November 30, 2009
Ia dan Surabaya
Kala itu, dia ada dalam rombongan pemuda. Di kala ia masih bermimpi dalam malam yang terkekang. Ia pasti tak pernah lupa pada suara dentuman meriam yang diakhiri dengan teriakkan ultimatum penyerahan senjata oleh Sekutu yang berkhianat, yang selalu membuatnya bangun di pagi buta. Ia tak melihat sinar matahari masuk ke pembaringannya melalui celah jendela yang lapuk. Ia pun terduduk, berucap doa dan selamat pagi pada Tuhan dan memohonkan kemerdekaan. Ia mengenakan seragamnya, destar merah putihnya, dan pin merah putihnya. Ini hari terakhir penyerahan senjata, aku takkan menyerahkannya. Dan, aku akan menembakkan pelurunya tepat ke jantung mereka. Untuk Surabaya. Layaknya prajurit yang lain, ia pun bergegas mengambil senjatanya, menimangnya, lalu menyelempangkannya di bahu dan pergi tanpa sarapan, dan hanya harapan yang jadi bekalnya. Ia menyusuri jalan yang tidak rata, berkerikil dan berdebu. Sesaat sebelum ia kembali pada peluru, ia teringat ibu dan merenung sebab kekasihnya tengah menunggu.
Berjalan tegak, ia mencoba mencari sebuah asa di jalanan yang sepi dan rusak. Menengok ke semua penjuru sambil waspada akan tembakan-tembakan yang beradu. Ia menggenggam senapan yang dibawanya erat-erat. Hatinya gelisah memikirkan apa yang akan terjadi siang ini, apa akan masih ada bintang di malam setelah ini, dan apakah dia akan kembali bersama kekasihnya esok hari? Tak pernah ia bayangkan sekumpulan asap sisa meriam dan granat mengepul mengerumuninya dan kawan-kawannya, jalanan rata dengan bangunan di atasnya, dan peluru-peluru merenggut semua nyawa tanpa sisa. Ia berlari menuju markasnya di bantaran kali, yang harus menggunakan sandi-sandi untuk masuk dan beradu pendapat untuk hari ini.
Ia mengetuk pintu. Sesosok bayangan dari dalam gubuk kecil itu meneriakkan tanya. “Apa sandinya?” Lalu ia menjawab kencang sebuah kalimat panjang yang tak jelas, rumit dan membingungkan. Jelas tak ada manusia dari Inggris itu yang mengerti sandi itu. Itulah bukti kecerdasan manusia Indonesia di jaman itu. Kalimat selesai, pintu terbuka kecil dengan sepasang mata mengintip. Jelas, mata yang tak tidur malam tadi. Ia masuk. Terdengar mereka berbisik menyebut namanya. “Bores!” Di dalam telah berkumpul manusia-manusia harapan bangsa dengan kostum yang sama. Senapan bersandar di dinding anyaman bambu. Ia melihat mereka tak sedang menyusun rencana. Mereka diam dan melamun. Hanya sebagian yang sibuk beradu tanya. Mungkin mereka tengah memikirkan esok yang entah ada atau tidak. Lalu ia duduk, di sebuah kursi lapuk. Tak selang lama, ia bicara.
“Kawan, kapan mereka akan menyerang lagi?” katanya. Tak ada jawaban mencuat dari manapun. Tak ada yang berucap. Semua telah tahu, seorang Jenderal besar mati dan pasukan Inggris kala itu mengintai senjata Indonesia. Ultimatum dengan nada mengancam telah mengudara sedari kemarin. Bung Tomo juga tengah berteriak menembakkan senjata utamanya, yakni kata-kata yang lebih dahsyat dari ledakan granat Sekutu, yang benar-benar membakar semangat pemuda. Lalu ia memejamkan mata dan membungkukkan badannya, lalu menutup mukanya. Jelas tersimpul ketidaktahuan dari keheningan. Jadi mereka harus menunggu sebutir peluru meletus di langit atau granat meledak di samping gubuk mereka pertanda perang berkobar. Atau lebih parahnya manusia tanpa salah yang meraung dalam sepi dan membuat mereka berdiri mengambil senjata dan berlari menembaki angin. Mereka tak mungkin berjaga. Taktiklah yang membatasi mereka.
Teringat lagi wajah ibunya, wanita tua yang kulitnya hitam – maklumlah, beliau pernah merasakan hebatnya tersengat sinar ganas matahari di perkebunan neraka kuasa Nipon – dan menyimpan asa serta kesedihan. Lalu melintas bayang-bayang kekasihnya yang tersenyum melihatnya dengan senapan yang tak pernah dilepasnya. Ia masih memimpikan kemerdekaan yang sebenarnya. Bukan yang dibacakan dari hasil mesin ketik yang mula-mula hanya corat-coret semalaman. Ia percaya Tuhan akan memberikan sebuah kado indah esok hari, atau nanti malam. Lamunan memang indah.
Toorrrrrr ...
Lamunannya hancur. Semua terkejut mendengar sebuah letusan keras di atas gubuk mereka. Mereka terdiam sebentar, lalu bergerak tangkas mengambil topi dan menggendong senapan menuju medan perang. Ia berlari, berlari menuju kemerdekaan yang sebenarnya mereka nanti-nanti.
Mereka berlari diiringi langkah sepatu berat mereka yang bersahutan dengan tembakan yang semakin rapat terdengar. Tak makan waktu lama, mereka sampai di jalan raya besar. Kosong. Tak ada makhluk apapun. Tikus dan hewan lain pasti meringkuk ketakutan di sarang mereka. Pohon-pohon besar mulai membuka mata untuk menyaksikan perang besar. Tiba-tiba sebuah peluru meletus mengenai perut salah satu pemuda di barisan itu. Ia mati seketika. Darah segar membasahi baju hijau pudarnya. “Den!!!” Nafas mereka berhenti sesaat. Sebuah peluru telah mengantarkan Deden ke kematian. Tak ada lagi waktu untuk menangisi. Pada waktu itu kematian tak lagi menjadi hal yang asing dan tak perlu lagi kesedihan. Semua mengangkat senjata. Sekitar sebelas orang - tanpa Deden yang telah mati - dari gubuk di bantaran sungai menembaki semak-semak jauh di seberang lapangan, asal peluru yang membunuh Deden. Perang benar-benar berkobar di desa kecil itu. Mereka semua pasti tak tahu di seberang sana, bukan di kampung ini, Surabaya, perang lebih besar. Pemuda berceceran di jalanan. Entah sebagai pelaksana perang, atau sebagai mayat-mayat tak berguna.
Ratusan nyawa polos tanpa dosa terbunuh dengan sebuti peluru. Di jantung, di kepala, atau mungkin di kaki. Tembakan bersahut-sahutan. Suaranya terbang ke langit kelabu dan menyentuh menara radio. Ledakan granat menghancurkan bukit-bukit. Semua telinga terpusat ke Surabaya lewat kotak besi berantena, komunikasi utama, radio. Perang menjadi-jadi. Nyawa-nyawa tak terselamatkan. Para wanita diungsikan sebagian, lainnya beralih tugas jadi perawat. Sebuah tenda hijau tua didirikan. Sebuah bambu dijadikan penyangga. Banyak wanita-wanita muda membuat obat dan makanan. Pemandangan getir itu terlihat di bukit yang belum tersentuh kaki, mata, dan penciuman Inggris. Daerah lain berubah menjadi lautan darah. Bahkan ada yang jadi lautan mayat. Itu perang yang paling besar. Apa Tuhan mendengarnya? Letusan dan ledakan itu? Apa Tuhan mendengar?
***
Jika waktu siang itu mereka memejamkan mata, semua akan melihat mereka akan menjadi bagian dari lautan mayat dengan lubang penuh darah di dada atau kepala. Boris, lelaki yang berjuang demi bangsa, Negara, ibunda dan kekasihnya, tak menyangka ia bisa melihat kembali bintang-bintang penuh rahasia di balik kilaunya yang bersanding dengan agungnya bulan di malam setelah perang besar itu. Ia sedang berbaring di atas rerumputan kering di atas bukit perawatan yang sama sekali belum terjamah.
Tepat saat ia berbaring di atas bukit perawatan penuh korban dan wanita, sang kekasih mendekatinya. “Aku yakin kau akan selamat,” katanya, ia juga membelai rambut kasar yang sedari tadi tertutup. Mereka berpegangan tangan dan kembali menatap bulan. Mereka tahu Tuhan telah memberi angin dingin dari gunung. Sebuah kesejukan di hari panas penuh api dan peluru itu hanya sementara. Keheningan malam itu hanya dalam hitungan jam. Mereka tak peduli lagi. Mereka tetap menatap bulan. Menatap kebahagiaan abadi, yang sedang mereka perjuangkan, dengan peluru dan pemuda. Entah mereka tetap hidup dengan luka bakar, atau menjadi bagian dari korban di jalanan karena menantang peluru. (20 Agustus 2009, P. S. Tia)
Pasukan Stroberi Bentengi Lukimia
Melalui hasil penelitian terbaru, buah stroberi ternyata memiliki efek terapi yang sangat baik bagi pencegahan penyakit Leukimia, Anemia Aplastik (kurang darah aplastik) dan penyakit darah. Sebab pokoknya terletak pada dua macam zat yang terkandung di dalamnya yakni strawberry amine dan asam tanat yang memiliki efek mengekang terjadi dan tumbuhnya tumor ganas.
