July 24, 2016

Patah

Kampung Baru, malam berangin.

Ada begitu banyak kisah yang terbubuh di atas tanah Banda dengan kami menjadi pemainnya. Kemudian Banda hanya diam, tidak bereaksi apapun selain menjadi saksi yang bisu, walaupun kita semua tahu dia tidak pernah tuli. Tanah ini menjadi pentas, penonton, dan atmosfer yang menaungi. Tanah ini menjadi buku yang menuliskan apa yang terucap dan apa yang terpendam. Tanah ini menyimpannya, kisah yang terjalin di setiap jalanan, di sepanjang garis pantai, di kedalaman laut yang gelap, di atas kapal, di atas pasir, di manapun kaki dan hati  berpijak.

Di Banda Neira ada jalanan yang tak akan pernah terhapus dari ingatan, selama-lamanya. Aku telah melewati jalanan itu berkali-kali, dengan sosok yang berbeda-beda, dengan kisah yang bermacam-macam, dengan hati yang tidak pernah sama pula. Aku pernah merasa begitu jatuh, menangis tanpa berhenti seperti anak kecil. Aku pernah merasa rapuh, takut, rindu, marah, bahkan aku pernah merasa sangat bahagia sampai tidak berhenti tersenyum.

Ada kesah, mengakar, membuatku mengkhawatirkan semua hal secara berlebihan. Ada kesah, menyublim, terhirup lalu terbuang dan terhirup lagi, aku takut jika aku tidak bisa mencintai tempat ini. Aku tak pernah bermimpi akan melangkah sejauh ini dari rumah. Ibu mungkin sudah sangat pasrah melepas anak gadisnya pergi sejauh apapun, mengejar apapun, terhitung sejak aku sering diam-diam pergi mendaki gunung-gunung yang menurutnya pantas disebut “jauh”. Tetapi aku tidak pernah membayangkan Banda, sama sekali.

Dan di tanah yang jauh ini, tak pernah kusangka, aku akan mengalami patah hati yang sepatah-patahnya. Patah, lalu mencelos kosong. Aku jelas menangis, siapapun pasti menangis. Kurasa patah itu sangat patah, sehingga tanpa disadari ia telah mematikan hati sehingga tidak terasa apa-apa lagi.

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Yang hancur lebur, akan terobati. Adnan, salah satu teman, sangat menyukai lagu ini, dinyanyikannya berulang-ulang agar aku terhibur dan tidak bersedih lagi.

Aku tidak patah, aku terbelah, apakah akan kembali tumbuh? Aku tidak kehilangan, ia pergi dengan kesadarannya sendiri, apakah akan ada pengganti? Aku tidak hancur lebur, aku lenyap, apakah masih bisa terobati?

Tapi aku menemukan sahabat, yang justru tidak terlalu peduli dengan kepatahanku, tidak terlalu mengungkit kejatuhanku, tidak terlalu bicara tentang hati. Mereka bilang urusan hati nomor sekian, yang pergi biarlah pergi, hidup ini bertambah sulit untuk dijalani dengan membawa serta urusan perasaan. Semua berjalan seperti tidak ada apa-apa, sehingga aku pun dengan mudah bisa merasa seperti tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada rasa sakit, dan aku menyukai cara mereka menyembuhkanku, entah sadar atau tidak. Kini aku tidak mengerti lagi bagaimana caranya berucap terima kasih.

Aku memang sangat patah, tetapi kurasa tanpa patah, tanpa kosong, aku tidak akan pernah bisa merasa jatuh cinta sedalam cintaku di kemudian hari kepada tanah ini.

Begitu bukan?




July 10, 2016

#2 Naira senang, Bara tidak lagi segan untuk berbicara kepadanya, bahkan memukulnya karena ia lucu sekali. Tetapi besyukur Naira sudah ahli dalam menyembunyikan perasaannya yang berbunga-bunga.

July 06, 2016

#1 Naira gelisah, sepasang matanya yang kecil tidak bisa untuk tidak mencuri detik, untuk melihat sosok di bangku sebelah. Rupanya ia tertidur. Rambutnya yang panjang tertiup angin dari laut. Naira merasa dadanya bergejolak. Kini tidak hanya detik, ia bisa mencuri menit, sebanyak yang ia mau.
"Jangan sok pengertian, aku hidup denganku selama delapan belas tahun, siapa yang lebih mengerti aku? Kamu? Aku ketawa ya, jangan marah."
- Aku, saat delapan belas tahun, kepada ia yang kemudian pergi dalam amarah

May 08, 2016

Dibungkam

Dalam serangkaian kisah, inilah cerita paling menggambarkan betapa aku dibuat bisu. Aku hanya mampu berteriak dalam hati, tidak mampu bersuara sama sekali.

Aku pernah mendaki Semeru, dengan berbekal mimpi teguh menapaki atap pulau Jawa, menjadi yang tertinggi dibandingkan seluruh umat di pulau ini, menjadi yang terkuat di antara yang berusaha. Aku pernah mendiami teduhnya Ranu Kumbolo, menikmati anginnya yang sejuk dan menusuk, menelan sengat mataharinya yang membakar, dan terlelap dalam gigil kemarau yang luar biasa hebat. Aku pernah menapaki Kalimati dan tenggelam dalam pasir-pasir menuju puncaknya, menyelami mistisnya hutan Arcopodo dalam tabur bintang, berdamai dengan rasa takut dan kerdil, meneguhkan hati untuk berani dan kuat. Aku pernah menjejaki Mahameru, tanah tertinggi Jawa, menyentuh bendera yang diam di sana, menatap Jogring Saloka dengan mataku sendiri, terpukau dengan letupannya, gemuruhnya, semburan awan tebalnya, tetapi tidak pernah aku sebungkam pendakian ini.

