December 04, 2012

Mengeja Bintang-Bintang



 

Gayatri, ketika suatu hari kudengar berita tentang sebuah kampung yang tersapu gelombang, aku terkenang padamu. Tentang kisah masa kecil kita di pesisir. Tahun-tahun berlalu sangat cepat sejak aku pergi melanjutkan sekolah di kota. Kini tiba saatnya aku kembali, menemuimu yang sejak lama kurindukan. Masihkah kau seperti dulu?
Kutengok rumahmu, tampak masih sama seperti saat terakhir kali aku melihatnya, sangat sederhana. Rumahmu menghadap lautan, berdinding kayu berwarna putih kusam. Sebatang pohon waru berbunga kuning cerah dengan batang yang bengkok tumbuh di halamannya. Kau tinggal bersama ayahmu, seorang nelayan tua bertubuh tinggi dan kurus. Ibumu meninggal saat kau kecil.
Wajahmu begitu manis. Rambutmu yang panjang hitam selalu nampak tergerai-gerai tertiup angin sejuk dari laut. Gigimu putih bersih, membuat senyummu kian menawan. Aku sadar kau memang elok nian.
Aku selalu ingat bagaimana saat kita bermain setiap sore di bawah pohon waru berbatang bengkok yang berbunga kuning cerah. Ayahmu sedang melaut waktu itu. Kau memintaku berbaring di atas tanah dan dengan cepat kau menimbun tubuhku dengan pasir pantai. Saat itu kau selalu tertawa sambil berkali-kali menyibakkan ujung-ujung rambut di dahimu. Walaupun kesal aku tak pernah berontak, sebab aku senang melihatmu tertawa.
Setelah puas tertawa kau kemudian memutuskan untuk duduk di samping tempatku terbaring. Kau menimbun kakimu sendiri dengan butir-butir pasir. Agar impas, katamu.
Sore kian pudar seiring bergeraknya matahari mendekati horizon di ufuk barat. Namun tampaknya kau belum mau beranjak. Kau selalu bilang padaku bahwa kau ingin melihat senja yang berwarna ungu. Padahal saat itu telah berpuluh kali kita berdua duduk bersama menanti senja yang katamu berwarna ungu lembut. Aku sampai bosan memberitahumu bahwa senja selalu berwarna jingga. Berharap kan tidak ada salahnya, katamu kala itu.
Aku hampir tak percaya bahwa sore itu begitu istimewa. Senja benar-benar berwarna ungu. Kau tertawa kegirangan dan menarik kedua tanganku. Kau mengajakku berdiri lalu menari dengan menggenggam kesepuluh jariku. Sungguh baru kali ini aku melihatmu begitu bahagia.
“Kau tahu mengapa aku sangat gembira, Bayu?”
Aku menggeleng. “Memangnya kenapa?”
“Karena sore ini begitu istimewa.” Ucapmu pelan sambil tersenyum.
Aku tak mengerti bagaimana kita berdua bisa sama-sama menganggap sore kala itu begitu istimewa. Aku tak tahu, mungkin kau merasa bahagia karena akhirnya kau menapatkan senjamu yang berwarna ungu. Namun yang pasti, aku bahagia karena kau merasakan bahagiamu itu hanya berdua denganku, disaksikan sebatang pohon waru.
*
Aku juga masih ingat, Gayatri, kisahmu tentang bintang-bintang.
Di pertengahan kemarau, sekitar bulan Januari, aku ingat kau selalu datang mengetuk jendela kamarku setiap pukul sembilan malam. Kau akan memaksaku menemanimu pergi ke pantai. Aku heran mengapa kau ingin pergi malam-malam. Rasi belantik akan terlihat jelas, katamu.
Aku tak pernah bisa menolak permintaanmu. Dengan cepat kuraih sehelai kain sarung karena aku tahu di luar sangat dingin. Aku bergegas menemuimu karena aku tak mau menunggu. Di samping rumahmu akan kudapati kau berdiri sambil membawa dua buah onthor[1], yang salah satunya kau ulurkan padaku. Lalu kau tersenyum dan berbalik, lalu berjalan agak tergesa menuju bibir pantai yang remang-remang.
