December 04, 2012

Dalam Sebaris Doa




Juli 2010
Aku nyaris lupa bagaimana rupa langit negeriku yang penuh cahaya. Aku merindukannya, karena di negeri bernama Palestina, setiap kali aku menengadah berharap melihat langit biru, aku kecewa karena langit ternyata masih terkekang kelabu. Sudah lebih dari satu tahun, setiap aku membuka mata, hanya ada duka yang menggantung jauh di angkasa.
Aku pun sangat mengerti bagaimana setiap pagi orang-orang selalu terbangun oleh dentum peluru dan kendaraan perang yang beradu. Mereka tak pernah lagi menangis, namun aku tahu, diam-diam mereka menyembunyikan hati yang teriris.
Dan di tanah ini aku menyadari, betapa hatiku selalu ingin menjerit.
Ada sebuah camp pengungsi di Gaza bagian selatan, tepat di pinggir kota kecil Rafah. Aku tinggal di sana, bersama orang-orang berhati baja yang memilih terus bertahan di sepanjang tahun yang muram. Setiap pagi sebelum matahari naik terlalu tinggi, aku selalu menyempatkan diri berdiri menghadap ke arah timur dan melantunkan doa agar negeri ini segera mengecap kata merdeka. Bukan tanpa alasan, semua yang kulakukan selalu memiliki alasan.
Kutekuni tiap jengkal tanah kering ini, serta jalanan berdebu dan gersang sepanjang mata memandang. Semua masih saja setia menjadi saksi pertaruhan harga diri berujung mati.
Aku menarik napas perlahan. Sama sekali belum ada aroma kebebasan yang membuatku tenang.
“Sarah...”
Aku menoleh, laki-laki dengan postur tubuh tinggi besar terlihat menghampiriku dengan membawa dua buah cangkir, asap tipis tampak mengepul di atasnya.
“Sudah baikan?” tanyaku begitu menyadari siapa yang datang.
Dia tersenyum dan mengangguk pelan, mencoba membuatku percaya bahwa dia baik-baik saja. Ada beberapa bekas luka di lengan dan wajahnya, sudah agak tersamarkan memang, tapi aku tahu betapa menderitanya dia. Tentara Israel telah memukulinya.
“Teh?” tampak dia mengulurkan cangkir di tangan kanannya kepadaku. Aku tersenyum lalu menerima cangkir itu.
“Bagaimana keadaanmu, Moheeb?”
“Cukup baik.” gumamnya.
Moheeb Al-Barghouthi, dia sahabatku. Sama sepertiku, dia berprofesi sebagai juru foto. Dia bekerja untuk surat kabar resmi Otoritas Palestina “Al-Hayat Al-Jadida”, dan baru kemarin dia keluar dari satu rumah sakit di Ramallah setelah dianiaya oleh tentara Israel. Moheeb dituduh melanggar daerah militer yang tertutup. Kameranya dirusak dan beberapa peralatannya disita. Kini yang tersisa hanya bekas luka dan memar di sekujur tubuhnya.
Tapi dia masih bisa tersenyum. Dari sudut mataku, kuperhatikan dia yang mendekat, lalu ikut menyandarkan tubuhnya di pagar beton ini. Kami sama-sama menghadap ke arah timur. Kulihat dia meminum teh dari cangkir di tangannya sedikit demi sedikit. Terlihat jelas lehernya bergerak-gerak saat dia menelan cairan hangat itu.
Lalu dia menghela napas panjang.
“Kau masih sering berdoa seperti ini, ya?”
Aku tersenyum, mengangguk perlahan, lalu membuang muka. Aku memandang jauh ke depan, mencoba menerka-nerka berapa kali sudah aku melakukan hal ini. Berdoa saat pagi tiba, memohon kepada Tuhan agar negeri ini segera merdeka.
“Yah... Aku selalu berdoa.” lirihku.
Sambil tersenyum, kualihkan pandangan menuju cangkir di tangan. Ada asap tipis yang terus mengepul.
“Dan aku mungkin akan terus berdoa, Moheeb...”
Kusesap teh itu, kehangatannya seketika mengalir. Moheeb menerawang jauh entah memikirkan apa, sedang aku terus saja menikmati teh yang dia bawakan tadi.
“Sejak kapan? Sejak lima bulan lalu katamu?”
Aku menatapnya sebentar, lalu kutarik napas dalam-dalam. Entah mengapa dadaku terasa begitu sesak mengingat apa yang terjadi lima bulan lalu.
“Ya, sejak lima bulan lalu.”
“Sampai kapan?”
“Sampai doaku terkabul.”
“Sampai Palestina benar-benar merdeka?”
Aku mengangguk. “Ya, sampai Palestina benar-benar merdeka.”
Moheeb bergerak, tangannya terulur ke samping untuk meletakkan cangkir yang ternyata telah tandas isinya. Wajahnya menatapku penuh harap, dan aku tersenyum tipis. “Aku ingin tahu tentang alasanmu itu.”
Moheeb memang tak pernah tahu tentang kisah di balik lantunan doaku setiap pagi di tempat ini. Moheeb tak pernah tahu tentang anak perempuan yang selalu membuatku ingin menangis saat menyelami kehidupannya, padahal dia tak pernah menangis. Moheeb mungkin harus tahu tentang pemilik nama itu.
“Alasanku...”
Mulutku terbuka, sedang Moheeb masih menatapku dan mematung sejenak.
“Saad...”
Februari 2010

