October 22, 2012

Baru Saja Bertemu Hujan


"Sudah sejak kapan hujan turun?" tanyaku pada suatu hari.
"Sejak lama, sejak kamu patah hati," jawab satu bayangan dalam cermin.
"Memangnya aku pernah patah hati?"
"Jawab saja sendiri!"
"Bukannya aku jatuh cinta setiap hari?"
"Jatuh cinta lalu patah hati lagi lalu jatuh cinta lagi."
"Jadi, aku tidak tahu diri ya?"
"Mana aku tahu," jawabnya bosan.
"Jadi, sejak kapan hujan turun?"
"Sejak kamu patah hati. Cukup. Ini jawaban kesembilan ratus dua puluh. Diam dan pergilah!"

Aku mengalah, lalu pergi.

***

Hari ini aku bertemu hujan. Mereka telah lama merindukan aku, merindukan saat-saat menyenangkan ketika mereka menyentuh kulitku. Entah kapan terakhir kali aku basah kuyup sambil tertawa kegirangan karena hujan. Hari semacam ini terulang. Aku melaju, menembus hujan, membiarkan butiran air itu menerpa wajahku. Sakit. Tapi biarkan. Itu lebih nikmat daripada segelas lemon tea yang sesaat sebelumnya aku teguk. Aku dengar mereka mengucapkan apa kabar. Aku tidak menjawab, kupikir mereka sudah sangat mengerti. Mereka selalu membuatku bahagia dengan cara yang begitu sederhana. Aku tertawa. Mereka menggelitik. Aku lupa bahwa aku sedang bersedih. Atau aku pura-pura lupa? Atau jangan-jangan aku tidak lupa sama sekali, melainkan aku sedang menertawakan kesedihan itu.

Tampaknya aku masih tidak peduli bahwa aku mulai kedinginan. Bibirku memerah lalu perlahan membiru. Sebelum aku jatuh dan tersungkur dalam euforia penuh ironi ini, sebelum aku terjebak dalam dingin lain yang entah datang dari mana, lebih baik aku pulang dan mulai meneguk beberapa cangkir kopi hingga malam, lalu pagi. Satu cangkir untuk langit mendung. Sudah di perut. Satu cangkir untuk bintang-bintang yang belum menyampaikan kabar sejak hujan sering turun, sejak aku katanya patah hati. Dan... Tiga cangkir untuk aku sendiri, yang bodoh, yang pengecut, yang selalu salah. Untuk aku sendiri, yang masih takut bertemu kamu, Kecil.

Jadi... Mungkin besok malam aku akan bicara lagi di sini, tentang cangkir kopi.


'