November 30, 2009
Semangat Layang-Layang
Impian ibarat sebuah layang-layang yang dihempas angin dan terbang menjauhiku, ketika aku tahu ada sebuah titik yang tiba-tiba menjadi hal yang sama sekali tak kuinginkan ada di tubuhku. Tepat di antara otak kecil dan sumsum tulang belakang yang secara biologi disebut batang otak. Layang-layang itu kurasa menjauhiku dan tetap menjauh tanpa menengok ke belakang, ke arahku. Aku mungkin kehilangan arah ketika aku berada dalam masa-masa beberapa waktu lalu, di mana aku menyimpan sebuah keputus asaan yang mendalam dan keesokan harinya kudapati diriku kembali memiliki sebuah semangat menggebu-gebu.
Aku kembali dalam hari-hari menegangkan yang tak mungkin aku lupakan, sungguh tak mungkin. Ketika aku berjuang, dan kurasa berjuang untukku adalah berjuang demi perjuangan-perjuangan lain dari ayahku, ibuku, kawan-kawanku, dan saudara nun di luar kota. Aku hanya berjuang untuk tetap menarik nafas dan membuangnya dan menariknya lagi, begitu seterusnya yang terjadi di ruang operasi. Jauh sebelum saat itu, aku meraung-raung tak keruan di sebuah sudut kamar di rumah kakekku yang telah dipanggil Tuhan sebelum aku datang.
“Allaaaaaahhhuuu Akbbbaaaaarrrr, ayyyaaaaahhh, bbuunnnnndddaa…” aku menyebut semua yang bias kusebut, Tuhan, ayah, bunda, dan semuanya. Aku mungkin cengeng. Aku baru menginjak kelas lima SD waktu itu. Sebagai anak laki-laki sepuluh tahun, aku belum mengenal sebuah penyakit penuh misteri, yang hampir membunuh semangat hidupku ketika aku pertama kali mendengarnya.
“Ya Allah, Dan. Sakit lagi, ya? Astaghfirullahal’adziim…” bunda di sebelahku mengusap keningku yang dari tadi tertutup rambutku yang tak terlalu tebal. Bunda mengompres kepalaku dan memegang tanganku. Bunda saat itu tak tahu aku sakit apa, apalagi aku yang belum mengenal isi dunia ini dari sudut manapun. Yang diketahuinya adalah efek operasi usus buntuku satu bulan lalu. Sangat disayangkan, aku yang baru sepuluh tahun itu telah mengkonsumsi banyak jenis obat-obatan rumah sakit yang entah apa saja bahan-bahan di baliknya. Aku kembali memegangi kepalaku dan meraung-raung menyebut asma Tuhan. Tubuhku yang ditutup selimut mulai menggeliat-geliat mirip cacing yang ditarik keluar tanah menuju sengatan iblis matahari.
Ada raut kekhawatiran melintas di wajah bening bunda. Sesuatu yang rasanya tak ingin kulihat seumur hidupku. Aku tak ingin bunda bersedih dan menitikkan air mata di sudut kedua matanya. Dan, kuputuskan untuk menahan sakit luar biasa di kepala bagian belakangku dan kuatur nafasku untuk menenangkan diriku sendiri agar tak lagi berteriak kesakitan. Kumasukkan tubuhku ke dalam selimut dan kugigit ujung lengan bajuku untuk mencegah teriakan atau raunganku mengantisipasi rasa sakit yang benar-benar tak tertahankan, demi menahan pula air mata bunda.