Aku adalah sebaris luka yang tertinggal di bumi Al-Aqsa
Mungkin kau lupa, darah ini adalah yang terselip sebagai puisi
Kubagi-bagikan, agar buana tak lagi bungkam

Ini pelataran yang kujaga sepanjang Subuh
Saat kau bawa ayah, dan kau hancurkan sebatang kursi roda

Sudah sejak lima belas menit lalu aku berdiri mematung di belakang bangku kayu ini, hanya untuk melihatnya menulis. Namun saat ujung pensilnya hendak berpindah pada baris ke enam kertas itu, gerakan tangannya terhenti. Gadis manis berambut ikal itu meletakkan pensilnya, lalu menatapku tanpa ekspresi, mungkin sudah sejak tadi dia merasa bahwa aku memperhatikannya.
Aku tersenyum ramah, namun dia bergeming dan tetap menatapku, sangat dalam. Aku memutuskan untuk mendekatinya, lalu duduk di sampingnya.
“Siapa namamu, cantik?”
Perlahan-lahan dia bergerak meraih buku yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk. Dia menunjuk sebaris tulisan di sampul buku lusuh itu.
“Saad Nuran?” tanyaku, memastikan.
Dia mengangguk mantap, sedang aku justru mengernyitkan dahi. Bukankah Saad adalah nama untuk anak laki-laki?
“Teman-teman memanggilmu Saad?
Dia mengangguk lagi. Tatapannya masih begitu dalam, dan aku tak tahu apa artinya. Namun tak lama kemudian Saad mengalihkan pandangannya menuju dua buku kumal di pangkuannya. Dia nampak berbenah, tepatnya berkemas.
Aku terus memperhatikan setiap gerakan yang dia ciptakan. Ada rasa penasaran yang mengusikku. Terlebih saat membaca sekilas sesuatu yang dia tulis tadi. Ada getir yang mengalir dalam setiap kata yang ditorehkannya di atas selembar kertas tadi.
Saad bangkit dari posisi duduknya, lalu pergi begitu saja tanpa menatapku untuk sekedar berpamitan. Aku membisu, namun mataku terus mengikuti langkahnya, hingga bayangannya tak lagi terlihat. Hilang di tikungan jalan.
Saat itulah aku mengerti, ada satu hati yang terluka dan ingin kemudian dipahami, yakni luka di mata Saad.
Tak jauh dari camp pengungsi Rafah yang kutinggali berdiri sebuah sekolah kecil. Belakangan aku tahu bahwa PBB adalah pengelolanya.
Aku mengenal satu orang bernama Sayed, pemuda Palestina yang juga tinggal di camp yang sama denganku di Rafah. Dulu, dia sempat bergabung dengan Brigade Al Qassam, sayap militer Hamas yang menguasai seluruh Jalur Gaza. Mata kanannya terluka akibat ledakan bom Israel di kawasan Beit Hanoun, Gaza bagian utara. Dia terpaksa ditarik mundur dan beralih menjadi pengajar di sekolah ini.
Kelas Sayed terdiri atas dua puluh lima anak. Setidaknya dua kali dalam seminggu, aku datang ke tempat ini untuk menemani Sayed mengajar, atau hanya untuk sekedar melihat anak-anak yang dengan ikhlas tersenyum dan tertawa walaupun hingga saat ini pun aku belum juga mengerti bagaimana bisa mereka menahan nyeri dalam dada saat belajar di antara dentuman yang sering terdengar dari kejauhan.
Mereka selalu berusaha untuk tetap tersenyum. Hal itulah yang semakin membuatku ngilu.