Stroberi kaya gizi, banyak mengandung asam amino, monosakarida, asam sitrat, pectine, vitamin dan kalsium, magnesium, fosfor, mineral dan sebagainya. Unsur-unsur nutrien ini memiliki efek yang sangat baik bagi pertumbuhan, serta manfaatnya yang besar bagi kesehatan.
Selain itu, nilai medis yang tinggi juga dimiliki buah yang memiliki warna cerah ini. Efek lain yang terkandung adalah membasahi paru-paru, menghasilkan cairan tubuh, serta merangsang nafsu makan. Di samping itu, stroberi juga kaya akan kandungan karotena dan vitamin C yang memiliki efek antioksidan dalam tubuh dan menghilangkan radikal bebas. Sehingga, kandungan tersebut memiliki efek perlindungan tertentu terhadap sel normal sekaligus mencegah jangan sampai dioksidasi menjadi sel kanker. Pectine dan asam tanat serta beberapa kandungan lainnya dapat menyerap dan mencegah masuknya zat kimia penyebab kanker dalam tubuh, sehingga dapat mencegah kanker.
Walau mengandung banyak gizi, tak semua orang boleh mengkonsumsinya. Jika memakannya secara berlebihan, dapat timbul kekacauan fungsi lambung dan usus serta kencing batu disebabkan fungsi ginjal tak sempurna. Janganlah mengkonsumsi berlebihan karena stroberi lebih banyak mengandung asam oksalat yang dapat memperburuk keadaan penyakit jika dikonsumsi berlebihan.
Ada berbagai cara menikmati stroberi. Bisa langsung dimakan setelah dicuci bersih. Ada pula yang membuatnya menjadi juice. Selain itu, bisa dijadikan pure strawberry (dilumatkan dengan cara diaduk dengan gula dan cream) ataupun dijadikan selai dan disantap dengan roti. Semua terasa lebih nikmat apabila kita mengolahnya secara benar dan tidak berlebihan. Selamat berperang melawan leukimia!!!
Membongkar Kotak Empat Kali Empat
Joshua Sandy, he is the real MASTER of numbers. Hmmm, kenapa? Karena angka mungkin telah menjadi sahabat baiknya. Oke, tapi sekarang, aku ngga mau ngomongin dia. Sekarang, adalah saatnya aku kasih tau cara memainkan sebuah trik dari sebuah permainan andalan Joe Sandy, MAGIC SQUARE. Ikuti langkah-langkah mudah buatanku... (Haha, ini pernah kujadiin bahan buat Procedural Text on Monolog...)
Lihat nih !
1.Siapkan sebuah whiteboard atau tempat menulis apapun, serta alat tulisnya dong!!! Bisa spidol, pena atau boardmarker...
2.Terus, buat sebuah persegi secara manual (sebenernya enakan langsung tersedia persegi, tapi, itu menurut selera) dan bagi persegi itu jadi 16 bagian (empat kali empat! jangan lupa!)
3.Nah, suruh si penonton buat nyebutin angka, sebagai contoh, 51.
4.Setelah diketahui angkanya, inget-inget rumus ini buat ngisi kotak-kotak itu:
5. Nah, buat ngisi kotak A, B, C, dan D, pecahin aja angka penonton tadi jadi 4 angka yang berbeda (usahakan berjauhan, agar ga ada angka dalam magic square yang sama) sebagai contoh 51 menjadi 20, 10, 15, dan 6. Dan, isi sesuai rumus.
6.Setelah semua kotak terisi, ajak penonton membuktikan magic square kamu bersama-sama dengan menjumlahkan empat kotak. Mulai dari baris 1: 20+10+15+6 = 51, lalu baris 2, dan seterusnya. Selanjutnya, kolom 1: 20+3+11+17 = 51, lalu kolom 2 dan seterusnya.
7. Kejutkan penonton dengan menghitung area lain. Contoh, di setiap sudutnya: 20+17+8+6= 51. Contoh lain, daerah empat kotak sentral: 18+19+5+9 = 51. Lalu jumlahkan area ini:
8.Jumlahnya akan selalu sama (kalau kamu benar cara menghitungnya). Dan langkah terakhir, tersenyumlah karena kamu berhasil mengimbangi permainan Joe Sandy...
Mudah, kan? Hahaha, MAGIC itu mudah asal mau belajar. Dan yang pasti bukan untuk niat jahat, namun untuk menghibur... ^^
Lihat nih !
1.Siapkan sebuah whiteboard atau tempat menulis apapun, serta alat tulisnya dong!!! Bisa spidol, pena atau boardmarker...
2.Terus, buat sebuah persegi secara manual (sebenernya enakan langsung tersedia persegi, tapi, itu menurut selera) dan bagi persegi itu jadi 16 bagian (empat kali empat! jangan lupa!)
3.Nah, suruh si penonton buat nyebutin angka, sebagai contoh, 51.
4.Setelah diketahui angkanya, inget-inget rumus ini buat ngisi kotak-kotak itu:
5. Nah, buat ngisi kotak A, B, C, dan D, pecahin aja angka penonton tadi jadi 4 angka yang berbeda (usahakan berjauhan, agar ga ada angka dalam magic square yang sama) sebagai contoh 51 menjadi 20, 10, 15, dan 6. Dan, isi sesuai rumus.
6.Setelah semua kotak terisi, ajak penonton membuktikan magic square kamu bersama-sama dengan menjumlahkan empat kotak. Mulai dari baris 1: 20+10+15+6 = 51, lalu baris 2, dan seterusnya. Selanjutnya, kolom 1: 20+3+11+17 = 51, lalu kolom 2 dan seterusnya.
7. Kejutkan penonton dengan menghitung area lain. Contoh, di setiap sudutnya: 20+17+8+6= 51. Contoh lain, daerah empat kotak sentral: 18+19+5+9 = 51. Lalu jumlahkan area ini:
8.Jumlahnya akan selalu sama (kalau kamu benar cara menghitungnya). Dan langkah terakhir, tersenyumlah karena kamu berhasil mengimbangi permainan Joe Sandy...
Mudah, kan? Hahaha, MAGIC itu mudah asal mau belajar. Dan yang pasti bukan untuk niat jahat, namun untuk menghibur... ^^
Senyum Terkembang di Atas Awan
Daratan penuh pesona ini memiliki banyak sudut yang tersembunyi dengan damai maupun yang telah terkuak dan diketahui dunia Sudut-sudut yang telah diketahui itu tak sering diperbincangkan, namun justru sudut-sudut tersembunyi itulah yang ramai diterka-terka apa sebenarnya hal yang tersembunyi itu. Dan sebuah kehidupan yang baru dimulai, pasti akan mengandung sebuah enigma dan dibayangi potongan-potongan yang terpisah jauh, yang mana suatu saat nanti pasti akan bertemu dalam suatu keterkaitan yang mengejutkan. Potongan-potongan itu akan terkumpul selagi kita masih mencari jati diri dalam kemelut awan persoalan terutama di masa remaja, lalu akan kembali menyatu, entah setelah kita tahu apa yang akan kita kejar, atau sebelumnya.
Beberapa potongan telah kusadari memasuki kehidupanku, dan kutemukan hal itu di sudut kamarku, dekat jendela yang selalu meneruskan hembusan angin penuh misteri ke telingaku. Aku menemukannya di sebuah dunia, yang kurasa penuh warna bahkan segala jenis warna telah bersimfoni di dalamnya bagai pelangi, dunia yang penuh akan keabadian cita-cita, dan dunia yang penuh kata mungkin dengan tak memasukkan kata mustahil. Itulah, aku takjub dengan keindahan dunia maya. Semua bisa terjadi di dalamnya. Semua rasa, benda, impian, cita, asa serta kata-kata yang dapat kumulai dengan abjad A sampai Z bahkan sampai abjad Yunani, Romawi, Arab atau negeri apapun itu, terkumpul dan membentuk sebuah komposisi dunia penuh khayalan dalam kenyataan.
Dan aku mengingat kembali seseorang yang merasa dirinya adalah seorang antagonis paling malang, padahal kusebut dia sebagai protagonis yang paling beruntung dibandingkan denganku, dalam cerita persahabatan kami. Kurasa dia memiliki segalanya yang aku tak punya, bahkan yang tak pernah kubayangkan aku memilikinya. Anastasia Martha, dara yang seusia denganku itu harus memasrahkan seluruh beban dari ujung rambutnya, hingga ujung kuku jari di kakinya, di sebuah kursi roda, akibat keberandalannya sendiri sewaktu menginjak sepuluh tahun. Keadaannya mungkin dapat membunuh semangat anak-anak lain jika dalam keadaan yang sama dengannya. Namun, aku tak menyangka ia dapat tegar melebihi karang-karang penghalang nun di utara Australia.
