah. Tubuhnya tinggi
menjulang seperti seorang atlet basket. Lengannya kekar, hasil dari latihan push-up yang ia lakukan sebelum bermain
sepakbola di sekolahnya. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, idaman semua wanita.
Banyak perempuan yang diam-diam berusaha merebut perhatiannya. Sekotak cokelat
sering mampir ke dalam tasnya. Harinya selalu diwarnai dengan sapaan-sapaan
genit dari beberapa perempuan, “Met pagi,
Dimas…”
Namun semua itu tak sedikitpun ia gubris, sebab hatinya telah jatuh pada
satu nama; Rangga.
Rangga bertubuh tinggi dan kekar, sama sepertinya. Kulitnya putih bersih.
Bibirnya yang mungil berwarna merah muda, itulah hal pertama yang menarik
perhatiannya. Pemuda itu adalah teman dekatnya di tim sepakbola. Tak jarang
pula mereka belajar bersama, sebab Rangga terkenal pandai di kelasnya.
Kedekatan itu benar-benar membuatnya jatuh cinta, namun ia tak berani
menyatakannya. Perbuatan semacam itu hanya akan memutuskan tali persahabatan
mereka. Dan ia juga tahu betul, di negeri ini, menjadi seorang pecinta sesama
jenis akan dilaknat habis-habisan. Maka ia hanya bisa mengungkapkan seluruh
perasaannya dengan menulis berlembar-lembar surat dan puisi cinta untuk Rangga. Lembaran surat yang akhirnya tak
pernah terkirim.
Kini, hanya kamar tidurnya yang menjadi satu-satunya ruang baginya untuk
berkhayal, serta menjadi dirinya sendiri.
Kebebasannya lenyap terpenjara norma. Ia harus pergi dan menemukan
kebebasan yang sesungguhnya. Ia ingin menjadi dirinya sendiri, bukan robot yang
membebek pada ikatan yang selama ini memenjarakannya. Ia ingin memiliki cinta
seperti yang ia definisikan sendiri.
Ayahnya sedang pergi entah ke mana, begitu pula ibunya. Ia bebas. Ia
harus pergi malam ini juga.
-3-
Whether life’s
disabilities
Left you outcast, bullied or teased
Rejoice and love yourself today
‘Cause baby, you were born this way
Ia menghentikan langkahnya tepat di pinggir Kali Mas, dalam kegelapan
tepian sungai. Lagu itu mengalun samar entah darimana, membuatnya ingin
berhenti beberapa jenak untuk menikmatinya.
Jalanan kecil dengan beberapa pohon pendek dan gerumbul yang tumbuh di
sepanjang tepian, tembok tinggi gedung-gedung membuat jalanan ini semakin
temaram. Malam adalah kesejukan. Kehangatan merayap perlahan berpadu dengan
angin beraroma lautan.
Lelaki itu telah tiga kali berjalan dari ujung ke ujung jalanan ini, dan
sekarang duduk di bangku kecil menghadap sungai, memandang lampu kehidupan di
deretan seberang. Sesekali ia melirik ponsel di genggamannya. Ada sepuluh panggilan tak terjawab yang ia
tahu pasti bahwa itu dari istrinya. Mereka tengah bertengkar. Entah meributkan
apa. Terlalu banyak hal yang menjadi sebab pertengkaran mereka.
Ray menggelengkan kepalanya, mengusir masalah yang terus membuntutinya.
Beberapa sepeda motor tampak berseliweran pelan. Lampunya menyorot dan beberapa
orang membuang pandang ke arah lain. Beberapa memilih berhenti dalam diam,
sementara penumpangnya tetap duduk di atas motornya. Sebagian lainnya sudah
terlibat suatu pembicaraan.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
“Baru pernah ke sini, Mas?”
Ray mengerutkan keningnya.
“Liat-liat aja dulu. Nanti kalau tertarik, tinggal dideketin.”
“Denger-denger, di sini bener-bener bebas?”
Terdengar gelak tawa dari mulut lelaki di hadapannya. Ray tertegun.
“Di sini itu tempat kumpul, ngobrol, atau ketemu. Paling banter ya cuma
buat main-main yang enteng, kalau mau
main yang serius check-in aja.”
Ray mengangguk-angguk mengerti.
“Mau saya cariin yang fresh?”
“Boleh.”
“Biasanya yang masih hijau sukanya gelap-gelapan. Tuh di situ banyak,”
lelaki itu mengacungkan jari telunjuknya ke satu sudut gelap tak jauh dari
warung kopi. “Biasanya mereka pakai cadar. Masih pemalu.”
Ray tersenyum samar dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru.
Orang-orang datang dan pergi seenaknya, memilih sesuka hatinya, lalu berkencan
dan bermain sepuasnya. Ia teringat akan lagu yang ia dengar begitu tiba di
tempat ini. Bila diperhatikan lamat-lamat, lagu itu mengajarkannya untuk
menjadi dan percaya pada dirinya sendiri. Inikah kebebasan yang ia cari?
“Kok bengong, Mas?”
“Eh… Iya.”
“Tuh, Mas, ada yang baru
dateng. Kayanya belum punya pasangan. Buruan deh, nanti keburu diambil orang.”
Ray mengangguk, lalu beranjak dari bangku kayu yang ia duduki menuju
suatu keremangan tak jauh dari sana.
Temaram petang dan air selalu mendatangkan romantisme. Ray melangkah perlahan
mendekati pemuda jangkung yang tengah duduk sendirian di samping motornya.
Sempat terbesit keraguan dan kegamangan, bagaimana cara membuka obrolan dengan
lelaki muda seperti ini?
Ah, pakai cara yang klise saja.
Ray mengeluarkan sebatang rokok dari dalam sakunya.
“Permisi, Mas?”
Pemuda itu menoleh.
“Boleh pinjam korek?”
Pemuda itu mengangguk samar, lalu mengeluarkan sebuah korek api dari saku
belakang celana jeans yang ia
kenakan. Pemuda itu menatap lekat-lekat sosok lelaki di hadapannya. Menatap
wajah yang tak asing di matanya. Tiba-tiba ia merasa kesulitan untuk mengingat.
Tiga detik api menyala. Tiga detik api memperjelas wajah keduanya. Betapa
ia merasa langit Pataya malam itu mendadak runtuh menimpanya, saat pemuda itu
memekik tertahan.
“Ayah?”
Ray tercekat.
“Dimas?”
Purwokerto, 24 Maret 2012