Catatan random yang entah keberapa...
Yogyakarta basah. Pagi ini gelap
pun tidak, siapa yang menyangka hari ini hujan benar-benar betah menaungi kota
ini sejak pagi hingga sore. Air mengalir di sisi-sisi jalan, hingga nanti hujan berhenti dan akhirnya menggenang. Di hadapan kini teronggok berlembar-lembar catatan kuliah
kalkulus beserta setumpuk soal dari teman, hanya tergeletak, masih lempeng, tidak
menarik, tidak ceria, semalas pemiliknya. Hujan tidak menumbuhkan semangat
belajar. Sejak dua jam yang lalu pekerjaan yang berhasil dilakukan hanya diam
di depan laptop, entah mencari apa.
Tapi pencarian antahberantah itu
menemukan ujung, setelah muncul beberapa buah foto di sebuah folder lama. Ada
kertas-kertas lusuh yang sengaja aku potret pada suatu waktu yang samar-samar
mulai aku ingat. Kertas yang masih terlihat jelas bekas robekan kasarnya, serta
kata-kata sederhana yang ditumpahkan ala kadarnya, berantakan, namun jujur dan
tanpa pura-pura. Kata-kata yang ditulis dalam tiga menit, kata-kata penyemangat
menuju ujian akhir sekolah menengah atas, kata-kata yang sampai padaku hari itu
juga.
Mulailah hujan hari itu
mengantarkan pikiranku pada mereka dan tulisan kecil mereka...
Ini dari Liea, sahabat sejak kelas
satu. Kami duduk satu bangku selama satu tahun, bercerita haal-hal bodoh,
menertawakan orang lain, membicarakan guru-guru yang menyebalkan, atau kadang menangis
saat menceritakan bagian tergelap hidup masing-masing. Namanya Liea Fadli,
keturunan Cina, berkulit putih, berjilbab, pekerja keras, tekun, sahabat yang
sekarang menjatuhkan pilihannya di Metrologi ITB.
Ini Lyana. Pertemuan pertama kami
habis membicarakan Idola Cilik, dia kesulitan untuk menghentikan celotehannya
tentang finalis ajang pencarian bakat untuk anak-anak itu, dia begitu semangat
bercerita walaupun respon yang didapatnya hanya tawa-tawa ringan dan anggukan
kepala. Berkat manusia berisik ini, aku bisa terlibat dalam sebuah event yang
menghadirkan Coboy Junior dan The Finest Tree.Dia juga seorang pekerja keras,
dia punya mimpi dan dia akan berusaha untuk mengejar mimpi itu sampai dapat
melalui jalan manapun. Jika takdir mengantarkannya pada sebuah persimpangan, dia
akan berhenti, lalu melangkahkan kakinya sesuai kata hati dan kata Tuhan.
Mimpinya adalah yang ia jalani sekarang ini, Kesehatan Masyarakat Undip,
Semarang.
Ini Riris, teman gila dari SMP. Dulu, saat masih berseragam putih biru, celotehannya tidak jauh-jauh dari langit, bintang, galaksi, dan seluruh alam semesta. Dia pernah membenci seorang guru Fisika gara-gara kulit atom. Dia selalu dan selamanya membenci perbuatan mencontek. Dia pernah terlibat sebuah proyek menulis novel bersamaku, tetapi berhenti di tengah jalan karena ujian akhir. Dia orang berprinsip, dia hebat, dia cerdas, dia selalu tertarik untuk belajar. Dia suka berada di toko buku, membaca sepuasnya, lalu membeli apapun yang dia suka. Dia suka berada di perpustakaan berjam-jam, membaca bacaan berat dan membawanya pulang. Dia adalah salah satu - dari dua orang yang tersisa - yang masih memanggilku dengan nama Tia.
Dan ini adalah teman satu meja
mulai kelas dua sampai lulus. Namanya Putri, tapi aku lebih suka memanggilnya
Cipu, atau Pu. Dia adalah salah satu orang yang semangatnya menginspirasi.
Sudah sejak lama dia bercerita tentang mimpinya menjadi seorang dokter. Sesaat
sebelum tulisan ini tertuang, dia sempat berkata: “Ti, Cipu mau jadi dokter.”
Walaupun sudah ratusan kali dia mengatakan kalimat itu, tapi kali ini terdengar
berbeda. Kali ini dia benar-benar mengatakannya. Dan puluhan hari setelah
tulisan semangat di atas kertas ini
tercipta, dia dinyatakan lulus menjadi mahasiswa kedokteran Universitas
Jenderal Soedirman. Bukan, bukan semudah itu. Sudah kubilang, semangatnya
sangat menginspirasi. Terhitung sekian kali sudah dia mendaftarkan diri dan
mengikuti tes di sebuah universitas swasta di Yogyakarta, dia gagal sekian kali
itu juga. Jalur SNMPTN telah dia susuri, masih gagal. Jalur SBMPTN pun begitu, namun
kelihatannya juga masih bukan miliknya. Hingga UMBPTN pun masih bukan jalannya.
Jalannya adalah jalan terakhir, Ujian Mandiri, yang membuatnya begitu bahagia
saat memberi kabar bahwa dia lulus, dia mahasiswa kedokteran seperti
cita-citanya.
Abimanyu. Sosok terakhir. Sosok
yang sulit dijelaskan. Dia teman baik. Dia menyenangkan, lucu, polos, dan
kadang tidak masuk akal. Sosok sederhana yang mengalir, suka tertawa. Sosok
yang mau-mau saja aku rusak namanya menjadi Pango.
Kertas ini berbeda, tidak dirobek.
Kertas ini kertas utuh, dia tuliskan untuk saling menyemangati. Masih ada di
dalam dompet, masih menyimpan wangi yang sama seperti saat pertama kali dia
sampaikan. Sirius. Katanya bintang yang satu itu berwarna-warni. Walaupun
sebenarnya tidak, aku tetap suka saat-saat kita memperdebatkan bintang yang
menurutnya berwarna-warni tetapi menurutku tidak. Dia sedang mencari jalannya
sendiri, mungkin Radiografer, mungkin tidak, semoga dia cepat bertemu jodohnya.
...
Sudah, seperti itu saja. Hujan sore
ini turun bersama ingatan tentang mereka dan kertas-kertas berisi tulisan yang
mereka buat dalam waktu tuga menit saja, kertas dan tulisan yang bahkan aku
bawa ke Yogyakarta. Mereka memiliki kisah yang panjang dan tak bisa semuanya
aku bagi. Mereka selalu berusaha menemukan jalannya masing-masing, aku pun semestinya
begitu. E ntah ini jalan yang benar, jalanku, atau bukan, mimpiku masih jauh,
jalanku masih membentang panjang. Entah ini jalan yang benar, jalanku, atau
bukan, kenyataan yang aku hadapi saat ini adalah setumpuk materi Kalkulus. Entah
ini jalan yang benar, jalanku, atau bukan, kurasa aku tetap harus melewatinya
agar kelak aku tahu ini jalan yang benar, jalanku, atau bukan.
Seperti seri petualangan Dora the
Explorer, jalan manapun, sejauh apapun, serumit apapun, dengan halangan dan
cobaan sebesar apapun, semoga selalu berujung manis.
Selamat belajar.