Aku mengenang masa lalu, di mana aku mulai mengenal anak penuh semangat di atas kursi roda bernama Martha. Ku kenal ia sebagai figur penuh inspirasi. Ia mengatakan asal mula adanya kursi roda yang menumpunya sampai saat ini. Ia menjelaskannya dengan semangat dan tak merasa malu atau canggung. Ternyata, sebuah shuttle-cock telah memaksanya berada di kursi roda. Ketika ia sedang bermain bulu tangkis di depan rumahnya, shuttle-cock yang terlalu keras ia tangkis mendarat di atap rumahnya dan dengan berani, dipaksakannya untuk naik ke atap. Ternyata Tuhan menyentilnya dan jatuhlah ia ke atas tanah. Kepalanya terbentur. Badannya jatuh secara terlentang. Kelumpuhannya disebabkan benturan pada tulang belakang yang begitu keras. Reaksiku, kaget setengah mati. Kaget karena kenyataan hidupnya yang begitu memilukan, kaget karena ia bercerita dengan kebebasan yang sungguh tak kubayangkan, dan kaget karena ia ternyata benar-benar antagonis yang paling malang. Aku pernah menyangkanya sebagai protagonis yang paling beruntung. Dan ternyata ia tak salah menilai bahwa dirinya adalah seorang antagonis malang. Antagonis karena sikapnya yang ketus namun ramah, dan malang karena keberandalannya telah memaksanya duduk di kursi roda.
“Malah, aku yang menilaimu sebagai protagonis yang paling beruntung, Lian!” katanya padaku lewat telepon. Aku pernah menghubunginya satu kali, dan enggan untuk kedua kalinya, atau seterusnya. Itu karena mamaku yang tambah menceramahiku tentang biaya telepon berjam-jam ditambah dengan internet berjam-jam...
“Ha? Protagonisnya si ngga apa-apa. Tapi, beruntung dari mana? Mau main internet aja harus tengok ke kamar mama dulu...” kataku sambil tertawa. Martha tertawa mengikuti irama tawaku.
“Beruntung, karena kamu lebih beruntung daripada aku yang lumpuh ini...” nada bicaranya berubah. Seperti sebuah penyesalan yang mendalam. Aku tak tega lagi mendengarnya, dan aku langsung berencana mengalihkan pembicaraan menuju arah lain, namun mama terlanjur datang lalu memaksaku menutup telepon.
Aku terkadang heran dengan sikapnya yang seperti gelombang. Kadang ia berada di puncak semangat dengan kata-kata yang menggebu-gebu di tuliskannya di dalam e-mail. Namun kadang pula ia tampak menyesal dan putus harapan begitu saja. Aku diam pilu...
***
Telah lama, kurasa, kami berhubungan melalui dunia yang sebenarnya dapat dengan mudah menipuku, atau menipu orang lain. Namun, entah mengapa helai demi helai benang persahabatan yang kami rajut membentuk sebuah rasa saling percaya. Jujur, aku lebih dekat dengannya, daripada kakakku, papa, bahkan mama. Ia adalah sahabatku, sahabat baikku. Namun, sesuatu yang mengejutkan dan tak pernah kuduga muncul dari sebuah e-mail yang dikirimnya. Aku membacanya pelan. Itu adalah e-mail pertamanya hari ini...
Dear My Buddy, Lilian Maharani...
Apa kabar, sobat... Lian, coba tebak udah berapa lama kita jadi sahabat lewat e-mail??? Aku ngga nyangka, kita udah jadi sahabat sejak dua tahun lalu, sejak kita masih tiga belas tahun.
...
“Lian, udahan dong main internetnya…” teriakan wanita yang kurasa tak penting menggema ke seluruh sudut ruangan kamarku, memantul di langit-langit, mengenai lampu gantung di kamarku, lalu mencolek buku-buku ICT di atas ranjangku, lalu berlari memengingkan telingaku, dan seketika menghentikan keseriusanku memandangi layer monitor di hadapanku. Huh… “Kalo kamu seharian penuh bisanya cuma main internet, mama buang nanti komputer kamu!” ancam mamaku. Telah ratusan kali kalimat menyebalkan itu terekam di ingatanku. Tak muat memori dalam otak kecilku yang tumpul ini menyimpannya, sehingga aku sendiri lupa berapa kali mama meneriakkan kata-kata itu, aku saja lupa hari apa ini…
“Lilian!” bentak mamaku padaku yang baru mulai membaca e-mail baru dari kawanku, Martha. “Matiin! Makan siang dulu, sholat, belajar, baru mainin komputer kamu itu!” perintah mama kasar, tanpa basa-basi dan mungkin bosan dengan sikapku yang tak pernah mau melepaskan tangan dan pandanganku dari hardware di meja belajarku itu.
Memang, aku sendiri masih dengan baju seragamku, dan masih menggendong tasku yang mirip ransel berwarna hitam itu. Itu sangat berguna untuk menaruh laptop dan segala keperluan surfing di dunia maya di sekolah atau kafe ber-hotspot.
“Iya, iya… Ahh mama ini, ganggu aja. Martha barusan aja kirimin Lian e-mail juga!” aku menggerutu kesal. Memang menyebalkan jika seorang pengganggu datang memecah konsentrasiku mengobrak-abrik dunia maya, internet. Aku bangkit dengan malas dari kursiku, lalu melewati sosok mama yang terus melototiku. Andai itu bukan mamaku, pasti sudah kupelototin sosok itu tanpa henti sampai matanya sendiri karatan atau minimal kering melawanku…
Aku butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk mengusir mamaku dari kamar dan berganti pakaian, lalu sepuluh menit untuk makan siang, dan ditambah lima belas menit untuk sholat. Lebih dari tiga puluh menit, aku meninggalkan e-mail Martha. Ahh, aku berlari cepat menuju komputerku dan membaca ulang e-mail Martha:
Dear My Buddy, Lilian Maharani...
Apa kabar, sobat... Lian, coba tebak udah berapa lama kita jadi sahabat lewat e-mail??? Aku ngga nyangka, kita udah jadi sahabat sejak dua tahun lalu, sejak kita masih tiga belas tahun. Lama banget, kan? Aku yakin, kamu pasti ngga pernah hitung soal itu, kan?
Aku terlonjak. Ternyata telah lama, kami bersahabat. Ia memang sahabatku yang paling baik. Jelas, karena ialah satu-satunya sahabatku, dan kegilaanku pada dunia maya inilah yang menyebabkan tak ada seorangpun dari teman-teman sekelasku yang mau mendekatiku. Martha memang mengerti aku. Ia telah mengetahuiku luar dalam, sampai ia tahu bahwa aku ini pelupa. Aku melanjutkan membaca...
Haha... Oh iya... Congratulation, girl, buat lomba blog-nya...
Dan, aku attach beberapa foto. Aku ngga bakal jelasin tentang foto itu. Aku yakin kamu bakal tau sendiri karena aku yakin kamu cukup mengerti. Mungkin, ini saatnya kamu tau, gimana sebenernya keadaanku... Aku ngga sempurna seperti kamu, Lian.
Aku bener-bener bahagia udah pernah ngerasain punya temen kaya kamu...
Semoga kamu ngga nyesel jadi sahabat aku...
Love,
Martha
Hatiku kaku membaca kata-kata terakhirnya. Apa sebenarnya yang ingin ditunjukannya? Mengapa ia berpikir aku akan menjauhinya, membencinya, atau berhenti bersahabat dengannya? Aku menguatkan hatiku dan mengarahkan kursor di monitorku menuju attachment file yang ada beserta e-mail Martha. Jantungku berdebar. Kata-kata dalam e-mail itu membuntutiku. Kata-kata itu seperti membuka gerbang menuju akhir sebuah persahabatan.
“Aku ngga sempurna seperti kamu, Lian.
“Aku bener-bener bahagia udah pernah ngerasain punya temen kaya kamu...
“Semoga kamu ngga nyesel jadi sahabat aku...”
Kata-kata itu terngiang terus. Ahh, aku menghentikan mouse di tanganku, dan membatalkan niat untuk membuka attachment yang mungkin saja menghentikan persahabatan yang telah lama terjalin ini. Kursor itu beralih menuju tombol REPLY. Aku menulis balasan untuk Martha.
Dear Martha...
Aku ngga mau buka attachment itu...
Dan beberapa saat kemudian, ia membalas.
Kenapa?
Kamu marah?
Lalu e-mail singkat itu kubalas tanpa berpikir lagi...
Bukan. Aku ngga marah. Tapi, kamu bilang kamu ngga sempurna dan takut foto-foto itu mengakhiri persahabatan kita. Jadi, daripada kemungkinan itu jadi nyata, aku ngga bakal buka file itu sampai kapanpun. Aku mau jadi sahabat kamu, karena kamu mau jadi sahabat kamu, bagaimanapun kamu sebenernya...
Aku menekan tombol SEND dan e-mail itu terbang menuju komputer Martha bersama pikiranku yang terbang memikirkan kemungkinan balasan Martha selanjutnya. Namun, beberapa menit kutunggu, tak ada balasan yang muncul. Ahh, mungkin ia akan bicara banyak kali ini. Namun, kutunggu sampai menit-menit berlari menjauhiku, tak ada balasan. Tak biasanya Martha mangakhiri obrolan ini. Tak biasanya Martha meninggalkan aku dengan “status” menunggu ini. Perasaanku mendadak tak enak. Martha tak suka kukirim e-mail lagi sebelum ia membalas e-mail sebelumnya, jadi aku enggan untuk mengirim apapun.
