Gayatri, ketika suatu hari kudengar berita tentang sebuah kampung yang
tersapu gelombang, aku terkenang padamu. Tentang kisah masa kecil kita di
pesisir. Tahun-tahun berlalu sangat cepat sejak aku pergi melanjutkan sekolah
di kota. Kini
tiba saatnya aku kembali, menemuimu yang sejak lama kurindukan. Masihkah kau
seperti dulu?
Kutengok rumahmu, tampak masih sama seperti saat terakhir kali aku
melihatnya, sangat sederhana. Rumahmu menghadap lautan, berdinding kayu
berwarna putih kusam. Sebatang pohon waru berbunga kuning cerah dengan batang
yang bengkok tumbuh di halamannya. Kau tinggal bersama ayahmu, seorang nelayan
tua bertubuh tinggi dan kurus. Ibumu meninggal saat kau kecil.
Wajahmu begitu manis. Rambutmu yang panjang hitam selalu nampak
tergerai-gerai tertiup angin sejuk dari laut. Gigimu putih bersih, membuat
senyummu kian menawan. Aku sadar kau memang elok nian.
Aku selalu ingat bagaimana saat kita bermain setiap sore di bawah pohon
waru berbatang bengkok yang berbunga kuning cerah. Ayahmu sedang melaut waktu
itu. Kau memintaku berbaring di atas tanah dan dengan cepat kau menimbun
tubuhku dengan pasir pantai. Saat itu kau selalu tertawa sambil berkali-kali
menyibakkan ujung-ujung rambut di dahimu. Walaupun kesal aku tak pernah
berontak, sebab aku senang melihatmu tertawa.
Setelah puas tertawa kau kemudian memutuskan untuk duduk di samping
tempatku terbaring. Kau menimbun kakimu sendiri dengan butir-butir pasir. Agar
impas, katamu.
Sore kian pudar seiring bergeraknya matahari mendekati horizon di ufuk
barat. Namun tampaknya kau belum mau beranjak. Kau selalu bilang padaku bahwa
kau ingin melihat senja yang berwarna ungu. Padahal saat itu telah berpuluh
kali kita berdua duduk bersama menanti senja yang katamu berwarna ungu lembut.
Aku sampai bosan memberitahumu bahwa senja selalu berwarna jingga. Berharap kan tidak ada salahnya,
katamu kala itu.
Aku hampir tak percaya bahwa sore itu begitu istimewa. Senja benar-benar
berwarna ungu. Kau tertawa kegirangan dan menarik kedua tanganku. Kau
mengajakku berdiri lalu menari dengan menggenggam kesepuluh jariku. Sungguh
baru kali ini aku melihatmu begitu bahagia.
“Kau tahu mengapa aku sangat gembira, Bayu?”
Aku menggeleng. “Memangnya kenapa?”
Aku tak mengerti bagaimana kita berdua bisa sama-sama menganggap sore
kala itu begitu istimewa. Aku tak tahu, mungkin kau merasa bahagia karena
akhirnya kau menapatkan senjamu yang berwarna ungu. Namun yang pasti, aku
bahagia karena kau merasakan bahagiamu itu hanya berdua denganku, disaksikan
sebatang pohon waru.
*
Aku juga masih ingat, Gayatri, kisahmu tentang bintang-bintang.
Di pertengahan kemarau, sekitar bulan Januari, aku ingat kau selalu
datang mengetuk jendela kamarku setiap pukul sembilan malam. Kau akan memaksaku
menemanimu pergi ke pantai. Aku heran mengapa kau ingin pergi malam-malam. Rasi
belantik akan terlihat jelas, katamu.
Aku tak pernah bisa menolak permintaanmu. Dengan cepat kuraih sehelai
kain sarung karena aku tahu di luar sangat dingin. Aku bergegas menemuimu
karena aku tak mau menunggu. Di samping rumahmu akan kudapati kau berdiri
sambil membawa dua buah onthor[1],
yang salah satunya kau ulurkan padaku. Lalu kau tersenyum dan berbalik, lalu
berjalan agak tergesa menuju bibir pantai yang remang-remang.
Sesampainya di sana
kau akan buru-buru duduk di atas batang kelapa yang hampir lapuk. Dengan
khusyuk kau pandangi pekatnya langit. Kulihat matamu berbinar-binar, takjub.
