November 09, 2012
Secangkir Kopi
Semalam, saat Sirius baru saja terbit di horizon...
Di atas meja teronggok secangkir kopi yang setengah isi, atau setengah kosong. Entahlah. Ada bercak noda di pinggirannya karena aku meminumnya tergesa-gesa. Beberapa saat yang lalu aku berpikir bahwa kopi merupakan obat paling mujarab untuk hilang ingatan. Aku pikir setelah menelan kafein aku akan melupakan kamu. Sayangnya tidak. Cairan pahit manis itu justru memperjelas potret-potret yang seharusnya telah aku tinggalkan sejak lama. Di benakku muncul gambar kita yang memperdebatkan kopi dan kesehatan, gambar kita yang membahas kopi hingga larut malam, gambar aku minum kopi dan kamu mendengus kesal, gambar ketika kamu minum kopi dan aku tertawa, dan gambar kita saat berjanji untuk minum kopi bersama. Aku menggilai kopi dan kamu tidak suka kopi. Aku selalu minum kopi dan kamu selalu pasrah. Aku suka begadang dan kamu gemar tidur pukul delapan malam. Seperti bayi.
Bahkan aku mulai meninggalkan kopi diam-diam. Aku mendadak tidak suka kopi. Aku meninggalkan semua kebiasaan yang sering aku lakukan bersama kamu. Tapi ternyata semua hal yang aku lakukan selalu memiliki hubungan erat dengan kamu. Aku begitu ingin keluar dari kebiasaanku. Jika kamu benar-benar sedang berusaha melupakan aku, mengapa aku tidak? Jika kamu benar-benar ingin pergi dari rasa sayang yang pernah kamu punya untuk aku, mengapa aku tidak? Jika kamu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhiku, meski berat, sampai kamu terseok, mengapa aku tidak?
Kita berakhir dengan cara yang menyedihkan. Tak ada yang menginginkan, tidak aku maupun kamu. Keadaan itu memaksa kita untuk selesai. Kusadari segalanya memang harus kuawali dengan paksaan.
Maka detik itu aku mulai memaksa diriku sendiri berubah. Seperti kamu yang kelihatannya beranjak menjadi berbeda. Kita seperti berlari ke kutub yang berbeda. Aku menjauh, sejauh mungkin, sejauh jarak tanah yang kupijak dengan ujung alam semesta ini. Aku melarikan diri, berharap aku kehilangan rasa sayang. Namun ternyata sulit. Aku masih sayang. Aku kehabisan cara untuk membuang bayangan kamu. Adakah kamu kesulitan seperti aku?
Di bawah bintang yang berarak, cangkir itu terus menatapku dingin. Kutahu kopi itu juga telah dingin. Hari ini aku bahkan tidak menghabiskan satu cangkir. Aku hanya menghisap setengahnya. Itu pun rasanya berat sekali. Pahitnya mengalir dan terus menetap di leher. Mengendap di sana, seperti kamu. Haruskah aku memejamkan mata dan menyebut namamu lima puluh kali agar aku tak lagi merindukan kamu?
Maka saat itu juga aku memejamkan mata, aku menarik napas yang sangat panjang, dan aku menyebut namamu tepat lima puluh kali. Langit terasa tak memiliki ujung. Malam diam. Bintang menyepi.
Aku membuka mata.
Ternyata aku masih merindukan kamu.
'