Satu jam sudah aku mengotak-atik akun Facebook-ku untuk menunggu balasan Martha. Ketika cek lagi e-mail milikku, ternyata Martha belum juga membalas. Aku mulai dihantui rasa khawatir akan keadaannya. Apa ia mengalami hal yang sama sekali tak kuinginkan? Hal itu membuatku merasa penting untuk memikirkan hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu. Kulirik kalender dalam komputerku. Rabu, 4 Maret 2009. Lalu kuambil kalender meja yang kusimpan di laciku. Kulingkari tanggal 4 Maret dengan spidol merah, dan kutuliskan: Martha, pertama kali ia membuatku menunggu balasan.
***
Sekolah menjadi tempat yang paling menyebalkan bagiku. Percuma jika para spesies manusia lain mengatakan tujuan sekolah adalah sebagai sarana memperluas persahabatan, sementara tak ada yang mau mengerti kesenanganku sebagai seorang sahabat kecuali sahabat dunia mayaku, Martha. Aku tak semangat sekolah setiap harinya. Setiap istirahat, aku bergegas membuka laptop milikku dan memulai acara surfing rutinku. Namun, entah mengapa aku enggan membuka laptop kali ini. Aku malas, aku tak berhasrat ingin ber-euforia di dunia maya.
Biasanya, aku pulang ke rumah, dan langsung menuju komputer untuk mengecek e-mail tanpa berganti pakaian. Namun, aku sedang tak semangat untuk itu hari ini. Entah kenapa, melirik ke meja belajarku saja enggan. Atau, aku enggan untuk kecewa lagi oleh tiadanya balasan dari Martha? Ahh, aku tak mau menyalahkan Martha, ia teman baikku satu-satunya...
Mobil yang aku tumpangi mulai masuk ke halaman rumah ketika kudapati sebuah mobil box terparkir dengan damai di pinggir jalan di depan rumahku. Aku tak terlalu mempedulikannya. Setibanya aku di rumah, aku berlari menuju kamarku langsung membuka pintu kamarku. Kurebahkan tubuhku ke atas ranjang dan meletakkan sebuah bantal ke bawah kepalaku. Aku lelah... Padahal aku tak melakukan aktifitas berarti hari ini. Olahraga? Tentu tidak, tak ada pelajaran Penjaskes hari ini. Kurasa aku lelah memikirkan keadaan Martha.
“Huhh... Martha...” bisikku pada angin yang mulai masuk ke jendela kamarku. Langit kulihat samar berwarna kelabu, tertiup angin menuju arah timur, lalu menetes setetes demi setetes air hujan ke tanah. Aku menghela nafas dan bangkit menutup jendela kamarku. Aku berbaring lagi setelah menutup pintu kamarku.
“Ahh, guru les pasti ngga bakal dateng karena ujan...” gumamku sendirian bersama suara hentakan hujan di kaca jendela yang kasar sekali suaranya. Mataku menatap sekeliling, berharap aku mendapatkan ilham untuk mengerjakan sesuatu yang lebih berguna daripada tidur untuk menunggu matahari meninggalkan kota ini menuju kota lain untuk bergantian dengan bulan serta bintang-bintang. Aku memeriksa semua sudut ruangan.
VCD dan DVD film, mataku berhenti sejenak. Ahh, hampir seratus kali rasanya aku menonton film-film itu. Rak buku. Novel, aku berpikir, sudah kubaca puluhan kali sejak aku menggemari sastra. PR, malas sekali aku mengerjakannya. Buku ICT, ahh, sedang malas berhubungan dengan komputer. Komputer, aku mencari benda yang dinamai komputer itu. Ku putar pandanganku menuju meja belajarku dan... aku tak melihat komputerku.
“Apa? Mana komputerku?” pekikku kaget. Terngiang ancaman mama akan komputerku. Mama akan membuangnya... Dan, mungkin sekarang mama telah merealisasikan ancaman jahatnya itu.
“Dan mobil box itu...” aku bergegas keluar menyadari ada hal yang tak beres yang akan komputerku alami. Aku menemukan mama berjalan dengan santai menuju pintu masuk. Aku mencegatnya...
“Mama...” aku menatap mama dalam. “Jangan bilang...” aku menghentikan kata-kataku untuk memancing penjelasan mama.
“Oh iya. Kamu belum sempat ngucapin selamat tinggal buat komputer kamu, ya?” kata mama meledek. “Maaf, ya. Mama kasih komputer itu ke sepupu kamu di Semarang. Dia lebih butuh daripada kamu...” kata mama seraya meninggalkanku dalam kekagetan.
Oh, Tuhan. Mama telah membuang mesin surfing-ku begitu saja. Itu sama artinya dengan membuang alat komunikasiku bersama Martha, yang telah dua tahun terjalin! Tak kusangka mama sejahat itu. Aku berlari menuju halaman, berharap mobil box itu masih terparkir di jalan. Aku berlari menerobos hujan yang langsung menjatuhkan diri ke kepala serta bahuku. Aku membuka pagar dan aku tak lagi melihat mobil itu. Aku terlambat. Aku telah membiarkan mobil itu membawa benda terbaikku. Aku kehilangan komputerku, dan aku kehilangan Martha...
***
Aku yang tiba-tiba dibayangi akan sosok Martha telah berada dalam kondisi basah kuyup menerjang hujan. Aku juga tak tahu, apakah aku ini menangis atau tidak. Air mataku meleleh bersama air hujan yang mengalir. Aku berjalan gontai menuju pintu rumah. Aku melepas pikiranku ke manapun arah yang ditujunya.
Lalu secara magis pikiranku mendarat ke sebuah ransel hitam di atas ranjang kamarku. Di dalamnya sengaja kusembunyikan benda yang keramat dan tak ada satu orangpun yang tahu. Benda yang kubeli dengan diam-diam dari hasil menjual handphone pemberian papa yang hanya laku tiga juta, lalu kutambahi dengan aksi pembongkaran celengan secara diam-diam pula, akhirnya aku berhasil membeli sebuah benda. Ya, benda itu, laptop. Aku berlari menuju kamar dengan basah kuyup. Mama yang entah ke mana tak melihatku. Setelah mengganti bajuku yang basah, aku menyambar jaket dan topi hitamku, lalu mengambil ransel berisi laptop itu. Aku pergi, pergi menuju kafe dekat sekolah, dengan membawa keinginan untuk mengetahui keadaan Martha.
Sesampainya di kafe itu, aku langsung membuka laptop. Aku terus memikirkan Martha. Kuharap ia telah membalas e-mail terakhir dariku dengan mengatakan “Maaf, Lian. Kemarin tiba-tiba mati lampu, dan aku belum sempat membalas e-mail dari kamu...” atau “Maaf, kemarin komputerku rusak mendadak...” atau alas an lain mengapa ia menghentikan obrolan tanpa memberi keterangan.
Aku mengecek inbox dan tak ada pesan masuk dari Martha. Aku semakin khawatir. Akhirnya kuputuskan untuk bertanya padanya.
Martha,
Kemarin, kamu kenapa? Kok ngilang?
Aku menekan tombol SEND, dan beberapa saat kemudian e-mail itu terkirim. Namun setelah kutunggu lagi, persis seperti hal yang kulakukan kemarin, tak ada jawaban datang memasuki inbox yang telah suntuk menunggu.
Beberapa kemungkinan menghantuiku kali ini. Kemungkinan pertama, memang ada sebuah tragedi mati lampu di Padang. Tapi, apa mati lampu sampai 24 jam? Kemungkinan kedua, komputer Martha mengalami kerusakan seperti restart mendadak dan tak bisa dinyalakan lagi. Tapi, apa Padang sama sekali tak mengenal warnet atau hotspot? Lalu kemungkinan ketiga, Martha tak diperbolehkan menggunakan komputer berlama-lama sepertiku. Tapi, kupikir mama Martha tak sejahat mamaku. Dan kutangkap kemungkinan keempat, Martha mengalami gangguan pada kondisinya saat itu. Pikiranku berhenti pada kemungkinan keempat. Aku teringat tentang kata-kata di e-mail Martha yang terakhir. “Aku ngga sempurna seperti kamu, Lian...” Martha menulis kalimat itu dalam pesannya. Pikiranku berputar sekencang angin yang meniup daun-daun kelapa di depan kafe yang sedang kutempati. Aku mengingat file attachment yang sempat dibicarakan Martha. Aku membuka file itu dengan penuh tanda tanya, walaupun sebenarnya aku telah berjanji untuk tak membukanya. Namun kurasa, apapun yang ada dalam foto di file attachment itu, tak akan memberi pengaruh apapun pada persahabatan kami.
“Ini mbak, pesanannya...” kata pelayan itu dengan meletakan secangkir coklat hangat. Aku tak mempedulikannya. Hanya kulirik pelayan itu sebentar, lalu kembali bersiap membuka file yang mungkin akan menjawab pertanyaanku yang menggantung. Setelah kubuka, aku menemukan beberapa gambar tak jelas. Mungkin abstrak. Namun setelah kuteliti, aku terkejut karena itu adalah gambar-gambar hasil scanning. Kutajamkan mataku agar aku menemukan hal yang menjadikan kalimat menyedihkan muncul di e-mail Martha kemarin.
Kuteliti satu demi satu gambar-gambar itu, dan alangkah kagetnya aku setelah kudapati sebuah lingkaran berwarna hitam ada di bagian belakang gambar kepala. Aku menarik nafas panjang ketika aku tahu itu adalah hasil milik Martha. Lingkaran hitam itu, tak lain adalah kanker. Aku tahu maksud perkataan Martha itu. Ia pasti berpikir bahwa aku akan menjauhinya setelah aku tahu bahwa ia adalah penderita kanker otak. Aku tak percaya. Tiba-tiba seluruh persendianku lemas. Aku tak kuasa lagi melihat gambar-gambar itu. Aku menutup laptop di hadapanku dan bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung berlari tanpa menyadari bahwa aku menangis. Mama mencegatku dan menanyaiku.