Kerlip ribuan bintang di atas lautan itu telah menyihirmu.
“Lihat, Bayu, itu belantik!” Katamu sambil menunjuk beberapa titik yang
menjelma di horizon.
“Apa itu belantik?”
“Orion.”
“Apa itu Orion?”
“Sang Pemburu, Bayu.”
Aku tak pernah mengerti apa yang kau katakan tentang bintang-bintang itu.
Pun tentang kisah di balik kilaunya, sungguh aku tak mengerti. Tapi satu hal
yang aku tahu, sejak malam itu aku mulai menyukaimu seperti kau menyukai
bintang-bintang.
Sepanjang malam kita menatap belantik yang bergerak perlahan seakan
meniti langit karena bumi berputar. Kau belum berhenti berkisah, sedang aku
masih memandangi wajahmu yang bercahaya sambil terus bertanya-tanya mengapa
angin dari laut malam ini berubah menjadi begitu hangat.
*
Aku tak pernah suka melihatmu menangis. Aku tak segan-segan memberikan
pelajaran kepada siapapun yang berani membuatmu meneteskan air mata. Namun kali
ini aku tak tahu harus berbuat apa karena sebab jatuhnya air matamu senja itu
adalah keputusanku untuk meninggalkanmu. Keluargaku akan pindah ke kota, dan Ayah memintaku melanjutkan sekolah di sana.
Sungguh berat meninggalkanmu kala itu, Gayatri. Aku tak pernah lupa saat
kau tiba-tiba menangis namun tetap mencoba tersenyum. Kita tentu masih bisa
memandang bintang-bintang yang sama, katamu, sambil mengusap kasar butiran
bening di pipimu.
Ketika berpamitan untuk terakhir kalinya usai shalat Subuh itu, aku masih
sempat berjanji bahwa aku akan kembali suatu hari nanti. Di bawah pohon waru
yang berbunga kuning cerah dan berbatang bengkok, kutinggalkan kau yang
menangis tersedu-sedan.
*
Tahun-tahun telah terlwati. Dan seperti janjiku padamu, Gayatri, hari ini
aku kembali.
Aku masih ingat bagaimana janjiku kala itu, yakni menemuimu di bawah
pohon waru berbatang bengkok, tempat kenangan kita. Aku masih ingat waktu itu
kau memintaku memetikkan satu bunganya, berwarna kuning cerah.
Setibanya aku di rumah kuputuskan untuk bergegas menemuimu. Aku menyusuri
jalanan yang biasa kita lalui bersama untuk sampai ke pohon kenangan kita.
Kurasakan pasir-pasir yang halus mulai menempel di telapak kakiku. Aku tak
peduli, sebab aku akan segera menemuimu. Sambil melangkahkan kaki kuterka-terka
bagaimana rupamu sekarang.
Aku tiba di tempat itu, pohon waru berbatang bengkok. Kupandangi
dahan-dahannya yang semakin rimbun, tak kutemukan satupun bunga yang mekar.
Padahal aku ingin memetikkannya satu untukmu.
Saat kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru, kutemukan satu sosok yang
berdiri di bibir pantai. Aku tahu itu pasti kau, Gayatri.
Aku mendekatimu diam-diam. Kulihat rambutmu masih sama, panjang dan
hitam. Pun aromanya, masih wangi dan aku masih tetap menyukainya. Aku tersenyum
mendapati kau yang telah tumbuh menjadi gadis dewasa.
“Gayatri?” Lirihku.
Kau menoleh perlahan.
“Bayu?”
*
Kurasa wajahmu nampak sedikit berbeda, kau tak seperti gadisku yang
selalu tersenyum. Ada
raut kesedihan di wajahmu, Gayatri.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Menunggumu, Bayu.”
“Aku sudah datang, mengapa kau masih bersedih?”
“Aku menunggumu dan menunggu ayahku.”
“Ke mana ayahmu?”
Kau membisu, sedikitpun tak menjawab pertanyaanku. Namun matamu yang
memandang jauh ke laut mengisyaratkan satu hal, bahwa ialah yang memisahkanmu
dari laki-laki pendiam bertubuh kurus dan tinggi itu.
