November 20, 2012
Jengkal
Yogyakarta terkadang tak sejauh yang kupikirkan, ia hanya terpisah beberapa jengkal saja. Segalanya terasa dekat. Segalanya terasa hangat. Meski masih sangat terbatas, setidaknya jarak ratusan kilometer telah terpangkas.
Aku benar-benar merindukan anak ini dan segala isi pikirannya.
Kapan pulang, huruf R? Tega sekali membiarkan kami menjadi SAU selama berbulan-bulan. Cepat pulang, aku ingin tahu kamu sudah setinggi apa sekarang.
November 17, 2012
Jatuh Cinta Saja
Jatuh cinta itu bahagia. Hanya jatuh cinta, tanpa keinginan untuk memiliki dan bersama. Aku lebih memilih jatuh cinta selamanya. Hanya jatuh cinta saja, tanpa memiliki. Sebab memiliki akan menemui titik yang disebut kehilangan. Aku tidak takut memiliki, aku hanya takut untuk kehilangan. Walaupun terkadang, kehilangan juga terjadi pada mereka yang bahkan tidak pernah memiliki. Maka aku lebih memilih jatuh cinta selamanya. Aku suka saat jatuh cinta, mencuri pandang, tersenyum, lalu merasakan letupan-letupan kecil dalam dada. Aku sebut itu rasa bahagia. Sangat sederhana.
Aku suka jatuh cinta. Jatuh cinta tidak pernah dilarang. Jatuh cinta selalu legal bagi siapapun, kepada siapapun. Jatuh cinta selalu manis. Siapa bilang jatuh cinta itu pahit? Mereka yang merasakan pahit adalah mereka yang jatuh cinta dan ingin memiliki, menggantung harapan, menginginkannya untuk terbang dan sampai. Lalu mereka tersadar bahwa harapan itu telah lama tergantung, tak ada yang menyentuhnya. Lantas mereka menelan kepahitan dari harapan tak tercapai itu. Mereka jatuh cinta dan ingin memiliki. Sedang aku jatuh cinta saja. Aku tidak mengusik siapapun. Aku diam, jatuh cinta sendirian, bahagia sendirian, dan aku yakin aku tidak akan menangis sebab aku hanya jatuh cinta. Tanpa ingin memiliki.
Cinta, jatuh cinta itu bahagia. Jatuh cinta saja. Maka hari ini aku putuskan bahwa aku ingin jatuh cinta. Kamu cukup membantu aku menemukan alasan lagi untuk bahagia karena jatuh cinta. Mereka bilang aku berpura-pura. Mereka bilang aku belum bisa berpindah hati. Lalu aku berpura-pura jatuh cinta. Mereka bilang aku berbohong pada diriku sendiri tentang perasaan yang entah apa bentuknya. Tapi aku tidak. Mungkin sedikit pura-pura. Tapi tidak. Baiklah, awalnya memang aku berpura-pura jatuh cinta agar dengan mudah dapat kulupakan masa lalu. Tapi... entahlah. Aku ingin terus jatuh cinta, dengan siapapun itu. Aku tidak tahu ini pura-pura atau nyata. Aku hanya ingin jatuh cinta. Dengan siapapun. Mungkin kamu.
Iya, kamu saja. Saat ini aku ingin jatuh cinta dengan kamu.
Kusimpan senyumku dan senyummu dalam satu bingkai.Tidak terpisah. Sebab yang kutahu keduanya sempat memiliki alasan masing-masing untuk terkembang.
November 15, 2012
Tak Terhingga
Jika kusebut dia sebagai sebuah dimensi, maka bisa kudapati bahwa ujung penjelasan tentangnya adalah tak terhingga.
...
Album foto ini sangat sederhana.
Dalam setiap potret, kulihat wajah-wajah yang begitu sederhana dan apa adanya. Aku melihat orang-orang yang dibesarkan dalam kesederhanaan namun penuh kekeluargaan. Lalu dalam selembar foto aku melihat seorang wanita. Aku seperti mengenalinya. Wanita yang tidak tersenyum namun cantik. Ekspresinya sederhana dan tak pernah berubah hingga sekarang. Bajunya sederhana. Raut wajahnya sederhana. Rambutnya sederhana. Dan tiba-tiba aku merasa menjadi diadalam potret itu. Aku tenggelam dalam sebuah foto yang kemudian menjelma buku cerita... Cerita tentang sesosok wanita.
Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Orang tuanya - seperti kebanyakan penduduk kampung - adalah seorang petani. Mereka memiliki sawah yang luas yang mereka jadikan sumber nafkah keluarga. Kutegaskan sekali lagi, keluarganya bukan merupakan kaum borjuis. Keluarganya benar-benar sederhana. Paling sederhana di antara mereka yang sederhana. Mungkin, sesederhana anyaman tikar pandan. Entahlah.