“Lian, kamu kenapa nangis?” tanya mama. Aku diam, lalu memeluk mama erat-erat dan menagis seketika di pelukan mama. Mama menenangkanku dan mengajakku bicara. Aku menceritakan tentang semua hal yang begitu mengagetkan pada mama, sampai masalah kanker otak itu.
“Maafkan mama, Lian. Mama ngga tau kalau Martha itu begitu berarti buat kamu. Maafin mama, sayang...” kata mama pelan. Lalu mama mengatakan hal yang tak terduga padaku. “Temui Martha, sayang! Temui dia, bikin dia punya semangat hidup. Besok, kamu berangkat ke Padang sama mama, ya?” aku tertegun. Namun aku mengangguk semangat.
Keesokan harinya, aku mengemasi barang-barangku. Aku hanya membawa beberapa helai pakaian karena mungkin aku hanya akan bermalam satu hari di Padang. Aku berangkat menuju bandara bersama mama dan dengan diantar supir keluarga kami. Setengah jam menunggu, akhirnya aku berangkat menuju Padang, kota di mana sahabat sejatiku tinggal dan bertahan memperjuangkan hidupnya. Aku terus memikirkan wajah Martha yang ceria dengan senyum mengembang di bibir merahnya. Aku merindukannya, walaupun hanya sehari aku tak berbincang dengannya. Kini, untuk pertama kalinya, aku datang menemuinya. Tunggu aku, Martha...
***
Kuinjakan kakiku di tanah Padang untuk pertama kalinya. Kuhirup udara segar kota Padang, kupandang pemandangan indah dan menakjubkan kota Padang, dan kurasakan perasaan berbeda di kota Padang, uga untuk pertama kalinya. Aku tersenyum lebar yang mungkin berarti sebuah ucapan: Padang, sambutlah aku, Lian.
Aku dan mamaku memesan sebuah kamar di sebuah hotel di kota ini melalui telepon. Lalu kami langsung meluncur ke hotel tersebut menggunakan taksi. Lima belas menit kemudian, kami tiba di hotel dan beristirahat sejenak setelah lama duduk di pesawat selama lebih dari satu jam. Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk tidur. Dan aku sampai memimpikan Martha saking rindunya.
Sore membangunkanku dalam hujan gerimis. Aku akan mencari alamat rumah Martha esok. Malam ini, aku dan mama akan bermalam di hotel ini. Bersama matahari yang mulai menenggelamkan diri dari kesibukan kota Padang, aku menenggelamkan segala pikiran burukku tentang Martha. Aku tak sabar menunggu matahari terbit kembali menemani aktifitas di perkampungan serta pusat kota Padang yang penuh paradoks.
Esoknya, aku bersiap pergi mencari Martha. Aku menolak untuk mama temani karena aku ingin mencari sahabat baikku sendiri, dengan usahaku sendiri...
“Tapi, Lian. Kamu baru pertama kali ke Padang. Kamu belum tahu di mana alamat yang kamu pegang itu berada...” kata mama mengkhawatirkanku.
“Tenang aja, Ma. Aku bukan bayi. Apa gunanya pepatah: malu bertanya sesat di jalan?” kataku sambil mengenakan jaketku. Kugendong ranselku dan berpamitan pada mama. “Lian berangkat. Assalamu’alaikum...” aku mengucapkan salam dan kudengar mama menjawabnya lirih. Aku berangkat dengan seribu tekad menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kumulai petualanganku dari pangkalan angkot. Kutanyakan alamat satu-satunya dari Martha beberapa bulan lalu pada beberapa supir angkot. Setelah beberapa supir menjawab dengan ketidaktahuan, aku menemukan seorang tukang ojek yang mangkal tepat di depan pangkalan angkot yang siap mengantarku menuju rumah Martha.
Kami – tukang ojek dan aku – berputar-putar mencari rumah Martha. Setelah setengah jam berkeliling, kami sampai di depan sebuah rumah besar dan penuh tanaman serta kulihat sebuah lapangan bulutangkis di depannya. Aku memberikan sejumlah uang dan tukang ojek itu pergi. Aku memandang rumah besar itu, itu adalah rumah yang kucari, sama seperti alamat yang pernah Martha beri. Kupencet bel listrik di sebelah teralis besi berwarna hijau tua dan beberapa saat kemudian, seorang wanita tua yang sepertinya pembantu rumah itu berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. Aku tersenyum.
“Mau cari siapa?” tanyanya.
“Martha. Anastasia Martha... Dia ada?” tanyaku.
“Non Martha? Mbak sendiri siapa?”
“Saya Lian. Teman Martha di internet. Kita udah bersahabat sejak dua tahun lalu...” kataku. Aku mendadak bingung. “Martha-nya ada?”
“Anu... Non Martha... Anu, mbak... Non Martha... sudah pergi sehari yang lalu...” kata wanita itu. Lalu datang seorang wanita lain yang seusia dengan mamaku, dengan muka heran, mencoba mengenali tamu yang datang ke rumahnya, aku.
“Ada siapa?” katanya pelan. Wanita ramah itu mencoba mengenaliku dan mencoba menebak siapa sosok yang berkunjung itu. “Lian, ya?” katanya. Aku tak bingung wanita itu mengenaliku dengan mudah. Martha pasti menceritakan aku pada semua orang di rumahnya.
“Iya...” jawabku pelan.
“Sini, masuk. Tante mau ngobrol sama kamu...” ajaknya. Lalu aku masuk ke rumah besar nan asri itu. Aku dituntun menuju sebuah kamar yang begitu luas. Di sudut kamar itu ada sebuah foto seorang gadis dengan kursi roda. Tak salah lagi, itu Martha, dan ini adalah kamar Martha.
“Kenalkan, saya Lisa, mamanya Martha,” katanya lembut.
“Di sini, Martha nemuin seorang sahabat yang bener-bener mau nerima dia apa adanya...” dia mulai bercerita.
“Teman-temannya yang lain menjauhi dia sejak dia lumpuh,
“Martha hampir patah semangat, sebelum akhirnya dia nemuin kamu, yang ternyata adalah seorang teman, sahabat, kakak, dan sekaligus seseorang yang benar-benar bisa diajak sharing...” wanita bernama Lisa itu mulai bercerita.
“Namun, ada satu hal yang dia ngga bisa share sama kamu, yaitu masalah dokter yang vonis dia kena kanker otak...
“Dia takut kamu jadi menjauhinya,
“Apalagi, setelah dia tahu kalau kanker yang dia derita udah masuk stadium empat,” aku tertegun. Stadium empat? Aku tak menyangka ada hal buruk yang disembunyikannya. “Itu karena dia tak pernah mau tante ajak ke dokter semenjak kecelakaan yang bikin dia lumpuh. Dia bener-bener nolak kalau tante paksa...” lanjut wanita itu.
Aku menyimak baik-baik setiap kata yang keluar. Namun tak ada jawaban tentang pertanyaanku ketika aku baru datang.
“Tante, Martha dan dokter baru tahu tentang kanker itu ketika Martha tiba-tiba pingsan sebulan yang lalu. Dan dia pingsan lagi sekitar tiga hari lalu...” apa? Tiga hari lalu? Itu adalah hari saat Martha menghentikan obrolan denganku tanpa alasan.
“Tante bawa Martha ke rumah sakit, dan hasil scan-nya menunjukkan Martha menderita kanker otak...” aku menitikkan air mata di sudut mataku.
“Dan kemarin, Tuhan memaksa Martha meninggalkan semuanya...” jantungku berdetak kencang. “Martha meninggal...” aku menangis. Kali ini aku tersedu-sedan sambil menundukkan kepalaku. Aku terus menangis sampai tante Lisa memegang bahuku untuk menguatkanku. Aku benar-benar kehilangan Martha...
***
Aku sampai di sebuah taman pemakaman. Bau tanah basah karena hujan gerimis menyeruak di antara perasaanku yang tergoncang hebat. Martha telah terbaring tanpa nyawa di bawah tanah dan matanya terpejam melupakan semua yang ada di bumi ini. Ia pasti tengah bersiap menghadap Tuhan.
Aku mengikuti langkah tante Lisa yang cepat menuju rumah abadi Martha. Air mataku tak bisa berhenti menetes. Aku berhenti di sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan nama indah sahabatku satu-satunya. Akhirnya, aku dapat bertemu dengan Martha walaupun dalam dunia yang jauh, tak dapat kugapai. Aku berjongkok meremas tanah yang memisahkan aku dengan tubuh Martha yang selama ini ingin kupeluk dalam rasa bahagia. Aku menangis. Martha tak akan mendengar tangisanku ini. Ia pasti tengah tersenyum bersama malaikat di atas awan.
Setelah beberapa lama aku menyesali keterlambatanku, aku pulang, meninggalkan rumah abadi milik Martha. Aku meninggalkan tubuh Martha yang kaku. Tante Lisa menahanku ketika aku akan bangkit dari posisiku.
