May 08, 2016

Dibungkam

Dalam serangkaian kisah, inilah cerita paling menggambarkan betapa aku dibuat bisu. Aku hanya mampu berteriak dalam hati, tidak mampu bersuara sama sekali.

Aku pernah mendaki Semeru, dengan berbekal mimpi teguh menapaki atap pulau Jawa, menjadi yang tertinggi dibandingkan seluruh umat di pulau ini, menjadi yang terkuat di antara yang berusaha. Aku pernah mendiami teduhnya Ranu Kumbolo, menikmati anginnya yang sejuk dan menusuk, menelan sengat mataharinya yang membakar, dan terlelap dalam gigil kemarau yang luar biasa hebat. Aku pernah menapaki Kalimati dan tenggelam dalam pasir-pasir menuju puncaknya, menyelami mistisnya hutan Arcopodo dalam tabur bintang, berdamai dengan rasa takut dan kerdil, meneguhkan hati untuk berani dan kuat. Aku pernah menjejaki Mahameru, tanah tertinggi Jawa, menyentuh bendera yang diam di sana, menatap Jogring Saloka dengan mataku sendiri, terpukau dengan letupannya, gemuruhnya, semburan awan tebalnya, tetapi tidak pernah aku sebungkam pendakian ini.

Rinjani adalah misteri, yang menawarkan jawaban atas keindahan-keindahan asing yang menakjubkan yang selama ini aku inginkan. Rinjani bukan lagi di pulau Jawa, tempat di mana gunung-gunung menjulang dengan tipe-tipe yang sama. Rinjani adalah tanah yang benar-benar tidak terduga, membuatku ternganga berkali-kali, menamparku tanpa habis hingga aku menangis.

Semenjak disuguhi hamparan rerumputan hijau tiada tepi, aku terpana. Sabana yang luar biasa luas menghampar seperti tidak memiliki ujung. Tanpa teduh, tanpa pohon, hanya rumput yang berdampingan dengan sungai kering. Aku berjalan di setapak tanah, menyusuri hijau yang terik, mengagumi sabana terindah dalam hidupku selama ini. Di kejauhan turun kabut tipis, lalu tersibak mengantarkan pemandangan mengagumkan puncak Dewi Anjani berwarna keabuan. Semangatku membara, aku harus segera sampai.

*

Aku memiliki sebuah daftar rahasia, berisi mimpi-mimpi, baik mimpi yang akan kucapai kelak, maupun mimpi yang akan tetap kujaga menjadi mimpi selama-lamanya. Ada sebuah daftar bernama “Daftar Puncak yang Harus Tiut Injak Sebelum Mati”, yang berisikan nama-nama gunung impian yang harus aku datangi selama hidup. Di sana ada beberapa gunung, baik yang belum pernah aku datangi, maupun yang ingin aku datangi lagi. Tetapi, teman, di sana tidak ada Rinjani, karena aku belum bermimpi menginjakkan kaki di sana.

Di dalam setiap pendakian menggoda, ada saja penghasut yang selalu berhasil merayu untuk pergi meskipun aku terus-menerus menolak secara halus. Tapi diri tidak dapat berbohong, sebagian hati menginginkan untuk pergi, ketinggian memang candu, aku tidak akan menolak untuk menelannya sebanyak mungkin hingga overdoze.

*

Aku dibungkam. Begitu saja. Dalam empat hari empat malam yang senyap itu tidak sekalipun dibiarkannya aku berbicara dan mengoceh seperti biasanya. Tanahnya teguh, alamnya memabukkan, manusia dan suasana yang kutemui benar-benar asing dan magis. Siangnya riuh, malamnya teduh, menakutkan seperti dendam. Aku bahkan lupa untuk mengumpat dan mengeluh. Rinjani benar-benar ajaib dan tidak ada yang bisa mengalihkan pandanganku dari hamparan keajaiban itu selain tubuh yang mulai bergetar dihantam dingin akibat terlalu lama berdiri terkagum. Rinjani membuka mataku lebar-lebar, bahwa dunia ini luas sekali dan aku belum meraih sekeratpun darinya.

Aku meraih kemeja flannel di punggung, berdamai dengan angin.

Tetapi masih tertegun.

*

Aku harus ke Rinjani lagi, bersama porter. Logistik empat hari ternyata berat sekali.


Menuruni track pasir panjang dari puncak menuju camp di Plawangan Sembalun





SENARU, pagi sebelum meninggalkan warung penyelamat dahaga di batas hutan