Dia menghabiskan masa kecilnya di sebuah kampung kecil di kaki gunung bersama saudara dan sahabat-sahabatnya. Selain bersekolah. hari-hari mereka dihabiskan untuk membantu orang tua dan bermain permainan khas anak-anak kampung. Sore harinya mereka akan beramai-ramai pergi ke sungai dan mandi di sebuah mata air yang sering mereka sebut "tuk". Airnya dingin seperti air kulkas, katanya. Tapi mereka tidak peduli. Anak laki-laki dan perempuan melepas pakaian lalu melompat dari pinggir tuk. Mereka menenggelamkan diri dalam air, bercanda, berenang, lalu melompat lagi. Aku seperti melihat mereka yang bahagia dengan cara yang sederhana.
Dia, wanita itu, adalah anak kedua dari enam bersaudara dan merupakan anak perempuan pertama di keluarga itu. Seperti pikiran orang kampung lain pada masa itu, ibunya berpikir bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Maka seperti anak-anak perempuan kampung lain pada masa itu, pendidikan formal wanita itu harus terhenti begitu dia mendapatkan Ijazah Sekolah Dasar.
Tapi dia tidak mau menjadi tidak berguna. Dia memilih untuk mengambil kursus menjahit di kota bersama beberapa temannya. Menurut cerita yang kudengar, setiap pagi dia harus berjalan dua sampai tiga kilometer untuk menemukan angkutan pedesaan yang akan dia naiki hingga batas kecamatan, dimana setelah itu dia harus menaiki satu lagi angkutan kota agar bisa sampai di tempat kursus. Sore harinya dia melakukan hal yang sama untuk pulang. Hal serupa dia lakukan bertahun-tahun kemudian, saat dia bekerja di sebuah pabrik konveksi yang terletak belasan kilometer dari rumahnya. Dia tidak mengeluh. Dia hanya menikmatinya, setiap aliran keringat di pelipisnya, atau basah pakaiannya ketika musim hujan datang, juga setiap gelas teh manis hangat yang diberikan pada pekerja pabrik saat pagi, setiap bungkus nasi pada jam makan siang, setiap rupiah yang datang dan pergi, setiap canda, setiap tawa, setiap kerja kerasnya...
Semuanya dia lakukan. Demi mempertahankan sebuah pekerjaan. Demi memiliki uang. Demi bisa membeli kebutuhannya tanpa harus meminta kepada ibunya.
***
Aku datang kembali ke kampung tempat Ibu dibesarkan.
...
Album foto ini sangat sederhana.
Dalam setiap potret, kulihat wajah-wajah yang begitu sederhana dan apa adanya. Aku melihat orang-orang yang dibesarkan dalam kesederhanaan namun penuh kekeluargaan. Lalu dalam selembar foto aku melihat seorang wanita. Aku seperti mengenalinya. Wanita yang tidak tersenyum namun cantik. Ekspresinya sederhana dan tak pernah berubah hingga sekarang. Bajunya sederhana. Raut wajahnya sederhana. Rambutnya sederhana. Dan tiba-tiba aku merasa menjadi diadalam potret itu. Aku tenggelam dalam sebuah foto yang kemudian menjelma buku cerita... Cerita tentang sesosok wanita.
Dia berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Orang tuanya - seperti kebanyakan penduduk kampung - adalah seorang petani. Mereka memiliki sawah yang luas yang mereka jadikan sumber nafkah keluarga. Kutegaskan sekali lagi, keluarganya bukan merupakan kaum borjuis. Keluarganya benar-benar sederhana. Paling sederhana di antara mereka yang sederhana. Mungkin, sesederhana anyaman tikar pandan. Entahlah.
Dia menghabiskan masa kecilnya di sebuah kampung kecil di kaki gunung bersama saudara dan sahabat-sahabatnya. Selain bersekolah. hari-hari mereka dihabiskan untuk membantu orang tua dan bermain permainan khas anak-anak kampung. Sore harinya mereka akan beramai-ramai pergi ke sungai dan mandi di sebuah mata air yang sering mereka sebut "tuk". Airnya dingin seperti air kulkas, katanya. Tapi mereka tidak peduli. Anak laki-laki dan perempuan melepas pakaian lalu melompat dari pinggir tuk. Mereka menenggelamkan diri dalam air, bercanda, berenang, lalu melompat lagi. Aku seperti melihat mereka yang bahagia dengan cara yang sederhana.
Dia, wanita itu, adalah anak kedua dari enam bersaudara dan merupakan anak perempuan pertama di keluarga itu. Seperti pikiran orang kampung lain pada masa itu, ibunya berpikir bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Maka seperti anak-anak perempuan kampung lain pada masa itu, pendidikan formal wanita itu harus terhenti begitu dia mendapatkan Ijazah Sekolah Dasar.
