January 12, 2014

Hujan, Kertas, dan Jalan Masing-Masing



Catatan random yang entah keberapa...



Yogyakarta basah. Pagi ini gelap pun tidak, siapa yang menyangka hari ini hujan benar-benar betah menaungi kota ini sejak pagi hingga sore. Air mengalir di sisi-sisi jalan, hingga nanti hujan berhenti dan akhirnya menggenang. Di hadapan kini teronggok berlembar-lembar catatan kuliah kalkulus beserta setumpuk soal dari teman, hanya tergeletak, masih lempeng, tidak menarik, tidak ceria, semalas pemiliknya. Hujan tidak menumbuhkan semangat belajar. Sejak dua jam yang lalu pekerjaan yang berhasil dilakukan hanya diam di depan laptop, entah mencari apa.
Tapi pencarian antahberantah itu menemukan ujung, setelah muncul beberapa buah foto di sebuah folder lama. Ada kertas-kertas lusuh yang sengaja aku potret pada suatu waktu yang samar-samar mulai aku ingat. Kertas yang masih terlihat jelas bekas robekan kasarnya, serta kata-kata sederhana yang ditumpahkan ala kadarnya, berantakan, namun jujur dan tanpa pura-pura. Kata-kata yang ditulis dalam tiga menit, kata-kata penyemangat menuju ujian akhir sekolah menengah atas, kata-kata yang sampai padaku hari itu juga.
Mulailah hujan hari itu mengantarkan pikiranku pada mereka dan tulisan kecil mereka...
Ini dari Liea, sahabat sejak kelas satu. Kami duduk satu bangku selama satu tahun, bercerita haal-hal bodoh, menertawakan orang lain, membicarakan guru-guru yang menyebalkan, atau kadang menangis saat menceritakan bagian tergelap hidup masing-masing. Namanya Liea Fadli, keturunan Cina, berkulit putih, berjilbab, pekerja keras, tekun, sahabat yang sekarang menjatuhkan pilihannya di Metrologi ITB.

Surat Liea

Ini Lyana. Pertemuan pertama kami habis membicarakan Idola Cilik, dia kesulitan untuk menghentikan celotehannya tentang finalis ajang pencarian bakat untuk anak-anak itu, dia begitu semangat bercerita walaupun respon yang didapatnya hanya tawa-tawa ringan dan anggukan kepala. Berkat manusia berisik ini, aku bisa terlibat dalam sebuah event yang menghadirkan Coboy Junior dan The Finest Tree.Dia juga seorang pekerja keras, dia punya mimpi dan dia akan berusaha untuk mengejar mimpi itu sampai dapat melalui jalan manapun. Jika takdir mengantarkannya pada sebuah persimpangan, dia akan berhenti, lalu melangkahkan kakinya sesuai kata hati dan kata Tuhan. Mimpinya adalah yang ia jalani sekarang ini, Kesehatan Masyarakat Undip, Semarang.
Surat Lyana


Ini Riris, teman gila dari SMP. Dulu, saat masih berseragam putih biru, celotehannya tidak jauh-jauh dari langit, bintang, galaksi, dan seluruh alam semesta. Dia pernah membenci seorang guru Fisika gara-gara kulit atom. Dia selalu dan selamanya membenci perbuatan mencontek. Dia pernah terlibat sebuah proyek menulis novel bersamaku, tetapi berhenti di tengah jalan karena ujian akhir. Dia orang berprinsip, dia hebat, dia cerdas, dia selalu tertarik untuk belajar. Dia suka berada di toko buku, membaca sepuasnya, lalu membeli apapun yang dia suka. Dia suka berada di perpustakaan berjam-jam, membaca bacaan berat dan membawanya pulang. Dia adalah salah satu - dari dua orang yang tersisa - yang masih memanggilku dengan nama Tia.
Surat Riris

Dan ini adalah teman satu meja mulai kelas dua sampai lulus. Namanya Putri, tapi aku lebih suka memanggilnya Cipu, atau Pu. Dia adalah salah satu orang yang semangatnya menginspirasi. Sudah sejak lama dia bercerita tentang mimpinya menjadi seorang dokter. Sesaat sebelum tulisan ini tertuang, dia sempat berkata: “Ti, Cipu mau jadi dokter.” Walaupun sudah ratusan kali dia mengatakan kalimat itu, tapi kali ini terdengar berbeda. Kali ini dia benar-benar mengatakannya. Dan puluhan hari setelah tulisan semangat  di atas kertas ini tercipta, dia dinyatakan lulus menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Bukan, bukan semudah itu. Sudah kubilang, semangatnya sangat menginspirasi. Terhitung sekian kali sudah dia mendaftarkan diri dan mengikuti tes di sebuah universitas swasta di Yogyakarta, dia gagal sekian kali itu juga. Jalur SNMPTN telah dia susuri, masih gagal. Jalur SBMPTN pun begitu, namun kelihatannya juga masih bukan miliknya. Hingga UMBPTN pun masih bukan jalannya. Jalannya adalah jalan terakhir, Ujian Mandiri, yang membuatnya begitu bahagia saat memberi kabar bahwa dia lulus, dia mahasiswa kedokteran seperti cita-citanya.
Surat Cipu

Abimanyu. Sosok terakhir. Sosok yang sulit dijelaskan. Dia teman baik. Dia menyenangkan, lucu, polos, dan kadang tidak masuk akal. Sosok sederhana yang mengalir, suka tertawa. Sosok yang mau-mau saja aku rusak namanya menjadi Pango.
Kertas ini berbeda, tidak dirobek. Kertas ini kertas utuh, dia tuliskan untuk saling menyemangati. Masih ada di dalam dompet, masih menyimpan wangi yang sama seperti saat pertama kali dia sampaikan. Sirius. Katanya bintang yang satu itu berwarna-warni. Walaupun sebenarnya tidak, aku tetap suka saat-saat kita memperdebatkan bintang yang menurutnya berwarna-warni tetapi menurutku tidak. Dia sedang mencari jalannya sendiri, mungkin Radiografer, mungkin tidak, semoga dia cepat bertemu jodohnya.
...
Sudah, seperti itu saja. Hujan sore ini turun bersama ingatan tentang mereka dan kertas-kertas berisi tulisan yang mereka buat dalam waktu tuga menit saja, kertas dan tulisan yang bahkan aku bawa ke Yogyakarta. Mereka memiliki kisah yang panjang dan tak bisa semuanya aku bagi. Mereka selalu berusaha menemukan jalannya masing-masing, aku pun semestinya begitu. E ntah ini jalan yang benar, jalanku, atau bukan, mimpiku masih jauh, jalanku masih membentang panjang. Entah ini jalan yang benar, jalanku, atau bukan, kenyataan yang aku hadapi saat ini adalah setumpuk materi Kalkulus. Entah ini jalan yang benar, jalanku, atau bukan, kurasa aku tetap harus melewatinya agar kelak aku tahu ini jalan yang benar, jalanku, atau bukan.
Seperti seri petualangan Dora the Explorer, jalan manapun, sejauh apapun, serumit apapun, dengan halangan dan cobaan sebesar apapun, semoga selalu berujung manis.
Selamat belajar.