Namun ada satu anak yang berbeda. Dia selalu diam di tempatnya – bangku kayu di pojok belakang kelas.. Dia tak pernah ikut tertawa saat teman-temannya bercanda. Jangankan tertawa, tersenyum pun sepertinya urung dilakukannya.
Dialah Saad.
Saat kusapa, dia hanya mendongak sedikit lalu menatapku sebentar. Paling lama lima detik mata kami beradu dalam keheningan, dan setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia kembali ke dunianya. Entah apa.
Sayed pernah mengatakan bahwa Saad memang pendiam. Dia tak pernah benar-benar mengikuti pelajarannya, dia selalu sibuk sendiri dengan kertas-kertas kusam di mejanya dan entah menuliskan apa. Teman-temannya tak pernah menganggapnya ada, sedang Sayed sendiri tak pernah bisa sekalipun mengajaknya bicara.
“Apa dia seorang tunawicara?” tanyaku saat itu.
“Bukan. Bukan bisu,” ucap Sayed lirih.
Aku mengerutkan kening, tak mengerti apa maksud ucapannya.
“Bukan bisu, tapi sengaja membisu.”
Aku tercengang, dan saat itu juga Sayed membuka satu luka di balik kebisuan dan tatapan dinginnya, yakni tentang luka yang kulihat kental di mata Saad. Semuanya membuatku menggigil karena iba.
“Pagi itu lima orang tentara datang, mendobrak pintu rumahnya dan menarik paksa ayahnya yang tengah duduk di kursi roda.”
Aku meneliti tiap kata yang terucap dari mulut Sayed.
“Mereka menembaknya, dan menghancurkan kursi rodanya di depan mata Saad. Benar-benar di depan mata Saad...”
Sungguh, aku tak bisa melupakan sepasang mata yang menatapku sangat dalam kala itu, yang selalu membuatku ingin mendekat dan menyelaminya lebih dalam lagi.
Dan suatu pagi aku datang untuk mengajar bersama Sayed di kelasnya. Mataku beredar memandangi satu-satu dari anak-anak di kelas sempit ini, semuanya tampak antusias menyimak. Hingga pandanganku lalu tersaruk pada satu sosok yang sedang duduk menghadap ke arah jendela, ke arah matahari yang belum tinggi. Matanya tertutup, mulutnya terkatup, tangannya terkulai di atas pahanya dan saling menggenggam.
Dengan khusyuk kuselami tiap tarikan dan hembusan napasnya, mencoba memahami apa gerangan yang dilakukannya.
Saad Nuran, apakah dia sedang berdoa?
Sejak bebunga itu layu
Ular itu tak pernah kembalikan ayahku

Maka izinkan aku berdoa setiap hari
Bebaskan kami, Tuhan
Agar esok pagi mereka tetap memiliki ayah dan ibu
Agar esok pagi langit kembali biru, secerah dulu

Setelah diam-diam melangkah mendekatinya, kini kupandangi dia, lalu tumpukan kertas kusam di mejanya.
Napasku tercekat. Baris-baris yang ada di mejanya membuatku mulai mengerti betapa dia merindukan langit biru melebihi aku. Kutatap damai wajahnya yang tertimpa sinar matahari, matanya masih terus terpejam dan mulutnya yang juga masih terkatup rapat, seolah tak sudi lagi berucap.
Dia masih berdoa?
Kuraih kertas lusuh penuh kata itu, kupegang erat dengan gemetar. Aku merasa air mataku sudah menggenang dan siap untuk jatuh.