“Dani, udah hampir seminggu… Besok bunda bawa kamu ke rumah sakit, ya?” bunda menghela nafas tanpa merasa bosan dengan rasa sakitku yang hampir setiap hari menyerang secara tiba-tiba. Sejak ayah, bunda dan aku mudik ke rumah kakek, aku kerap merasa sakit di bagian belakang kepalaku. Padahal dalam perjalanan Jakarta-Purwokerto, aku sama sekali tak merasa sakit di kepala atau bagian tubuh manapun. Ketika mudik di pertengahan September 2009 lalu, di dalam mobil, aku masih bisa bersenang-senang, bercanda, dan melakukan hal-hal tanpa kendala walaupun aku tahu, sebuah operasi usus buntu sebula lalu dapat menyebabkan suatu hal yang biasa terjadi pasca operasi. Namun, aku hanya tahu, bahwa esok hari adalah hari penentuan, apa aku hanya mengalami efek lanjutan operasi, atau sakit biasa dengan gejala sakit kepala, atau, aku menderita penyakit lain yang sama sekali tak kuketahui…
***
Aku memasuki mobil ayahku yang terparkir di depan rumah kakek. Nenekku yang tengah duduk di beranda seketika bangkit dan tersenyum padaku. Lalu bunda masuk dan duduk di sebelah ayah yang akan membawa mobil ini. Aku duduk di jok belakang sendirian, tanpa rasa sakit misterius lagi, tanpa selimut, namun dengan senyum terkembang di bibirku.
“Bunda, kira-kira aku sakit apa, ya?” tanyaku penasaran dengan bangkit dari posisiku duduk dan menghampiri bahu bunda yang bersandar.
“Ngga tau, Dan. Nanti kita Tanya dokter aja…” kata bunda sambil mengacak-acak rambutku. Aku duduk kembali dan menikmati perjalanan yang cukup jauh melewati persawahan, rumah-rumah, dan perkebunan yang membentang sejau mata memandang. Setengah jam kemudian, mobil ayahku sampai di sebuah rumah sakit besar. Aku membaca tulisan besar yang terbentang – tak salah ayahku mengatakan bahwa aku anak yang selalu ingin tahu – dan bunda menghentikan usahaku untuk tahu di mana aku ini.
“Dan, turun, yuk!” ajak bunda. Aku tak menolak, dan aku belum tahu di mana aku.
“Bunda, kita di mana?” tanyaku.
“Rumah sakit, sayang,” kata bunda. “Rumah sakit Margono…” lanjut bunda menjawab pertanyaanku tentang keberadaanku.
Aku mengikuti langkah bunda dan ayah. Lalu tak lama kemudian, aku dibawa ke sebuah ruangan dengan dokter yang sedang menulis entah apa di sebuah meja. Aku diperiksa. Detak jantung, tekanan darah, dan hal-hal lain yang biasanya dokter lakukan pada pasiennya. Lalu sekian kali dokter itu bertanya mengenai keluhanku dan sekian kali pula aku menjawab sakit di kepalaku. Lalu ada sedikit obrolan ringan antara aku dan dokter itu. Setelah lama mengobrol, aku dan bunda keluar ruangan, sedangkan ayah masih di dalam dan terlibat sebuah perbincangan serius.
Aku melamun. Aku tengah menerka-nerka tentang sesuatu yang tengah ada di kepalaku, tepat di bagian belakang. Apa tikus? Sungguh tak logis. Dari mana tikus itu masuk? Apa dia masuk selagi aku tidur dan apakah mulutku muat untuk menjadi jalan masuk seekor tikus? Kecoa? Lebih tak logis. Lalu apa? Apa yang tersembunyi di balik kulit kepala dan rambut tebalku ini? Otak? Tentu, apa yang terjadi dengan otakku? Aku sungguh tak dapat berpikir lagi. Pikiranku yang masih muda tak menjangkau apa sebenarnya hal yang telah menimpaku sehingga rasa sakit itu selalu menyerang tanpa dapat kukendalikan…
***
Beberapa menit kemudian, ayah keluar tanpa mengatakan apapun padaku. Ayah diam penuh arti. Ayah diam bisa berarti merahasiakan sesuatu hal, mungkin penyakitku, padaku. Ayah diam bisa berarti tak tega mengatakan hal itu padaku. Atau, mungkin ayah diam karena memang tak terjadi sesuatu padaku… Aku tak berkata apapun juga. Biarlah di rumah nenek ayah menjelaskannya padaku.
