Aku berada di tahun ketiga. Betapa
pikiranku pada akhirnya semakin yakin bahwa aku benar-benar tersesat di jalan
yang sama sekali tidak benar. Aku mulai mempertanyakan mengapa aku baik-baik
saja seperti ini tanpa bertanya-tanya. Apa aku harus bertanya mengapa sulit
untuk mencintai apa yang berusaha kupertahankan? Atau justru aku harus
bertanya, mengapa bisa bertahan selama ini? Apa yang harus aku pertanyakan
untuk ketidakapa-apaan ini sebenarnya…
Aku saja tidak pernah
mempertanyakan mengapa aku tidak pernah berlomba-lomba dengan mereka yang memburu
perangkat lunak penunjang pemetaan, aku baru akan memasangnya saat dosen yang
meminta. Ambisi setingkat itu mungkin tidak bersama bocah tengil yang tidak
membuat layout peta dengan AutoCAD maupun ArcGIS melainkan CorelDRAW, atau
bocah tengil yang tidak menghormati ENVI dan ER Mapper untuk melakukan
penajaman citra digital melainkan menggunakan Adobe Photoshop. Mengapa seperti
ingin berlari dengan rantai di kaki? Mengapa tidak sejak dulu saja.
Mengapa aku merasa sangat baik-baik
saja, meskipun aku tahu seharusnya aku tidak.
Mengapa aku selalu tidak apa-apa.
Oh, tenang saja. Ini hanyalah
segenggam pikiran yang menyelami dirinya sendiri di suatu sudut kedai kopi di
jalanan Yogyakarta yang tidak kunjung sepi, atau surut gemuruhnya bahkan hingga dini hari.
Esok ia telah menguar di udara bersama sisa gerimis yang mongering.
Aku menenggak pahit sesunyi
mungkin. Sementara sosok-sosok di sekeliling diam menyelami kepalanya sendiri.