February 12, 2014
Rindu di Sudut-Sudut Rumah
Aku pernah menceritakan kepadamu kisah tentang sebuah album foto di sini. Kisah yang sederhana dari orang-orang sederhana, tak ada yang istimewa kecuali jika kau mengetahui siapa yang aku kagumi dalam kisah itu. Adalah dia yang menenggelamkan diri dalam hidup yang biasa-biasa saja, melumuri segalanya dengan kesederhanaan, tetapi aku menerimanya dengan penuh rasa bangga. Dia yang garis matanya kumiliki sampai saat ini. Kusebut dia ibu, seperti yang diajarkannya bertahun-tahun lalu. Aku memiliki kisah yang lain, kudengar samar-samar saat dia melepasku, anak gadisnya, kembali ke kota rantau dengan kepayahan menahan air mata.
Samar-samar dia berkisah tentang anak-anaknya, dan betapa dia menelan rasa rindu yang muncul di sudut-sudut rumah yang kian hari kian sunyi, sejak aku ikut pergi, dialaminya setiap hari, tanpa ada yang memahami begitu dalam. Terkadang dia bisa mengatasinya sendiri, dengan berpikir tentang hal-hal besar yang telah dialaminya selama ini, membesarkan anak-anak hebat hingga mereka menjadi besar dan sehebat dirinya. Dia membayangkan setiap detil hidupnya yang dihabiskan hanya untuk keluarga, tanpa berpikir untuk bekerja walaupun aku tahu dia bisa.
Dia terus membayangkan betapa cepat waktu berlalu semenjak terakhir kali dia menyanyikan lagu-lagu Jawa di telinga anak-anaknya dalam gendongan, anak-anaknya telah tumbuh dewasa, mampu bernyanyi sendiri, mampu bernyanyi untuknya. Dia terus membayangkan saat-saat dia menyadari bahwa anak-anaknya tak lagi mampu ditahannya untuk tetap tinggal, tetap bersamanya, menemaninya menghabiskan setiap cangkir teh hangat yang diseduhnya selepas sholat Subuh, berbincang mengenai ikan-ikan di kolam, mengenai tanah yang ingin sekali ditanaminya jagung dan kacang, mengenai ayam-ayam yang terus bertelur, mengenai buah jambu biji yang pohonnya ada di depan rumah dan tak pernah berhenti berbuah, mengenai apa saja. Dia mencoba mengerti bahwa selepas anak-anaknya pergi tak akan dijumpainya lagi perbincangan panjang di pagi hari, teh panas yang diseduhnya tanpa gula akan semakin hambar, saat rindu mulai datang di hari-hari berikutnya.
Anak-anaknya telah melangkah begitu jauh.
Kudengar suaranya parau mengucapkan bahwa satu hal yang akan membuatnya bahagia di tengah sepi itu, adalah bunyi dering dari ponsel tuanya dengan nama anak-anaknya muncul di layar. Dia tak pernah berubah, selalu membutuhkan waktu lama untuk menjawab panggilan, sebab dia akan terlebih dahulu tersenyum, sebentar saja, lalu menyiapkan suara terbaiknya agar tidak terdengar bergetar karena rasa haru. Suaranya begitu tenang mendengar semua kabar dari seberang, tetapi sesungguhnya dalam hatinya ada begitu banyak hal yang ingin dia sampaikan, tentang bagaimana kabar anaknya yang jauh di sana, tentang keadaan hati, gundahkah, gelisahkah, tentang rindu yang dialaminya sendiri... Di tengah percakapan itu dia selalu mengatakaan bahwa dia sudah cukup bahagia mendengar suara anak-anaknya. Sudah cukup, walaupun tak mengobati apapun, setidaknya dia tahu anak-anaknya baik-baik saja, masih memiliki waktu untuknya barang sebentar, masih mengingatnya, di tengah kesibukan yang tak pernah dipahaminya. Perbincangan itu tak akan lebih dari tiga menit, selalu diakhiri dengan suaranya yang semakin pelan dan lirih sebelum sambungan dimatikan. Dia akan tersenyum lagi, dinikmatinya sedikit bahagia di tengah sepi yang menjadi-jadi.
Saat anak-anaknya pulang dia akan memasak lebih banyak, menyiapkan kamar dengan seprei baru, membersihkan rumah hingga sudut-sudut berdebu. Dia sangat senang, dia akan merasa bahwa dia tak akan pernah lagi sebahagia ini. Dia tidak pernah bertanya kapan anak-anaknya pergi lagi, dia hanya ingin mencicipi kembali hangat secangkir teh setiap pagi yang selalu nikmat meskipun tak pernah diberinya gula, bersama anak-anaknya, bersama obrolan ringan tentang kabar dari tanah rantau.