Tapi dia tidak mau menjadi tidak berguna. Dia memilih untuk mengambil kursus menjahit di kota bersama beberapa temannya. Menurut cerita yang kudengar, setiap pagi dia harus berjalan dua sampai tiga kilometer untuk menemukan angkutan pedesaan yang akan dia naiki hingga batas kecamatan, dimana setelah itu dia harus menaiki satu lagi angkutan kota agar bisa sampai di tempat kursus. Sore harinya dia melakukan hal yang sama untuk pulang. Hal serupa dia lakukan bertahun-tahun kemudian, saat dia bekerja di sebuah pabrik konveksi yang terletak belasan kilometer dari rumahnya. Dia tidak mengeluh. Dia hanya menikmatinya, setiap aliran keringat di pelipisnya, atau basah pakaiannya ketika musim hujan datang, juga setiap gelas teh manis hangat yang diberikan pada pekerja pabrik saat pagi, setiap bungkus nasi pada jam makan siang, setiap rupiah yang datang dan pergi, setiap canda, setiap tawa, setiap kerja kerasnya...
Semuanya dia lakukan. Demi mempertahankan sebuah pekerjaan. Demi memiliki uang. Demi bisa membeli kebutuhannya tanpa harus meminta kepada ibunya.
***
Aku datang kembali ke kampung tempat Ibu dibesarkan.
November 09, 2012
Secangkir Kopi
Semalam, saat Sirius baru saja terbit di horizon...
Di atas meja teronggok secangkir kopi yang setengah isi, atau setengah kosong. Entahlah. Ada bercak noda di pinggirannya karena aku meminumnya tergesa-gesa. Beberapa saat yang lalu aku berpikir bahwa kopi merupakan obat paling mujarab untuk hilang ingatan. Aku pikir setelah menelan kafein aku akan melupakan kamu. Sayangnya tidak. Cairan pahit manis itu justru memperjelas potret-potret yang seharusnya telah aku tinggalkan sejak lama. Di benakku muncul gambar kita yang memperdebatkan kopi dan kesehatan, gambar kita yang membahas kopi hingga larut malam, gambar aku minum kopi dan kamu mendengus kesal, gambar ketika kamu minum kopi dan aku tertawa, dan gambar kita saat berjanji untuk minum kopi bersama. Aku menggilai kopi dan kamu tidak suka kopi. Aku selalu minum kopi dan kamu selalu pasrah. Aku suka begadang dan kamu gemar tidur pukul delapan malam. Seperti bayi.
Bahkan aku mulai meninggalkan kopi diam-diam. Aku mendadak tidak suka kopi. Aku meninggalkan semua kebiasaan yang sering aku lakukan bersama kamu. Tapi ternyata semua hal yang aku lakukan selalu memiliki hubungan erat dengan kamu. Aku begitu ingin keluar dari kebiasaanku. Jika kamu benar-benar sedang berusaha melupakan aku, mengapa aku tidak? Jika kamu benar-benar ingin pergi dari rasa sayang yang pernah kamu punya untuk aku, mengapa aku tidak? Jika kamu berusaha sekuat tenaga untuk menjauhiku, meski berat, sampai kamu terseok, mengapa aku tidak?
Kita berakhir dengan cara yang menyedihkan. Tak ada yang menginginkan, tidak aku maupun kamu. Keadaan itu memaksa kita untuk selesai. Kusadari segalanya memang harus kuawali dengan paksaan.
Maka detik itu aku mulai memaksa diriku sendiri berubah. Seperti kamu yang kelihatannya beranjak menjadi berbeda. Kita seperti berlari ke kutub yang berbeda. Aku menjauh, sejauh mungkin, sejauh jarak tanah yang kupijak dengan ujung alam semesta ini. Aku melarikan diri, berharap aku kehilangan rasa sayang. Namun ternyata sulit. Aku masih sayang. Aku kehabisan cara untuk membuang bayangan kamu. Adakah kamu kesulitan seperti aku?
Di bawah bintang yang berarak, cangkir itu terus menatapku dingin. Kutahu kopi itu juga telah dingin. Hari ini aku bahkan tidak menghabiskan satu cangkir. Aku hanya menghisap setengahnya. Itu pun rasanya berat sekali. Pahitnya mengalir dan terus menetap di leher. Mengendap di sana, seperti kamu. Haruskah aku memejamkan mata dan menyebut namamu lima puluh kali agar aku tak lagi merindukan kamu?
Maka saat itu juga aku memejamkan mata, aku menarik napas yang sangat panjang, dan aku menyebut namamu tepat lima puluh kali. Langit terasa tak memiliki ujung. Malam diam. Bintang menyepi.
Aku membuka mata.
Ternyata aku masih merindukan kamu.
'
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)