Tuhan, izinkan aku memberikan damai ini
Sebab aku adalah sebaris luka, yang tak lagi terpahami

Benar saja. Tanpa kusadari satu tetes bening jatuh membasahi kertas kusam di tanganku. Aku bisa menangkap sosok Saad yang perlahan membuka mata. Dia lalu menoleh dan seketika menatapku dengan tatapan yang sama seperti tatapannya dulu. Tajam, namun lebih dingin.
Detik itu aku juga merasa bersalah.
“Maaf sudah merusak tulisanmu, Saad,” ucapku perlahan sambil mengulurkan selembar kertas miliknya. Kulihat Saad mengangguk, namun wajahnya masih tetap beku. Itulah yang membuat rasa bersalahku tak kunjung hilang.
Gadis itu kembali duduk tenang di bangkunya, kembali menulis di atas kertas yang baru saja kukembalikan tanpa mempedulikanku.
Kuputuskan untuk duduk di sampingnya. Kukeluarkan sebuah buku catatan berukuran kecil dari dalam tasku, lalu kubuat coretan-coretan sederhana.
Aku baru saja menyelesaikan sebuah gambar saat aku menyadari Saad sibuk memperhatikanku.
Diam-diam aku tersenyum. Aku berhasil menarik perhatiannya.
“Ada apa?”
Saat kutanya, dia tak mau menjawab, juga tak mau menatapku. Dan yang dilakukannya hanyalah menatap gambarku, penasaran.
Aku tersenyum. “Ini mawar putih.”
Kurobek selembar kertas di mana mawar putih itu tergambar jelas. Kuserahkan kertas itu padanya, sedang dia hanya menatapku semakin keheranan.
“Mawar putih itu melambangkan damai. Aku minta maaf...” lirihku. Saad masih menatapku. “Mawar putih juga melambangkan persahabatan sejati.”
Kuselami lagi matanya, sepertinya ada sedikit celah untuk kumasuki lebih dalam.
“Mau berteman denganku?” ucapku sambil mengulurkan tangan.
Kutepis semua pikiran burukku. Perlahan-lahan dia menggerakkan tangan kanannya, lalu menyambut tanganku. Gadis itu menyalamiku dengan hangat. Matanya berbinar dan sudut bibirnya tertarik ke atas, terkembang.
Inilah kali pertama aku melihat Saad tersenyum.
Mungkin juga terakhir.
Hari itu, aku dibuatnya menangis, lagi.
Keributan yang terdengar di luar bangunan sekolah pada suatu sore berasal dari tentara Israel yang kembali terlibat baku tembak. Lima ratus meter dari sekolah ini adalah perbatasan antara Gaza dan Mesir. Puluhan tentara berjajar, bersiap dengan senapan di dada.
Maka desing peluru dari senapan adalah sebuah cerita keseharian.
Hari itu, dua bulan sudah aku ada di sini, bergulat bersama bayang-bayang suara dan bau kematian setiap hari. Tepat dua bulan sejak aku berhasil menembus penjara raksasa terbesar yang diciptakan Israel untuk memblokade Palestina terhadap dunia luar.
Juga tepat dua bulan sejak pertemuanku dengan Saad.
Namun hari itu, sebuah peluru mendarat tepat di dadanya. Jeritan-jeritan dari surga telah memanggil namanya jauh di atas langit.
Hari itu, kulihat merah darah dan lubang peluru di dadanya. Tubuhnya yang kupeluk terasa dingin, bahkan semakin dingin saat kudengar dia dengan napas yang tersengal, mencoba berbisik:
“Damai... Suatu hari nanti.”
Aku menyudahi cerita ini.
Kupandang Moheeb sekilas. Wajahnya tak berekspresi sejak kukeluarkan satu kertas kusam yang terlipat dari saku jaketku. Dia memandangnya heran.
Ini milik Saad.
Masih kuingat bagaimana tangan kecilnya menggenggam erat sebuah kertas, saat sebutir peluru membunuhnya sore itu.
Secarik kertas kusam dengan noda darah yang telah lama mengering ini masih kugenggam ujungnya sejak tadi. Aku sibuk menekuni empat baris puisi terakhir yang dia tuliskan untukku, sebelum dia berlari keluar kelas untuk pulang ke rumahnya, di pinggir kota Rafah. Sebelum dia terjebak dalam baku tembak.
Dan sebelum bibir pucat itu tersenyum untuk terakhir kalinya...


Dalam sebaris doa...
untuk langit yang berwarna
untuk senyum dan tawa yang tercipta
serta untuk Palestina, yang menggenggam merdeka...

Saad Nuran. Gadis kecil berambut ikal dengan mata yang selalu menatapku dengan dalam, telah pergi dalam doa, sebagai salah satu penebus kebebasan Palestina, suatu hari nanti.

Purwokerto, 15 September 2011