Diam-diam dia terus menghitung hari, berdoa agar hari keberangkatan anaknya tak akan pernah ada, berdoa agar anaknya tak akan pergi lagi dan membiarkannya kesepian. Dia akan merindukan saat-saat dahulu, ketika anak-anaknya belum mengenal kata berangkat dan pulang sebagai sebuah kata yang melukiskan perjalanan begitu jauh. Dia akan dengan berat hati mengerti, anak-anaknya telah tumbuh menjadi sosok pemberani, pergi begitu jauh, mengejar hal-hal yang dahulu dia kenalkan saat mereka kecil, hal-hal bernama mimpi. Dia terus membayangkan, bertanya-tanya, seberapa banyak waktu yang masih dia miliki untuk terus ada di belakang mereka, sementara tahun-tahun terus bergulir dan menuakan dirinya. Dia terus bertanya-tanya dalam diam.
Sampai pada suatu pagi dia harus melepas anaknya untuk kembali, merelakan kerumunan sepi mengetuk pintu rumah beberapa jam kemudian. Dia hanya memeluk, menyembunyikan air mata yang kemudian gagal. Dia akan mengantar sejauh yang dia bisa, sejauh yang dia mampu, untuk melihat wajah anaknya terakhir kali. Dalam hatinya mulai tumbuh kebingungan, siapa yang akan diajaknya berbincang sambil memasak nanti, siapa yang akan ditemuinya di ruang tengah di depan televisi, siapa yang memakan sisa mie instan buatannya, siapa yang akan dibenarkan letak selimutnya saat malam larut dan dia terbangun... Anaknya telah kembali ke tanah rantau.
Rindu menjalar di sudut-sudut rumah, berdiam dan berkerak hingga nanti, berbulan-bulan saat aku pulang lagi.
Hujan Lagi
Hujan datang dan pergi lagi, aroma basah itu menguap lagi. Jalanan kering kembali berkilauan, udara basah, langit basah, Yogyakarta masih bahagia berbasah-basah. Hujan belum sempat mengucapkan selamat datang padaku saat tiba Minggu malam kemarin. Tahu-tahu dia jatuh, tahu-tahu dia datang. Siapa yang akan mengira, musim ini tak menentu, seperti hati yang bergemuruh tak menentu. Masih lekat dalam ingatan obrolan tak penting kami via pesan singkat. Obrolan basa-basi yang sangat singkat, sesingkat hujan terakhir sore ini. Sejak terakhir kali mata kami saling menatap sebentar tanpa mengucapkan perpisahan petang itu, dalam dingin itu, dalam lelah itu, menuju arah yang berlawanan, sejak ia mengucapkan hati-hati dengan samar namun aku sempat mendengar, aku belum melihatnya lagi.
Bukan salah siapa-siapa jika aku selalu ingin tertawa mengingat setiap detil pertemuan kami. Bukan salah siapa-siapa jika aku hanya ingin tertawa, terus berusaha menahan untuk tidak membuatnya menjadi candu, untuk tidak menjadikan dia sebagai pengantar senyum sebelum tidur, untuk tidak menjadikannya istimewa, untuk tidak menjadikannya pengisi ruang-duang kosong dalam pikiran. Bukan salah siapa-siapa, salahkan aku saja yang selalu membuat segalanya rumit. Salahkan aku saja.
February 05, 2014
Terima Kasih Kalian
Ukur tanah yang konon mata kuliah utama jurusan ini. Dalam praktikum perlu dibentuk kelompok permanen selama satu semester ini. Kelompok yang tetap sampai semester berakhir, atau bahkan bisa sampai kuliah ini berakhir. Selanjutnya gulungan kertas-kertas kecil itu mempertemukan kita. Kelompok satu, aku yang tulis nama-nama kita pertama kali di whiteboard.
Praktikum demi praktikum, pengenalan alat, pemakaian alat, koreksi alat, pengukuran sedikit demi sedikit, hingga pengukuran sesungguhnya sudah dilewati dengan oke. Sebuah peta planimetris sudah menjadi karya besar kita. Setelah nilai ukur tanah keluar - yang kemudian menggagalkan rencanaku untuk hijrah, hm - aku berasa mau benturin kepala ke tembok karena merasa kurang bersyukur. Kalian bikin final project kita keren. Kalian nggak ada tandingannya. Kalian selalu bilang aku paling cantik karena aku paksa :'D hahaha. Azam, Tegar, Septi, Ausi, terima kasih kelompok satu, terima kasih atas kerja samanya, kalian hebat sekali. Sampai jumpa di ukur tanah selanjutnya. Semoga nggak pernah menyesal bisa satu kelompok dengan orang sinting ini.