Rinjani adalah misteri, yang menawarkan jawaban atas keindahan-keindahan asing yang menakjubkan yang selama ini aku inginkan. Rinjani bukan lagi di pulau Jawa, tempat di mana gunung-gunung menjulang dengan tipe-tipe yang sama. Rinjani adalah tanah yang benar-benar tidak terduga, membuatku ternganga berkali-kali, menamparku tanpa habis hingga aku menangis.

Semenjak disuguhi hamparan rerumputan hijau tiada tepi, aku terpana. Sabana yang luar biasa luas menghampar seperti tidak memiliki ujung. Tanpa teduh, tanpa pohon, hanya rumput yang berdampingan dengan sungai kering. Aku berjalan di setapak tanah, menyusuri hijau yang terik, mengagumi sabana terindah dalam hidupku selama ini. Di kejauhan turun kabut tipis, lalu tersibak mengantarkan pemandangan mengagumkan puncak Dewi Anjani berwarna keabuan. Semangatku membara, aku harus segera sampai.

*

Aku memiliki sebuah daftar rahasia, berisi mimpi-mimpi, baik mimpi yang akan kucapai kelak, maupun mimpi yang akan tetap kujaga menjadi mimpi selama-lamanya. Ada sebuah daftar bernama “Daftar Puncak yang Harus Tiut Injak Sebelum Mati”, yang berisikan nama-nama gunung impian yang harus aku datangi selama hidup. Di sana ada beberapa gunung, baik yang belum pernah aku datangi, maupun yang ingin aku datangi lagi. Tetapi, teman, di sana tidak ada Rinjani, karena aku belum bermimpi menginjakkan kaki di sana.

Di dalam setiap pendakian menggoda, ada saja penghasut yang selalu berhasil merayu untuk pergi meskipun aku terus-menerus menolak secara halus. Tapi diri tidak dapat berbohong, sebagian hati menginginkan untuk pergi, ketinggian memang candu, aku tidak akan menolak untuk menelannya sebanyak mungkin hingga overdoze.

*

Aku dibungkam. Begitu saja. Dalam empat hari empat malam yang senyap itu tidak sekalipun dibiarkannya aku berbicara dan mengoceh seperti biasanya. Tanahnya teguh, alamnya memabukkan, manusia dan suasana yang kutemui benar-benar asing dan magis. Siangnya riuh, malamnya teduh, menakutkan seperti dendam. Aku bahkan lupa untuk mengumpat dan mengeluh. Rinjani benar-benar ajaib dan tidak ada yang bisa mengalihkan pandanganku dari hamparan keajaiban itu selain tubuh yang mulai bergetar dihantam dingin akibat terlalu lama berdiri terkagum. Rinjani membuka mataku lebar-lebar, bahwa dunia ini luas sekali dan aku belum meraih sekeratpun darinya.

Aku meraih kemeja flannel di punggung, berdamai dengan angin.

Tetapi masih tertegun.

*

Aku harus ke Rinjani lagi, bersama porter. Logistik empat hari ternyata berat sekali.


Menuruni track pasir panjang dari puncak menuju camp di Plawangan Sembalun





SENARU, pagi sebelum meninggalkan warung penyelamat dahaga di batas hutan

January 06, 2016

Pertanyaan di Suatu Sudut Kedai Kopi di Jalanan yang Tidak Kunjung Sepi

Aku berada di tahun ketiga. Betapa pikiranku pada akhirnya semakin yakin bahwa aku benar-benar tersesat di jalan yang sama sekali tidak benar. Aku mulai mempertanyakan mengapa aku baik-baik saja seperti ini tanpa bertanya-tanya. Apa aku harus bertanya mengapa sulit untuk mencintai apa yang berusaha kupertahankan? Atau justru aku harus bertanya, mengapa bisa bertahan selama ini? Apa yang harus aku pertanyakan untuk ketidakapa-apaan ini sebenarnya…
Aku saja tidak pernah mempertanyakan mengapa aku tidak pernah berlomba-lomba dengan mereka yang memburu perangkat lunak penunjang pemetaan, aku baru akan memasangnya saat dosen yang meminta. Ambisi setingkat itu mungkin tidak bersama bocah tengil yang tidak membuat layout peta dengan AutoCAD maupun ArcGIS melainkan CorelDRAW, atau bocah tengil yang tidak menghormati ENVI dan ER Mapper untuk melakukan penajaman citra digital melainkan menggunakan Adobe Photoshop. Mengapa seperti ingin berlari dengan rantai di kaki? Mengapa tidak sejak dulu saja.
Mengapa aku merasa sangat baik-baik saja, meskipun aku tahu seharusnya aku tidak.
Mengapa aku selalu tidak apa-apa.
Oh, tenang saja. Ini hanyalah segenggam pikiran yang menyelami dirinya sendiri di suatu sudut kedai kopi di jalanan Yogyakarta yang tidak kunjung sepi, atau surut gemuruhnya bahkan hingga dini hari. Esok ia telah menguar di udara bersama sisa gerimis yang mongering.
Aku menenggak pahit sesunyi mungkin. Sementara sosok-sosok di sekeliling diam menyelami kepalanya sendiri.