Aku pernah menceritakan kepadamu kisah tentang sebuah album foto
di sini. Kisah yang sederhana dari orang-orang sederhana, tak ada yang istimewa kecuali jika kau mengetahui siapa yang aku kagumi dalam kisah itu. Adalah dia yang menenggelamkan diri dalam hidup yang biasa-biasa saja, melumuri segalanya dengan kesederhanaan, tetapi aku menerimanya dengan penuh rasa bangga. Dia yang garis matanya kumiliki sampai saat ini. Kusebut dia ibu, seperti yang diajarkannya bertahun-tahun lalu. Aku memiliki kisah yang lain, kudengar samar-samar saat dia melepasku, anak gadisnya, kembali ke kota rantau dengan kepayahan menahan air mata.
Samar-samar dia berkisah tentang anak-anaknya, dan betapa dia menelan rasa rindu yang muncul di sudut-sudut rumah yang kian hari kian sunyi, sejak aku ikut pergi, dialaminya setiap hari, tanpa ada yang memahami begitu dalam. Terkadang dia bisa mengatasinya sendiri, dengan berpikir tentang hal-hal besar yang telah dialaminya selama ini, membesarkan anak-anak hebat hingga mereka menjadi besar dan sehebat dirinya. Dia membayangkan setiap detil hidupnya yang dihabiskan hanya untuk keluarga, tanpa berpikir untuk bekerja walaupun aku tahu dia bisa.
Dia terus membayangkan betapa cepat waktu berlalu semenjak terakhir kali dia menyanyikan lagu-lagu Jawa di telinga anak-anaknya dalam gendongan, anak-anaknya telah tumbuh dewasa, mampu bernyanyi sendiri, mampu bernyanyi untuknya. Dia terus membayangkan saat-saat dia menyadari bahwa anak-anaknya tak lagi mampu ditahannya untuk tetap tinggal, tetap bersamanya, menemaninya menghabiskan setiap cangkir teh hangat yang diseduhnya selepas sholat Subuh, berbincang mengenai ikan-ikan di kolam, mengenai tanah yang ingin sekali ditanaminya jagung dan kacang, mengenai ayam-ayam yang terus bertelur, mengenai buah jambu biji yang pohonnya ada di depan rumah dan tak pernah berhenti berbuah, mengenai apa saja. Dia mencoba mengerti bahwa selepas anak-anaknya pergi tak akan dijumpainya lagi perbincangan panjang di pagi hari, teh panas yang diseduhnya tanpa gula akan semakin hambar, saat rindu mulai datang di hari-hari berikutnya.
Anak-anaknya telah melangkah begitu jauh.
Kudengar suaranya parau mengucapkan bahwa satu hal yang akan membuatnya bahagia di tengah sepi itu, adalah bunyi dering dari ponsel tuanya dengan nama anak-anaknya muncul di layar. Dia tak pernah berubah, selalu membutuhkan waktu lama untuk menjawab panggilan, sebab dia akan terlebih dahulu tersenyum, sebentar saja, lalu menyiapkan suara terbaiknya agar tidak terdengar bergetar karena rasa haru. Suaranya begitu tenang mendengar semua kabar dari seberang, tetapi sesungguhnya dalam hatinya ada begitu banyak hal yang ingin dia sampaikan, tentang bagaimana kabar anaknya yang jauh di sana, tentang keadaan hati, gundahkah, gelisahkah, tentang rindu yang dialaminya sendiri... Di tengah percakapan itu dia selalu mengatakaan bahwa dia sudah cukup bahagia mendengar suara anak-anaknya. Sudah cukup, walaupun tak mengobati apapun, setidaknya dia tahu anak-anaknya baik-baik saja, masih memiliki waktu untuknya barang sebentar, masih mengingatnya, di tengah kesibukan yang tak pernah dipahaminya. Perbincangan itu tak akan lebih dari tiga menit, selalu diakhiri dengan suaranya yang semakin pelan dan lirih sebelum sambungan dimatikan. Dia akan tersenyum lagi, dinikmatinya sedikit bahagia di tengah sepi yang menjadi-jadi.
Saat anak-anaknya pulang dia akan memasak lebih banyak, menyiapkan kamar dengan seprei baru, membersihkan rumah hingga sudut-sudut berdebu. Dia sangat senang, dia akan merasa bahwa dia tak akan pernah lagi sebahagia ini. Dia tidak pernah bertanya kapan anak-anaknya pergi lagi, dia hanya ingin mencicipi kembali hangat secangkir teh setiap pagi yang selalu nikmat meskipun tak pernah diberinya gula, bersama anak-anaknya, bersama obrolan ringan tentang kabar dari tanah rantau.
Diam-diam dia terus menghitung hari, berdoa agar hari keberangkatan anaknya tak akan pernah ada, berdoa agar anaknya tak akan pergi lagi dan membiarkannya kesepian. Dia akan merindukan saat-saat dahulu, ketika anak-anaknya belum mengenal kata berangkat dan pulang sebagai sebuah kata yang melukiskan perjalanan begitu jauh. Dia akan dengan berat hati mengerti, anak-anaknya telah tumbuh menjadi sosok pemberani, pergi begitu jauh, mengejar hal-hal yang dahulu dia kenalkan saat mereka kecil, hal-hal bernama mimpi. Dia terus membayangkan, bertanya-tanya, seberapa banyak waktu yang masih dia miliki untuk terus ada di belakang mereka, sementara tahun-tahun terus bergulir dan menuakan dirinya. Dia terus bertanya-tanya dalam diam.
Sampai pada suatu pagi dia harus melepas anaknya untuk kembali, merelakan kerumunan sepi mengetuk pintu rumah beberapa jam kemudian. Dia hanya memeluk, menyembunyikan air mata yang kemudian gagal. Dia akan mengantar sejauh yang dia bisa, sejauh yang dia mampu, untuk melihat wajah anaknya terakhir kali. Dalam hatinya mulai tumbuh kebingungan, siapa yang akan diajaknya berbincang sambil memasak nanti, siapa yang akan ditemuinya di ruang tengah di depan televisi, siapa yang memakan sisa mie instan buatannya, siapa yang akan dibenarkan letak selimutnya saat malam larut dan dia terbangun... Anaknya telah kembali ke tanah rantau.
Rindu menjalar di sudut-sudut rumah, berdiam dan berkerak hingga nanti, berbulan-bulan saat aku pulang lagi.