Juli 2010
Aku nyaris lupa bagaimana rupa langit
negeriku yang penuh cahaya. Aku merindukannya, karena di negeri bernama
Palestina, setiap kali aku menengadah berharap melihat langit biru, aku kecewa
karena langit ternyata masih terkekang kelabu. Sudah lebih dari satu tahun,
setiap aku membuka mata, hanya ada duka yang menggantung jauh di angkasa.
Aku pun sangat mengerti bagaimana setiap pagi
orang-orang selalu terbangun oleh dentum peluru dan kendaraan perang yang
beradu. Mereka tak pernah lagi menangis, namun aku tahu, diam-diam mereka
menyembunyikan hati yang teriris.
Dan di tanah ini aku menyadari, betapa hatiku selalu
ingin menjerit.
☼
Ada sebuah camp pengungsi di Gaza bagian selatan, tepat di pinggir kota kecil
Rafah. Aku tinggal di sana, bersama orang-orang berhati baja yang memilih terus
bertahan di sepanjang tahun yang muram. Setiap pagi sebelum matahari naik
terlalu tinggi, aku selalu menyempatkan diri berdiri menghadap ke arah timur
dan melantunkan doa agar negeri ini segera mengecap kata merdeka. Bukan tanpa
alasan, semua yang kulakukan selalu memiliki alasan.
Kutekuni tiap jengkal tanah kering ini, serta jalanan
berdebu dan gersang sepanjang mata memandang. Semua masih saja setia menjadi
saksi pertaruhan harga diri berujung mati.
Aku menarik napas perlahan. Sama sekali belum ada aroma
kebebasan yang membuatku tenang.
“Sarah...”
Aku menoleh, laki-laki dengan postur tubuh tinggi besar
terlihat menghampiriku dengan membawa dua buah cangkir, asap tipis tampak
mengepul di atasnya.
“Sudah baikan?” tanyaku begitu menyadari siapa yang
datang.
Dia tersenyum dan mengangguk pelan, mencoba membuatku
percaya bahwa dia baik-baik saja. Ada beberapa bekas luka di lengan dan
wajahnya, sudah agak tersamarkan memang, tapi aku tahu betapa menderitanya dia.
Tentara Israel telah memukulinya.
“Teh?” tampak dia mengulurkan cangkir di tangan kanannya
kepadaku. Aku tersenyum lalu menerima cangkir itu.
“Bagaimana keadaanmu, Moheeb?”
“Cukup baik.” gumamnya.
Moheeb Al-Barghouthi, dia sahabatku. Sama sepertiku, dia
berprofesi sebagai juru foto. Dia bekerja untuk surat kabar resmi Otoritas
Palestina “Al-Hayat Al-Jadida”, dan baru kemarin dia keluar dari satu rumah
sakit di Ramallah setelah dianiaya oleh tentara Israel. Moheeb dituduh
melanggar daerah militer yang tertutup. Kameranya dirusak dan beberapa
peralatannya disita. Kini yang tersisa hanya bekas luka dan memar di sekujur
tubuhnya.
Tapi dia masih bisa tersenyum. Dari sudut mataku,
kuperhatikan dia yang mendekat, lalu ikut menyandarkan tubuhnya di pagar beton
ini. Kami sama-sama menghadap ke arah timur. Kulihat dia meminum teh dari
cangkir di tangannya sedikit demi sedikit. Terlihat jelas lehernya
bergerak-gerak saat dia menelan cairan hangat itu.
Lalu dia menghela napas panjang.
“Kau masih sering berdoa seperti ini, ya?”
Aku tersenyum, mengangguk perlahan, lalu membuang muka.
Aku memandang jauh ke depan, mencoba menerka-nerka berapa kali sudah aku
melakukan hal ini. Berdoa saat pagi tiba, memohon kepada Tuhan agar negeri ini
segera merdeka.
“Yah... Aku selalu berdoa.” lirihku.
Sambil tersenyum, kualihkan pandangan menuju cangkir di
tangan. Ada asap tipis yang terus mengepul.
“Dan aku mungkin akan terus berdoa, Moheeb...”
Kusesap teh itu, kehangatannya seketika mengalir. Moheeb
menerawang jauh entah memikirkan apa, sedang aku terus saja menikmati teh yang
dia bawakan tadi.
“Sejak kapan? Sejak lima bulan lalu katamu?”
Aku menatapnya sebentar, lalu kutarik napas dalam-dalam.
