November 30, 2009

Keriput dan Sajak-Sajak Merdeka




Dalam hidupku, baru kali itu aku menyaksikannya, seorang lelaki tua yang telah memberiku sebuah dorongan. Dalam hukum Newton, dia memberiku sebuah aksi dan aku akan merefleksnya dengan sebuah reaksi. Aksi yang ditunjukkannya tak terbaca. Mungkin hanya aku yang bisa menangkapnya. Dia seakan berbicara padaku dalam keheningan. Hati, ke hati. Mungkin itu kata yang paling mengungkapkan kedekatan batin kami.

Saat itu aku berumur 17 tahun. Usia yang tak lagi ingin dikekang apalagi oleh orangtua. Usia untuk memulai pencarian jati diri dan usia di mana aku ingin terbang jauh dengan kebebasanku. Dan aku memilih terbang ke sebuah desa di kaki gunung. Aku memutuskan pindah ke sana dan menganggur satu tahun setelah lulus SMA. Baru aku akan merencanakan untuk kuliah.

Sekitar satu bulan setelah kelulusanku dan dua minggu setelah kepindahanku, aku melewati rumahnya, lelaki tua yang sendirian. Aku melihatnya sepintas. Dia terlihat kuat. Di beranda rumahnya, aku melihat jelas gigi-gigi putih bersih di balik bibirnya yang terus tersenyum. Pipinya yang menunjukkan keriput yang semakin menumpuk terus saja ditariknya agar orang-orang menyangkanya sedang tersenyum. Memang, orang menganggapnya kakek periang dengan senyumnya. Kecuali aku. Di atas semua itu, aku menatap matanya. Mata yang selalu berkaca-kaca melihat bendera merah putih yang selalu saja berkibar di depan rumahnya. Awalnya aku meninggalkannya begitu saja. Aku berpikir seperti biasa, kakek tua yang sudah pelupa dan agak gila tersenyum melihat bendera. Namun aku menghapus semuanya. Langkah kakiku mengembalikanku ke tempat di mana aku berhenti tadi. Aku memandangnya, dia masih duduk dan tersenyum. Kali ini dia melihatku dan mendekatiku. Dia menarik lenganku lembut. Aku pun bertamu.

Hampir copot jantungku ketika kaki kananku menginjak lantai yang dingin di rumah lelaki tua itu. Terlihat suasana yang membuatku bingung. Seluruh dindingnya dihiasi foto-foto tua yang terlihat rapuh. Pandanganku beralih ke potret lelaki di masa lalu sedang menimang sebuah senapan dengan telanjang dada. Foto hitam putih itu terpajang di sebuah meja bambu sederhana di dekat pintu masuk. Lelaki tua itu mengetahui gerak-gerikku. Dia memegang pundakku dan mengambilkan foto itu untukku. “Ini kakek ketika Jepang masih genayangan di Indonesia,” katanya dengan suara bergetar, khas orang yang lanjut usianya. “Ayo, duduk,”

Dia mengajakku duduk di sebuah kursi rotan di dalam rumah. “Itu semua kakek dan rekan-rekan kakek, mereka semua sudah terbang bersamaandengan peluru senapan lawan. Kita tak mau buang peluru buat orang Jepang itu. Dari sepuluh orang di situ,...” dia menunjuk sebuah foto dengan sepuluh orang laki-laki dengan wajah kotor dan tanpa senyum. Mereka semua tak berpakaian. Hanya celana yang melekat di pakaian mereka. Bahkan mereka tak mengenakan alas kaki. “..., Cuma kaek yang tersisa,” aku tertegun. Dialah yang ikut berjuang menegakkan Merah-Putih. Tanpa baju dan alas kaki. Tanpa makan dan ... tanpa senyuman. Itu yang membuatnya tersenyum memandangi bendera. Itu hasil tetesan darah dan keringatnya serta teman-temannya. Tuhan sangat adil, masih membiarkan manusia sehebat lelaki tua itu dengan senyumnya yang tek henti-hentinya dia pamerkan. Tentu saja atas bendera kecil di depan rumahnya.

Aku sempat mengobrol kecil dengannya. Aku juga menanyakan namanya, namun perlu beberapa menit untuk menunggunya menjawab. Ketika kutanya umurnya saja, dia hampir pusing sendiri. Tapi untunglah, aku dapat mengetahuinya setelah dia berpikir keras. Namanya Wirya, umurnya 89 tahun, aku memanggilnya Bung Wirya. Namun dia menolaknya tegas. “Bung, hanya untuk orang yang punya nama besar untuk bangsa, Negara dan rakyat. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo. Tak ada Bung Wirya dalam daftar Bung se-Indonesia. Panggil aku Mbah saja,” katanya merendah. Namun dalam hati aku tetap memanggilnya Bung Wirnya. Namanya memang tak sebesar Bung-Bung lain. Namun namanya terukir jelas dalam ukiran angin kemerdekaan.

Beberapa kali aku sempat terharu melihatnya menyanyikan lagu Indonesia raya asli dan penuh. Tak sedikitpun dia lupa liriknya. Banyak sekali bait-bait yang tak kuketahui namun dia menghafalnya. Aku tersenyum. Setelah sore mengingatkanku untuk pulang, aku berpamitan. Lalu aku berjalan pulang melewati jalan berbatu dan terus memikirkan kata-kata terakhirnya.

“Kakek dan rekan-rekan perjuangan tak mau apapun dari pemerintah. Cukup keriput ini menemani kakek dengan sajak-sajak kemerdekaan diteriakkan setiap tanggal 17”.