February 04, 2013

Lima Warna




20 Desember 2011, 08.12 WITA
Om swastiastu,” seorang tour guide memberikan salam pertamanya pagi ini sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.
Namanya Komang Sugata. Kami memanggilnya Bli Komang. Hari ini dia mengenakan baju batik Bali serta sepotong sarung untuk bawahannya. Dia juga mengenakan semacam ikat kepala berwarna putih. Kutaksir umurnya masih tiga puluhan.
Om swastiastu,” jawab kami serentak.
Di pertemuan pertama kami dengannya, laki-laki itu sempat menjelaskan bahwa Om swastiastu adalah salam yang biasa diucapkan masyarakat Bali.
Ini hari keduaku berada di Bali. Ada beberapa tempat yang menjadi tujuan kami, yakni Sanur, Tanjung Benoa, Garuda Wisnu Kencana, dan Kuta.
Salah seorang temanku tiba-tiba menceletuk.
“Bukannya om swastiastu artinya ‘semoga diberi keselamatan oleh Sang Hyang Widhi’ ya?” Katanya, sedikit berhati-hati sambil sesekali melirik kea rah Bli Komang.
“Iya.”
“Kita kan orang Islam?”
“Jangan khawatir soal murtad, ya, Sang Hyang Widhi itu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang tunggal walaupun berbeda cara menyebutnya.”
Aku tersenyum samar. Tanpa menjawab kata-katanya barusan, aku lantas membuang pandangan ke arah jendela, menatap rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan.
Kulihat setiap bangunan dilengkapi dengan bangunan tempat pemujaan. Sekilas kulihat sesajian berupa bebungaan dan makanan tergeletak di dekat patung di depan setiap bangunan. Bli Komang pernah menjelaskan bahwa begitulah cara orang Hindu di Bali bersembahyang. Mereka meletakkan sesajian berupa bebungaan dan makanan seperti roti yang diletakkan di atas wadah dari janur kelapa di depan rumah atau di depan tempat usaha. Sesajian itu dilengkapi dupa yang menyala.
Beberapa hari di pulau seribu pura ini, aku merasa cukup rindu akan suara adzan. Karena di tempat ini jarang terdapat masjid. Ya Allah, apakah kami harus shalat di rumah makan lagi seperti kemarin? Betapa kami merindukan suara adzan dan iqamah.
Kutarik napas dalam-dalam. Seakan membaca pikiranku, tiba-tiba Bli Komang menyeletuk. “Nanti siang kalian akan melaksanakan ibadah shalat Dzuhur di Puja Mandala, tempat ibadah yang diperuntukkan bagi lima agama dalam satu kompleks.”
Aku tersentak, pikiranku melayang membayangkan tempat seperti apakah Puja Mandala.
*
20 Desember 2011, 12.01 WITA
Aku sampai di Puja Mandala dan langsung dibuat terkesima.
Bangunan Gereja Katholik Bunda Maria Segala Bangsa, Gereja Protestan Bukit Doa, Masjid Ibnu Batutah, Wihara Budhina Guna, dan Pura Jagat Natha telah berdiri tegak, sama tinggi. Puja Mandala menjelma menjadi sebuah miniatur kerukunan hidup beragama di Indonesia. Sebuah relasi  harmonis yang sungguh hidup dan dinamis yang lahir dari relung jati diri masyarakat pendukungnya. Keberadaannya kini bukanlah sebatas symbol kaku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman kompleks Puja Mandala. Tampak toleransi terjalin hakiki. Bli Komang sempat mengatakan padaku bahwa pernah di tempat ini perayaan ekaristi diselingi alunan adzan Maghrib. Dan pernah suatu ketika khutbah shalat Jumat disampaikan tanpa pengeras suara, sebab saat itu masyarakat Hindu tengah merayakan Nyepi.
Hanya di tempat ini, rumah-rumah ibadah dibangun tanpa sekat pemisah dan memiliki satu halaman, mencerminkan kebhinnekaan yang ika. Di atas tanah itu, kemajemukan dipersatukan. Doa-doa terangkat menuju Ilahi, berjumpa dalam nada kehangatan, serta membagi kisah satu sama lain.
Demi Tuhan, kali ini perbedaan itu memberikan keindahan.




Juara I Lomba Menulis Flash Fiction "Hikmah di Balik Perbedaan"


February 02, 2013

Di Suatu Sudut Kedai Kopi



Seorang waiter meletakkan secangkir cappuccino di atas meja, melirik sebentar gadis yang duduk di sana, lalu pergi dalam diam. Sesaat gadis itu masih mematung, terus menatap jalanan dari bangunan lantai dua itu. Menunggu sesuatu yang entah apa. Namun kemudian jemarinya bergerak mendekati cangkir yang baru saja diantarkan waiter. Cangkir berwarna putih tulang itu kemudian diangkatnya, didekatkannya ke mulut. Dalam sunyi ia menyesap isi cangkir itu lalu meletakkannya lagi. Terdengar sedikit denting saat ia meletakkan kembali cangkirnya, diikuti suara embusan napas yang sangat berat.
Ia memejamkan mata. Ia sangat lelah. Saat ia membuka mata, pandangannya tersaruk pada cangkir-cangkir kopi di hadapannya. Matanya lalu menelusuri tiap jengkal meja yang kini ia tempati, mengingat semua hal yang dapat ia ingat. Hiruk pikuk Purwokerto yang tergambar di Jalan Jenderal Soedirman, lampu-lampu hias, pagar pembatas, kotak tisu, nomor meja... Ia menarik napas, mencoba mengatasi rasa sesak yang tiba-tiba menyerang. Rasa sesak yang datang bersamaan dengan bayangan samar tentang sosok-sosok di masa lalu. Perlahan ia meneguk lagi isi cangkirnya.
“Udah dua tahun ya, Maurin...”
Gadis itu menoleh. Ia mendapati seorang berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tak sulit bagi Maurin untuk mengenali sosok itu. Jeans, sepatu kets, kaos distro, rambut model messy mohawk yang agak berantakan. Ia belum banyak berubah.
“Joshua?”
Joshua. Sosok yang sejak tadi hanya menjadi bayangan samar itu kini datang. Namun kini ia hanya datang sendiri. Maurin menarik napas panjang. Sementara Joshua berjalan mendekat.
“Boleh duduk?”
Maurin mengangguk samar. Joshua menarik kursi perlahan, lalu duduk. Suasana mendadak hening. Rasa canggung itu tak dapat dihindari. Semua kata tertahan, tidak seperti dulu. Seperti dua tahun lalu. Seperti ketika mereka masih bertiga.
Bertiga?
“Kamu ingat awal pertemuan kita?”
“Udah dua tahun yang lalu, Jo...”
Entahlah. Maurin bahkan tak mengerti apa yang ia katakan. Dua tahun sudah masalah itu ia tinggalkan tanpa ujung yang pasti. Saat ini salah satu pemeran kisah itu ada di dekatnya, duduk menikmati secangkir espresso yang baru saja diantar oleh seorang waiter.
Espresso,” gumam Joshua.
“Hebat, keras, penuntut, penuh tantangan...”
“Dan sok tau,” sambung Maurin.
“Tepat!” ujar Joshua, kemudian terkekeh. “Kamu kangen Bara?”
Maurin tersentak.
“Apaan sih Jo...”
“Kangen juga nggak apa-apa,” lirih Joshua.
Maurin mencoba tertawa, namun terasa hambar.