Entah mengapa dadaku terasa begitu sesak mengingat apa yang terjadi lima bulan
lalu.
“Ya, sejak lima bulan lalu.”
“Sampai doaku terkabul.”
“Sampai Palestina benar-benar merdeka?”
Aku mengangguk. “Ya, sampai Palestina benar-benar
merdeka.”
Moheeb bergerak, tangannya terulur ke samping untuk
meletakkan cangkir yang ternyata telah tandas isinya. Wajahnya menatapku penuh
harap, dan aku tersenyum tipis. “Aku ingin tahu tentang alasanmu itu.”
Moheeb memang tak pernah tahu tentang kisah di balik
lantunan doaku setiap pagi di tempat ini. Moheeb tak pernah tahu tentang anak
perempuan yang selalu membuatku ingin menangis saat menyelami kehidupannya,
padahal dia tak pernah menangis. Moheeb mungkin harus tahu tentang pemilik nama
itu.
“Alasanku...”
Mulutku terbuka, sedang Moheeb masih menatapku dan
mematung sejenak.
“Saad...”
☼
Februari 2010
Aku adalah sebaris
luka yang tertinggal di bumi Al-Aqsa
Mungkin kau lupa,
darah ini adalah yang terselip sebagai puisi
Kubagi-bagikan,
agar buana tak lagi bungkam
Ini pelataran yang
kujaga sepanjang Subuh
Saat kau bawa
ayah, dan kau hancurkan sebatang kursi roda
Sudah sejak lima belas menit lalu aku berdiri mematung
di belakang bangku kayu ini, hanya untuk melihatnya menulis. Namun saat ujung
pensilnya hendak berpindah pada baris ke enam kertas itu, gerakan tangannya
terhenti. Gadis manis berambut ikal itu meletakkan pensilnya, lalu menatapku
tanpa ekspresi, mungkin sudah sejak tadi dia merasa bahwa aku memperhatikannya.
Aku tersenyum ramah, namun dia bergeming dan tetap
menatapku, sangat dalam. Aku memutuskan untuk mendekatinya, lalu duduk di
sampingnya.
“Siapa namamu, cantik?”
Perlahan-lahan dia bergerak meraih buku yang terletak
tak jauh dari tempatnya duduk. Dia menunjuk sebaris tulisan di sampul buku
lusuh itu.
“Saad Nuran?” tanyaku, memastikan.
Dia mengangguk mantap, sedang aku justru mengernyitkan
dahi. Bukankah Saad adalah nama untuk anak laki-laki?
“Teman-teman memanggilmu Saad?
Dia mengangguk lagi. Tatapannya masih begitu dalam, dan
aku tak tahu apa artinya. Namun tak lama kemudian Saad mengalihkan pandangannya
menuju dua buku kumal di pangkuannya. Dia nampak berbenah, tepatnya berkemas.
Aku terus memperhatikan setiap gerakan yang dia
ciptakan. Ada rasa penasaran yang mengusikku. Terlebih saat membaca sekilas
sesuatu yang dia tulis tadi. Ada getir yang mengalir dalam setiap kata yang
ditorehkannya di atas selembar kertas tadi.
Saad bangkit dari posisi duduknya, lalu pergi begitu
saja tanpa menatapku untuk sekedar berpamitan. Aku membisu, namun mataku terus
mengikuti langkahnya, hingga bayangannya tak lagi terlihat. Hilang di tikungan
jalan.
Saat itulah aku mengerti, ada satu hati yang terluka dan
ingin kemudian dipahami, yakni luka di mata Saad.
☼
Tak jauh dari camp pengungsi Rafah yang kutinggali berdiri sebuah sekolah kecil.
Belakangan aku tahu bahwa PBB adalah pengelolanya.
Aku mengenal satu orang bernama Sayed, pemuda Palestina
yang juga tinggal di camp yang sama
denganku di Rafah. Dulu, dia sempat bergabung dengan Brigade Al Qassam, sayap
militer Hamas yang menguasai seluruh Jalur Gaza. Mata kanannya terluka akibat
ledakan bom Israel di kawasan Beit Hanoun, Gaza bagian utara. Dia terpaksa
ditarik mundur dan beralih menjadi pengajar di sekolah ini.
Kelas Sayed terdiri atas dua puluh lima anak. Setidaknya
dua kali dalam seminggu, aku datang ke tempat ini untuk menemani Sayed mengajar,
atau hanya untuk sekedar melihat anak-anak yang dengan ikhlas tersenyum dan
tertawa walaupun hingga saat ini pun aku belum juga mengerti bagaimana bisa
mereka menahan nyeri dalam dada saat belajar di antara dentuman yang sering
terdengar dari kejauhan.