Gambar ini buat kalian...
#5 Surat Terakhir
Surat terakhir...
Komandan sudah marah, aku tidak boleh menulis surat cinta lagi.
Katanya bodoh, tugasku bukan menulis surat cinta, tugasku membereskan dunia dan kehidupan di permukaannya. Katanya buang-buang waktu. Aku menyesal. Aku segera berhenti menulis surat menye-menye seperti ini. Niat hati bercerita dan ngobrol-ngobrol ringan dengan bintang-bintang di ekuator; Sirius, Rigel, Betelgeuse, tetapi komandan muncul dari arah selatan, mungkin sedang beroperasi, dan tiba-tiba marah-marah. Untuk apa tulis surat cinta, katanya. Aku hanya singgah, sama sekali tidak boleh mengikatkan diri pada apapun, tidak boleh jatuh cinta pada apapun, pada siapapun, ucapnya lagi. Aku diam. Aku tidak sedang jatuh cinta, sanggahku. Tetapi komandan tidak bisa dibohongi. Aku tersentil begitu komandan berkata, "Jangan cintai apapun, jangan kagumi apapun, akan terasa sulit untuk pergi di kemudian hari."
Mataku pedih, entah karena apa. Tak bisa membalas kata-kata komandan, aku menunduk, ia berkata lagi, "tetapi jika telah kautemukan alasan kuat untuk tinggal suatu hari nanti, lupakan kata-kataku sebelumnya."
"Apakah tidak mencintai apapun terasa begitu berat? Bukankah hal itu bahkan sangat ringan?"
Aku tidak menatapnya, tetapi aku tahu komandan telah pergi tanpa menunggu jawabanku. Aku tak ingin menjawab, aku tidak tahu apa jawabannya. Tapi aku tahu aku harus berhenti menulis surat cinta.
Beberapa detik aku memejamkan mata.
Lalu aku terbangun di atas tempat tidur dengan kedua kelopak mata memerah.
... dari dalam gelap.
Selamat tinggal yang terlalu pagi.
Komandan sudah marah, aku tidak boleh menulis surat cinta lagi.
Katanya bodoh, tugasku bukan menulis surat cinta, tugasku membereskan dunia dan kehidupan di permukaannya. Katanya buang-buang waktu. Aku menyesal. Aku segera berhenti menulis surat menye-menye seperti ini. Niat hati bercerita dan ngobrol-ngobrol ringan dengan bintang-bintang di ekuator; Sirius, Rigel, Betelgeuse, tetapi komandan muncul dari arah selatan, mungkin sedang beroperasi, dan tiba-tiba marah-marah. Untuk apa tulis surat cinta, katanya. Aku hanya singgah, sama sekali tidak boleh mengikatkan diri pada apapun, tidak boleh jatuh cinta pada apapun, pada siapapun, ucapnya lagi. Aku diam. Aku tidak sedang jatuh cinta, sanggahku. Tetapi komandan tidak bisa dibohongi. Aku tersentil begitu komandan berkata, "Jangan cintai apapun, jangan kagumi apapun, akan terasa sulit untuk pergi di kemudian hari."
Mataku pedih, entah karena apa. Tak bisa membalas kata-kata komandan, aku menunduk, ia berkata lagi, "tetapi jika telah kautemukan alasan kuat untuk tinggal suatu hari nanti, lupakan kata-kataku sebelumnya."
"Apakah tidak mencintai apapun terasa begitu berat? Bukankah hal itu bahkan sangat ringan?"
Aku tidak menatapnya, tetapi aku tahu komandan telah pergi tanpa menunggu jawabanku. Aku tak ingin menjawab, aku tidak tahu apa jawabannya. Tapi aku tahu aku harus berhenti menulis surat cinta.
Beberapa detik aku memejamkan mata.
Lalu aku terbangun di atas tempat tidur dengan kedua kelopak mata memerah.
... dari dalam gelap.
Selamat tinggal yang terlalu pagi.
February 04, 2014
#4 Darurat
Surat keempat.