“Martha titip ini...” tante Lisa menyerahkan sebuah amplop berwarna putih kepadaku. “Sebenarnya akan tante kirimkan ke rumah kamu pagi ini... Tapi berhubung kamu datang, tante serahkann ini sama kamu...” Lalu aku bangkit diikuti tante Lisa. Aku memutuskan kembali ke hotel dan ingin bergegas pulang, daripada berlama-lama di kota yang akan selalu mengingatkanku pada Martha, sahabat baikku, sahabat sejatiku, sahabat paling berarti bagiku.
Setibanya di hotel, aku menceritakan semuanya pada mama, dan mama berusaha menguatkan hatiku. Lalu kami berkemas dengan cepat. Kami juga harus mengejar pesawat. Mama merangkulku selama perjalanan ke bandara. Sesampainya di bandara, mama tetap merangkulku, mencoba menabahkan hatiku yang sampai saat ini masih kacau.
Di dalam pesawat yang semakin naik ke awan hitam di langit malam dengan kerlip bintang yang bersatu dalam gugusan, aku mengingat lagi saat-saat aku mengenal Martha, saat-saat aku mengetahui kebiasaan Martha, dan saat-saat aku bercanda dengan Martha. Aku tak mungkin melupakannya, walaupun aku telah berpisah jau dengannya dan tak akan mungkin bersatu lagi, kecuali Tuhan memberi keajaiban pada persahabatan kami.
Aku ingat tentang sebuah amplop yang diberikan tante Lisa padaku di makam Martha. Aku membuka amplop itu dan mendapati sebuah surat dan beberapa foto. Aku membaca surat itu pelan.
Padang, 5 Maret 2009
Untuk sahabat sejatiku, Lilian Maharani
Cinta adalah keajaiban. Cinta kita, sebagai sahabat dekat, telah memberiku sebuah keajaiban di hari-hari terakhirku melihat indahnya dunia ini... Walau tak sempat aku menatap indah wajahmu, Kawan, namun aku percaya, wajahmu pasti sebening bulan yang agung nun di dekat istana Tuhan. Walau tak sempat aku menemuimu, Kawan, namun aku percaya, sikapmu pasti selembut malaikat yang akan mengantarku pergi menuju Tuhan. Walau tak sempat aku memelukmu, Kawan, namun aku percaya, hangat tubuhmu pasti sehangat air mataku ketika aku melihatmu tersedu-sedan di pusara tempatku terbaring. Walau tak sempat aku menatap mata cantikmu, Kawan, namun aku yakin, matamu pasti secantik kerlip bintang yang akan menemaniku terbang bersama para malaikat. Karena engkau, Kawan, satu-satunya sosok terindah yang pernah kumiliki.
Aku mengenalmu sebagai sosok yang sempurna, sungguh tak sepertiku. Maafkan aku yang meninggalkanmu di tengah obrolan itu. Maafkan aku yang telah meninggalkanmu dalam ketidakpastian. Maafkan aku yeng telah meninggalkanmu dalam kekhawatiran. Dan maafkan aku yang meninggalkanmu dalam kesepian... Aku memenuhi panggilan Tuhan sebelum aku melihat sosok sempurna sahabat baikku. Maafkan aku yang telah meninggalkanmu, Kawan.
Kini, duniaku pasti telah tak terlihat oleh matamu, namun kuharap akan tetap tersimpan di hatimu. Duniaku telah jauh darimu, walau aku tetap merasa dekat dengan tubuhmu. Duniaku telah terpisah oleh sekat Tuhan. Duniaku kini tak dapat kau jangkau dengan jemarimu. Namun, aku menyadari, dunia nyata yang kau tinggali sekarang, dan dunia yang telah kutinggali kini, tak akan berarti jika tak ada dunia lain yang mempersatukan kita. Dunia maya, dunia penuh keajaiban, dan tak pernah ada kata kemustahilan... Itulah dunia kita, Kawan. Kuharap kau akan selalu mengingatku dalam dunia itu...
Salam hangat dari atas awan,
Martha
Aku kembali tebayang sosok Martha. Kini, ia berdiri bersama malaikat yang terus berada di sampingnya di atas awan kelabu yang menutupi pandanganku pada bulan. Sinar remang-remang bintang menyinari senyum bahagia Martha yang terus melambaikan tangannya kepadaku. Lalu bayangan itu mulai samar, lalu menghilang bersama hilangnya awan yang menutupi bulan. Aku kini dapat melihat indahnya bulan nun di atas langit, dan aku tersenyum bahagia melihat bulan yang bersinar terang tersirat wajah Martha yang bersinar.
“Aku takkan melupakanmu, karena hanyalah kau satu-satunya sahabat bagiku, Martha...” bisaikku lirih kepada awan, bulan bintang-bintang dan pada hatiku sendiri.
(6 November 2009, Tia)
Semangat Layang-Layang
Impian ibarat sebuah layang-layang yang dihempas angin dan terbang menjauhiku, ketika aku tahu ada sebuah titik yang tiba-tiba menjadi hal yang sama sekali tak kuinginkan ada di tubuhku. Tepat di antara otak kecil dan sumsum tulang belakang yang secara biologi disebut batang otak. Layang-layang itu kurasa menjauhiku dan tetap menjauh tanpa menengok ke belakang, ke arahku. Aku mungkin kehilangan arah ketika aku berada dalam masa-masa beberapa waktu lalu, di mana aku menyimpan sebuah keputus asaan yang mendalam dan keesokan harinya kudapati diriku kembali memiliki sebuah semangat menggebu-gebu.
Aku kembali dalam hari-hari menegangkan yang tak mungkin aku lupakan, sungguh tak mungkin. Ketika aku berjuang, dan kurasa berjuang untukku adalah berjuang demi perjuangan-perjuangan lain dari ayahku, ibuku, kawan-kawanku, dan saudara nun di luar kota. Aku hanya berjuang untuk tetap menarik nafas dan membuangnya dan menariknya lagi, begitu seterusnya yang terjadi di ruang operasi. Jauh sebelum saat itu, aku meraung-raung tak keruan di sebuah sudut kamar di rumah kakekku yang telah dipanggil Tuhan sebelum aku datang.
“Allaaaaaahhhuuu Akbbbaaaaarrrr, ayyyaaaaahhh, bbuunnnnndddaa…” aku menyebut semua yang bias kusebut, Tuhan, ayah, bunda, dan semuanya. Aku mungkin cengeng. Aku baru menginjak kelas lima SD waktu itu. Sebagai anak laki-laki sepuluh tahun, aku belum mengenal sebuah penyakit penuh misteri, yang hampir membunuh semangat hidupku ketika aku pertama kali mendengarnya.
“Ya Allah, Dan. Sakit lagi, ya? Astaghfirullahal’adziim…” bunda di sebelahku mengusap keningku yang dari tadi tertutup rambutku yang tak terlalu tebal. Bunda mengompres kepalaku dan memegang tanganku. Bunda saat itu tak tahu aku sakit apa, apalagi aku yang belum mengenal isi dunia ini dari sudut manapun. Yang diketahuinya adalah efek operasi usus buntuku satu bulan lalu. Sangat disayangkan, aku yang baru sepuluh tahun itu telah mengkonsumsi banyak jenis obat-obatan rumah sakit yang entah apa saja bahan-bahan di baliknya. Aku kembali memegangi kepalaku dan meraung-raung menyebut asma Tuhan. Tubuhku yang ditutup selimut mulai menggeliat-geliat mirip cacing yang ditarik keluar tanah menuju sengatan iblis matahari.
Ada raut kekhawatiran melintas di wajah bening bunda. Sesuatu yang rasanya tak ingin kulihat seumur hidupku. Aku tak ingin bunda bersedih dan menitikkan air mata di sudut kedua matanya. Dan, kuputuskan untuk menahan sakit luar biasa di kepala bagian belakangku dan kuatur nafasku untuk menenangkan diriku sendiri agar tak lagi berteriak kesakitan. Kumasukkan tubuhku ke dalam selimut dan kugigit ujung lengan bajuku untuk mencegah teriakan atau raunganku mengantisipasi rasa sakit yang benar-benar tak tertahankan, demi menahan pula air mata bunda.
“Dani, udah hampir seminggu… Besok bunda bawa kamu ke rumah sakit, ya?” bunda menghela nafas tanpa merasa bosan dengan rasa sakitku yang hampir setiap hari menyerang secara tiba-tiba. Sejak ayah, bunda dan aku mudik ke rumah kakek, aku kerap merasa sakit di bagian belakang kepalaku. Padahal dalam perjalanan Jakarta-Purwokerto, aku sama sekali tak merasa sakit di kepala atau bagian tubuh manapun. Ketika mudik di pertengahan September 2009 lalu, di dalam mobil, aku masih bisa bersenang-senang, bercanda, dan melakukan hal-hal tanpa kendala walaupun aku tahu, sebuah operasi usus buntu sebula lalu dapat menyebabkan suatu hal yang biasa terjadi pasca operasi. Namun, aku hanya tahu, bahwa esok hari adalah hari penentuan, apa aku hanya mengalami efek lanjutan operasi, atau sakit biasa dengan gejala sakit kepala, atau, aku menderita penyakit lain yang sama sekali tak kuketahui…
***
Aku memasuki mobil ayahku yang terparkir di depan rumah kakek. Nenekku yang tengah duduk di beranda seketika bangkit dan tersenyum padaku. Lalu bunda masuk dan duduk di sebelah ayah yang akan membawa mobil ini. Aku duduk di jok belakang sendirian, tanpa rasa sakit misterius lagi, tanpa selimut, namun dengan senyum terkembang di bibirku.