Mereka selalu berusaha untuk tetap tersenyum. Hal itulah
yang semakin membuatku ngilu.
Namun ada satu anak yang berbeda. Dia selalu diam di
tempatnya – bangku kayu di pojok belakang kelas.. Dia tak pernah ikut tertawa
saat teman-temannya bercanda. Jangankan tertawa, tersenyum pun sepertinya urung
dilakukannya.
Dialah Saad.
Saat kusapa, dia hanya mendongak sedikit lalu menatapku
sebentar. Paling lama lima detik mata kami beradu dalam keheningan, dan setelah
itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia kembali ke dunianya. Entah apa.
Sayed pernah mengatakan bahwa Saad memang pendiam. Dia
tak pernah benar-benar mengikuti pelajarannya, dia selalu sibuk sendiri dengan
kertas-kertas kusam di mejanya dan entah menuliskan apa. Teman-temannya tak
pernah menganggapnya ada, sedang Sayed sendiri tak pernah bisa sekalipun
mengajaknya bicara.
“Apa dia seorang tunawicara?” tanyaku saat itu.
“Bukan. Bukan bisu,” ucap Sayed lirih.
Aku mengerutkan kening, tak mengerti apa maksud
ucapannya.
“Bukan bisu, tapi sengaja membisu.”
Aku tercengang, dan saat itu juga Sayed membuka satu
luka di balik kebisuan dan tatapan dinginnya, yakni tentang luka yang kulihat
kental di mata Saad. Semuanya membuatku menggigil karena iba.
“Pagi itu lima orang tentara datang, mendobrak pintu
rumahnya dan menarik paksa ayahnya yang tengah duduk di kursi roda.”
Aku meneliti tiap kata yang terucap dari mulut Sayed.
“Mereka menembaknya, dan menghancurkan kursi rodanya di
depan mata Saad. Benar-benar di depan mata Saad...”
Sungguh, aku tak bisa melupakan sepasang mata yang
menatapku sangat dalam kala itu, yang selalu membuatku ingin mendekat dan
menyelaminya lebih dalam lagi.
Dan suatu pagi aku datang untuk mengajar bersama Sayed
di kelasnya. Mataku beredar memandangi satu-satu dari anak-anak di kelas sempit
ini, semuanya tampak antusias menyimak. Hingga pandanganku lalu tersaruk pada
satu sosok yang sedang duduk menghadap ke arah jendela, ke arah matahari yang
belum tinggi. Matanya tertutup, mulutnya terkatup, tangannya terkulai di atas
pahanya dan saling menggenggam.
Dengan khusyuk kuselami tiap tarikan dan hembusan
napasnya, mencoba memahami apa gerangan yang dilakukannya.
Saad Nuran, apakah dia sedang berdoa?
☼
Sejak bebunga itu layu
Ular itu tak
pernah kembalikan ayahku
Maka izinkan aku
berdoa setiap hari
Bebaskan kami,
Tuhan
Agar esok pagi
mereka tetap memiliki ayah dan ibu
Agar esok pagi
langit kembali biru, secerah dulu
Setelah diam-diam melangkah mendekatinya, kini
kupandangi dia, lalu tumpukan kertas kusam di mejanya.
Napasku tercekat. Baris-baris yang ada di mejanya
membuatku mulai mengerti betapa dia merindukan langit biru melebihi aku.
Kutatap damai wajahnya yang tertimpa sinar matahari, matanya masih terus
terpejam dan mulutnya yang juga masih terkatup rapat, seolah tak sudi lagi
berucap.
Dia masih berdoa?
Kuraih kertas lusuh penuh kata itu, kupegang erat dengan
gemetar. Aku merasa air mataku sudah menggenang dan siap untuk jatuh.
Tuhan, izinkan aku
memberikan damai ini
Sebab aku adalah
sebaris luka, yang tak lagi terpahami
Benar saja. Tanpa kusadari satu tetes bening jatuh
membasahi kertas kusam di tanganku. Aku bisa menangkap sosok Saad yang perlahan
membuka mata. Dia lalu menoleh dan seketika menatapku dengan tatapan yang sama
seperti tatapannya dulu. Tajam, namun lebih dingin.
Detik itu aku juga merasa bersalah.
