November 15, 2012

Tak Terhingga


Jika kusebut dia sebagai sebuah dimensi, maka bisa kudapati bahwa ujung penjelasan tentangnya adalah tak terhingga.

...


Album foto ini sangat sederhana.

Dalam setiap potret, kulihat wajah-wajah yang begitu sederhana dan apa adanya. Aku melihat orang-orang yang dibesarkan dalam kesederhanaan namun penuh kekeluargaan. Lalu dalam selembar foto aku melihat seorang wanita. Aku seperti mengenalinya. Wanita yang tidak tersenyum namun cantik. Ekspresinya sederhana dan tak pernah berubah hingga sekarang. Bajunya sederhana. Raut wajahnya sederhana. Rambutnya sederhana. Dan tiba-tiba aku merasa menjadi diadalam potret itu. Aku tenggelam dalam sebuah foto yang kemudian menjelma buku cerita... Cerita tentang sesosok wanita.

Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Orang tuanya - seperti kebanyakan penduduk kampung - adalah seorang petani. Mereka memiliki sawah yang luas yang mereka jadikan sumber nafkah keluarga. Kutegaskan sekali lagi, keluarganya bukan merupakan kaum borjuis. Keluarganya benar-benar sederhana. Paling sederhana di antara mereka yang sederhana. Mungkin, sesederhana anyaman tikar pandan. Entahlah.

Dia menghabiskan masa kecilnya di sebuah kampung kecil di kaki gunung bersama saudara dan sahabat-sahabatnya. Selain bersekolah. hari-hari mereka dihabiskan untuk membantu orang tua dan bermain permainan khas anak-anak kampung. Sore harinya mereka akan beramai-ramai pergi ke sungai dan mandi di sebuah mata air yang sering mereka sebut "tuk". Airnya dingin seperti air kulkas, katanya. Tapi mereka tidak peduli. Anak laki-laki dan perempuan melepas pakaian lalu melompat dari pinggir tuk. Mereka menenggelamkan diri dalam air, bercanda, berenang, lalu melompat lagi. Aku seperti melihat mereka yang bahagia dengan cara yang sederhana.

Dia, wanita itu, adalah anak kedua dari enam bersaudara dan merupakan anak perempuan pertama di keluarga itu. Seperti pikiran orang kampung lain pada masa itu, ibunya berpikir bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Maka seperti anak-anak perempuan kampung lain pada masa itu, pendidikan formal wanita itu harus terhenti begitu dia mendapatkan Ijazah Sekolah Dasar.

Tapi dia tidak mau menjadi tidak berguna. Dia memilih untuk mengambil kursus menjahit di kota bersama beberapa temannya. Menurut cerita yang kudengar, setiap pagi dia harus berjalan dua sampai tiga kilometer untuk menemukan angkutan pedesaan yang akan dia naiki hingga batas kecamatan, dimana setelah itu dia harus menaiki satu lagi angkutan kota agar bisa sampai di tempat kursus. Sore harinya dia melakukan hal yang sama untuk pulang. Hal serupa dia lakukan bertahun-tahun kemudian, saat dia bekerja di sebuah pabrik konveksi yang terletak belasan kilometer dari rumahnya. Dia tidak mengeluh. Dia hanya menikmatinya, setiap aliran keringat di pelipisnya, atau basah pakaiannya ketika musim hujan datang, juga setiap gelas teh manis hangat yang diberikan pada pekerja pabrik saat pagi, setiap bungkus nasi pada jam makan siang, setiap rupiah yang datang dan pergi, setiap canda, setiap tawa, setiap kerja kerasnya...

Semuanya dia lakukan. Demi mempertahankan sebuah pekerjaan. Demi memiliki uang. Demi bisa membeli kebutuhannya tanpa harus meminta kepada ibunya.


***

Aku datang kembali ke kampung tempat Ibu dibesarkan.
Banyak yang kurindukan, termasuk kerbau-kerbau yang digembalakan di sepanjang jalan dan suara baling-baling yang terbuat dari bambu yang dipasang hingga sepuluh meter tingginya. Aku juga cukup merindukan jalanan yang diapit hamparan sawah serta suara-suara tonggeret yang bersahutan di pinggir hutan. Ini kunjunganku yang ketiga, terhitung setelah Nini - panggilanku untuk nenek - meninggal dan membuat Ibu secara teknis menjadi yatim piatu.

