Surat terakhir...
Komandan sudah marah, aku tidak boleh menulis surat cinta lagi.
Katanya bodoh, tugasku bukan menulis surat cinta, tugasku membereskan dunia dan kehidupan di permukaannya. Katanya buang-buang waktu. Aku menyesal. Aku segera berhenti menulis surat menye-menye seperti ini. Niat hati bercerita dan ngobrol-ngobrol ringan dengan bintang-bintang di ekuator; Sirius, Rigel, Betelgeuse, tetapi komandan muncul dari arah selatan, mungkin sedang beroperasi, dan tiba-tiba marah-marah. Untuk apa tulis surat cinta, katanya. Aku hanya singgah, sama sekali tidak boleh mengikatkan diri pada apapun, tidak boleh jatuh cinta pada apapun, pada siapapun, ucapnya lagi. Aku diam. Aku tidak sedang jatuh cinta, sanggahku. Tetapi komandan tidak bisa dibohongi. Aku tersentil begitu komandan berkata, "Jangan cintai apapun, jangan kagumi apapun, akan terasa sulit untuk pergi di kemudian hari."
Mataku pedih, entah karena apa. Tak bisa membalas kata-kata komandan, aku menunduk, ia berkata lagi, "tetapi jika telah kautemukan alasan kuat untuk tinggal suatu hari nanti, lupakan kata-kataku sebelumnya."
"Apakah tidak mencintai apapun terasa begitu berat? Bukankah hal itu bahkan sangat ringan?"
Aku tidak menatapnya, tetapi aku tahu komandan telah pergi tanpa menunggu jawabanku. Aku tak ingin menjawab, aku tidak tahu apa jawabannya. Tapi aku tahu aku harus berhenti menulis surat cinta.
Beberapa detik aku memejamkan mata.
Lalu aku terbangun di atas tempat tidur dengan kedua kelopak mata memerah.
... dari dalam gelap.
Selamat tinggal yang terlalu pagi.