Sesampainya di sana kau akan buru-buru duduk di atas batang kelapa yang hampir lapuk. Dengan khusyuk kau pandangi pekatnya langit. Kulihat matamu berbinar-binar, takjub. Kerlip ribuan bintang di atas lautan itu telah menyihirmu.
“Lihat, Bayu, itu belantik!” Katamu sambil menunjuk beberapa titik yang menjelma di horizon.
“Apa itu belantik?”
“Orion.”
“Apa itu Orion?”
“Sang Pemburu, Bayu.”
Aku tak pernah mengerti apa yang kau katakan tentang bintang-bintang itu. Pun tentang kisah di balik kilaunya, sungguh aku tak mengerti. Tapi satu hal yang aku tahu, sejak malam itu aku mulai menyukaimu seperti kau menyukai bintang-bintang.
Sepanjang malam kita menatap belantik yang bergerak perlahan seakan meniti langit karena bumi berputar. Kau belum berhenti berkisah, sedang aku masih memandangi wajahmu yang bercahaya sambil terus bertanya-tanya mengapa angin dari laut malam ini berubah menjadi begitu hangat.
*
Aku tak pernah suka melihatmu menangis. Aku tak segan-segan memberikan pelajaran kepada siapapun yang berani membuatmu meneteskan air mata. Namun kali ini aku tak tahu harus berbuat apa karena sebab jatuhnya air matamu senja itu adalah keputusanku untuk meninggalkanmu. Keluargaku akan pindah ke kota, dan Ayah memintaku melanjutkan sekolah di sana.
Sungguh berat meninggalkanmu kala itu, Gayatri. Aku tak pernah lupa saat kau tiba-tiba menangis namun tetap mencoba tersenyum. Kita tentu masih bisa memandang bintang-bintang yang sama, katamu, sambil mengusap kasar butiran bening di pipimu.
Ketika berpamitan untuk terakhir kalinya usai shalat Subuh itu, aku masih sempat berjanji bahwa aku akan kembali suatu hari nanti. Di bawah pohon waru yang berbunga kuning cerah dan berbatang bengkok, kutinggalkan kau yang menangis tersedu-sedan.
*
Tahun-tahun telah terlwati. Dan seperti janjiku padamu, Gayatri, hari ini aku kembali.
Aku masih ingat bagaimana janjiku kala itu, yakni menemuimu di bawah pohon waru berbatang bengkok, tempat kenangan kita. Aku masih ingat waktu itu kau memintaku memetikkan satu bunganya, berwarna kuning cerah.
Setibanya aku di rumah kuputuskan untuk bergegas menemuimu. Aku menyusuri jalanan yang biasa kita lalui bersama untuk sampai ke pohon kenangan kita. Kurasakan pasir-pasir yang halus mulai menempel di telapak kakiku. Aku tak peduli, sebab aku akan segera menemuimu. Sambil melangkahkan kaki kuterka-terka bagaimana rupamu sekarang.
Aku tiba di tempat itu, pohon waru berbatang bengkok. Kupandangi dahan-dahannya yang semakin rimbun, tak kutemukan satupun bunga yang mekar. Padahal aku ingin memetikkannya satu untukmu.
Saat kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru, kutemukan satu sosok yang berdiri di bibir pantai. Aku tahu itu pasti kau, Gayatri.
Aku mendekatimu diam-diam. Kulihat rambutmu masih sama, panjang dan hitam. Pun aromanya, masih wangi dan aku masih tetap menyukainya. Aku tersenyum mendapati kau yang telah tumbuh menjadi gadis dewasa.
“Gayatri?” Lirihku.
Kau menoleh perlahan.
“Bayu?”
*
Kurasa wajahmu nampak sedikit berbeda, kau tak seperti gadisku yang selalu tersenyum. Ada raut kesedihan di wajahmu, Gayatri.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Menunggumu, Bayu.”
“Aku sudah datang, mengapa kau masih bersedih?”
“Aku menunggumu dan menunggu ayahku.”
“Ke mana ayahmu?”
Kau membisu, sedikitpun tak menjawab pertanyaanku. Namun matamu yang memandang jauh ke laut mengisyaratkan satu hal, bahwa ialah yang memisahkanmu dari laki-laki pendiam bertubuh kurus dan tinggi itu.
