Mengapa kereta api tidak berjalan
di jalan raya seperti mobil dan bus saja?
Aku masih belum bisa menjawabnya.
Kereta api, berjalan sesuai jalur,
berjalan tepat waktu, menunggu, ditunggu, didahulukan, begitu panjang. Kereta
api, memiliki jalannya sendiri, bukan jalan yang diganggu gugat, bukan jalan
yang bersimpang dan harus memilih, bukan jalan yang memiliki hambatan. Kereta
api tidak terhambat. Kereta api, begitu panjang, membawa beban yang tak biasa,
berjalan sendirian, tak pernah berdampingan. Kereta api, aku menyukai kereta
api.
Sejak pertama kali datang, aku mulai
menyukainya. Stasiun, tempat kereta datang, berhenti, pergi, lalu datang, lalu
pergi lagi. Tempat orang-orang menunggu, atau ditunggu, atau tiba, atau
berlalu, atau datang, atau pergi, seperti kereta, bersama kereta. Tempat orang
melihat lintasan kereta yang panjang, seolah tak berujung, walaupun memang
sesungguhnya tak berujung...
Aku suka duduk di sini, di satu
sudut stasiun, melihat orang berlalu lalang, berbicara mengenai masalahnya
masing-masing, mengobrol, membahas masalah kecil hingga masalah negeri ini,
mengeluhkan hidup yang semakin sulit, menghela napas, menatap rindu pada
sesuatu yang samar. Aku suka melihat mereka yang bergerombol dan bergumam, mengucapkan
selamat tinggal, atau memberikan ucapan selamat datang. Aku duduk, diam, dan
menatap, memperhatikan bagian kecil dari luasnya kehidupan yang terselip di
stasiun ini.
Aku melihat kereta, yang bahkan
selalu memberikans alam sebelum pergi, atau ketika datang. Kereta, yang terdiri
atas gerbong-gerbong dengan bangku-bangku sederhana, mencerminkan kehidupan negeri
ini yang sangat sederhana. Kereta, datang dan pergi, mematuhi waktunya,
berjalan sendiri untuk pergi, lalu kembali, tanpa ujung. Kubilang, jalannya
memang tanpa ujung.
Mengapa kereta api tidak berjalan
di jalan raya seperti mobil dan bus saja?
Karena kereta api memiliki
jalannya sendiri.
Dan aku masih ingin duduk di sini,
memandang kereta, di tempatku sendiri.