January 06, 2016

Pertanyaan di Suatu Sudut Kedai Kopi di Jalanan yang Tidak Kunjung Sepi

Aku berada di tahun ketiga. Betapa pikiranku pada akhirnya semakin yakin bahwa aku benar-benar tersesat di jalan yang sama sekali tidak benar. Aku mulai mempertanyakan mengapa aku baik-baik saja seperti ini tanpa bertanya-tanya. Apa aku harus bertanya mengapa sulit untuk mencintai apa yang berusaha kupertahankan? Atau justru aku harus bertanya, mengapa bisa bertahan selama ini? Apa yang harus aku pertanyakan untuk ketidakapa-apaan ini sebenarnya…
Aku saja tidak pernah mempertanyakan mengapa aku tidak pernah berlomba-lomba dengan mereka yang memburu perangkat lunak penunjang pemetaan, aku baru akan memasangnya saat dosen yang meminta. Ambisi setingkat itu mungkin tidak bersama bocah tengil yang tidak membuat layout peta dengan AutoCAD maupun ArcGIS melainkan CorelDRAW, atau bocah tengil yang tidak menghormati ENVI dan ER Mapper untuk melakukan penajaman citra digital melainkan menggunakan Adobe Photoshop. Mengapa seperti ingin berlari dengan rantai di kaki? Mengapa tidak sejak dulu saja.
Mengapa aku merasa sangat baik-baik saja, meskipun aku tahu seharusnya aku tidak.
Mengapa aku selalu tidak apa-apa.
Oh, tenang saja. Ini hanyalah segenggam pikiran yang menyelami dirinya sendiri di suatu sudut kedai kopi di jalanan Yogyakarta yang tidak kunjung sepi, atau surut gemuruhnya bahkan hingga dini hari. Esok ia telah menguar di udara bersama sisa gerimis yang mongering.
Aku menenggak pahit sesunyi mungkin. Sementara sosok-sosok di sekeliling diam menyelami kepalanya sendiri.