“Maaf sudah merusak tulisanmu, Saad,” ucapku perlahan
sambil mengulurkan selembar kertas miliknya. Kulihat Saad mengangguk, namun
wajahnya masih tetap beku. Itulah yang membuat rasa bersalahku tak kunjung
hilang.
Gadis itu kembali duduk tenang di bangkunya, kembali
menulis di atas kertas yang baru saja kukembalikan tanpa mempedulikanku.
Kuputuskan untuk duduk di sampingnya. Kukeluarkan sebuah
buku catatan berukuran kecil dari dalam tasku, lalu kubuat coretan-coretan
sederhana.
Aku baru saja menyelesaikan sebuah gambar saat aku
menyadari Saad sibuk memperhatikanku.
Diam-diam aku tersenyum. Aku berhasil menarik
perhatiannya.
“Ada apa?”
Saat kutanya, dia tak mau menjawab, juga tak mau
menatapku. Dan yang dilakukannya hanyalah menatap gambarku, penasaran.
Aku tersenyum. “Ini mawar putih.”
Kurobek selembar kertas di mana mawar putih itu
tergambar jelas. Kuserahkan kertas itu padanya, sedang dia hanya menatapku
semakin keheranan.
“Mawar putih itu melambangkan damai. Aku minta maaf...”
lirihku. Saad masih menatapku. “Mawar putih juga melambangkan persahabatan
sejati.”
Kuselami lagi matanya, sepertinya ada sedikit celah
untuk kumasuki lebih dalam.
“Mau berteman denganku?” ucapku sambil mengulurkan
tangan.
Kutepis semua pikiran burukku. Perlahan-lahan dia
menggerakkan tangan kanannya, lalu menyambut tanganku. Gadis itu menyalamiku
dengan hangat. Matanya berbinar dan sudut bibirnya tertarik ke atas, terkembang.
Inilah kali pertama aku melihat Saad tersenyum.
Mungkin juga terakhir.
☼
Hari itu, aku dibuatnya menangis,
lagi.
Keributan yang terdengar di luar bangunan sekolah pada
suatu sore berasal dari tentara Israel yang kembali terlibat baku tembak. Lima
ratus meter dari sekolah ini adalah perbatasan antara Gaza dan Mesir. Puluhan
tentara berjajar, bersiap dengan senapan di dada.
Maka desing peluru dari senapan adalah sebuah cerita
keseharian.
Hari itu, dua bulan sudah aku ada di sini, bergulat
bersama bayang-bayang suara dan bau kematian setiap hari. Tepat dua bulan sejak
aku berhasil menembus penjara raksasa terbesar yang diciptakan Israel untuk
memblokade Palestina terhadap dunia luar.
Juga tepat dua bulan sejak pertemuanku dengan Saad.
Namun hari itu, sebuah peluru mendarat tepat di dadanya.
Jeritan-jeritan dari surga telah memanggil namanya jauh di atas langit.
Hari itu, kulihat merah darah dan lubang peluru di
dadanya. Tubuhnya yang kupeluk terasa dingin, bahkan semakin dingin saat
kudengar dia dengan napas yang tersengal, mencoba berbisik:
“Damai... Suatu hari nanti.”
☼
Aku menyudahi cerita ini.
Kupandang Moheeb sekilas. Wajahnya tak berekspresi sejak
kukeluarkan satu kertas kusam yang terlipat dari saku jaketku. Dia memandangnya
heran.
Ini milik Saad.
Masih kuingat bagaimana tangan kecilnya menggenggam erat
sebuah kertas, saat sebutir peluru membunuhnya sore itu.
Secarik kertas kusam dengan noda darah yang telah lama
mengering ini masih kugenggam ujungnya sejak tadi. Aku sibuk menekuni empat
baris puisi terakhir yang dia tuliskan untukku, sebelum dia berlari keluar
kelas untuk pulang ke rumahnya, di pinggir kota Rafah. Sebelum dia terjebak
dalam baku tembak.
Dan sebelum bibir pucat itu tersenyum untuk terakhir
kalinya...
Dalam sebaris
doa...
untuk langit yang
berwarna
untuk senyum dan
tawa yang tercipta
serta untuk
Palestina, yang menggenggam merdeka...
Saad Nuran. Gadis kecil berambut ikal dengan mata yang
selalu menatapku dengan dalam, telah pergi dalam doa, sebagai salah satu
penebus kebebasan Palestina, suatu hari nanti.
☼
Purwokerto, 15 September 2011