“Bunda, kira-kira aku sakit apa, ya?” tanyaku penasaran dengan bangkit dari posisiku duduk dan menghampiri bahu bunda yang bersandar.
“Ngga tau, Dan. Nanti kita Tanya dokter aja…” kata bunda sambil mengacak-acak rambutku. Aku duduk kembali dan menikmati perjalanan yang cukup jauh melewati persawahan, rumah-rumah, dan perkebunan yang membentang sejau mata memandang. Setengah jam kemudian, mobil ayahku sampai di sebuah rumah sakit besar. Aku membaca tulisan besar yang terbentang – tak salah ayahku mengatakan bahwa aku anak yang selalu ingin tahu – dan bunda menghentikan usahaku untuk tahu di mana aku ini.
“Dan, turun, yuk!” ajak bunda. Aku tak menolak, dan aku belum tahu di mana aku.
“Bunda, kita di mana?” tanyaku.
“Rumah sakit, sayang,” kata bunda. “Rumah sakit Margono…” lanjut bunda menjawab pertanyaanku tentang keberadaanku.
Aku mengikuti langkah bunda dan ayah. Lalu tak lama kemudian, aku dibawa ke sebuah ruangan dengan dokter yang sedang menulis entah apa di sebuah meja. Aku diperiksa. Detak jantung, tekanan darah, dan hal-hal lain yang biasanya dokter lakukan pada pasiennya. Lalu sekian kali dokter itu bertanya mengenai keluhanku dan sekian kali pula aku menjawab sakit di kepalaku. Lalu ada sedikit obrolan ringan antara aku dan dokter itu. Setelah lama mengobrol, aku dan bunda keluar ruangan, sedangkan ayah masih di dalam dan terlibat sebuah perbincangan serius.
Aku melamun. Aku tengah menerka-nerka tentang sesuatu yang tengah ada di kepalaku, tepat di bagian belakang. Apa tikus? Sungguh tak logis. Dari mana tikus itu masuk? Apa dia masuk selagi aku tidur dan apakah mulutku muat untuk menjadi jalan masuk seekor tikus? Kecoa? Lebih tak logis. Lalu apa? Apa yang tersembunyi di balik kulit kepala dan rambut tebalku ini? Otak? Tentu, apa yang terjadi dengan otakku? Aku sungguh tak dapat berpikir lagi. Pikiranku yang masih muda tak menjangkau apa sebenarnya hal yang telah menimpaku sehingga rasa sakit itu selalu menyerang tanpa dapat kukendalikan…
***
Beberapa menit kemudian, ayah keluar tanpa mengatakan apapun padaku. Ayah diam penuh arti. Ayah diam bisa berarti merahasiakan sesuatu hal, mungkin penyakitku, padaku. Ayah diam bisa berarti tak tega mengatakan hal itu padaku. Atau, mungkin ayah diam karena memang tak terjadi sesuatu padaku… Aku tak berkata apapun juga. Biarlah di rumah nenek ayah menjelaskannya padaku.
Setibanya di rumah, aku berbaring di tempat tidur. Aku memikirkan sebuah jawaban atas diamnya ayah. Apa penyakitku parah? Apa aku akan mati? Apa aku hanya sakit kepala biasa? Apa ini hanya efek operasi usus buntu sebulan lalu? Ahh…
Tiba-tiba, sebuah rasa nyeri datang sedikit-sedikit dari kepala bagian belakangku. Lalu menjalar semakin lebar dan semakin sakit. Aku menahannya. Namun semakin kuat aku menahannya, aku semakin kesakitan. Sakit, benar-benar sakit tak tertahankan. Kupejamkan mataku kuat-kuat berharap rasa sakit itu hilang perlahan. NAmun itu semakin sakit.. Aku menggigit bibirku, lalu bajuku. Ahh, benar-benar sakit. Aku tak tahan lagi…
“Aaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrggggggghhhhhhh, bunda, tolong….” aku berteriak sekencang-kencangnya memanggil bunda dengan seluruh kekuatanku.
***
Seminggu lebih di rumah kakek, bunda dan ayah membawaku kembali ke Jakarta, pulang ke Sunter. Dan ayah sampai saat ini belum memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun mungkin ayah sudah gerah dengan teriakanku tiap hari.
Dan belakangan, aku tahu, sebuah dugaan dokter di Purwokerto telah membayangi ayah sampai ke rumah. Sebuah dugaan yang dipercayai begitu saja oleh ayah tanpa berpikir – itu karena dokter adalah orang yang dirasa lebih pintar dari ayah – atau mengkonfirmasi. Dugaan yang membuatku bingung ingin terkejut, kaget, sedih, putus asa, menerima, senang, bahagia atau menangis keras-keras ketika ayah bercerita. Dugaan yang pasti akan membuat semua orang ketakutan bahkan bunuh diri… Kanker… Itu hanya dugaan.
“Ada bulatan berisi cairan yang menyumbat batang otak kamu. Dokter menduga itu kanker. Tapi, Dan, itu mungkin juga bukan kanker, karena sel-sel kanker tumbuh setelah lima belas sampai dua puluh lima tahun. Sedangkan kamu masih sepuluh tahun, jadi, jangan mikir macem-macem ya…” aku ingat jelas kata-kata ayah yang terbata-bata ketika menjelaskan hal itu padaku. Sungguh aku tak percaya… Kanker?
***
27 September 2009, rambutku telah dicukur botak sekitar pukul setengah satu lalu. Sekarang, pukul tiga sore, aku bersiap memasuki ruang operasi yang akan ikut andil dalam menentukan jalan hidupku esok dan seterusnya, di samping doa-doa seluruh sanak saudara dan keluargaku, terutama ayah dan bunda. Setengah jam lagi, aku masuk ke dalam ruang operasi dan semua yang ada dalam jalur-jalur aliran darahku berhenti, serta tinggal menunggu bendera kuning di depan rumahku, jika operasi ini gagal. Namun, ayah mengajariku tentang optimisme sejak kecil dulu. Aku harus optimis, apapun yang terjadi. Aku telah siap, menghadap mentari esok hari, atau menghadap tuhan seketika di meja operasi nanti… Tuhan, terserah Kau memanggilku atau tidak. Tapi, jangan biarkan bunda menangis…
Aku memasuki pintu itu, ruang operasi. Tak tahu yang dokter dan ahli bedah itu lakukan. Menyayat kulit kepala botakku, memilah-milah banyak benda di kepalaku, lalu menahan darah yang mengalir dari kepalaku, dan mencari sesuatu yang bernama batang otak lalu mengeluarkan benda lain yang selama ini telah membuatku kesakitan, atau hal lainnya, aku tak tahu. Yang jelas tersirat di pikiranku, mereka akan berupaya menolongku dari taring kematian yang menyakitkan.
***
28 September 2009, pukul setengah empat pagi, aku keluar dari ruang operasi. Sejauh ini, aku baik-baik saja. Terhitung duabelas jam aku berada di ruangan menakutkan itu. Tubuhku dibawa menuju ICU. Aku masih tak sadarkan diri. Tubuhku terbaring lemah di atas ranjang. Lalu tepat pukul delapan malam, aku dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan. Ingin rasanya aku melihat bunda kala itu. Apa bunda menangis? Apa bunda tersenyum? Sungguh aku tak tahu…
Di ruang perawatan, aku mulai sadar dan masih tak keruan rasanya. Pikiranku terbang ke mana-mana. Beberapa jam kemudian, aku mulai bisa bericara sedikit-sedikit dan terbatas. Aku masih berbaring dengan tubuh yang tak bisa kugerakkan sama sekali.
4 Oktober 2009, aku mulai belajar duduk. Dan perkembangan berarti mulai kurasakan. Selang-selang yang menghubungkan tubuhku dengan alat-alat medis yang tak kuketahui fungsinya mulai dilepas. Aku mulai banyak makan. Ayahku bangga padaku. Bunda tak kalah senangnya sampai tersenyum lebar. Dokter yang selalu mengontrol perkembanganku terheran-heran.
“Dani memang anak yang hebat. Jarang sekali ada anak yang sekuat dan setabah itu setelah diduga menderita kanker. Dia punya semangat tinggi. Saya heran…” kata dokter sambil terus mengamatiku di atas ranjang.
Tiga hari sesudahnya, 7 Oktober 2009, ayah mengemasi pakaianku dan kami bersiap pulang karena aku telah diperbolehkan dirawat di rumah. Aku sangat senang. Namun beberapa pernyataan dokter membayangiku namun tanpa membunuh semangatku.
“Di kepala Dani dipasang selang untuk membuang kotoran-kotoran. Itu selang permanent…
“Itu dipasang untuk seumur hidup. Saya telah mengira-ngira panjang selang maksimal yang akan digunakan Dani jika tumbuh kelak…
“Untuk waktu yang lama, Dani harus menahan batuk untuk mencegah kontraksi di luka operasi atau selangnya.
