December 04, 2012

Pattaya

...





-1-
I’m beautiful in my way
‘Cause God makes no mistakes
I’m on the right track, baby
I was born this way
Ia belum bisa memejamkan matanya meski ia tahu, sekarang sudah hampir pagi. Entah mengapa saat ini ia hanya ingin berlama-lama menatap bayangannya di dalam cermin, menekuni tiap jengkal tubuhnya yang terlihat begitu normal.
Ia normal, setidaknya itu yang terlihat dari luar. Sementara jauh di dalam lubuk hatinya, ada satu keinginan untuk berontak. Ia merasa jiwanya terpenjara dalam tubuh yang salah, jauh dari yang ia inginkan. Ia mencari-cari dirinya yang sebenarnya, entah dimana. Ia rasa tak ada di dalam cermin, itu hanya sesosok tubuh yang berpura-pura.
Ia sering mendapatkan banyak umpatan dan cacian setiap hari, hingga ia mulai masa bodoh dan tak lagi mau peduli. Mereka menganggapnya sampah yang najis dan menjijikkan. Sudah sejak lama, sejak ia mulai menyadari bahwa ada yang berbeda darinya dan mencoba menunjukkannya pada dunia. Tapi mengapa mereka membenci orang-orang sepertinya? Ia tak mengerti bagian mana dari dirinya yang salah. Ia merasa baik-baik saja.
Ruangan itu tiba-tiba senyap dan kosong. Alunan lagu yang sejak tadi ia putar mendadak raib secara ajaib. Cermin besar di hadapannya kini hanya menyisakan kesunyian yang tak terperi.
“Banci!”
Suara itu tiba-tiba muncul dari belakang tubuhnya. Ketika ia menengok ke belakang, gerombolan teman lelaki sebayanya telah berdiri persis di depannya. Mereka semua mengenakan pakaian seragam putih-merah. Begitu pula dirinya. Salah satu di antaranya bertubuh besar, dan bocah itulah yang paling sering mengganggunya sampai ia menangis. Cacian ‘banci’ yang bocah itu lontarkan terkadang membuatnya malu, terutama dengan anak-anak lain yang tertawa kecil melihatnya dihina.
Ia memang tak suka berteman dengan sesama jenisnya. Ia tak menyukai kekasaran dan kebrutalan anak laki-laki yang membuatnya tak nyaman. Ia lebih senang duduk-duduk bersama anak perempuan di satu sudut kantin, sembari bergosip tentang anak paling tampan di sekolah.
Ray tersentak. Bayang-bayang masa lalu itu datang lagi, bahkan semakin sering belakangan ini. Ia benar-benar merindukan masa-masa itu, saat ia benar-benar bebas melangkah menuju pilihan hatinya. Ia menyadari bahwa dirinya berbeda, namun ia juga menyadari banyak orang yang bernasib sama sepertinya, yang dapat ia jadikan sumber rasa bahagia.
Sepertinya ia harus segera meninggalkan apartemen rahasianya ini. Ada satu tempat yang harus ia kunjungi malam ini demi melepas kerinduan yang telah lama berdiam dalam dada. Ia lantas menarik napas dalam-dalam, memantapkan hatinya untuk kembali ke masa lalu. Sebuah seringai terlukis samar di wajahnya, sebelum akhirnya ia memacu mobil itu menuju satu tempat;

Mengeja Bintang-Bintang



 

Gayatri, ketika suatu hari kudengar berita tentang sebuah kampung yang tersapu gelombang, aku terkenang padamu. Tentang kisah masa kecil kita di pesisir. Tahun-tahun berlalu sangat cepat sejak aku pergi melanjutkan sekolah di kota. Kini tiba saatnya aku kembali, menemuimu yang sejak lama kurindukan. Masihkah kau seperti dulu?
Kutengok rumahmu, tampak masih sama seperti saat terakhir kali aku melihatnya, sangat sederhana. Rumahmu menghadap lautan, berdinding kayu berwarna putih kusam. Sebatang pohon waru berbunga kuning cerah dengan batang yang bengkok tumbuh di halamannya. Kau tinggal bersama ayahmu, seorang nelayan tua bertubuh tinggi dan kurus. Ibumu meninggal saat kau kecil.
Wajahmu begitu manis. Rambutmu yang panjang hitam selalu nampak tergerai-gerai tertiup angin sejuk dari laut. Gigimu putih bersih, membuat senyummu kian menawan. Aku sadar kau memang elok nian.
Aku selalu ingat bagaimana saat kita bermain setiap sore di bawah pohon waru berbatang bengkok yang berbunga kuning cerah. Ayahmu sedang melaut waktu itu. Kau memintaku berbaring di atas tanah dan dengan cepat kau menimbun tubuhku dengan pasir pantai. Saat itu kau selalu tertawa sambil berkali-kali menyibakkan ujung-ujung rambut di dahimu. Walaupun kesal aku tak pernah berontak, sebab aku senang melihatmu tertawa.
Setelah puas tertawa kau kemudian memutuskan untuk duduk di samping tempatku terbaring. Kau menimbun kakimu sendiri dengan butir-butir pasir. Agar impas, katamu.
Sore kian pudar seiring bergeraknya matahari mendekati horizon di ufuk barat. Namun tampaknya kau belum mau beranjak. Kau selalu bilang padaku bahwa kau ingin melihat senja yang berwarna ungu. Padahal saat itu telah berpuluh kali kita berdua duduk bersama menanti senja yang katamu berwarna ungu lembut. Aku sampai bosan memberitahumu bahwa senja selalu berwarna jingga. Berharap kan tidak ada salahnya, katamu kala itu.
Aku hampir tak percaya bahwa sore itu begitu istimewa. Senja benar-benar berwarna ungu. Kau tertawa kegirangan dan menarik kedua tanganku. Kau mengajakku berdiri lalu menari dengan menggenggam kesepuluh jariku. Sungguh baru kali ini aku melihatmu begitu bahagia.
“Kau tahu mengapa aku sangat gembira, Bayu?”
Aku menggeleng. “Memangnya kenapa?”
“Karena sore ini begitu istimewa.” Ucapmu pelan sambil tersenyum.