Jalanan yang diapit sawah itu berujung pada sebuah kampung, inilah tempat Ibu tumbuh menjadi dewasa. Setelah belokan pertama akan terlihat sebuah lapangan, yang jika tiba hari lebaran maka seisi lapangan akan dipenuhi oleh kertas-kertas yang koyak. Anak-anak kampung gemar membuat petasannya sendiri, lalu meledakkannya bersama-sama selepas sholat Idul Fitri. Lalu setelah belokan kedua akan ada masjid, dan di seberang masjid itu adalah rumah masa kecil Ibu.

Rumah itu sudah berkali-kali berganti wajah. Bahkan pernah mengalami perombakan besar-besaran. Pamanku pernah mengganti tampilan rumah kuno Nini menjadi bergaya Betawi, dengan pagar di sekeliling terasnya. Aku ingat, dulu ketika aku masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, aku sering berkunjung dan menginap. Saat aku pamit pulang, Nini selalu memberiku bermacam-macam bunga yang dipetiknya dari kebun di sekeliling rumah. Aku yang saat itu belum tahu apa nama bunga-bunga itu lantas melompat kegirangan. Aku membayangkan setibanya aku di rumah nanti, Ibu akan menyiapkan air di dalam wadah untuk menaruh bunga-bunga Nini agar tetap segar. Sekarang aku rasa aku mulai merindukan keduanya.

Masih sama seperti dulu, begitu aku masuk, secangkir teh akan terhidang di meja. Aku suka menghirup teh yang Nini buatkan setiap aku berkunjung, atau setiap aku bangun tidur kalau menginap, teh yang berasal dari pohon, bukan dari pabrik.

Dahulu aku sering menghabiskan waktuku di ruang tamu, memandangi setiap sudut rumah yang selalu hangat ini. Atau membuka album-album foto yang Nini simpan di dalam lemari kayu. Aku senang melihat wajah-wajah polos Ibu, Pakde, Paman, dan Bibi saat masih kecil. Aku senang menertawakan wajah kuno mereka. Aku juga senang menanyakan hal-hal tentang foto-foto itu pada Nini, seperti: "Ini siapa? Mereka sedang di mana?". Lalu aku akan mengangkat satu alis saat Nini menjawab: "Itu di Dufan, di Ancol." Lalu beberapa saat kemudian aku akan tertawa mengejek karena Dufan dalam foto itu tampak seperti pasar malam di siang hari. Dalam tawa yang mengejek itu aku berpikir, betapa berharganya memori yang terekam dalam selembar foto.

Aku menghentikan lamunanku. Lalu aku melangkah, mendapati lemari yang sama seperti yang dulu sering aku usik. Aku membuka salah satu pintunya dan mendapati beberapa album foto di sana. Kuambil satu. Kubuka pelan-pelan...

Album foto ini sangat sederhana.






Dalam setiap potret, kulihat wajah-wajah yang begitu sederhana dan apa adanya. Aku melihat orang-orang yang dibesarkan dalam kesederhanaan namun penuh kekeluargaan. Aku melihat seorang wanita. Aku seperti mengenalinya. Wanita yang tidak tersenyum namun cantik. Ekspresinya sederhana dan tak pernah berubah hingga sekarang. Bajunya sederhana. Raut wajahnya sederhana. Rambutnya sederhana.

Kau pasti merasa pernah membaca paragraf itu bukan?

Kembali. Maka aku mengingat kisah tentang dia, wanita dalam foto. Kisahnya dan kesederhanaan, kisah bagaimana dia harus menerima bahwa dia tak bisa melanjutkan sekolahnya. Kisah bagaimana dia hidup bersama kelima saudaranya dalam keterbatasan. Kisah bagaimana dia menghabiskan hari-harinya sebagai seorang anak petani. Kisah sederhana dan rumit. Kisah bahagia dan duka. Kisah-kisah lain yang tak berujung.

