January 30, 2015

Aku Sudah Berjanji untuk Kembali

Untuk kamu, goresan merah di ujung horizon pagi buta
... yang setia menemaniku bekhayal dan tenggelam dalam imajinasi, dan setia mengajarkanku tentang realita serta mengingatkan aku untuk kembali.

Aku tak pernah tahu secara pasti sudah berapa lama kita berjalan beriringan. Waktu yang kita miliki tak pernah sedemikian luang untuk mengingat dan mengingatkan diri masing-masing bahwa jalanan yang sama telah kita lalui beratus kali sejak genggaman kita pertama bertautan. Benar jika kamu mengatakan kita seperti sepasang sahabat yang masih belajar memahami satu sama lain, bahkan diri sendiri. Benar juga jika kamu mengatakan, kita harus saling menerima dan memperbaiki.  Menyenangkan sekali belajar bersama-sama seperti ini, aku tidak tertatih sama sekali.
Aku suka mengkhayal, kamu duduk di sampingku dalam armada ini, menemani setiap imajinasi yang melelahkan dan bersama-sama tenggelam di dalamnya. Kamu sama gilanya, tetapi aku lebih tidak waras sehingga kutumpukan seluruh jangkar alam kenyataan ini padamu, yang kutahu mampu saat aku terlalu jauh, kemudian membawaku kembali. Jika dunia ini terbagi atas realita dan imaji, maka aku akan mencintaimu dalam kenyataan maupun angan-angan, agar  tak ada celah sedikitpun untuk menyela perasaanku.
Aku tahu kamu suka bersenang-senang, hingga terkadang lupa untuk serius. Aku menyukainya, meskipun aku berkali lipat lebih suka keseriusanmu. Pada suatu hari yang lalu, pada diriku sendiri, aku telah berjanji untuk tetap menemani. Maka aku akan datang, bergumamlah sesukamu, aku selalu mendengarkan dan tak akan pernah murka. Aku akan selalu sabar, dan kamu pun harus begitu.
Segala masalah kita percayai memiliki penyelesaian, bagaimanapun caranya kita bisa menyelesaikannya bersama. Apa yang perlu kita khawatirkan? Dunia milik kita sendiri, tak akan kuizinkan siapapun dan apapun campur tangan, termasuk rasa gundah dalam dadamu, Sayang.
Aku akan datang, segera, mengingat kamu telah berjanji mengajakku ke kebun binatang selepas kepulanganmu dari Pulau Sempu. Kereta terpagi esok hari akan membawaku kembali.
Jangan limbung, bertahanlah sejenak.

Kekasihmu sudah berjanji untuk kembali.






300115

January 14, 2015

Aku Pulang

Rasanya seperti kembali ke kampung halan setelah bertahun-tahun merantau di negeri nan jauh tanpa pernah pulang. Akhirnya aku menemukan sedikit waktu lagi untuk berbagi, dengan menulis. Pada akhirnya aku menemukan jalan pulang menuju ke halaman ini, tempatku dulu berceloteh mengenai apapun bahkan secuil pikiran yang, entahlah, aku pun lupa.
Berbulan-bulan setelah tulisan terakhir mengenai tangan-tangan, aku kembali menemukan apa yang akan aku tulis. Bukan mengenai geodesi, aku harap aku tidak akan pernah menuliskannya di sini (lagi). Untuk apa kau berlari jika arahmu justru adalah tempat yang kau jauhi?
Geodesi bukan pilihan, bahkan aku tak pernah punya pilihan. Ia hanya dermaga yang berhasil menghentikanku dari pelayaran tanpa tujuan, maksudku, daripada aku terombang-ambing dan mati di tengah lautan, apa salahnya aku menambatkan diri ke suatu tempat dan menikmatinya sejenak. Bersama orang-orang baik hati di sepanjang jalan, bersama orang-orang hebat, bersama siapapun yang sementara menemani di kemudian. Sejenak yang seberapa lama pun aku tak tahu, pun aku tak ingin menghitung.
Aku hanya terlalu lelah, mencari tahu jalan terbaik bagaimana menghadapi realitas yang tampaknya tidak seperti isi kepalaku.
Maka di saat seperti itulah aku akan berlari menjauh.
Kemudian aku akan berpikir... Langit begitu luas, mengerdilkan masalah-masalah yang tak seberapa. Langit adalah kebohongan yang terlalu nyata. Langit tak pernah ada, tetapi ia terbentang mahaluas. Langit hanyalah sebuah bahasa untuk kelapangan luar biasa di atas sana, di mana keluhku adalah sebutir debu kosmik, tak seberapa, tak perlu kupikirkan. Maka aku mencintai langit.
Semakin tinggi tempatku berdiri, semakin dekat aku dengan langit.
Maka aku pun mencintai gunung.
Tak akan pernah ada yang mampu menaklukan sebuah gunung. Ketika ia menapaki puncaknya, ia tak benar-benar menaklukkannya, ia hanya menaklukkan dirinya sendiri saat mendaki. Gunung tetaplah berdiri, meski kau berhasil berdiri di titik tertingginya, meski kau kemudian turun lagi, entah selamat atau mati. Gunung tetap dengan dirinya, memberikan kemegahan tiada banding, tiada lawan. Siapa berani mengusik? Gunung tak mau peduli. Dia tetap berdiri.
Dengarkan kisahku tentang penaklukan ini. Penaklukan biasa-biasa saja, tetapi aku mendapatkan hal-hal luar biasa darinya. Penaklukan biasa-biasa saja, bersama orang-orang biasa, namun perjalanannya begitu membekas. Penaklukan biasa-biasa saja oleh sekumpulan mahasiswa, bosan belajar, bosan kuliah, lalu mengadu kepada alam.
Aku di antaranya.