Malam ini aku mengajakmu ke pantai. Tiba-tiba aku teringat kebiasaanmu
dulu yang diam-diam tanpa sepengetahuan ayahmu, mengajakku berjalan-jalan di
atas butiran pasir pantai yang dingin sambil melihat bintang-bintang yang
katamu selalu tampak menawan. Namun kini, aku tahu kau sedang bersedih.
Jangankan bintang-bintang itu, kilau senjamu yang berwarna ungu sore tadi pun
kau anggap angin lalu.
“Janganlah kau berpikir bahwa kau sendirian, Gayatri!” Terbata aku
mengucapkan sepotong kalimat, membuatmu menoleh dan menatapku dalam-dalam.
Bersamaan dengan bertiupnya angin dari pantai, kuselami matamu yang sarat
kesedihan. “Aku akan selalu menjagamu, terlebih jika ayahmu memang tak
kembali.”
Kuingat kembali bagaimana kau, Gayatri, mengajariku memahami rasi
belantik. Kini pendarnya berarak meniti langit. Lautan berkilauan. Belantik
terpancang menaungi aku yang mengucapkan janji untuk menjagamu.
Sambil memandangi kaki langit aku berkata. “Tempo hari kau jelaskan
padaku bahwa belantik menunjuk pada satu arah, bukan?”
“Kiblat, Bayu.”
Suaramu terdengar sangat lembut.
Aku tersenyum. “Kiblat-kah, Gayatri?” Kulihat gadis itu menatapku heran,
Sedang aku membalas tatapannya dengan tersenyum. “Jika memang begitu, mungkin
belantik-ku akan menunjuk ke arahmu,” ucapku lirih, diikuti datangnya senyap
yang hangat.
*
Fajar menyingsing. Semburat keemasan mulai nampak di ujung timur. Kabut
tipis menggantung pilu, masih bermesraan dengan pucuk dedaunan menebarkan
dingin yang tiada tertahan.
Aku memandang rumah sederhana berdinding kayu itu. Hatiku perih saat
kuselami potret di setiap sudut satu-satu. Dindingnya yang putih kusam,
halamannya yang luas, serta sebatang pohon waru berbunga kuning cerah dengan
batang bengkok yang tumbuh di halamannya. Betapa Tuhan selalu punya rencana,
Gayatri.
Rumah itu selalu senyap sebab memang hanya satu laki-laki sunyi dan anak
gadisnya yang tinggal di sana.
Itupun sebelum empat orang nelayan membawa ke sana sesosok mayat yang ditemukan lepas Subuh
di bibir pantai. Tubuhnya putih pucat.
Betapa hatiku terasa ngilu saat aku tahu bahwa tubuh yang telah terbujur
kaku di atas dipan yang beralaskan anyaman pandan itu adalah kau, Gayatri.
Kuingat perbincangan sederhana denganmu malam itu, sambil memandangi
ribuan kerlip bintang di langit yang cerah. Disaksikan belantik yang tak pernah
berubah pesonanya, kau menyandarkan kepalamu ke tubuhku sambil bertanya.
“Bayu, menurutmu apakah ayahku akan kembali?”
“Tergantung seberapa besar kau percaya akan hal itu, Gayatri.”
“Mengapa begitu?”
“Bukankah dulu kau selalu bilang begitu setiap aku bersikeras meyakinkan
kau bahwa senja itu selalu berwarna jingga dan bukan ungu?” Ucapku lirih.
Kurasakan hangat air matamu di bahuku. Mengapa kau menangis lagi?
“Ini berbeda, Bayu.”
“Tentu saja ini sama. Apakah sulit untuk percaya pada harapanmu sendiri?”
Kau diam. Perlahan-lahan kurengkuh tubuhmu. Sebisa mungkin aku berusaha
membuatmu tenang, sedikit saja, setidaknya untuk malam itu. Namun diam-diam
setelah memintaku pulang, kau memutuskan untuk pergi mencari ayahmu seorang
diri. Kau memutuskan untuk meninggalkan aku. Bagaimana aku mengeja
bintang-bintang tanpa kau, Gayatri?
Detik ini. dalam naungan dahan-dahan pohon waru berbatang bengkok dan
berbunga kuning cerah, aku duduk seorang diri dan menyelami betapa sakitnya
kehilangan itu. Kugenggam erat setangkai bunga waru yang jatuh tertiup angin.
Aku teringat padamu.
Sedang di kejauhan, gegaris buih tetap berkejaran menuju tepian.
*