Bapak pendiam dan tidak pernah marah. Bapak menyimpan luka dan murka untuk dirinya sendiri. Bapak selalu bertasbih selepas sholat selama dua puluh menit sebelum akhirnya beranjak. Bapak selalu bangun paling pagi demi mengetuk satu per satu pintu kamar, mengingatkan putrinya untuk sholat Subuh. Bapak begitu hening seperti hulu sungai, sangat dalam dan sunyi, yang selalu mengalah tanpa pernah diminta. Bapak selalu mengatakan tidak apa-apa. Bapak selalu menjadi nomor sekian tapi tetap menerima. Bapak yang penyayang, yang keras namun lembut, yang tegas namun pengertian.
Bapak sering mengajak bepergian pada suatu waktu dulu, mengunjungi banyak tempat, mengenalkan banyak hal, bercerita tentang masa mudanya dan keluarganya. Bapak suka memancing. Bapak suka sepak bola dan tinju. Bapak suka menonton pertandingan sepak bola di televisi bersamaku walaupun kemudian akan tertidur di sepuluh menit pertama babak kedua. Bapak juga suka badminton dan voli. Bapak suka semua olahraga karena Bapak guru olahraga. Nilai olahraga anak-anaknya tidak bagus, apalagi aku, tapi Bapak tidak marah.
Bapak selalu datang di setiap pengambilan rapor, tapi tidak pernah berkomentar tentang rapor, kecuali kalau nilai matematika turun. Bapak mengantarkan aku membeli jam tangan pertamaku di toko jam langganannya. Bapak sejak dulu menatapku dengan bangga, cukup dari belakang kerumunan, setiap aku maju dan menerima juara pertama. Bapak adalah yang menjadikanku juara, karena aku hanya mau belajar bersama Bapak. Bapak berdiri di kejauhan dan menyambutku yang menerima juara pertama. Bapak tidak marah walaupun di kemudian hari aku hanya mendapat juara ketiga. Bapak selalu membelikan aku semangkuk bakso setelah menerima kejuaraan sejak sekolah dasar. Bapak tetap menawarkan semangkuk bakso hingga masa-masa kuliah, saat menjemputku dari stasiun, saat aku pulang dari kota rantau. Aku selalu menolak, supaya bisa makan di rumah, supaya Bapak cepat pulang untuk istirahat.
Bapak selalu menjemput di depan pintu keluar stasiun saat aku pulang naik kereta. Bapak juga selalu mengantarkan hingga pintu masuk saat aku pergi naik kereta. Bapak selalu duduk menunggu hingga kereta berjalan sebelum akhirnya beranjak pulang, meskipun aku sudah naik dan tidak terlihat. Semua tanpa diminta, semua karena Bapak suka.
Bapak berkorban begitu banyak, berjuang begitu keras, bertahan begitu kuat, menghadapi luka-luka yang datang. Bapak semakin hari semakin kurus dan bertulang pipi. Bapak semakin hari semakin lelah, tetapi tetap tersenyum. Kedua matanya menyimpan perjuangan tidak terhingga untuk keluarga. Keriput yang mulai berdatangan, mewakili tahun-tahun berat yang dilaluinya tanpa berkeluh kesah. Rambutnya sudah mulai jarang, tampak harus segera beristirahat.
Dalam kisah yang sudah-sudah, Bapak adalah cerminan keikhlasan. Bapak yang diam, seperti aliran sungai tenang. Bapak yang memiliki seluruh definisi keikhlasan. Bapak yang tampan, sangat tampan. Bapak yang sederhana, namun selalu membanggakan anak-anaknya di depan siapapun, di manapun.
Bapak selalu pergi, juga selalu pulang. Kecuali saat ini, Bapak tidak akan pernah pulang lagi, meskipun aku menunggu sampai tengah malam di ruang tamu sampai tertidur.
Semua hal mengenai Bapak yang terekam dalam ingatan sampai saat ini masih terus diputar ulang, mungkin ini cara pikiran dan perasaan bekerja untuk mengenang. Sudah 40 hari, kami selalu merasa Bapak masih begitu dekat.
Baik-baik di perjalanan, Kapten! Bahtera aman di tangan kami berempat.