Malam ini aku mengajakmu ke pantai. Tiba-tiba aku teringat kebiasaanmu dulu yang diam-diam tanpa sepengetahuan ayahmu, mengajakku berjalan-jalan di atas butiran pasir pantai yang dingin sambil melihat bintang-bintang yang katamu selalu tampak menawan. Namun kini, aku tahu kau sedang bersedih. Jangankan bintang-bintang itu, kilau senjamu yang berwarna ungu sore tadi pun kau anggap angin lalu.
“Janganlah kau berpikir bahwa kau sendirian, Gayatri!” Terbata aku mengucapkan sepotong kalimat, membuatmu menoleh dan menatapku dalam-dalam. Bersamaan dengan bertiupnya angin dari pantai, kuselami matamu yang sarat kesedihan. “Aku akan selalu menjagamu, terlebih jika ayahmu memang tak kembali.”
Kuingat kembali bagaimana kau, Gayatri, mengajariku memahami rasi belantik. Kini pendarnya berarak meniti langit. Lautan berkilauan. Belantik terpancang menaungi aku yang mengucapkan janji untuk menjagamu.
Sambil memandangi kaki langit aku berkata. “Tempo hari kau jelaskan padaku bahwa belantik menunjuk pada satu arah, bukan?”
“Kiblat, Bayu.”
Suaramu terdengar sangat lembut.
Aku tersenyum. “Kiblat-kah, Gayatri?” Kulihat gadis itu menatapku heran, Sedang aku membalas tatapannya dengan tersenyum. “Jika memang begitu, mungkin belantik-ku akan menunjuk ke arahmu,” ucapku lirih, diikuti datangnya senyap yang hangat.
*
Fajar menyingsing. Semburat keemasan mulai nampak di ujung timur. Kabut tipis menggantung pilu, masih bermesraan dengan pucuk dedaunan menebarkan dingin yang tiada tertahan.
Aku memandang rumah sederhana berdinding kayu itu. Hatiku perih saat kuselami potret di setiap sudut satu-satu. Dindingnya yang putih kusam, halamannya yang luas, serta sebatang pohon waru berbunga kuning cerah dengan batang bengkok yang tumbuh di halamannya. Betapa Tuhan selalu punya rencana, Gayatri.
Rumah itu selalu senyap sebab memang hanya satu laki-laki sunyi dan anak gadisnya yang tinggal di sana. Itupun sebelum empat orang nelayan membawa ke sana sesosok mayat yang ditemukan lepas Subuh di bibir pantai. Tubuhnya putih pucat.
Betapa hatiku terasa ngilu saat aku tahu bahwa tubuh yang telah terbujur kaku di atas dipan yang beralaskan anyaman pandan itu adalah kau, Gayatri.
Kuingat perbincangan sederhana denganmu malam itu, sambil memandangi ribuan kerlip bintang di langit yang cerah. Disaksikan belantik yang tak pernah berubah pesonanya, kau menyandarkan kepalamu ke tubuhku sambil bertanya.
“Bayu, menurutmu apakah ayahku akan kembali?”
“Tergantung seberapa besar kau percaya akan hal itu, Gayatri.”
“Mengapa begitu?”
“Bukankah dulu kau selalu bilang begitu setiap aku bersikeras meyakinkan kau bahwa senja itu selalu berwarna jingga dan bukan ungu?” Ucapku lirih.
Kurasakan hangat air matamu di bahuku. Mengapa kau menangis lagi?
“Ini berbeda, Bayu.”
“Tentu saja ini sama. Apakah sulit untuk percaya pada harapanmu sendiri?”
Kau diam. Perlahan-lahan kurengkuh tubuhmu. Sebisa mungkin aku berusaha membuatmu tenang, sedikit saja, setidaknya untuk malam itu. Namun diam-diam setelah memintaku pulang, kau memutuskan untuk pergi mencari ayahmu seorang diri. Kau memutuskan untuk meninggalkan aku. Bagaimana aku mengeja bintang-bintang tanpa kau, Gayatri?
Detik ini. dalam naungan dahan-dahan pohon waru berbatang bengkok dan berbunga kuning cerah, aku duduk seorang diri dan menyelami betapa sakitnya kehilangan itu. Kugenggam erat setangkai bunga waru yang jatuh tertiup angin. Aku teringat padamu.
Sedang di kejauhan, gegaris buih tetap berkejaran menuju tepian.
*


[1] Obor




Dimuat dalam antologi "Memburu Senyap" 2012