December 14, 2015

Gunung-Gunung Telah Melahirkan Ketenangan untuk Dinikmati Kini


      Kamu sungguh sungguh salah alamat. Jika kamu mencari catatan petualangan seperti sebuah cerita naik gunung dengan estimasi waktu perjalanan atau guide transportasi hingga basecamp kemudian keterangan pos-pos menuju puncak, kamu salah alamat, silakan keluar sebelum menyesal.
      Aku tidak akan menulis hal itu, sebab semua orang melakukan hal serupa dan catatannya berserakan jika kamu mengetik kata kunci “mendaki gunung x” di mesin pencari. Jika kamu salah alamat, tidak apa-apa, kebanyakan pengunjung blog alien ini memang salah alamat.
      Ini adalah catatan perjalanan seekor alien mencari pesawat luar angkasanya yang hilang bertahun-tahun lalu. Ini hanya keluh kesah seorang sakit jiwa yang biasa-biasa saja, belum menjadi istimewa. Aku bukan orang hebat, biasa saja. Jadi kamu yang ingin menemukan keluarbiasaan di sini, silakan mencari, selamat mencari sampai ketemu!
*
      Aku masih mengingat seseorang yang mengatakan bahwa “belum mahasiswa kalau belum naik gunung!” pada suatu waktu yang lalu dan hingga kini, meskipun aku mengiyakan dengan seiya-iyanya, aku masih tetap mencari tahu apa korelasi antara mahasiswa dan naik gunung. Aku tidak naik gunung untuk keperluan fashion, gaya hidup, dan mengisi feed instagram dengan foto-foto super. Aku tidak naik gunung untuk hobi seperti para penggiat alam. Aku tidak naik gunung untuk membersihkan sampah-sampahnya seperti para pecinta alam. Semua orang memiliki alasan yang apapun itu harus diterima oleh siapapun selama tidak merugikan alam. Aku telah lama memilih diriku sendiri untuk kujadikan alasan semua pendakianku.
      Aku mencari diri sendiri. Gunung-gunung yang bercumbu dengan awan dan langit telah melahirkan ketenangan tiada banding. Aku mencintai apa yang ia tawarkan dalam setiap perjalanan: sunyi. Dalam langkah teguh dan napas yang terengah, kesunyian itu membuatku bisa berpikir mengenai apa saja hal yang sudah kutinggalkan di belakang, dan apa saja yang akan kusambut di depan. Gunung tidak menyelesaikan apapun, tidak mengubah apapun, tidak memperbaiki apapun, tetapi gunung menjadi tempat terbaik untukku menjadi diri sendiri untuk menyelami pikiranku sendiri lebih lama, satu tingkat lebih nikmat dari WC – yang selama ini aku puja-puja dan kujadikan tempat terbaik untuk berpikir.
      Aku hanya datang, menikmati sunyinya, lalu pulang tanpa mengusik. Aku bukan yang terbaik dalam hal mountaineering, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri agar tetap di atas batas keselamatan. Aku tidak pernah latihan fisik berhari-hari untuk naik gunung, aku tidak pernah memakai sepatu gunung dan hanya mengenakan sepasang sandal, aku tidak pernah mengenakan kupluk dan membawa jaket tebal, aku selalu mengenakan selapis kaos dan celana kain lusuh. Aku tidak menyukai standar pendakian, bahkan jika semua perlengkapanku cukup dalam sebuah daypack tiga puluh liter, maka aku enggan membawa carrier berpuluh-puluh liter. Aku bisa tidur di mana saja, tempat terbuka sekalipun, gundukan pasir sekalipun. Aku cukup tahan dengan suhu rendah dan tidak mudah menggigil. Aku bisa menahan kencing selama lima sampai enam jam sejak rasa ingin kencing itu muncul. Aku mengunyah permen karet untuk menahan rasa haus. Aku membungkuk saat lelah dan menunduk saat ketakutan. Aku menjejak dengan yakin agar tidak terperosok. Aku membunuh ragu agar pijakanku tak goyah. Aku tidak melindungi tubuhku dengan krim matahari, atau hidungku dengan koyo, aku menikmati bagaimana panas dan dingin bersama-sama menyiksaku dan meninggalkan bekas di sekujur tubuh.

      Aku memiliki seribu cara untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang mungkin akan kutemui. Aku memiliki seribu cara menyembunyikan kekalutanku dengan menenangkan diri sendiri.
      Aku hanya ingin bermain di atas sana, bukan tuntutan fashion apalagi foto-foto. Aku ingin melepas semua pikiran dalam diam, menikmati senja dan fajar dalam dekapan gunung. Sebab melihat senja dan fajar di atas sana akan menjagaku dalam rasa syukur, mengisi semangatku hingga bulan-bulan selanjutnya agar tidak lagi mempertanyakan kekuatan Tuhan.
*
      Sesungguhnya aku ingin terus memiliki semangat hidup dan menghidupi hidup yang kutinggali, mensyukuri segala yang aku miliki tanpa mengeluhkan apapun. Aku ingin semangat yang tak pernah habis, agar aku tidak harus memburu gunung-gunung untuk memulihkanku lagi.

December 01, 2015


Tiut sudah terlalu lelah menghadapi tahun 2015 ini sehingga membuka blog pun terasa begitu sulit. Bagaimana bisa post ini berjarak hampir satu tahun?

January 30, 2015

Aku Sudah Berjanji untuk Kembali

Untuk kamu, goresan merah di ujung horizon pagi buta
... yang setia menemaniku bekhayal dan tenggelam dalam imajinasi, dan setia mengajarkanku tentang realita serta mengingatkan aku untuk kembali.