Aku tidak peduli apa tema yang ditentukan hari ini. Aku bahkan tidak peduli ini surat cinta atau bukan. Aku hanya ingin bicara. Aku tidak mau tahu. Surat ini untuk bintang-bintang di ekuator yang saat ini masih bersembunyi. Singkirkan mendung malam ini, tolong, sudah berapa malam aku di kota ini dan tak satu cerahpun kujumpai. Aku mohon, penghuni ekuator, munculah malam ini, aku ingin bercerita banyak sekali. Aku belum pernah segelisah ini. Segeralah muncul, aku harus tidur dengan tenang tanpa badai di dalam kepala. Sungguh, aku ingin bercerita banyak. Tidak perlu telinga, hanya hati, aku tidak akan bersuara sama sekali.
... cepat, aku tidak punya banyak waktu
30 Hari Menulis Surat Cinta
Aku tidak peduli apa tema yang ditentukan hari ini. Aku bahkan tidak peduli ini surat cinta atau bukan. Aku hanya ingin bicara. Aku tidak mau tahu. Surat ini untuk bintang-bintang di ekuator yang saat ini masih bersembunyi. Singkirkan mendung malam ini, tolong, sudah berapa malam aku di kota ini dan tak satu cerahpun kujumpai. Aku mohon, penghuni ekuator, munculah malam ini, aku ingin bercerita banyak sekali. Aku belum pernah segelisah ini. Segeralah muncul, aku harus tidur dengan tenang tanpa badai di dalam kepala. Sungguh, aku ingin bercerita banyak. Tidak perlu telinga, hanya hati, aku tidak akan bersuara sama sekali.
... cepat, aku tidak punya banyak waktu
30 Hari Menulis Surat Cinta
February 03, 2014
#3 Sepasang Mata
Surat ketiga.
Pukul sembilan malam. Di luar gelap, sangat sunyi, seperti Jogja tengah malam. Hari ini aku mulai merindukan kota itu dan rupa sudut-sudut jalan yang telah ratusan kali aku lewati, ramah, tidak pernah terasa asing. Hari ini aku mulai merindukan orang-orang di kota itu, termasuk keberadaan kamu di kota itu, yang di pertemuan terakhir kita hanya saling melaju berlawanan arah, bahkan kita berdua lupa untuk saling mengucapkan selamat jalan.
Malam ini aku bercermin. Bercermin sendirian, untuk pertama kalinya lebih dari dua menit, untuk pertama kalinya begitu lekat memandangi makhluk di seberang sana, untuk pertama kalinya menatap benar-benar sepasang mata milik sendiri. Bicara mengenai mata, aku lantas mengingat kamu, pemilik sepasang mata yang aku suka sebab serupa dengan milikku. Melihat matamu seperti melihat cermin, keduanya bercahaya saat beradu, seperti menemukan pasangannya. Saat kita bertemu pertama kali, siapa sangka matamu menjadi candu di kemudian hari.
Aku suka menatapnya secara sembunyi-sembunyi, meski pada akhirnya kamu mengedarkan pandangan sehingga mata kita beradu. Atau bahkan sesekali aku sengaja menatapnya begitu lekat, mencoba memanggil keduanya untuk berpaling ke arahku. Kemudian aku akan tertangkap basah, tetapi matamu sama sekali tak pernah menghakimi, keduanya tetap ramah, tetap membuatku ingin menatapnya lagi, tak ingin berhenti.
Surat ini tentu bukan untuk kamu, hanya untuk sepasang matamu, yang selalu membalas selamat pagiku dengan sangat baik, tidak seperti kamu, sama sekali tidak. Surat ini tentu bukan mengenai kamu, hanya sepasang mata milikmu. Surat untukmu akan kutulis di kemudian hari, ketika aku mulai tidak tersenyum lagi saat kamu mendekat, memanggilku seenakmu sembari memukul lenganku dengan sangat keras tanpa alasan, atau ketika aku tidak peduli lagi kamu akan muncul atau tidak, ketika aku menyerah dan melupakan, saat akan kutulis surat hanya untukmu, beserta sepasang matamu. Setidaknya untuk mengucapkan perpisahan.
Entahlah, tentang bagaimana dan mengapa kita dipertemukan aku tidak peduli, aku hanya bersyukur hal itu pernah terjadi. Suatu hari akan kutemukan alasan mengapa mata kita serupa, semoga saja mereka sengaja diciptakan untuk saling menemukan.
... dari depan cermin
30 Hari Menulis Surat Cinta
February 02, 2014
#2 Anak Pertama
Surat cinta kedua.
Untuk anak pertama, Keencur, yang mulai menjejakkan kakinya di usia delapan belas tepat kemarin.
