Dalam
serangkaian kisah, inilah cerita paling menggambarkan betapa aku dibuat bisu.
Aku hanya mampu berteriak dalam hati, tidak mampu bersuara sama sekali.
Aku pernah mendaki
Semeru, dengan berbekal mimpi teguh menapaki atap pulau Jawa, menjadi yang
tertinggi dibandingkan seluruh umat di pulau ini, menjadi yang terkuat di
antara yang berusaha. Aku pernah mendiami teduhnya Ranu Kumbolo, menikmati
anginnya yang sejuk dan menusuk, menelan sengat mataharinya yang membakar, dan
terlelap dalam gigil kemarau yang luar biasa hebat. Aku pernah menapaki
Kalimati dan tenggelam dalam pasir-pasir menuju puncaknya, menyelami mistisnya
hutan Arcopodo dalam tabur bintang, berdamai dengan rasa takut dan kerdil,
meneguhkan hati untuk berani dan kuat. Aku pernah menjejaki Mahameru, tanah
tertinggi Jawa, menyentuh bendera yang diam di sana, menatap Jogring Saloka
dengan mataku sendiri, terpukau dengan letupannya, gemuruhnya, semburan awan
tebalnya, tetapi tidak pernah aku sebungkam pendakian ini.
Rinjani
adalah misteri, yang menawarkan jawaban atas keindahan-keindahan asing yang
menakjubkan yang selama ini aku inginkan. Rinjani bukan lagi di pulau Jawa,
tempat di mana gunung-gunung menjulang dengan tipe-tipe yang sama. Rinjani
adalah tanah yang benar-benar tidak terduga, membuatku ternganga berkali-kali,
menamparku tanpa habis hingga aku menangis.
Semenjak
disuguhi hamparan rerumputan hijau tiada tepi, aku terpana. Sabana yang luar
biasa luas menghampar seperti tidak memiliki ujung. Tanpa teduh, tanpa pohon,
hanya rumput yang berdampingan dengan sungai kering. Aku berjalan di setapak
tanah, menyusuri hijau yang terik, mengagumi sabana terindah dalam hidupku
selama ini. Di kejauhan turun kabut tipis, lalu tersibak mengantarkan
pemandangan mengagumkan puncak Dewi Anjani berwarna keabuan. Semangatku
membara, aku harus segera sampai.
*
Aku memiliki
sebuah daftar rahasia, berisi mimpi-mimpi, baik mimpi yang akan kucapai kelak,
maupun mimpi yang akan tetap kujaga menjadi mimpi selama-lamanya. Ada sebuah
daftar bernama “Daftar Puncak yang Harus Tiut Injak Sebelum Mati”, yang
berisikan nama-nama gunung impian yang harus aku datangi selama hidup. Di sana
ada beberapa gunung, baik yang belum pernah aku datangi, maupun yang ingin aku
datangi lagi. Tetapi, teman, di sana tidak ada Rinjani, karena aku belum
bermimpi menginjakkan kaki di sana.
Di dalam
setiap pendakian menggoda, ada saja penghasut yang selalu berhasil merayu untuk
pergi meskipun aku terus-menerus menolak secara halus. Tapi diri tidak dapat
berbohong, sebagian hati menginginkan untuk pergi, ketinggian memang candu, aku
tidak akan menolak untuk menelannya sebanyak mungkin hingga overdoze.
*
Aku
dibungkam. Begitu saja. Dalam empat hari empat malam yang senyap itu tidak sekalipun
dibiarkannya aku berbicara dan mengoceh seperti biasanya. Tanahnya teguh,
alamnya memabukkan, manusia dan suasana yang kutemui benar-benar asing dan
magis. Siangnya riuh, malamnya teduh, menakutkan seperti dendam. Aku bahkan
lupa untuk mengumpat dan mengeluh. Rinjani benar-benar ajaib dan tidak ada yang
bisa mengalihkan pandanganku dari hamparan keajaiban itu selain tubuh yang
mulai bergetar dihantam dingin akibat terlalu lama berdiri terkagum. Rinjani
membuka mataku lebar-lebar, bahwa dunia ini luas sekali dan aku belum meraih sekeratpun
darinya.
Aku meraih
kemeja flannel di punggung, berdamai dengan angin.
Tetapi masih
tertegun.
*