Aku tak pernah tahu secara pasti sudah berapa lama kita berjalan beriringan. Waktu yang kita miliki tak pernah sedemikian luang untuk mengingat dan mengingatkan diri masing-masing bahwa jalanan yang sama telah kita lalui beratus kali sejak genggaman kita pertama bertautan. Benar jika kamu mengatakan kita seperti sepasang sahabat yang masih belajar memahami satu sama lain, bahkan diri sendiri. Benar juga jika kamu mengatakan, kita harus saling menerima dan memperbaiki.  Menyenangkan sekali belajar bersama-sama seperti ini, aku tidak tertatih sama sekali.
Aku suka mengkhayal, kamu duduk di sampingku dalam armada ini, menemani setiap imajinasi yang melelahkan dan bersama-sama tenggelam di dalamnya. Kamu sama gilanya, tetapi aku lebih tidak waras sehingga kutumpukan seluruh jangkar alam kenyataan ini padamu, yang kutahu mampu saat aku terlalu jauh, kemudian membawaku kembali. Jika dunia ini terbagi atas realita dan imaji, maka aku akan mencintaimu dalam kenyataan maupun angan-angan, agar  tak ada celah sedikitpun untuk menyela perasaanku.
Aku tahu kamu suka bersenang-senang, hingga terkadang lupa untuk serius. Aku menyukainya, meskipun aku berkali lipat lebih suka keseriusanmu. Pada suatu hari yang lalu, pada diriku sendiri, aku telah berjanji untuk tetap menemani. Maka aku akan datang, bergumamlah sesukamu, aku selalu mendengarkan dan tak akan pernah murka. Aku akan selalu sabar, dan kamu pun harus begitu.
Segala masalah kita percayai memiliki penyelesaian, bagaimanapun caranya kita bisa menyelesaikannya bersama. Apa yang perlu kita khawatirkan? Dunia milik kita sendiri, tak akan kuizinkan siapapun dan apapun campur tangan, termasuk rasa gundah dalam dadamu, Sayang.
Aku akan datang, segera, mengingat kamu telah berjanji mengajakku ke kebun binatang selepas kepulanganmu dari Pulau Sempu. Kereta terpagi esok hari akan membawaku kembali.
Jangan limbung, bertahanlah sejenak.

Kekasihmu sudah berjanji untuk kembali.






300115

January 14, 2015

Aku Pulang

Rasanya seperti kembali ke kampung halan setelah bertahun-tahun merantau di negeri nan jauh tanpa pernah pulang. Akhirnya aku menemukan sedikit waktu lagi untuk berbagi, dengan menulis. Pada akhirnya aku menemukan jalan pulang menuju ke halaman ini, tempatku dulu berceloteh mengenai apapun bahkan secuil pikiran yang, entahlah, aku pun lupa.
Berbulan-bulan setelah tulisan terakhir mengenai tangan-tangan, aku kembali menemukan apa yang akan aku tulis. Bukan mengenai geodesi, aku harap aku tidak akan pernah menuliskannya di sini (lagi). Untuk apa kau berlari jika arahmu justru adalah tempat yang kau jauhi?
Geodesi bukan pilihan, bahkan aku tak pernah punya pilihan. Ia hanya dermaga yang berhasil menghentikanku dari pelayaran tanpa tujuan, maksudku, daripada aku terombang-ambing dan mati di tengah lautan, apa salahnya aku menambatkan diri ke suatu tempat dan menikmatinya sejenak. Bersama orang-orang baik hati di sepanjang jalan, bersama orang-orang hebat, bersama siapapun yang sementara menemani di kemudian. Sejenak yang seberapa lama pun aku tak tahu, pun aku tak ingin menghitung.
Aku hanya terlalu lelah, mencari tahu jalan terbaik bagaimana menghadapi realitas yang tampaknya tidak seperti isi kepalaku.
Maka di saat seperti itulah aku akan berlari menjauh.
Kemudian aku akan berpikir... Langit begitu luas, mengerdilkan masalah-masalah yang tak seberapa. Langit adalah kebohongan yang terlalu nyata. Langit tak pernah ada, tetapi ia terbentang mahaluas. Langit hanyalah sebuah bahasa untuk kelapangan luar biasa di atas sana, di mana keluhku adalah sebutir debu kosmik, tak seberapa, tak perlu kupikirkan. Maka aku mencintai langit.
Semakin tinggi tempatku berdiri, semakin dekat aku dengan langit.
Maka aku pun mencintai gunung.
Tak akan pernah ada yang mampu menaklukan sebuah gunung. Ketika ia menapaki puncaknya, ia tak benar-benar menaklukkannya, ia hanya menaklukkan dirinya sendiri saat mendaki. Gunung tetaplah berdiri, meski kau berhasil berdiri di titik tertingginya, meski kau kemudian turun lagi, entah selamat atau mati. Gunung tetap dengan dirinya, memberikan kemegahan tiada banding, tiada lawan. Siapa berani mengusik? Gunung tak mau peduli. Dia tetap berdiri.
Dengarkan kisahku tentang penaklukan ini. Penaklukan biasa-biasa saja, tetapi aku mendapatkan hal-hal luar biasa darinya. Penaklukan biasa-biasa saja, bersama orang-orang biasa, namun perjalanannya begitu membekas. Penaklukan biasa-biasa saja oleh sekumpulan mahasiswa, bosan belajar, bosan kuliah, lalu mengadu kepada alam.
Aku di antaranya.