Aku mengingat kisahnya dan pabrik konveksi. Kisahnya dan angkutan kota. Kisahnya dan mesin jahit.

Aku paham, jangankan di masa-masa sekarang. Dia, wanita berambut ikal yang hidup di zaman uang seribu rupiah masih sangat berharga, yang hanya lulusan SD dan kursus menjahit, yang rumahnya di kaki gunung, yang setiap hari harus menempuh perjalanan panjang menuju pabrik konveksi tempatnya bekerja, kupikir cukup merasakan bagaimana sulitnya mencari uang. Segala hal yang dia pahami telah membuatnya mengerti, sehingga pada suatu hari saat dia telah memiliki keluarga, dia akan memberi tahu anak-anaknya tentang kisahnya, dan menanamkan pada mereka untuk mengerti cara menghargai setiap rupiah yang mereka miliki.

Kupandangi lagi foto itu. Kupikir setiap gurat dalam wajahnya terlukis di wajahku. Mataku adalah matanya. Bibirku adalah bibirnya. Setiap jengkal dari diriku adalah setiap jengkal dari tubuhnya.

Kuingat sebuah foto yang terselip di tumpukan buku-buku di rumah. Wanita itu kini telah dewasa.





Kutahu wanita itu adalah ibuku.

Dia tak lagi menjahit. Dia hanyalah seorang ibu dan guru. Hari-harinya bukan lagi untuk berjalan kaki sekian kilometer, bukan lagi untuk menggoyangkan kaki mengoperasikan mesin jahit, bukan lagi untuk mempertahankan pekerjaan di sebuah pabrik konveksi. Dia tak lagi muda. Dia bukan lagi seorang wanita yang berusia belasan tahun. Hari-harinya kini bergulir cepat, dia habiskan untuk membentuk anak-anaknya untuk menjadi hebat.

Dia berpikir keras menyiasati uang belanja agar bisa memenuhi kebutuhan selama sebulan. Dia, seperti kebanyakan ibu, pergi ke pasar setiap harinya, membeli beras dan bahan makanan untuk dimasaknya sendiri untuk anak-anaknya, sebab dia tidak pernah mau memiliki pembantu. Dia, selalu membawa satu kantong plastik kecil di luar kantong belanjaannya. Isinya adalah dua plastik kecil berisi jamu yang dia belikan untukku. Dia tidak pernah berdandan kecuali ketika mengajar atau menghadiri acara-acara resmi. Dia sangat sederhana.

Ibuku, sekali lagi, hanyalah bagian kecil dari kronologi zaman. Meski zaman terus berkembang dan waktu kian berputar, Ibuku tetaplah menjadi ibuku yang sederhana dan tak banyak menuntut apapun dari siapapun.

Penjelasan tentang Ibu takkan pernah menemui ujung. Mungkin kelak, jika aku pergi jauh, hal yang pertama kali aku rindukan satu kilometer dari rumah adalah Ibu. Ibu yang tidak pernah ingat ulang tahunnya, tetapi selalu ingat ulang tahun ayah, ulang tahun pernikahan, dan ulang tahun anak-anaknya. Ibu yang selalu membahas dan mengomentari berita di televisi. Ibu yang selalu ikut bernyanyi saat lagu nasional diputar di TVRI. Ibu yang selalu makan setelah anak-anaknya makan. Ibu yang tidak menangis saat Nini meninggal. Ibu yang kuat, yang membuat anak-anaknya menjadi lebih kuat.

Kuingat lagi kenangan tentang Ibu, yang hampir setiap hari menyanyikan lagu "Pelanduk dan Kelinci", di kamar, di depan televisi, di dapur, dan tetap saja terdengar fals. Tapi itu ibuku, jika tidak fals, itu bukan ibuku. Kupikir dia begitu istimewa meski sangat sederhana. Aku menyayanginya. Itu saja. Sedangkan seberapa besar rasa sayang itu aku sendiri tak tahu. Satu milyar, atau satu trilyun, atau satu milyar trilyun yang dibagi nol. Tak terhingga.

Aku hanya tahu bahwa aku menyayanginya.



"Hari Ibu jatuh setiap hari. Setiap hari aku ibumu."