Elegi Kota Senja





Ada sebuah kisah yang tertulis dan tak akan pernah terlupakan dari kota senja. Kisah yang akan dikenang dan diceritakan turun-temurun oleh dan kepada mereka, orang-orang yang tinggal dan berlalu-lalang di kota senja. Kisah yang begitu sederhana tentang perjalanan dan penantian. Kisah sederhana tentang aku, tentang kau, dan tentang dia.
*
Aku.
Aku akan selamanya ada di sini, sudut kota. Aku masih senang berada di tempat ini, tempatmu biasa menghabiskan senjamu dalam diam yang sendu. Aku masih senang berdiam di tempat ini, menikmati bening wajahmu tanpa jeda. Andai aku bisa mengatakannya, aku akan memaksamu mengerti bahwa kau adalah candu yang tiada tara.
Aku telah lama mengenal tempat ini, lebih dari kau. Aku telah bertemu begitu banyak orang dan mengerti seperti apa diri mereka. Aku pernah merasakan bahagia dan kecewa karena mereka. Kesepian ada dalam tiap hembusan napasku, sebab meski aku selalu diam di tempat yang sama sepanjang hari, orang-orang itu menganggapku tak kasat mata.
Namun kau membawa cerita yang berbeda. Kau selalu datang menjelang senja untuk duduk di sebuah bangku kayu sederhana itu, yang letaknya tak jauh dariku. Kadang kau tersenyum lalu duduk di sana sambil menikmati senja. Lantas memaksaku mendengarkan kisah yang kau bawa; tentang pantai berpasir putih yang baru saja kau kunjungi, atau tentang sebuah rumah kerang yang dibawa lidah ombak hingga terdampar di tepi basah pasir dan kau bawa pulang.
.
*
Kau.
Aku mengenalmu baik. Aku mengenal detail tubuhmu dan hal-hal yang kau suka. Wajahmu teduh dan menenangkan, seperti aroma yang menguar dari padang rumput saat gerimis. Bibirmu merah muda, melengkung sempurna begitu memesona.
Kupandangi rambutmu yang hitam dan panjang kini tergerai pasrah. Ujung terusan yang kau kenakan melambai-lambai tertiup angin yang berhembus dari ujung jalan. Senja itu kau datang dari arah selatan, dari arah pantai dengan membawa beberapa cangkang kerang berukuran kecil. Kau meletakkannya di atas bangku kayu itu sebelum akhirnya tersenyum menyapaku.
Aku tak lagi bisa mengingat kapan pertama kali kau datang, mengubah senjaku yang dulu sarat kesunyian menjadi penuh ketenteraman.
Aku mengenalmu baik. Kau ternyata menyukai senja dan pantai. Namun kau lebih suka menghabiskan waktu senjamu di bangku kayu sederhana ini. Dalam diam, bersamaku.
*

