April 01, 2014

Andai Kita Tidak Punya Tangan



Andai kita tidak punya tangan, bumi adalah padang rumput dan hutan teduh. Kiara menjulang, memayungi lelah dan peluh tanpa mengerti bosan, tanpa mengerti ujung perjalanan ini. Sungai terdengar dari ujung nan jauh, menawarkan jernih yang mengalir sampai langit hingga turun lagi. 

Andai kita tidak punya tangan, biru menaungi kepala, cahaya menerobos dedaunan rimbun, malu-malu, hangat, begitu ramah. Kita akan menemukan gumpalan awan berarak menuju lautan hingga senja. Bintang bertabur, bergerak manja menuju horizon dan tenggelam esok bersama dingin.


Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).


Tetapi kita punya tangan, menjerat masing-masing tanpa peringatan. Sepasang tangan, terlena dengan jalanan yang mengantarkan diri menuju rasa senang cuma-cuma, menghabiskan daya, merelakan nurani pergi hingga ego datang mengganti.

Sepasang tangan, tanpa rantai, bersenang-senang tanpa memperhatikan. Diam-diam hidup bersiap mencurangi, sepasang tangan akan menyesali.

Kita punya sepasang tangan, merusak dan menghabiskan.

Sepasang tangan, yang kelak menanggung rintih menjadi beban.

Hingga detik ini sepasang tangan kita telah menuai menimbun lara, memecah tangis hingga berkeping, memilin derita hingga tersimpul begitu kuat, sepasang tangan kita pula yang kian waktu kian lelah menanggung beban untuk memperbaikinya, mengembalikan damai menuju genggaman, menabur harapan dan butir-butir pemulih. 
Kita masih menjadi pemilik sepasang tangan yang bersalah ini. Kita masih punya tangan. Andai esok pagi Tuhan mengambil keduanya, sepasang tangan milik kita akan menjadi hal terakhir yang terenggut, sebelum kita berlutut hingga lelah dan hancur pelan-pelan.

Andai kita tidak punya tangan, takkan ada yang bersalah, menyalahkan, mengingatkan.

Andai kita tidak punya tangan, bagaimana kita menengadah meminta kesembuhan, memohon hingga kering air mata, mengemis dengan rasa bersalah, menyadari bagaimana sepasang tangan yang kita tengadahkan ini adalah sebab dari isak alam di belakang sana.

Andai kita tidak punya tangan, bagaimana kita berpegangan dan saling menguatkan?

Sepasang, kita masih punya sepasang tangan.

Sepasang tangan kita, memeluk dunia.