Setibanya di rumah, aku berbaring di tempat tidur. Aku memikirkan sebuah jawaban atas diamnya ayah. Apa penyakitku parah? Apa aku akan mati? Apa aku hanya sakit kepala biasa? Apa ini hanya efek operasi usus buntu sebulan lalu? Ahh…
Tiba-tiba, sebuah rasa nyeri datang sedikit-sedikit dari kepala bagian belakangku. Lalu menjalar semakin lebar dan semakin sakit. Aku menahannya. Namun semakin kuat aku menahannya, aku semakin kesakitan. Sakit, benar-benar sakit tak tertahankan. Kupejamkan mataku kuat-kuat berharap rasa sakit itu hilang perlahan. NAmun itu semakin sakit.. Aku menggigit bibirku, lalu bajuku. Ahh, benar-benar sakit. Aku tak tahan lagi…
“Aaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrggggggghhhhhhh, bunda, tolong….” aku berteriak sekencang-kencangnya memanggil bunda dengan seluruh kekuatanku.
***
Seminggu lebih di rumah kakek, bunda dan ayah membawaku kembali ke Jakarta, pulang ke Sunter. Dan ayah sampai saat ini belum memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun mungkin ayah sudah gerah dengan teriakanku tiap hari.
Dan belakangan, aku tahu, sebuah dugaan dokter di Purwokerto telah membayangi ayah sampai ke rumah. Sebuah dugaan yang dipercayai begitu saja oleh ayah tanpa berpikir – itu karena dokter adalah orang yang dirasa lebih pintar dari ayah – atau mengkonfirmasi. Dugaan yang membuatku bingung ingin terkejut, kaget, sedih, putus asa, menerima, senang, bahagia atau menangis keras-keras ketika ayah bercerita. Dugaan yang pasti akan membuat semua orang ketakutan bahkan bunuh diri… Kanker… Itu hanya dugaan.
“Ada bulatan berisi cairan yang menyumbat batang otak kamu. Dokter menduga itu kanker. Tapi, Dan, itu mungkin juga bukan kanker, karena sel-sel kanker tumbuh setelah lima belas sampai dua puluh lima tahun. Sedangkan kamu masih sepuluh tahun, jadi, jangan mikir macem-macem ya…” aku ingat jelas kata-kata ayah yang terbata-bata ketika menjelaskan hal itu padaku. Sungguh aku tak percaya… Kanker?
***
27 September 2009, rambutku telah dicukur botak sekitar pukul setengah satu lalu. Sekarang, pukul tiga sore, aku bersiap memasuki ruang operasi yang akan ikut andil dalam menentukan jalan hidupku esok dan seterusnya, di samping doa-doa seluruh sanak saudara dan keluargaku, terutama ayah dan bunda. Setengah jam lagi, aku masuk ke dalam ruang operasi dan semua yang ada dalam jalur-jalur aliran darahku berhenti, serta tinggal menunggu bendera kuning di depan rumahku, jika operasi ini gagal. Namun, ayah mengajariku tentang optimisme sejak kecil dulu. Aku harus optimis, apapun yang terjadi. Aku telah siap, menghadap mentari esok hari, atau menghadap tuhan seketika di meja operasi nanti… Tuhan, terserah Kau memanggilku atau tidak. Tapi, jangan biarkan bunda menangis…
Aku memasuki pintu itu, ruang operasi. Tak tahu yang dokter dan ahli bedah itu lakukan. Menyayat kulit kepala botakku, memilah-milah banyak benda di kepalaku, lalu menahan darah yang mengalir dari kepalaku, dan mencari sesuatu yang bernama batang otak lalu mengeluarkan benda lain yang selama ini telah membuatku kesakitan, atau hal lainnya, aku tak tahu. Yang jelas tersirat di pikiranku, mereka akan berupaya menolongku dari taring kematian yang menyakitkan.
***
28 September 2009, pukul setengah empat pagi, aku keluar dari ruang operasi. Sejauh ini, aku baik-baik saja. Terhitung duabelas jam aku berada di ruangan menakutkan itu. Tubuhku dibawa menuju ICU. Aku masih tak sadarkan diri. Tubuhku terbaring lemah di atas ranjang. Lalu tepat pukul delapan malam, aku dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan. Ingin rasanya aku melihat bunda kala itu. Apa bunda menangis? Apa bunda tersenyum? Sungguh aku tak tahu…
Di ruang perawatan, aku mulai sadar dan masih tak keruan rasanya. Pikiranku terbang ke mana-mana. Beberapa jam kemudian, aku mulai bisa bericara sedikit-sedikit dan terbatas. Aku masih berbaring dengan tubuh yang tak bisa kugerakkan sama sekali.