Masih ingat pertemuan pertama kita setelah sekian lama tidak saling menyapa selepas SMP? Kamu satu tahun di bawahku, mengkerut malu-malu pada awalnya, lalu kembali akrab saat saling mengetahui klub bola favorit kita sama. Kamu orang aneh, tercetus entah dari mana pada akhirnya kamu panggil aku "mbadek", sebuah kata milikmu sendiri, gabungan antara "mbak" dan "dek", mewakili penghormatan atas lebih seniornya aku, tetapi juga mewakili kenyataan bahwa usiamu sendiri dua bulan lebih tua daripada aku. Keakraban yang tidak biasa, yang lama kelamaan membuatmu memanggilku "iyung" sebutan super manis untuk seorang Ibu, katanya. Kita berbagi kisah tentang cinta masing-masing, bukan? Bagaimana kita sama-sama berjuang mempertahankan walaupun pada akhirnya akan sama-sama melepas. Kita saling belajar dari diri masing-masing, dari kisah masing-masing, menertawakan kesedihan, lalu melupakan luka dengan tertawa sampai lelah, bercerita hal-hal bodoh hingga bosan dan mengantuk.
Terima kasih telah menganggapku ibu, meski dengan ayah yang entah siapa, entah di mana, setidaknya aku bisa merasakan betapa bahagianya memiliki seseorang yang memanggilku demikian istimewa. Semoga kita bertemu di kampusku saat ini, kampus kita suatu hari nanti.
Cepat besar, cepat bersinar, besok kita masih harus menjajah Bali bertiga Meta.
... dari kolong tempat tidur
30 Hari Menulis Surat Cinta.
February 01, 2014
#1 Februari yang Benderang, Merah Jambu, dan Merona
Surat cinta pertama.
Akhirnya terlempar juga aku ke bulan Februari yang benderang, yang merah jambu dan merona-rona, dua ribu empat belas, di mana hujan pada akhirnya juga akan menemukan alasan untuk pergi. Lelah, mungkin ia lelah, ia lelah turun dan memupuskan cerah. Hujan turun begitu lama seminggu yang lalu. Tetapi itu hujan terbaik yang pernah aku cicipi. Meski dingin, meski beku, meski mati rasa kemudian menggerayangi. Ada setitik cahaya yang kemudian mencerahkan, mengantarkan setitik alasan untuk kaki ini agar terus bertahan, tak berpaling.
Februari, roda-roda kegelisahan dan keraguan akan mulai berputar lagi. Minggu-minggu yang semakin sibuk, hingga lupa caranya bersantai, lupa caranya tidur siang, lupa rasanya sebatang cokelat yang dikombinasikan dengan tumpukan novel ringan. Tak ada yang bisa menjelaskan mengapa kabut masih bertahan menggantung di atas kepala meski musim panas akan segera mengetuk pintu. Kabut itu belum bisa pergi, ia masih mencari-cari alasan, ia masih mencari-cari cahayanya, yang kemudian akan mencairkannya dalam hangat.
Februari, jalanan akan kembali kering tanpa kilau keperakan dari aspal basah yang dijatuhi sinar matahari setelah hujan. Tak ada lagi bau jalanan yang tersapu gerimis, hanya ada bau kemarau, hanya ada bau hangus, entah dari mana, mungkin dari dalam sana, jauh di lorong-lorong gelap dalam kepala. Petualangan akan dimulai lagi, lembara buku sketsa akan terisi lagi, Yogyakarta siap dijelajahi bersama mereka yang kupanggil teman.
Teman. Menemukan kepingan-kepingan lagi di kota ini. Apa mereka adalah alasan yang aku cari? Mereka adalah musik dan earphone, membuatku tidak mengecap kata "sendiri" dalam pahit, meramaikan, setidaknya menjadikan kesendirian itu lebih nyaman. Teman-teman gila yang mulutnya babi tetapi tidak pernah melukai. Teman yang tidak pernah berhenti saling tertawa dan menertawai, meskipun sama-sama merasa hidup ini sulit sekali. Teman yang saling mendengarkan, seperti sepasang telinga yang tidak pernah tuli. Terus memberi semangat dan berdoa untuk senyum masing-masing.
Adakah alasan itu datang di dua puluh delapan harimu? Adakah alasan tersebut bernama teman? Sesungguhnya apa lagi yang aku cari, Februari. Surat pertama ini kuteguhkan memang untukmu, lantas kukirimkan dengan sebuah saja permintaan.
Februari, tolong buat aku bertahan. Terima kasih.
... dari dekat jendela kamar
30 Hari Menulis Surat Cinta.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)