Dalam Sebaris Doa




Juli 2010
Aku nyaris lupa bagaimana rupa langit negeriku yang penuh cahaya. Aku merindukannya, karena di negeri bernama Palestina, setiap kali aku menengadah berharap melihat langit biru, aku kecewa karena langit ternyata masih terkekang kelabu. Sudah lebih dari satu tahun, setiap aku membuka mata, hanya ada duka yang menggantung jauh di angkasa.
Aku pun sangat mengerti bagaimana setiap pagi orang-orang selalu terbangun oleh dentum peluru dan kendaraan perang yang beradu. Mereka tak pernah lagi menangis, namun aku tahu, diam-diam mereka menyembunyikan hati yang teriris.
Dan di tanah ini aku menyadari, betapa hatiku selalu ingin menjerit.
Ada sebuah camp pengungsi di Gaza bagian selatan, tepat di pinggir kota kecil Rafah. Aku tinggal di sana, bersama orang-orang berhati baja yang memilih terus bertahan di sepanjang tahun yang muram. Setiap pagi sebelum matahari naik terlalu tinggi, aku selalu menyempatkan diri berdiri menghadap ke arah timur dan melantunkan doa agar negeri ini segera mengecap kata merdeka. Bukan tanpa alasan, semua yang kulakukan selalu memiliki alasan.
Kutekuni tiap jengkal tanah kering ini, serta jalanan berdebu dan gersang sepanjang mata memandang. Semua masih saja setia menjadi saksi pertaruhan harga diri berujung mati.
Aku menarik napas perlahan. Sama sekali belum ada aroma kebebasan yang membuatku tenang.
“Sarah...”
Aku menoleh, laki-laki dengan postur tubuh tinggi besar terlihat menghampiriku dengan membawa dua buah cangkir, asap tipis tampak mengepul di atasnya.
“Sudah baikan?” tanyaku begitu menyadari siapa yang datang.
Dia tersenyum dan mengangguk pelan, mencoba membuatku percaya bahwa dia baik-baik saja. Ada beberapa bekas luka di lengan dan wajahnya, sudah agak tersamarkan memang, tapi aku tahu betapa menderitanya dia. Tentara Israel telah memukulinya.
“Teh?” tampak dia mengulurkan cangkir di tangan kanannya kepadaku. Aku tersenyum lalu menerima cangkir itu.
“Bagaimana keadaanmu, Moheeb?”
“Cukup baik.” gumamnya.
Moheeb Al-Barghouthi, dia sahabatku. Sama sepertiku, dia berprofesi sebagai juru foto. Dia bekerja untuk surat kabar resmi Otoritas Palestina “Al-Hayat Al-Jadida”, dan baru kemarin dia keluar dari satu rumah sakit di Ramallah setelah dianiaya oleh tentara Israel. Moheeb dituduh melanggar daerah militer yang tertutup. Kameranya dirusak dan beberapa peralatannya disita. Kini yang tersisa hanya bekas luka dan memar di sekujur tubuhnya.
Tapi dia masih bisa tersenyum. Dari sudut mataku, kuperhatikan dia yang mendekat, lalu ikut menyandarkan tubuhnya di pagar beton ini. Kami sama-sama menghadap ke arah timur. Kulihat dia meminum teh dari cangkir di tangannya sedikit demi sedikit. Terlihat jelas lehernya bergerak-gerak saat dia menelan cairan hangat itu.
Lalu dia menghela napas panjang.
“Kau masih sering berdoa seperti ini, ya?”
Aku tersenyum, mengangguk perlahan, lalu membuang muka. Aku memandang jauh ke depan, mencoba menerka-nerka berapa kali sudah aku melakukan hal ini. Berdoa saat pagi tiba, memohon kepada Tuhan agar negeri ini segera merdeka.
“Yah... Aku selalu berdoa.” lirihku.
Sambil tersenyum, kualihkan pandangan menuju cangkir di tangan. Ada asap tipis yang terus mengepul.
“Dan aku mungkin akan terus berdoa, Moheeb...”
Kusesap teh itu, kehangatannya seketika mengalir. Moheeb menerawang jauh entah memikirkan apa, sedang aku terus saja menikmati teh yang dia bawakan tadi.
“Sejak kapan? Sejak lima bulan lalu katamu?”
Aku menatapnya sebentar, lalu kutarik napas dalam-dalam. Entah mengapa dadaku terasa begitu sesak mengingat apa yang terjadi lima bulan lalu.
“Ya, sejak lima bulan lalu.”
“Sampai kapan?”

December 01, 2012

Oenyoe









Keterangan Gambar:

* Huruf TT mewakili sifat tinggi homozigot, Tt mewakili sifat tinggi heterozigot, dan tt mewakili sifat nggak-tinggi-tinggi amat homozigot. Sifat tinggi dominan terhadap sifat pendek.

* Huruf S mewakili sifat sipit.

* Huruf R mewakili sifat rajin.

* Huruf U mewakili sifat... uhuk... ehem... unyu.

* Bapak nggak unyu sama sekali, karena gen unyunya homozigot resesif.

* Biyung itu unyu banget. Anak-anaknya juga unyu banget. Ada unyu angkatan satu dan dua.

* Bapak nggak rajin. Kata Keencur.

* Biyung nggak tinggi. Ini fakta.

* Meta nggak sipit. Biar bisa jadi sipit kaya kita, ada cara jitu dari Keluarga Oenyoe yaitu Rule of Oenyoe.

* Keencur nggak rajin, kaya Bapak juga.

* Bapak sipitnya keterlaluan. Kenapa coba? Karena matanya abis kejatuhan bintang.




NOTE:


Rule of Oenyoe

1. Sering-seringlah tersenyum, lalu tertawa. Tertawa harus kudu wajib telak.
2. Tidurlah sekitar pukul delapan malam dan bangun dinihari tanpa tidur lagi sampai Subuh.
3. Beranikan diri tidur di kelas, dianjurkan berupa tidur mikro, mengalami mimpi (dianjurkan mimpi buruk), sampai akhirnya mengigau.