4 Oktober 2009, aku mulai belajar duduk. Dan perkembangan berarti mulai kurasakan. Selang-selang yang menghubungkan tubuhku dengan alat-alat medis yang tak kuketahui fungsinya mulai dilepas. Aku mulai banyak makan. Ayahku bangga padaku. Bunda tak kalah senangnya sampai tersenyum lebar. Dokter yang selalu mengontrol perkembanganku terheran-heran.
“Dani memang anak yang hebat. Jarang sekali ada anak yang sekuat dan setabah itu setelah diduga menderita kanker. Dia punya semangat tinggi. Saya heran…” kata dokter sambil terus mengamatiku di atas ranjang.
Tiga hari sesudahnya, 7 Oktober 2009, ayah mengemasi pakaianku dan kami bersiap pulang karena aku telah diperbolehkan dirawat di rumah. Aku sangat senang. Namun beberapa pernyataan dokter membayangiku namun tanpa membunuh semangatku.
“Di kepala Dani dipasang selang untuk membuang kotoran-kotoran. Itu selang permanent…
“Itu dipasang untuk seumur hidup. Saya telah mengira-ngira panjang selang maksimal yang akan digunakan Dani jika tumbuh kelak…
“Untuk waktu yang lama, Dani harus menahan batuk untuk mencegah kontraksi di luka operasi atau selangnya.
“Jika selang bergeser sedikit saja, maka akan fatal sekali akibatnya…
“Obatnya juga harus dikonsumsi selama hidupnya…
Aku tak menyangka sebanyak itu beban yang akan kutanggung. Sebanyak itu hal yang harus kuemban selama hidupku… Aku hampir patah semangat. Aku hampir saja memutuskan untuk pasrah dan diam. Namun aku sadar, diam dan pasrah tak mungkin dapat membuatku sembuh begitu saja.
“Aku harus berusaha, berjuang, dan bersemangat. Aku harus sembuh total…” gumamku dalam hati. Tiga hari selanjutnya, aku diharuskan istirahat total. 11 Oktober, aku berlatih berjalan. Ayah selalu membantuku, menuntunku, lalu memapahku, dan memegangiku selama aku berusaha. Sekian kali aku jatuh, sekian kali aku bangkit, dan pasti sekian kali itu juga aku memuncakkan semangatku. Aku harus sembuh…
***
15 Oktober 2009, pertama kali aku datang lagi ke RSCM setelah operasi. Namun kali ini aku akan menjalani control dan terapi penyinaran radiasi. Dokter yang menanganiku kaget bukan kepalang ketika melihatku telah dapat berlari lincah tanpa hambatan.
“Tempo satu minggu, Dani sudah bisa lari?” Tanya dokter penuh semangat.
“Kemarin, Dani udah bisa jalan. Terus, waktu ada gemba, refleks dia lari ke luar rumah, dok!” kata bunda. Bunda benar, refleks. Tuhan memberi anugerah buat bunda, karena bunda tak pernah menangis lagi sejak aku menderita sakit.
“Jagoan!” kata dokter memujiku. Aku bukan jagoan. Aku hanya anak sepuluh tahun yang belum tahu apa-apa tentang penyakit mematikan namun telah masuk ruang operasi dua kali dalam jangka waktu dua bulan. Aku hanya anak sepuluh tahun yang belum mengenal dunia dan ingin sekali mengenalnya. Aku hanya anak sepuluh tahun yang belum tahu apa itu kanker, namun sudah pernah dibuat menyerah karenanya. Aku hanya anak kecil yang ingin mengejar laying-layang yang terhempas angina sore yang sekarang mulai menengok kembali ke arahku, dan menuntunku menuju cita-cita di masa depan dan menghadapi rencana serta rahasia Tuhan yang lain. Aku akan yakin, aku siap! Asal Tuhan menjaga air mata bunda tetap bersembunyi dengan damai di balik kedua mata indahnya…
Tia, 2 November 2009