“Jika selang bergeser sedikit saja, maka akan fatal sekali akibatnya…
“Obatnya juga harus dikonsumsi selama hidupnya…
Aku tak menyangka sebanyak itu beban yang akan kutanggung. Sebanyak itu hal yang harus kuemban selama hidupku… Aku hampir patah semangat. Aku hampir saja memutuskan untuk pasrah dan diam. Namun aku sadar, diam dan pasrah tak mungkin dapat membuatku sembuh begitu saja.
“Aku harus berusaha, berjuang, dan bersemangat. Aku harus sembuh total…” gumamku dalam hati. Tiga hari selanjutnya, aku diharuskan istirahat total. 11 Oktober, aku berlatih berjalan. Ayah selalu membantuku, menuntunku, lalu memapahku, dan memegangiku selama aku berusaha. Sekian kali aku jatuh, sekian kali aku bangkit, dan pasti sekian kali itu juga aku memuncakkan semangatku. Aku harus sembuh…
***
15 Oktober 2009, pertama kali aku datang lagi ke RSCM setelah operasi. Namun kali ini aku akan menjalani control dan terapi penyinaran radiasi. Dokter yang menanganiku kaget bukan kepalang ketika melihatku telah dapat berlari lincah tanpa hambatan.
“Tempo satu minggu, Dani sudah bisa lari?” Tanya dokter penuh semangat.
“Kemarin, Dani udah bisa jalan. Terus, waktu ada gemba, refleks dia lari ke luar rumah, dok!” kata bunda. Bunda benar, refleks. Tuhan memberi anugerah buat bunda, karena bunda tak pernah menangis lagi sejak aku menderita sakit.
“Jagoan!” kata dokter memujiku. Aku bukan jagoan. Aku hanya anak sepuluh tahun yang belum tahu apa-apa tentang penyakit mematikan namun telah masuk ruang operasi dua kali dalam jangka waktu dua bulan. Aku hanya anak sepuluh tahun yang belum mengenal dunia dan ingin sekali mengenalnya. Aku hanya anak sepuluh tahun yang belum tahu apa itu kanker, namun sudah pernah dibuat menyerah karenanya. Aku hanya anak kecil yang ingin mengejar laying-layang yang terhempas angina sore yang sekarang mulai menengok kembali ke arahku, dan menuntunku menuju cita-cita di masa depan dan menghadapi rencana serta rahasia Tuhan yang lain. Aku akan yakin, aku siap! Asal Tuhan menjaga air mata bunda tetap bersembunyi dengan damai di balik kedua mata indahnya…
Tia, 2 November 2009
Fabregas is a Tomb Digger
Cesc Fabregas is a tomb digger. He lives with his wife and his son at Corpse street no. 13, Hallowed Town. They have been living there since 13 years ago. Fabregas has a big white house and a luxuriant car. Although a tomb digger, he has the luxuriant car representing its family heritage. The house is not taken care of him and his family so that its color becomes dark causing by dust which still patch there. Beside the house, there is a pond. Many fish and frogs over there. Fabregas’ wife is Cana Litnuck, a shrouds seller. She has sold since child. Fabregas’ son is Chael Natesh. He is 13 years old and study at Haunted High School.
Every holiday, Fabregas and family go to tourist resort in around the world. This summer, they will to go to Seram Island. They will leave next month. They have collected their money since 5 months ago. They have collected about $ 50.
Fabregas is leader of TDO (Tomb Digger Organization) in his town. He gets $ 10 for each hole which he digs. Every month he digs more than 7 holes. With mathematics calculation, he gets more than $ 70 in every month. He will very happy if The Third World War happens. He will get many jobs and dig many holes for the victims.
Fabregas is very diligent. He does his job happily and full of smile. His house is near the grave area where he works. The distance is 5 meters. He does not require any transportation. He goes to the grave area by feet and brings his lovely hoe. He always comes on time. His wife, Cana, she also makes the gravestone for the tomb in the grave area that his husband dig. Chael, he helps his parents with cleans each tomb in the grave area where his father works. This is a compact group in a grave industry.
Created by: Aster, Riris, Eta, and Tia
Keriput dan Sajak-Sajak Merdeka
Dalam hidupku, baru kali itu aku menyaksikannya, seorang lelaki tua yang telah memberiku sebuah dorongan. Dalam hukum Newton, dia memberiku sebuah aksi dan aku akan merefleksnya dengan sebuah reaksi. Aksi yang ditunjukkannya tak terbaca. Mungkin hanya aku yang bisa menangkapnya. Dia seakan berbicara padaku dalam keheningan. Hati, ke hati. Mungkin itu kata yang paling mengungkapkan kedekatan batin kami.
Saat itu aku berumur 17 tahun. Usia yang tak lagi ingin dikekang apalagi oleh orangtua. Usia untuk memulai pencarian jati diri dan usia di mana aku ingin terbang jauh dengan kebebasanku. Dan aku memilih terbang ke sebuah desa di kaki gunung. Aku memutuskan pindah ke sana dan menganggur satu tahun setelah lulus SMA. Baru aku akan merencanakan untuk kuliah.
Sekitar satu bulan setelah kelulusanku dan dua minggu setelah kepindahanku, aku melewati rumahnya, lelaki tua yang sendirian. Aku melihatnya sepintas. Dia terlihat kuat. Di beranda rumahnya, aku melihat jelas gigi-gigi putih bersih di balik bibirnya yang terus tersenyum. Pipinya yang menunjukkan keriput yang semakin menumpuk terus saja ditariknya agar orang-orang menyangkanya sedang tersenyum. Memang, orang menganggapnya kakek periang dengan senyumnya. Kecuali aku. Di atas semua itu, aku menatap matanya. Mata yang selalu berkaca-kaca melihat bendera merah putih yang selalu saja berkibar di depan rumahnya. Awalnya aku meninggalkannya begitu saja. Aku berpikir seperti biasa, kakek tua yang sudah pelupa dan agak gila tersenyum melihat bendera. Namun aku menghapus semuanya. Langkah kakiku mengembalikanku ke tempat di mana aku berhenti tadi. Aku memandangnya, dia masih duduk dan tersenyum. Kali ini dia melihatku dan mendekatiku. Dia menarik lenganku lembut. Aku pun bertamu.
Hampir copot jantungku ketika kaki kananku menginjak lantai yang dingin di rumah lelaki tua itu. Terlihat suasana yang membuatku bingung. Seluruh dindingnya dihiasi foto-foto tua yang terlihat rapuh. Pandanganku beralih ke potret lelaki di masa lalu sedang menimang sebuah senapan dengan telanjang dada. Foto hitam putih itu terpajang di sebuah meja bambu sederhana di dekat pintu masuk. Lelaki tua itu mengetahui gerak-gerikku. Dia memegang pundakku dan mengambilkan foto itu untukku. “Ini kakek ketika Jepang masih genayangan di Indonesia,” katanya dengan suara bergetar, khas orang yang lanjut usianya. “Ayo, duduk,”
Dia mengajakku duduk di sebuah kursi rotan di dalam rumah. “Itu semua kakek dan rekan-rekan kakek, mereka semua sudah terbang bersamaandengan peluru senapan lawan. Kita tak mau buang peluru buat orang Jepang itu. Dari sepuluh orang di situ,...” dia menunjuk sebuah foto dengan sepuluh orang laki-laki dengan wajah kotor dan tanpa senyum. Mereka semua tak berpakaian. Hanya celana yang melekat di pakaian mereka. Bahkan mereka tak mengenakan alas kaki. “..., Cuma kaek yang tersisa,” aku tertegun. Dialah yang ikut berjuang menegakkan Merah-Putih. Tanpa baju dan alas kaki. Tanpa makan dan ... tanpa senyuman. Itu yang membuatnya tersenyum memandangi bendera. Itu hasil tetesan darah dan keringatnya serta teman-temannya. Tuhan sangat adil, masih membiarkan manusia sehebat lelaki tua itu dengan senyumnya yang tek henti-hentinya dia pamerkan. Tentu saja atas bendera kecil di depan rumahnya.
Aku sempat mengobrol kecil dengannya. Aku juga menanyakan namanya, namun perlu beberapa menit untuk menunggunya menjawab. Ketika kutanya umurnya saja, dia hampir pusing sendiri. Tapi untunglah, aku dapat mengetahuinya setelah dia berpikir keras. Namanya Wirya, umurnya 89 tahun, aku memanggilnya Bung Wirya. Namun dia menolaknya tegas. “Bung, hanya untuk orang yang punya nama besar untuk bangsa, Negara dan rakyat. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo. Tak ada Bung Wirya dalam daftar Bung se-Indonesia. Panggil aku Mbah saja,” katanya merendah. Namun dalam hati aku tetap memanggilnya Bung Wirnya. Namanya memang tak sebesar Bung-Bung lain. Namun namanya terukir jelas dalam ukiran angin kemerdekaan.
Beberapa kali aku sempat terharu melihatnya menyanyikan lagu Indonesia raya asli dan penuh. Tak sedikitpun dia lupa liriknya. Banyak sekali bait-bait yang tak kuketahui namun dia menghafalnya. Aku tersenyum. Setelah sore mengingatkanku untuk pulang, aku berpamitan. Lalu aku berjalan pulang melewati jalan berbatu dan terus memikirkan kata-kata terakhirnya.
“Kakek dan rekan-rekan perjuangan tak mau apapun dari pemerintah. Cukup keriput ini menemani kakek dengan sajak-sajak kemerdekaan diteriakkan setiap tanggal 17”.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)